AYO KITA BERPISAH

AYO KITA BERPISAH

 “Ayo kita berpisah!”

 

Kau mengatakannya dengan datar. Kau masih menatap wajahku yang mungkin sekarang ini terlihat sangat bodoh saat mendengar kau berkata seperti itu. Untung aku tidak jadi meminum cappucinoku. Kalau tidak mungkin aku sudah mati tersedak.

Udara di dalam kafe semakin membuat tubuhku menggigil. Padahal biasanya walaupun musim hujan sekalipum aku tak akan merasa kedinginan di ruangan berAC seperti ini. Karena setiap obrolan yang kita lakukan rasa hangat menyeruak di sekeliling kita.

 

Aku masih menatapmu tak berkedip, meyakinkan apa yang aku dengar tadi hanya leluconmu yang garing seperti biasanya. Ayolah, kau tak pantas menjadi seorang pelawak. “Maaf, aku tak bisa tertawa untukmu.” Ucapku sambil tersenyum.

 

“Ayo kita berpisah.”

 

Lagi-lagi kau mengulanginya. Aku menekan gigiku keras, tangan ku benar-benar gatal ingin segera menamparmu. Semudah itukah kau mengatakannya?

 

Aku menyeruput cappucinoku perlahan, berharap ada aliran rasa hangat mengalir seiring cappucino yang mengaliri kerogkonganku. Agar hatiku tak ikut membeku dan kemudian pecah dengan mudah hingga berkeping-keping.

 

“Apa ini berarti kau sudah tak mencintaiku lagi?”

 

“Jangan bertanya hal itu padaku. Aku hanya ingin berpisah,. Berpisah, berpisah, berpisah, berpisah!” Kau masih mengatakannya dengan pandangan datar. Sepertinya sangat mudah kau mengatakannya. Mengapa? Mengapa kau begitu tak berperasaan?

 

“Kau pikir aku apa! Setenang itu kau mengatakan untuk berpisah kau anggap aku selama ini apa!” Tak ku pedulikan tatapan orang ke arah kita berdua. Aku ingin sekali menangis tapi kenapa air mata ini tak mau menetes?

 

“Jangan tanyakan lagi apapun. Aku sudah melakukan hal yang benar. Ayo berpisah,” ucapmu lagi.

 

Ayolah, air mata keluar! Setidaknya dengan menangis aku bisa terlihat menyedihkan sehingga namja menyebalkan di hadapanku ini tak jadi memutuu.

 

“Aku hanya ingin kita berpisah. Aku kan mencoba menjalani hidupku ditengah kesendirian. Maaf.”

 

“Kita Putus! Semua Berakhir!” Aku keluar kafe dan meninggalkanmu di sana. Aku tak akan pernah menenggok ke belakang karena kau tak mengejarku sedikitpun.  Kalau kau benar-benar ingin berakhir silahkan saja! Tapi jangan sampai kau mengemis memintaku kembali nantinya!

^^^^

 “Leo, menyebalkan~!”

 

Aku tersenyum sinis melihat foto kita berdua yang dengan bodohnya masih saja aku simpan! Aku benar-benar terlalu percaya diri! Jangankan mengemis memintaku kembali, bersedih pun kau tidak.

 

Kau malah bisa tersenyum sangat lebar dengan teman-temanmu, sedangkan aku menangisimu selama seminggu. Apa cintamu hanya sebuah permainan? Kau tau, kau sudah membuatku benar-benar jatuh cinta.

 

Buku note kecil berwarna biru langit ini sudah tak berbentuk. Masih untung aku tak merobek-robeknya atau  ku bakar. Kau tau apa isi di dalamnya? Akan aku beritahu, ini kisah kau dan aku. Dari awal kau menyatakan cinta sampai kau menyuruhku berhenti mencintaimu.

 

Kau satu-satunya namja yang beruntung masih aku ingat hingga kini. Walau sesakit apapun rasanya saat memori tentangmu aku putar. Padahal aku adalah tipe orang yang bisa dengan mudah melupakan dan membenci orang yang menyakitiku. Tapi untukmu aku tak tau mengapa ada pengecualian.

 

Tanggal 15 Januari adalah hari di mana kau menyatakan cintamu padaku. Menyatakan cinta pada yeoja yang tak menarik sama sekali. Walau kau mengatakan begitu tetap saja jantungku berdetak sangat cepat. Membuat darahku seketika berhenti dan tak bisa berbicara apapun. Hanya kepalaku yang bergerak naik turun, mengiyakan permintaanmu.

 

“Ayo kita berkencan!” setelah kau mengatakan perasaanmu kau menggenggam tanganku dan kita berdua berlari mengejar bus menuju bukit SHINe. Katamu di sana akan terlihat indah saat malam hari. Hari kau mengatakan cintamu sekaligus hari kencan pertama kita. Begitu manis bukan?

 

Entah apa yang membuatku begitu mencintaimu. Seorang namja yang cenderung dingin juga cuek. Alasan yang aku tau adalah saat kau memperlihatkan rasa peduli dan cintamu kau terlihat sangat tulus dan rasa itu hanya tertuju untukku.

 

Sifatmu yang dingin pun perlahan mencair seiring hubungan kita yang berjalan semakin lama. Kau sudah bisa menciptakan lelucon walaupun aku berusaha tertawa untuk menyenangkanmu tapi aku tetap saja menyukainya. Kau terlihat sangat tampan setiap harinya.

 

Tanggal 15 kau meyatakan cintamu, tanggal 15 pula kau memutuu. Tepat di tahun kedua hubungan kita. Lagi-lagi aku tak bisa membenci tanggal 15. Tanggal dimana kebahagiaan ku dapat sekaligus rasa perih dan kehancuran pada akhirnya. Aku masih saja tak bisa menghapusmu. Folder berisi kau tetap tersimpan utuh dalam dokumen otakku.

 

“Aku dengar Oppamu akan segera pergi wamil? Wah, kau pasti sedih.”

 

“Ya, aku sangat khawatir. Ditambah keadaan perbatasan kita sedang bergejolak. Aku dengar banyak yang tak bisa kembali.”

 

Terdengar yeoja yang Oppanya akan wamil itu menangis sedangkan temannya menjadi repot untuk menghentikan tangisannya. Aku hanya melirik mereka dari sudut mataku. “Wamil? Bukankah Leo juga akan wamil bulan ini?”

 

Keadaan negara memang sedang terdesak. Banyak membutuhkan tenaga-tenaga baru untuk membela negara. Dan tahun ini Leo akan menjalankan kewajiban wamilnya. Bagaimana keadaannya setelah dua tahun ini kita berpisah? Apa semua yang dia butuhkan sudah siap? Aku memukul kepalaku, “Bodoh! Yeojachingunya yang baru pasti sudah membantunya menyiapkan semuanya.”

 

Yeoja cantik yang aku lihat sedang berbelanja bersamanya dua tahun lalu itu pasti yeojachingunya. Dia memutuu pasti karena yeoja itu. Hatiku kembali sakit, kenapa sudah dua tahun masih terasa perih?

^^^^

 

 “Kau tak akan datang ke lapangan Hans? Kau tak mau menyampaikan selamat jalan untuk Leo?”

 

“Tidak, malas!” Aku tetap terpaku pada novel ketiga yang aku baca hari ini. Padahal sebenarnya aku tak fokus sama sekali pada apa yang aku baca.

 

“Atau setidaknya kita datang ke sana untuk memberi semangat pada pemuda-pemuda yang akan membela negara?” Rin sahabatku kembali memaksaku untuk pergi. Aku tak menggubrisnya sama sekali. Mungkin karena lelah memaksaku dia pun berhenti memaksaku, membuka pintu dan pergi sendiran ke lapangan Hans.

 

Sudah tiga jam berlalu tapi Rin belum juga pulang. Apa acaranya begitu lama? Aku yang mondar-mandir segera duduk dengan santai di sofa sambil membaca bukuku saat tau Rin akhirnya pulang. Memasang wajah setenang mungkin. Semoga wajah cemasku tak begitu terlihat.

 

Rin duduk di sampingku sambil matanya menatap ke langit-langit. “Aku bertemu Leo tadi, dia terlihat lebih kuus.” Rin berbicara sambil matanya tetap menatap langit-langit.

 

“Yeojachingunya tak mengurusnya dengan baik.” Aku membalikkan halaman bukuku, tak peduli.

 

“Foto yeoja di ponselmu yang kau bilang bersama Leo waktu itu adalah adik sepupunya. Dia yang akan menempati rumah Leo selama Leo wamil.

 

Aku masih memasang wajah tak tertarik. Bukan yeojachingunya? Tapi mereka terlihat sangat mesra waktu itu. “Leo menitipkan sesuatu untukmu.” Rin memberikan sebuah surat berwarna peach padaku. “Aku harap kau mau membacanya. Jangan sampai kau menyesal.” Rin lalu pergi ke kamarya.

 

Aku menatap surat berwarna peach di tanganku ini. Menebak apa yang tertulis di sana. Lebih baik aku membacanya di kamar saja. Aku berbaring di tempat tidurku dan membuka amplop itu perlahan. Rasa cemas itu kembali menghantui. Aku takut ini adalah surat perpisahan yang benar-benar terakhir kalinya. Aku menghela nafas panjang, mengabaikan pikiran-pikiran buruk yang hadir di otakku.

 

Seoul, 23 Maret 2011

 

“Ayo kita berpisah.”

 

Kata bodoh yang aku ucapkan padamu dua tahun lalu. Bagaimana rasanya? Menyakitkan? Tentu saja! Aku bisa melihat dengan jelas wajah terkejutmu waktu itu, kau pasti befkikir aku bercanda. Tapi sayang aku sangat serius, bagiku itu keputusan tepat.

 

“Jangan bertemu lagi,” ingin sekali aku mengatkan itu padamu, tapi kau sepertinya sudah mengerti semuanya. Kau menyetujui perpisahan kita lalu pergi, tanpa menangis.

 

Kau tau mengapa saat itu aku tak mengejarmu? Aku tak mau mengejarmu karena aku takut aku akan menarik kata-kataku sendiri. Kemudian memohon padamu untuk kembali, aku tak mau itu terjadi. Karena bagaimanapun kita harus berpisah.

 

Aku akan mencoba melupakanmu. Menguatkan hatiku bahwa aku bisa melakukannya. Menjalani hidupku sendirian. Tak apa kau menganggapku kejam dan membenciku. Itu lebih baik. Dengan begitu kau akan menjalani hidupmu dengan tegar. Walaupun aku harus membohingi diriku sendiri. Kenyataannya  ini begitu sulit.

 

Ayo kita berpisah, aku sudah memikirkan matang-matang keputusan itu. Lebih baik aku melakukannya dengan cepat. Dari pada aku mengatakannya hari ini. Saat aku pergi wamil yang aku sendiripun tak tau akan kembali atau tidak.

 

Lebih baik kau bersedih dua tahun lalu. Karena bila aku pergi sekarang kau tak akan lagi menangis karena kehilanganku. Kau sudah terbiasa dengan ketiadaanku. Itu akan terasa lebih baik untukmu.

 

Hingga kau tak harus menangisd an kehilangan semuanya saat aku benar-benar tak kembali. Sebelum perasaanmu jatuh terlalu dalam. Lebih baik mengakhirinya sebelum semuanya jauh lebih terikat. Itu alasanku meminta berpisah dua tahun lalu.Tapi semakin aku mencoba melupakanmu semakin aku menyadarinya. Ini tak seperti itu, tak semudah yang aku pikir sebelumnya.

 

Aku masih mencintaimu, sangat mencintaimu. Aku akan pergi hari ini. Betapa berat melangkahkan kakiku untuk benar-benar pergi. Rasa takut itu kembali datang, aku takut aku tak bisa lagi melihatmu. Walaupun hanya bisa melihatmu dari jauh seperti biasanya.

 

Aku tau surat ini tak berarti apa-apa lagi untukmu. Hanya saja aku ingin mengungkapkan semuanya. Agar hatiku bisa tenang untuk menerima apapun takdirku pada akhirnya.

 

“Selamat tinggal, semoga kita bisa bertemu lagi.” Kata itu yang ingin aku ucapkan padamu secara langsung. Tapi aku tau mana mau kau  menemuiku lagi. Tak apa, aku mengerti.

 

Baiklah, aku harus pergi sekarang. Terima kasih kau mau membaca suratku ini. Maaf atas kesakitan yang aku ciptakan untukmu. Dan berjanjilah untuk kuat dan carilah namja lain yang baik dan tak pernah menyakitimu seperti diriku. Aku mencitaimu selamanya. Kita harus berpisah sekarang. Annyeong.

 

Dari namja yang menyakitimu, Leo.

 

Seketika aku terduduk di lantai, membenamkan wajahku di kedua lututku. Benar-benar menyebalkan. Bodoh! Minta berpisah hanya karena alasan seperti itu? Asal kau berjanji padaku untuk kembali, aku akan menunggu sampai kapanpun. Tak usah mengucapkan kata perpisahan bodoh agar aku tegar nantinya. Bodoh! Bodoh! Bodoh!

 

“Tuhan, aku mohon lindungi dia. Selamatkan dia sampai dia pulang kembali ke sini. kembali ke sisiku lagi,” pintaku sambil menangis.

 

THE END

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
tathaa
#1
Chapter 1: dang my two biases /nangis tersedu-sedu/