YUGO

YUGO

 

Part 1 : Byun Baekhyun dan dongeng konyolnya

 

 

Gemerlap lampu dengan suara musik menghentak masih terus menemani pemuda itu bergoyang. Ia mengangkat botol birnya tinggi sambil menyerukan suara membuat para gadis di dekatnya tertawa senang –juga centil.

 

“Wah Mr. Park, mentang-mentang sudah menginjak delapan belas tahun dan lulus dari sekolah kau menyangka dirimu benar-benar bebas?” tanya pria di samping pemuda jangkung itu, mengerling sambil menggerakkan tubuhnya.

 

Pemuda jangkung dengan botol bir di tangannya itu tertawa lebar, “aku sudah melakukan ini sejak sekolah menengah,” jawabnya santai.

 

“Maksudku bukan itu,” sahut temannya memutar bola mata ke arah para gadis berpakaian mini di dekatnya.

 

Park Chanyeol, nama pemuda itu, tertawa meringis. “Hanya dansa, tidak lebih,” ucapnya mengedipkan sebelah mata.

 

Temannya geleng-geleng kepala saja. Chanyeol tersenyum miring, dan kembali menggoyangkan tubuh di bawah kerlipan lampu diskotik tempatnya merayakan ulang tahun ke delapan belas.

 

Tiba-tiba tubuh pemuda itu mulai lunglai. Kepalanya agak berdenyut walau ia mencoba tetap bergoyang pelan. Tubuhnya tak sengaja terdorong, membuatnya limbung dan terjatuh. Air di botol birnya ikut tumpah ke lantai.

 

Chanyeol mendecak melihat air bertumpahan di lantai. Ia menggeram sebal. Bagaimanapun bir ini ia beli dari uang kerjanya. Bukan gratis. Chanyeol memang sangat sensitif dengan masalah ekonomi.

 

Pemuda itu menyipitkan mata pada air yang mulai merembes. Tapi dengan sekejap, tiba-tiba air itu kembali masuk ke dalam botolnya yang masih tergeletak di lantai. Seakan ada yang menekan tombol rewind. Mata bulat pemuda itu melebar maksimal.

 

“Kau tidak apa-apa?” tanya sebuah suara manis sambil mencoba menarik tubuh jangkung itu berdiri kembali.

 

Chanyeol menggenggam botol birnya sambil tegak lagi. Beberapa gadis menatapnya khawatir. Namun pemuda itu segera nyengir lebar dan menggeleng. Ia kembali berseru semangat, membuat yang lain tahu bahwa ia baik-baik saja.

 

Chanyeol menatap botol birnya dengan kening berkerut. Ia menggeleng dan mengerjap. Ah. Efek bir memang tentu membuat kesadaran seseorang menghilang.

 

***

 

Pemuda delapan belas tahun itu, Park Chanyeol namanya. Seorang musisi freelance di Negara ginseng, Korea Selatan. Kedua orang tuanya meninggal sejak ia berusia sepuluh tahun. Sedangkan ia tak pernah tahu apakah memiliki saudara atau kerabat karena ketika dimakamkan hanya para teman kerja orangtuanya saja yang datang. Kedua orang tua Chanyeol adalah pengusaha ternama. Karena itu mereka meninggalkan warisan cukup banyak. Semua asset telah dijual anak tunggal mereka, yang membuatnya hidup sampai lulus sekolah menengah pertama. Tapi karena menjual segalanya pemuda itu jadi tak punya apapun lagi. Pelayan yang telah mengurusnya dari kecil juga sudah pergi berhenti bekerja. Apalagi saat itu ia belum bekerja. Sampai akhirnya karena kemampuan musiknya, ia menjadi guru di sebuah sekolah musik anak-anak dan menulis lagu untuk para penyanyi.

 

Hidupnya tak terarah. Seharian ia bisa bermalas-malasan di atas ranjang tanpa melakukan apapun. Terkadang ia tak mandi hingga semingguan. Chanyeol tak pernah memiliki seorang kekasih, apalagi teman tetap. Walau memiliki banyak kenalan, tak ada yang benar-benar dekat dengannya. Chanyeol sendiri yang selalu menjauh.

 

Kenapa?

 

Jawabannya cukup rumit. Pertama, hidupnya tak normal. Kedua, hidupnya berantakan. Dan ketiga, hidupnya aneh. Ia selalu mengalami hal-hal tak masuk akal. Dimulai dari melihat benda yang bergerak sendiri, angin yang deras hanya ketika ia bersiul, atau mengerti pembicaraan hewan. Mungkin dia gila. Bahkan dirinya sendiri mengira ia gila dan punya kelainan. Tapi Chanyeol tak pernah memusingkan. Toh yang peduli pada dirinya hanya dirinya sendiri.

 

Pagi itu pemuda jangkung tersebut memutuskan beranjak dari tempat tidur. Ia keluar dari balkon apartemen kecilnya, lalu menatap semburat sinar mentari pagi. Ah ia selalu senang dengan matahari. Sinarnya entah kenapa membuat Chanyeol merasa semangat dan memiliki kekuatan.

 

Setelah mandi pemuda itu keluar dari apartemennya, dengan berjalan kaki santai mengitari jalanan yang mulai padat. Pekerjaannya sedang libur. Ini adalah waktunya menghibur diri. Kemana ya?

 

Chanyeol tak sengaja menatap sebuah pamflet –yang baru ia sadari telah ada di sepanjang jalan sejak ia keluar dari apartemen- membuat keningnya berkerut. Terbaca “Musium Seni dan Budaya”. Aih. Pasti membosankan. Apakah kau berpikir setiap musisi mencintai seni? Tidak pemuda itu. Ia hanya mencintai seni musik, bukan yang lain.  

 

Chanyeol hanya mengedikkan bahu acuh dan kembali berpikir kemana ia harusnya pergi. Tapi tiba-tiba ada sebuah kertas melayang dan jatuh menutupi wajahnya membuat pemuda itu menggeram sebal mengambil kertas tersebut. Ah. Pamflet itu lagi.

 

“Aku tak mau datang!” gerutu Chanyeol sendiri sambil meremas kertas itu dan melemparnya asal. Ia kembali melangkah.

 

Ketika di sebuah tepi jalan, tiba-tiba ada bis melewatinya. Mata pemuda itu melebar. Melihat tulisan dan gambar di pamflet itu sudah menjadi poster di dinding bis. Chanyeol tenganga. Apakah acara itu acara besar sampai promosinya harus habis-habisan seperti itu?

 

Chanyeol mendengus. Ia kembali berjalan. Sampai ketika melewati sebuah terminal, lagi-lagi ia melihat poster “Musium Seni dan Budaya” tersebut. Pemuda itu mengangkat alis, masih tak peduli.

 

“Hari ini aku akan ke konser saja. Aku akan makan dulu di Apgujeong dan berjalan-jalan sebentar. Lalu sore ini akan mencari konser hari ini,” kata Chanyeol merancangkan rencana hari ini sambil menunggu bis. “Oh ya. Aku belum membeli hadiah untuk ulangtahun kemarin. Apa harus membeli sepatu baru ya? Atau topi? Ah, tapi berjalan-jalan seperti ini juga menyenangkan.”

 

Bis tujuannya datang. Chanyeol segera masuk diikuti yang lain. Tapi betapa terkejut pemuda itu, ketika ada sebuah poster besar terpampang di samping kursi supir.

 

“Hari ini ada pagelaran seni di Gangnam, apa kau ingin kesana?” tawar supir itu dengan cengiran lebar.

 

Chanyeol mengernyit. Kenapa rasanya hanya ia yang ditawari pergi?

 

“Ah, tidak. Aku hanya ingin ke Apgujeong,” ucapnya menolak, lalu segera mencari tempat duduk terdekat. Pemuda itu geleng-geleng kecil tak mengerti apa yang terjadi hari ini.

 

Chanyeol menatap keadaan lalu lintas dari jendela bis. Tapi matanya jatuh pada sebuah bangunan tinggi. Ada iklan musium itu!

 

“Ini benar-benar horror,” kata Chanyeol bergidik dan menyantolkan earphone ke kedua telinganya.

 

Selang beberapa saat perjalanan, tiba-tiba bis bergoyang aneh membuat Chanyeol dan penumpang lain terkejut. Bis tiba-tiba seperti hilang kendali, lalu berjalan tanpa rem dan tak lama berhenti. Sang supir ikut terkejut, dan segera menoleh ke belakang.

 

“Ah, maaf. Aku juga terkejut dengan apa yang terjadi. Tapi sepertinya ban bis pecah,” ucap supir itu membuat Chanyeol tenganga. “Apakah kalian bersedia turun di sini? Kita sudah ada di Gangnam. Maafkan saya.”

 

Beberapa penumpang mendengus dan mengomel kecil. Chanyeol mencibirkan bibir, lalu berdiri dan keluar dari bis. Ia melihat ke arah ban bis. Matanya membelalak. SEMUA BAN PECAH!

 

“Untung saja aku masih hidup,” gumam Chanyeol meneguk ludah. Ia kemudian berbalik. Menghadap sebuah bangunan tepat di hadapannya. Besar-besar, ada sebuah banner terpampang di atas bangunan itu.

 

 

“Pegelaran Seni Budaya Korea Selatan”

 

 

Mulut pemuda itu langsung terbuka maksimal.Ia membeku selama beberapa saat sebelum akhirnya tersadar dan segera menutup mulut kembali.

 

“Apakah aku harus datang? Apakah acaranya tidak akan berlangsung jika aku tidak ada?” marah pemuda itu menggertak ke arah banner membuat beberapa orang yang berlalu lalang menoleh kaget. “Hei, katakan! Jin mana yang kau perintah untuk membawaku kesini? Kau sengaja kan, Ha?!”

 

“Apa pemuda itu gila?”

 

“Sebaiknya kita memutar saja. Aku tidak ingin melewati orang gila seperti itu.”

 

“Apakah pemuda itu baru putus cinta dan depresi?”

 

“Aku baru tahu orang gila jaman sekarang tampan seperti itu.”

 

Chanyeol tersadar. Ia melirik sekitarnya. Beberapa orang dengan segera membuang muka belaga bersikap biasa dan ngacir pergi begitu saja. Chanyeol mendengus.

 

“Ya ya ya. Aku sudah biasa dianggap gila,” gumamnya pada diri sendiri.

 

Chanyeol menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya. Dengan setengah hati dan pasrah, ia akhirnya melangkah memasuki gedung itu.

 

Sementara itu, sepasang mata dibalik pohon tak jauh di depan gedung museum tertawa kecil dengan puas. Ternyata tugasnya asyik juga.

 

***

 

Chanyeol dengan malas memandangi karya seni yang ada. Hanya ada patung, lukisan, dan potofolio sejarah seni dan budaya Korea Selatan. Ia berhenti di sebuah karya. Diam sejenak memerhatikan, lalu mengangguk-angguk kecil kemudian beralih lagi.

 

“Hhhh… aku bosan,” gumam Chanyeol lelah. Kakinya kembali mengitari ruangan itu.

 

Chanyeol berhenti di sebuah karya. Keningnya agak berkerut, entah mengapa tertarik. Ada sebuah lukisan cantik di sana. Sebuah matahari besar berada di sudut memenuhi kanvas sampai tiga perempat. Lalu di balik itu ada beberapa orang memakai balutan kain bercorak matahari kecil. Ada yang terlihat dengan wajah harimau, ada yang memakai bunga di telinga kanannya, ada yang bermata tajam dengan manik di sisi matanya, dan ada juga yang memakai ikatan kepala dengan butiran air di sisi kanan dan kirinya. Yang paling menonjol adalah seseorang di pojok atas kanvas. Ia memakai mahkota besar dengan mata matahari. Memakai jubah layaknya pemimpin besar.

 

“Sejak kapan budaya Korea memiliki hal seperti ini?” tanya Chanyeol bingung.

 

“Ah, apa kau tidak mempelajari itu ketika sekolah dasar?”

 

Chanyeol terkejut setengah mati.Ia bahkan sampai terloncat dan memekik kecil. Pemuda itu menoleh, dan mengerjap-ngerjap mendapati seorang pemuda sedagunya dengan pakaian jas formal sudah berdiri di belakangnya.

 

“Ma-maksudmu… ini?” tanya Chanyeol masih agak kaget dan menunjuk lukisan itu.

 

“Ah ya, tentu saja,” jawab pemuda itu tersenyum manis. Matanya menyipit bahagia.

 

“Lukisan ini adalah di balik matahari. Apa kau tak mengerti? Matahari besar memenuhi sudut kanvas, lalu ada beberapa orang yang nampak mengintip dari balik matahari,” ucapnya menjelaskan tanpa diminta.

 

“Aku tak pernah tahu hal itu,” kata Chanyeol mengerutkan kening.

 

Pemuda itu tersenyum sekali lagi. “Ah, bagaimana kau tidak tahu sejarah hidupmu sendiri?”

 

Chanyeol mendelik. Siapa sih pemuda ini? Kenapa belaga akrab begini? Chanyeol menipiskan bibir saja, lalu ingin beranjak. Tapi pemuda itu segera menahan.

 

“Annyeonghaseyo. Namaku Byun Baekhyun,” ucap pemuda itu lalu membungkuk sembilan puluh derajat.

 

Chanyeol terkejut dan refleks mundur. “Ah, namaku Park Chanyeol,” sahutnya ringan, tapi kemudian beralih dan ingin pergi.

 

Baekhyun tersenyum misterius. Ia lalu maju ke arah lukisan tadi, dan dengan sengaja menjatuhkannya membuat suara pecahan kaca dan bingkai yang pecah. Chanyeol terkejut dan menoleh. Matanya membelalak.

 

“Hei! Apa yang kau lakukan?” hardik Chanyeol tak percaya menatap pemuda yang terlihat santai itu. Ia menoleh kanan dan kiri. Ruangan mereka kini telah sepi dan kosong, tak ada satupun yang melihat kejadian itu.

 

“Ah, apa yang ku lakukan,” sesal Baekhyun menatap lukisan itu tapi ekspresinya datar saja. Ia kemudian menatap Chanyeol. “Karena kau menyuekiku, aku marah dan tak sengaja menjatuhkannya. Bisakah kau bertanggung jawab untuk memperbaiki semua?”

 

Chanyeol tenganga marah. “Hei!Apa kau gila? Mengapa sifatmu sangat menyebalkan?” bentak Chanyeol tak bisa menahan emosi.

 

“Ayolah, perbaiki. Bukankah kau bisa memperbaikinya?” pinta Baekhyun tanpa merasa bersalah sedikitpun. “Ini hanya pecahan kaca dan kayu. Bukan apa-apa.”

 

Chanyeol melotot marah. Ah benar-benar pemuda ini. Wajahnya cantik   seperti personil boyband di Negara Chanyeol, dengan senyuman manis yang membuat kedua matanya seperti bulan sabit diputar seratus delapan puluh derajat. Tapi kelakuan dan perkataannya benar-benar ingin membuat Chanyeol menonjok wajah imut itu.

 

“Ah, tolonglah. Aku tidak tahu harus apa. Ini semuakan salahmu,” ucap Baekhyun membuat Chanyeol makin emosi.

 

Chanyeol menarik nafas dalam, kemudian mendengus keras. Ia membuang pandangan pada lukisan yag telah tak berbentuk itu. Ditatapnya dalam-dalam dan tajam.

 

Baekhyun diam-diam menarik seulas senyum melihat itu.

 

Dengan ajaibnya, pecahan kaca itu perlahan menyatu. Potongan kayunya seakan terlem kembali. Bingkai lukisan itu terbentuk lagi. Lalu dengan perlahan naik, kembali terpaku di dinding museum.

 

Chanyeol tersentak sendiri ketika melihat lukisan itu kembali pada wujudnya. Ia baru tersadar beberapa detik setelah melakukan hal aneh tersebut.

 

“Sudah ku bilang, kan? Kau bisa memperbaikinya,” kata Baekhyun santai.

 

Chanyeol setengah menganga dengan mata melebar, kemudian memandang Baekhyun. “Hei!Apa kau lihat? Lukisan itu kembali utuh! Bahkan… Bahkan… terbang!!!” kata Chanyeol heboh disertai tak percaya.

 

“Ah, aku lihat,” kata Baekhyun sama sekali tak terkejut atau bingung membuat Chanyeol mendelik heran. “Kau kan adalah salah satu bangsa Eilert. Tentu saja kau bisa mengendalikan barang hanya dengan pikiranmu,” kata Baekhyun santai seakan berucap bahwa kopi itu pahit.

 

Chanyeol melotot lebar dan mundur lagi. Ia menatap pemuda itu takut dan ngeri. “Ka-kau… kau pasti jin yang membawa aku kesini kan!?” tuduh Chanyeol panik dan heboh.

 

Baekhyun mengangkat alis tinggi, lalu terkekeh sinis sambil berkacak pinggang. “Hei! Yang benar saja. Kesh jauh lebih mulia dibanding makhluk yang kau ucap itu!” katanya merasa tersinggung.

 

“K-ke-kesh?” kata Chanyeol terbata dan bingung.

 

“Aissshhh,” Baekhyun menurunkan tangan sambil berseru lelah. “Apakah aku tidak bisa langsung membawamu ke Appolline saja? Biar Senior Yesung yang menceritakan semua padamu.”

 

Chanyeol makin mundur. Ia menggelengkan kepala kecil. Siapapun, tolong, sesegera mungkin. Selamatkan Chanyeol dari pemuda gila ini…

 

***

 

Chanyeol menyeruput es kopinya sekali lagi, lalu menatap pemuda yang duduk di depannya itu.Ia sedang melahap pasta dengan semangat.

 

“Ah, aku tak pernah tahu makanan Dougal seenak ini,” puji Baekhyun menjulurkan lidah mengusap saus di ujung bibirnya. “Kau tahu? Di Appolline makanan terlezat yang bisa dimakan hanyalah daging zirgs. Aku paling suka jika dibakar,” cerita Baekhyun menggebu-gebu. Seakan tak peduli dengan mulut terbuka Chanyeol dan wajah bingungnya.

 

“Kau, cepatlah habiskan makananmu. Kita akan menempuh perjalan jauh,” kata Baekhyun menegur steak di piring Chanyeol.

 

“Kita mau kemana?” tanya Chanyeol cemas. Ah memang salah ia membenarkan ketika pemuda ini mengajaknya makan dan berjanji akan menraktir.

 

“Sudah ku bilang kan, Ap-pol-line,” ucap Baekhyun menegaskan kata terakhir. “Ayolah. Aku tidak tahan ada disini. Benar-benar pengap. Dan kau harus tahu, aku lelah berbicara dengan logat aneh begini,” kata Baekhyun mengucapkan logat Seoul yang kental.

 

Chanyeol mendelik, “memangnya apa Bahasa yang kau gunakan?”

 

Kesh, tentu saja,” jawab Baekhyun lalu melahap sesendok besar daging pasta ke mulutnya.

 

Chanyeol melengos pasrah.Benar-benar lelah dengan lelucon pemuda ini.

 

“Lalu? Apa tujuanmu? Kenapa kamu ingin bertemu denganku sampai membuatku hampir mati dengan kejadian ban pecah itu?” tanya Chanyeol mengintogerasi . Walau tak mengaku, Chanyeol yakin pasti Baekhyun dalang semua ini.

 

“Ah, maaf maaf. Aku tidak mungkin mencelakakanmu.A ku telah menjaga resiko yang ada ketika memecahkan ban itu,” ucap Baekhyun kali ini berekspresi benar-benar menyesal. “Tuan Sooman menyuruhku menjemputmu.”

 

“Kemana? Siapa itu Sooman? Dan lebih penting, siapa kau dan darimana asalmu?” kata Chanyeol menatap tajam Baekhyun.

 

“Aish. Jangan beri tatapan Eilert seperti itu. Tubuhku selalu merinding kecil jika ditatap begitu,” kata Baekhyun mengibaskan tangannya. “Kau harus sadar bahwa tatapan tajam Eilert bisa saja melayangkan satu nyawa.”

 

Chanyeol menggeram frustasi, “sudah bilang berhenti bermain-main. Jawab saja pertanyaanku dengan serius!”

 

Baekhyun mencibir, kemudian meminum greentea-icenya. “Aku adalah Baekhyun, Kesh bangsa Zoladover. Tuan Sooman adalah Altair di Appolline, desa di balik matahari.”

 

Chanyeol mengerutkan kening.

 

“Ya, lukisan tadi. Itu adalah Appolline,” kata Baekhyun mengelap bibirnya karena piring di depannya sudah kosong dan bersih. “Aku yang melukis. Bagaimana? Lukisanku bagus, kan?”

 

“Lanjutkan,” tegas Chanyeol tak mengindahkan kerlingan ceria Baekhyun.

 

Baekhyun menghela nafas. “Aku diperintah Tuan Sooman untuk datang ke negerimu ini, menjemputmu tentu saja. Aku melakukan semua cara agar kau datang ke museum tadi. Karena aku ingin menunjukkan gambaran kecil tentang Appolline,” kata Baekhyun mulai menjelaskan. “Walau aku masih tak mengerti kenapa harus menjemput seorang Darby sepertimu. Ini bukan tugasku.”

 

Chanyeol masih diam tak bereaksi.

 

“Ah, Park Chanyeol. Tidakkah kau heran dengan kejadian-kejadian aneh tak masuk akal yang sering menimpamu? Contohnya, lukisan tadi,” kata Baekhyun membuat Chanyeol tertegun.

 

Chanyeol meneguk ludah sesaat, “apakah aku seorang pesulap? Atau penyihir?” tanya Chanyeol dengan nada sarkastik.

 

Baekhyun terkekeh sinis, “berhenti mengigau.”

 

“Lalu kau apa? Sedari tadi kau membicarakan dongeng yang tak ku pahami,” kata Chanyeol lalu mendesah pelan.

 

“Kau seorang Kesh.Sudah ku katakan dari tadi.”

 

Kesh?”

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet