Prolog

13 O'Clock

 

Sebuah van berwarna hitam terlihat berhenti di depan sebuah bangunan berlantai 40. Satu-persatu para penumpang van tersebut mulai keluar, membuat kendaraan yang tadinya penuh sesak kini lengang. Total ada enam orang yang  telah berdiri di sekeliling kendaraan itu. Rasa lelah terpancar jelas dari raut wajah mereka. Satu orang tersisa yang merupakan pengemudi van tidak ikut turun. Ia hanya menurunkan kaca di sampingnya.

“Kalian beristirahatlah!” perintah sang pengemudi yang juga adalah manajer keenam orang itu.

Ne, Hyung,” balas keenam orang itu hampir bersamaan.

“Kau juga istirahat, Hyung,” tambah salah seorang di antara mereka.

Selesai mengucapkan itu, mereka berpisah. Dengan mengendarai van, sang manajer pergi menjauh. Sementara keenam pemuda itu mulai berjalan menuju bangunan di hadapannya. Bangunan ini adalah tempat mereka berteduh dan melepas lelah. Ya, mereka tinggal di sana. Tepatnya di salah satu apartemen yang ada dalam bangunan berlantai 40 ini.

Pemuda paling tinggi di antara mereka menekan tombol lift. Tak lama kemudian pintu lift terbuka. Perlahan lift itu terisi dengan kehadiran keenam pemuda tadi. Kembali pemuda paling tinggi menekan salah satu tombol di sana. Dan lift itu siap membawa mereka menuju lantai 21, tempat dorm mereka berada.

Tak butuh waktu lama karena sekarang mereka telah sampai di lantai yang dituju dan bahkan telah berdiri di depan pintu dorm mereka. Pemuda lain yang memiliki kulit paling gelap terlihat menekan empat digit angka, menyebabkan pintu itu terbuka. Tanpa pikir panjang mereka memasuki dorm yang telah seharian ini mereka tinggalkan.

Dorm itu gelap saat pertama kali mereka masuk. Tapi setelah lampu menyala, mereka dapat melihat dengan jelas keberadaan sebuah sofa panjang di dalamnya yang menjadi primadona saat ini karena mereka berebut untuk duduk di sana. Tidak muat, tentu saja. Sofa itu tidak besar—tidak cukup besar untuk menampung enam orang sekaligus. Satu orang terakhir terpaksa untuk duduk di bawah—di manapun asalkan ia bisa menyandarkan punggungnya. Melihat itu, satu pemuda lain ikut duduk di sampingnya. Dan tanpa diminta, ia mulai memijat pundak hyung tertuanya itu.

“Harusnya kalian seperti Hongbin, bukannya menelantarkan hyung seperti ini,” protes sang hyung tertua pada seluruh dongsaengnya yang duduk nyaman di sofa empuk itu, berbeda dengannya dan Hongbin yang harus duduk di lantai.

“Kami lelah, hyung,” balas sebuah suara berat milik Wonsik.

Hakyeon menatap tajam mereka—keempat pemuda yang duduk di sofa. “Kalian pikir hyung tidak lelah?” protes lain keluar dari bibirnya. Kali ini dengan penuh penekanan sehingga membuat Hyuk, pemuda paling tinggi yang merupakan maknae mereka mengikuti jejak Hongbin, duduk di samping Hakyeon dan memijat tangannya. Ia tersenyum puas. Posisinya sebagai leader memang memungkinkannya untuk memerintah dongsaengnya. Apalagi tradisi di Korea yang sangat menghormati orang yang lebih tua—dia adalah yang paling tua. Namun di sisi lain, ada tanggungjawab besar yang dipikulnya. Ia harus menjaga dan mengawasi mereka agar tak ada tingkah dongsaengnya yang melewati batas atau melanggar aturan.

Aigo, Hyung. Kau pasti juga lelah,” suara berat Wonsik kembali terdengar. Sama seperti Hongbin dan Hyuk, ia juga memijat bahu Taekwoon, hyung tertua mereka setelah Hakyeon.

Keenam pemuda itu adalah Hakyeon, Taekwoon, Jaehwan, Wonsik, Hongbin, dan Hyuk. Mereka tergabung dalam grup VIXX dengan stage name masing-masing: N, Leo, Ken, Ravi, Hongbin, dan Hyuk. Tahun ini merupakan tahun kedua sejak mereka debut. Dengan konsep unik, mereka telah menarik perhatian publik dan memiliki fans setia yang selalu mendukung mereka. Namun ketenaran itu harus dibayar dengan jadwal padat yang harus mereka lalui. Seperti hari ini, mereka baru saja pulang setelah menghadiri konser di pulau Jeju. Banyak artis lain yang juga diundang, sebenarnya. Tapi tetap saja mereka harus ada di sana seharian penuh. Capek? Tentu saja. Bohong jika mereka baik-baik saja melalui semua jadwal padat itu. Bahkan mereka harus rutin mengonsumsi vitamin agar selalu nampak segar.

“Aku ingin cuti menjadi Ken,” celoteh Jaehwan asal. Karena ucapannya itu, ia kini menjadi pusat perhatian kelima orang yang lain.

“Kalau bukan menjadi Ken, kau mau menjadi apa, Hyung?” Wonsik menimpali.

“Hhmm...” Jaehwan terlihat sedang berpikir. “Graphic designer? Pelukis? Aku ingin mencoba salah satunya,” ujarnya yang memiliki hobi menggambar itu. Dan harus diakui, ia memang berbakat dalam bidang tersebut. Salah satu lukisannya pernah dipajang di sebuah pameran.

“Berhenti berkhayal, Ken-ah,” ujar Taekwoon yang duduk persis di samping Jaehwan.

“Aku ingin jadi dokter hewan,” kata Hongbin.

Hakyeon cukup terkejut mendengar penuturan pemuda yang sedari tadi berada di samping kanannya. “Dengan wajah itu, kau akan jadi dokter hewan yang sangat tampan, Bin-ah,” komentarnya yang mendapat kekehan kecil sebagai reaksi orang yang mendengarnya.

“Aku ingin berakting di drama.” Kali ini seseorang yang berada di samping kiri Hakyeon ikut-ikutan bicara. Tak ayal perkataannya itu kembali menimbulkan senyum di wajah hyungnya. Oh, siapa juga yang tak tahu kemampuan akting Hyuk yang biasa saja itu—atau bisa dibilang paling buruk di antara mereka berenam.

“Kau serius, Hyuk-ah?” tanya Hakyeon, ragu.

Hyuk mengangguk mantap. Ia memang terkenal ambisius, terutama jika melakukan hal yang belum pernah dicobanya. “Kalau kau, Hyung? Kau ingin jadi apa?” tanyanya kemudian pada Hakyeon.

Na? Penyanyi.”

“Selain itu, hyung.” Jaehwan ikut menimpali.

“Selain itu?” Hakyeon kembali berpikir. “Choreographer?” Ia tampak ragu-ragu mengatakannya.

Ne, itu cocok untukmu, Hyung,” komentar Wonsik, menimbulkan senyum puas di bibir Hakyeon.

“Bagaimana denganmu? Apa yang kau inginkan?” tanya Jaehwan.

“Tentu saja menjadi composer,” jawab sang rapper mantap. Ia sangat yakin dengan kemampuan barunya itu. Sudah lebih dari dua tahun ia belajar membuat lagu. Susah, memang. Tapi ia suka melakukannya. Baginya sangat menyenangkan.

Suasana hening sejenak. Jaehwan sudah mengatakan keinginannya. Hongbin juga sudah. Begitu pula dengan Hyuk, Hakyeon, dan Wonsik. Tersisa satu orang yang belum mengatakan apapun. Dan tatapan mereka berlima langsung tertuju pada orang itu.

Awalnya Taekwoon cuek. Namun lama-kelamaan ia merasa risih juga mendapat tatapan itu. “Tidak ada,” jawabnya singkat.

“Eiy... Jangan begitu, Hyung!” Protes mulai bermunculan.

“Katakan saja apa yang kauinginkan, Taekwoon-ah.”

Ne, Hyung. Kau bisa jadi composer seperti Ravi atau jadi pemain sepakbola. Kau suka sepakbola, bukan?” Kali ini suara Jaehwan yang terdengar.

Taekwoon berpikir. Ia menatap satu-persatu teman se-dormnya. “Sepakbola...” ujar Taekwoon, ragu. “Itu tidak buruk,” lanjutnya dengan suara serak khas miliknya.

Tiba-tiba Wonsik berdiri. Raut wajahnya terlihat antusias. “Baiklah, sudah diputuskan. N hyung akan jadi choreographer, Leo hyung pemain sepakbola, Ken hyung...” Ia berhenti sejenak. “Hyung ingin jadi apa tadi?” tanyanya pada Jaehwan.

Graphic designer.”

Ne, Ken hyung jadi graphic designer, Hongbin jadi dokter hewan, Hyuk akan berakting, dan aku adalah composer.” Ia melanjutkan ucapannya yang sempat terpotong. Wajah antusiasnya kemudian berubah menjadi wajah malas. “Kita tak akan bisa melakukannya, kecuali ada dunia khayalan, Hyung,” Ucapan itu ditujukannya pada Jaehwan yang memulai topik ini.

Cengiran lebar tercipta di wajah Jaehwan. “Mungkin saja ada keajaiban yang membawa kita ke dunia khayalan,” candanya.

“Ya, hyung!” teriak Wonsik, frustasi akan sikap Jaehwan yang aneh itu.

Samar-samar terdengar sebuah suara dari kejauhan. Suara itu adalah bunyi lonceng jam. Hakyeon yang mendengarnya kemudian menatap jam dinding di hadapannya. Ia mengerutkan dahinya tatkala dilihatnya jarum jam tidak menunjuk angka 12, tidak pula angka 1. Aneh, pikirnya. Ia lalu mengecek ponselnya. Jam di ponselnya menunjukkan tepat pukul setengah satu malam. Dan itu membuat kerutan di dahinya bertambah.

Taekwoon yang mendengar suara itupun mengikuti kegiatan Hakyeon. Namun saat ia menemukan keanehan yang sama seperti yang ditemukan Hakyeon, tatapan mata dua orang itu bertemu. Mereka seolah saling bertanya melalui tatapan mata itu. Sedangkan member lain tak ada yang menyadarinya karena terlalu sibuk beradu argumen. Hanya mereka berdua—Hakyeon dan Taekwoon yang menyadarinya. Atau mungkin hanya mereka yang mendengarnya. Entahlah. Yang pasti, satu hal yang tidak mereka sadari. Lonceng jam itu berdentang sebanyak tigabelas kali.

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
veetaminbee #1
Chapter 1: woowww
lanjut dehhh
ini pasti ada mystery nya daebakk!!
ditunggu kelanjutannya
vixx jjang :D
keyhobbs
#2
Chapter 1: jarum jam tidak menunjuk ke angka 12 ataupun 1??mungkinkah angka 13?? Mohon dilanjut authornim...:)