Untukmu

Description

Bagi kalian yang bingung dan protes; ini fanfic? Masa fanfic kayak gini, sih.

Sebenarnya, ini hanyalah catatan kecil—atau, cacatan kecil? /halah/—dari perang batin yang sedang berkecamuk selama beberapa minggu ini. Sekaligus Teaser/Trailer/apapun itu namanya DARI sequel cerita ‘Milikmu’ yang waktu itu awak buat. (Enggak tau enakan nyebutnya sekuel atau side story. Suka-suka pembaca aja deh. Gue cuma numpang curhat doang sih.)

Tapi, intinya, sebenernya gue emang udah kepikiran buat bikin cerita khusus Andi. TAPI ceritanya belom ada. Cuma baru ada tokohnya doang; dan jadilah Andi terperangkap di pikiran ‘tersuci’ gue. Dimana dia tidak tersentuh rumus matematika, atau hafalan sejarah, atau rumus geografi, atau Per-Undang-Undangan Indonesia; yaitu ruang imajinasi kreatifitas gue. Tapi akibatnya, ya jadi gini.

Foreword

[ Izinkan aku mengatakan, ‘ini untukmu’. ]

[ Ini untukmu; ]

[ Untukmu yang pada hari yang menyenangkan itu—
dimana aku kehilangan data cerita “Pizza Men” karena
Virus dari Warnet—duduk membelakangi pintu,
membelakangiku, di atas tempat tidur besar,  di
kamar berwarna putih menyeluruh dan mewah
bagaikan sebuah kamar Istana, yang hanya di
hiasi warna hijau dari daun-daun dan tangkai
bunga mawar yang kelopaknya terlalu putih
menyilaukan untuk bisa ku dekati. Juga, warna
lain yang ada, berasal dari warna rambut hitammu
 yang agak lebat, Sweater biru muda berukuran
besar yang melekat di tubuhmu yang kekar, serta perabotan-
perabotan dari kayu yang warnanya cokelat gelap
seperti warna hutan yang galak. ]

[ Ruangan ini mengingatkanku pada susu,
dengan taburan cokelat dan daun mint kecil-kecil. ]

[ Kepalamu menunduk; tapi aku tahu kalau kau pasti menyadari kehadiranku—dari suara pintu yang ku tutup di belakangku, dari suara langkah kaki ku yang bahkan aku sendiri pun tidak terlalu mendengarnya, dari gerakan kecil yang kau buat setelah tubuhmu menegang sepersekian detik, karena mungkin kau kaget dengan kehadiranku. Terutama, dari kata-kata sambutanmu, untukku; “Halo, bocah.” ]

[ “Halo,” Jawabku dengan nada akrab bertema kekeluargaan yang sama. ]

[ Di sini tidak ada cermin. Jadi, sayang sekali kau harus melihatku dengan penampilan berantakan, karena aku tidak sempat berbenah diri untukmu.
Dan aku masih bau kecut Sekolahan.
Lagipula, dimana ini? ]

[ Setelah beberapa langkah aku mendekatimu, barulah aku sadar bahwa sedari tadi ternyata kau sedang asyik membaca sebuah buku. Buku cerita tipis bergambar yang terlihat kanak-kanak, yang aku bahkan tidak tahu milik siapa itu, atau, darimana kau mendapatkannya. Namun, aku memperhatikan bahwa sampul depannya (atau belakang kah, itu?) berwarna biru angkatan laut alias Navi Blue—atau apalah namanya itu… ]

[Tapi, oh, astaga. Baru lah aku sadar itu buku apa dan milik
siapa, setelah kau menoleh ke arahku seraya tersenyum sekilas dan memperlihatkan keseluruhan sampulnya yang memampangkan
sebuah judul bertuliskan dengan tinta perak; ]

[ “RISE OF THE GUARDIANS” ]

[ Dengan tambahan, gambar sesosok anak laki-laki berambut putih, memegang tongkat, berdiri menghadap bulan perak yang besar di atasnya; Sang tokoh utama. Jack Frost. ]

[ “Lo masih suka sama dia?” tanyamu, seolah
memergokiku melakukan tindakan konyol nan kocak. Dan aku hanya
dapat tersenyum, mengangguk sekaligus mengangkat bahu. Ku lihat
kau juga ikut tersenyum, dan kau letakkan buku itu ke lantai. ]

[ “Kalau, dia?” setelah jeda beberapa detik terdiam, tanganmu terulur
dan menunjuk sebuah topeng hitam kecokelatan dengan beberapa
warna merah; Topeng milik Hiccup, pada film
sequel How To Train Your Dragons. ]

[ Sekali lagi, aku mengangguk dan mengangkat bahu bersamaan. ]

[ “Aneh,” gumammu. “Kalau gitu, kenapa ‘mereka’—kau menunjuk buku tadi, juga topeng Hiccup dengan gedikan dagumu—enggak ada di ‘sini’?” Matamu berjelajah ke sekeliling ruang kamar yang kita tempati berdua. Aku mengikuti gerakan matamu, dan barulah aku sadar kalau ruangan kamar ini mungkin luasnya hanya sekitar 4x5 meter persegi. ]

[ “Mereka pernah ada,” jawabku refleks. ]

[ “Tapi lo bebasin?” ]

[ Aku terbengong mendengar pertanyaan itu. Tapi, seolah tidak terjadi apa-apa—atau, tidak pernah berkata apa-apa—kau terkekeh dan memalingkan wajah ke jendela yang ada di hadapanmu. Jendela itu bercahaya putih. Aku tidak bisa melihat apa yang ada di luar sana. ]

[ “Oh, ya…” sekali lagi, kau bergumam. Pandanganmu tetap terlihat fokus lurus ke depan—entah apa yang kau lihat sekarang di jendela yang putih bercahaya menyilaukan itu—dan aku tetap berdiam diri, menunggumu melanjutkan. ]

[ “Konsep lo terlalu berlebihan—bulan-bulan, matahari, dan sejenisnya itu. Ini gue lagi ngomongin tentang cerita fiksi yang lo buat, tentang adek gue…
dan… apa, tuh, namanya?—eh, judulnya, maksud gue.” ]

[ ‘Ooooh.’ Sahutku dalam hati. Setelah berhasil mencerna apa
maksud perkataan dan pertanyaanmu barusan. Jadi, dengan setengah tertawa, aku menjawab; ]

[ “ ‘Milikmu’? ” ]

[ Kau ikut tertawa dan mengangguk membalasku. “Nah, iya. Itu. Haduh, itu fiksi ada lagu-lagu lenjehnya segala. Lagipula, siapa, coba, si Vincent itu—” ]

[ “Itu lagu enggak lenjeh-lenjeh amat, kok. Enak, lagi. Coba aja dengerin sendiri.” Potongku dengan nada riang, tapi sebenarnya tidak terima dengan protes sepele itu. ]

[ “Tapi intinya—kau menghela napas lelah—yah… jangan bikin fiksi tentang adek gue doang, dong. Kan, enggak adil.” Kau berbicara seperti seorang anak kecil. Padahal, coba ingat-ingat, memang umurmu berapa? ]

[ Aneh sekali. Entah kenapa, aku malah bangkit dan mulai melangkah meninggalkanmu. Keluar. Padahal aku tidak merasa sakit hati mendengar celotehanmu yang bahkan tidak ada unsur merendahkan sama sekali, sedari tadi itu. Tapi, aku benar-benar berjalan keluar meninggalkanmu, dan ruang cantik serba putih yang bernotabene sebagai ‘sangkar’-mu selama ini itu. Dan aku bahkan tidak menggubris suaramu memanggil-manggil namaku dengan nada kebingungan dan penuh harap, yang bahkan, tidak pernah sanggup aku membayangkannya. Karena, ngeri. Kau membuatku ingin tenggelam saja. ]

[ Tapi, ternyata, kesibukan sudah lebih dulu menenggelamkanku…]

[…sehingga, ketika aku kembali lagi ke dalam kamar mewah itu, kau sudah berubah. Perlahan-lahan namun pasti. Bahkan, lebih cepat dari waktu-waktu sibukku sendiri. ]

[ Kau terus berkata lirih, “Bebasin gue.”
Tapi, suara lain—dari dalam benakku—berkata, meminta maaf, kalau sekarang bukanlah saat yang tepat. Aku belum bisa melakukannya. Maafkan aku. ]

[ “Kapan gue bisa keluar dari sini?” tanyamu, pada suatu pagi ketika aku sedang frustrasi membalas pesan-pesan dari teman-temanku. ]

[ “Disini ngebosenin.” Ujarmu seraya memandang keluar jendela, pada suatu sore, ketika aku tengah menangis frustasi karena lelah mengemis waktu. ]

 [ “Mereka siapa?” tanyamu kepada dua sosok baru yang aku bawakan untuk menemanimu; sebatang pohon meliuk-liuk dengan wajah menyenangkan, dan seekor Rakun mungil. ]

[ “Temen-temen baru. Biar lo enggak kesepian…” jawabku. Ragu. Namun, sebelum sempat aku mendengarmu mengeluh atau protes lagi, aku sudah menutup pintu. Kembali lagi ke kesibukanku. ]

 [ Hingga akhirnya, pada suatu malam, di hari ke…entahlah, sudah hari ke berapa sejak pertemuan pertama kita. Aku baru saja selesai mengobati dan membaluti perban ke luka yang ada di batinku. Menimbang-nimbang sekaligus mengingat, apakah besok masih ada janji atau apalah yang akan membuatku menghambur-hamburkan waktu yang sudah susah payah—dan kualahan—aku cari, di sela-sela sempit kesibukannku. Mengumpulkannya menjadi satu, agar bisa di tukar dengan kabulan doa yang selama ini aku tempa dengan kesabaran ekstra. ]

[ Aku sibuk. Dan kau punya banyak waktu. ]

[ Aku sibuk, tapi juga bebas melakukan apapun
sekaligus terkekang.
dan kau punya banyak waktu, tapi kesepian
dengan penuh harap. ]

[ Aku sibuk. Aku SI-BUK! ]

[ Aku merentangkan kedua tanganku ke samping, dan memasang ekspresi menantang di wajah, memberitahukan bahwa; ‘Hoy, lihat nih. Gue masih pakai seragam sekolah. Itu artinya apa, hayo?’ ]

[ “Keluarin gue dari sini.” lirihmu. ]

[ Ekspresi menantangku langsung lenyap seketika, berganti dengan naiknya kedua alis karena baru sadar sesuatu; Oh, iya. Mungkin, sekarang waktunya sudah cukup untuk meladenimu. ]

[ “Gue mau keluar dari sini.” Ulangmu—yang kali ini, penuh penekanan. Tapi ekspresimu masih sama lembutnya seperti saat pertama kau menyapaku. ]

[ “Baik,” balasku. Entah kenapa suaraku penuh getir, padahal tidak ada niatan sama sekali untuk melakukannya (walau, yah, aku memang sedang kelelahan sepertinya).
“Gue akan ngeluarin lo dari sini, karena gue paham maksud lo. Sumpah. Tapi pertanyaannya sekarang adalah, setelah keluar dari sini, elo mau ngapain?” ]

[ “Mau nyontek.” Jawabmu sekenanya—yang entah kenapa, dan anehnya, aura yang kau berikan di dalam luncuran kata-kata itu, adalah aura keseriusan. Jadi, aku menanggapinya dengan keseriusan yang sama juga; ]

[ “Oke. Nyonteknya gimana?” Tanyaku. ]

[ “Gimana aja. Gue punya lima sohib yang bisa gue jadiin sekongkol.” ]

[ “Oke. Terus, kalo misi ‘Nyontek’ udah terpenuhi, mau ngapain lagi?” ]

[ Kali ini, kau terdiam. Tengah menimbang-
nimbang sesuatu di dalam pikiranmu. ]

[ “ ‘Milikmu’ banyak typo-nya, yah.” Lirihmu tiba-tiba. Aih, kok, malah mengalihkan pembicaraan begini, sih. Apa pula maksudnya itu!? ]

[ “Oi, kampret.” Tegurku. Membuatmu jadi tersenyum
lebar dan terkekeh-kekeh menyebalkan. ]

[ “Habis nyontek, liat aja kedepannya nanti. Seenggaknya, izinin
gue keluar dulu walau cuma sebentar, buat ngeliat dunia yang
selama ini elo telen bullet-bulet setiap hari dan setiap waktu, bocah.
Dengan baju tempur semenyedihkan itu.”  Ujarmu ringan. Dan walaupun
kau baru saja menghina seragam sekolah yang masih kukenakan ini,
aku tidak bisa lebih setuju lagi dari apa yang kau katakan itu. ]

[ “Oke,” balasku dengan dengusan tawa halus.
Kau berjalan melewatiku dengan masih tersenyum
senang, dan aku mengikutimu, menggiringmu ke pintu,
yang kau buka lagi setelah sampai di bibirnya.
Namun, kau tidak langsung pergi begitu saja. Melainkan,
kau memutar badan ke arahku yang langsung mundur satu
langkah dengan sedikit gamang karena gerakanmu yang tiba-
tiba itu. Matamu memandang sekali lagi memandang
ke sekeliling kamar.
Berbinar. ]

[ “Lo belom cerita ke gue tentang ‘mereka yang pernah ada di sini’ itu.” ujarmu akhirnya, di selingi dengan tawa renyah seperti sedang menggodaku. ]

[ “Mereka emang pernah ada, kok. Tapi bukan di sini—bukan di kamar ini, lebih tepatnya.” Jawabku seraya ikut mengamati ruang kamar serba putih yang sedari tadi menjadi saksi bisu pembicaraan kami; ]

[ “Loh, emang ada ruangan yang lain? Dimana? Terus… Mereka kemana?” lanjutmu beruntun, seolah waktunya sudah mepet. Terburu-buru.
Seperti aku dulu. ]

[ “Enggak semua cerita terselesaikan sampe bener-bener selesai, Om.” Jawabku polos. Dan jangan tanya aku, karena aku pun juga tidak mengerti apa maksudnya. ]

[ “Kalo gitu, bikin yang punya gue juga kayak gitu—bener-bener pake konsep itu, maksud gue. Ngerti, kan?” ]

[ “Tentu. Bisa di coba, kok.” ]

[ “Dan… oh, ya… maaf, selama ini gue ngebebanin elo.” ]

[ “Bukan masalah besar.” ]

[ “Maaf kalo gue… enggak bisa ngomong bagus-bagus buat ngehibur lo waktu lo lagi terpuruk-terpuruknya.” ]

[ “Kan kita emang kepisah. Mau ngehibur gue kayak gimana juga, coba? Yang ada lo malah nambah gue jadi galau…” aku nyengir.

[ “Eh, serius? Loh… kok… kok gitu?” kau tergagap menatapku. Sehingga aku pun akhirnya tersadar, bahwa wajahmu kini sudah terlihat segar kembali, seperti saat pertama kali aku mengenalmu.
Tidak lagi terlihat tertekan, dan kesepian. ]

[ “Lo mau nanya-nanya aja, atau nyari tau jawabannya sendiri?” balasku. Setengah geli, setengah terpukau dengan ketampananmu yang selama ini muncul-redup di tiap mataku memandang. Tiap waktu luangku. Dan tiap waktuku mengingat adikmu yang malang. ]

[ Ku lihat kau tersenyum, dan mulai melangkah keluar pintu. Tapi langkahmu terlihat berat, penuh keraguan, penuh keantisipasian, penuh rasa asing, sekaligus penuh dengan aura semangat dan rasa keingintahuan. Jadi, kau limbung sedikit ke depan, membuat kakimu kembali berpijak kokoh di tanah.
Berhenti—
atau terhenti?—dan menghadapku, lagi. ]

[ “Oh, iya, kebetulan…” ucapku, menyuarakan isi pikiranku. Kau mengangkat kedua alismu, seperti seorang anak kecil yang tertarik. ]

[ “Kira-kira, lo ada niatan untuk balik lagi ke sini, enggak?” Nada bicaraku nyaris seperti bisikkan. Aku merasa tidak rela sendiri jadinya. ]

[ Kau mendengus keras, seperti meremehkan, dan tertawa dengan hitungan satu-dua ketuk saja. “Balik ke sini? Ke kamar ini? Lagi?” tanyamu. Kali ini, benar-benar dengan gelagat meremehkan. Tertawa yang di buat-buat seperti tokoh jahat yang merasa sudah menang. Sudah jaya. Padahal, belum tentu. ]

[ “Mungkin iya,” jawabmu akhirnya. Kalem. Yang tentu saja langsung di sambut gelengan kepala dan face-palm dariku yang terkekeh-kekeh geli karena tingkah laki-laki berumur dua puluh tahunan di hadapanku ini; dirimu. ]

[ “Kembalilah kapanpun,” ujarku dengan anggukan mantap. “Karena dunia ini, dengan dunia luar tidak terlalu jauh berbeda. Seperti ‘logika akan membawamu dari titik A ke titik B, Tapi Imajinasi bisa membawamu kemana saja yang kau mau’. Sesederhana itu saja. Sesederhana aku mengucapkannya, walau sebenarnya sekompleks perasaan manusia.” ]

[ Kau berdecak-decak, entah kagum beneran atau hanya sebagai upaya sopan santun kepada ‘bocah’-mu ini.
“Sok pinter lu.” Balasmu akhirnya dengan cengiran lebar. Tapi cengiran itu tidak bisa menghentikan layangan pukulan ringan dariku, yang mendarat dengan empuknya di lenganmu yang berotot. Dan kau hanya menjadisemakin cengengesan saja setelah aku melakukannya. ]

[ “Jangan ada typo, ya.” pintamu. ]

[ “Enggak akan mungkin bisa.” Ketusku.
Mulai jengkel dengan topik pasaran itu. ]

[ “Jangan ada lagu lenjeh-lenjeh juga…” tambahmu. ]

[ Pikiranku langsung melayang entah kemana, dan sayup-sayup mulai terdengar suara musik lagu ‘Sky full of Stars’, dan aku mengangguk.
Berharap dia tidak menyadari lagu itu sedari tadi menemani pembicaraan ini. Tapi, ku lihat kau juga ikut mengangguk. Jadi… yah… ]

[ “Ada lagi?” tanyaku. ]

[ Kau kembali menimbang-nimbang dalam pikiranmu. Serta ber-eehh-hmm-an ria. Tapi, pada akhirnya, kau menggerakkan kepala, menggeleng pelan dan tersenyum; ]

[ “Enggak. Simpen aja dulu buat entar kapan-kapan gue
balik lagi ke sini…Tapi… eehh, tapi tunggu… jangan di sini, deh 
Jangan di kamar ini. Ngebosenin. Enggak Seru. Enggak ada apa-apanya.” ]

[ “Iya, udah, bawel. Ngerti gue. Yaudah sana pergi, buruan. Hus. Hus.” ]

Aku mendorongnya keluar,
Lalu, menutup pintu. Tersenyum ke entah pada siapa.
Dan kalau senyuman punya jenis rasa masing-masing,
maka senyumanku yang kali ini adalah senyuman
pahit, yang mampu mengaitkan kail-kail ke seluruh organ yang
ada di dalam tubuh, dan di tarik keluar semuanya sekaligus.

Membuatmu mabuk karena terombang-ambing dalam lautan perasaan kehilangan. Sekaligus lega, karena satu beban akhirnya terangkat juga.

Setelah itu, tidak ada lagi kamar mini-mewah serba putih itu.
Tidak ada pula dirinya di hadapanku,
maupun di sekitarku.

Tapi, yang menghantuiku sekarang adalah, kata-katamu;

Jangan ada typo, ya. ”

Kampret.
Jangan
mengingatkan
aku
untuk
menyundut
ujung rokok
yang
menyala
ke
diriku
sendiri
begitu, dong.

.

.

.

.

.

[ Jadi, Izinkan aku mengatakan, ‘ini untukmu’. ]

[ Ini untukmu; ]

[ Untukmu; yang pernah ada, serta menjadi sebuah Asset berharga bagiku. ]

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet