Final

Janji

Pagi itu matahari sudah bersinar dengan teriknya, walaupun jam masih menunjukkan pukul delapan. Chanyeol menghela napas panjang seraya memakai kacamata hitamnya. Entah mengapa hari itu ia ingin berjalan saja ke kantornya; yang terletak tak sampai 500 meter dari apartemennya yang mewah.

Dengan langkah panjang, ia mulai berjalan. Terkadang ia tersenyum kepada anak kecil yang melintas, terkadang ia menyapa orang-orang tua yang sedang berjemur di depan rumah, terkadang anak-anak remaja mendatanginya dan meminta tanda tangannya. Sudah biasa. Setiap hari yang dilaluinya memang seperti itu.

Ia mengira Sabtu itu akan menjadi Sabtu yang sama dengan Sabtu-Sabtu di minggu sebelumnya, tetapi ia salah.

Saat ia tiba di depan bangunan kantornya, seorang lelaki yang terlihat seperti anak SMA mendatanginya. Awalnya ia kira anak itu hanyalah salah seorang penggemarnya, namun tatapan anak itu menyangkal pikiran itu.

“Park Chanyeol?” Anak itu bertanya, suaranya terdengar merdu walaupun tanpa emosi.

“Iya. Ada yang bisa kubantu?” Chanyeol bertanya lengkap dengan senyum lebarnya. Anak itu menyodorkan sebuah surat yang cukup tebal. “Apa ini?” Tanya Chanyeol.

“Sebuah surat,” jawab anak itu sambil memutar bola matanya. “Kau mau terima atau tidak?” Ia bertanya dengan ketus saat Chanyeol hanya menatapnya dengan heran. Perlahan, Chanyeol mengambil surat itu dari tangan si anak.

“Hei, tunggu!” Panggil Chanyeol saat anak itu berbalik pergi. “Surat ini tidak ada alamat ataupun nama pengirimnya. Apakah kau yang menulisnya?”

“Bukan,” jawab anak itu, masih dengan tampang bosan. “Yang pasti itu bukan dari penggemarmu. Terserah kau mau baca atau apa, tapi kurasa kau tidak akan menyesal membukanya. Surat itu dari orang yang kau kenal—atau orang yang dulu pernah kau kenal.”

Lalu anak itu pergi. Dalam sekejap ia menghilang di antara kerumunan orang, meninggalkan Chanyeol berdiri dengan bingung.

 

Chanyeol sudah melupakan kejadian tadi pagi saat ia melangkah keluar dari kantornya pukul setengah dua. Ia teringat saat hendak mengambil dompet yang berada di kantong celananya dan merasakan surat itu terlipat di dalam.

‘Dari siapa, ya?’ Ia bertanya dalam hati. Ia kembali ke kantornya dan mengunci pintu sebelum duduk dan membuka surat itu. Ada banyak lembar kertas di dalamnya.

Kertas-kertas dengan tulisan familiar milik seseorang yang sudah dilupakan.


Jumat, 3 Mei

 

Kepada Yth.
Park Chanyeol
CEO PCY Ent.
Di tempat.

 

Apakah kau mengingatku?

 

Aneh memang memulai sebuah surat dengan pertanyaan seperti itu, namun aku merasa tidak perlu menanyakan kabarmu berhubung segala hal tentangmu dengan mudah bisa kudapat dari internet. Tapi serius, Chanyeol, apakah kau mengingatku?

Aku menulis surat ini bukan karena aku mau memamerkan pada semua orang kalau aku mengenal CEO sekaligus pemilik PCY Ent., tidak. Aku menulis karena aku ingin menepati janjiku, yang secara kebetulan juga janjimu. Apakah kau mengingat janji itu? Atau kau sudah melupakannya seperti kau melupakan diriku? Yah, akan kuberikan kau waktu untuk mengingatnya selagi aku memberi tahumu tentang hidupku. Tanpamu. Selama lima belas tahun terakhir ini. Karena tidak sepertimu, tidak banyak informasi mengenai diriku di internet.

Ada sesuatu yang aneh terjadi semalam, pada hari Kamis. Aku memimpikan tentang kita. Mungkin mimpiku muncul sebagai pengingat kalau aku memiliki janji kepadamu. Tidak perlu sebenarnya, karena aku selalu ingat. Balik ke mimpiku, aku memimpikan pohon kecil di rumah nenekmu dimana kita selalu berbaring di bawahnya, menceritakan tentang rahasia-rahasia kita dan mimpi-mimpi kita. Aku penasaran apa kabar pohon itu sekarang. Terakhir kali aku melihatnya adalah saat pemakaman nenekmu tujuh belas tahun yang lalu. Apa kau tahu kabar pohon itu sekarang?

Di mimpiku, kita berdua berdiri di bawah daun kemerahan pohon itu. Hanya ada aku dan kau, seperti dahulu. Kita tidak berbicara, hanya saling melihat. Sebenarnya aku yang melihatmu, sedangkan kau melihat langit. Lucu bagaimana kita bahkan tidak memiliki kesempatan untuk berbicara di alam mimpi. Padahal aku selalu membayangkan berbicara denganmu.

Setelah mimpi itu aku terbangun dan yang pertama kulakukan adalah mengambil sepucuk kertas dan mulai menuliskan surat ini untukmu. Jam setengah dua belas malam. Awalnya aku hanya ingin langsung menuliskan janji kita, tetapi Luhan mengatakan padaku kalau kau akan senang mendapatkan surat yang lebih panjang, karena itu akan menceritakan hari-hariku yang berlalu tanpamu selama lima belas tahun belakangan ini.

Apakah kau ingat bagaimana kita bisa terpisah? Aku ingat. Karena kuliah. Padahal kita satu universitas dan fakultas kita bersebelahan.

Ingatkah kau akan janjimu kepadaku kalau kau tidak akan meninggalkanku demi teman-teman barumu di universitas? Yah, seperti yang kita berdua ketahui sekarang janji itu teringkari. Bersamaan dengan ratusan janji lainnya yang pernah kau bisikkan di telingaku dengan suaramu yang memanjakan telinga. Karena itulah aku berharap kau tidak akan mengingkari janjimu yang satu ini. Sudah ingat? Belum? Kalau begitu aku akan lanjut.

 

Ah, aku baru teringat akan satu hal yang sudah setengah mati ingin kusampaikan padamu. Aku merindukanmu. Jangan kau tanya seberapa parah, pokoknya aku sangat merindukanmu. Walaupun aku melihatmu setiap hari di layar televisi dan membaca artikel tentangmu setiap saat di media, aku tetap merindukanmu.

Sial, padahal aku ingin menuliskan surat ini berdasarkan urutan tanggal kejadian, tapi aku terus menerus menulis tentang hal-hal secara random. Aku memang tidak pernah bisa fokus, kau tahu itu, jadi jangan kaget kalau aku berpindah dari topik yang satu ke topik yang lainnya.

 

Apa lagi, ya? Sumpah, dua puluh menit yang lalu saat aku mengambil kertas aku sudah memikirkan kata demi kata yang akan kutuliskan untukmu, namun aku sudah melupakannya sekarang.

Apa yang sedang kau lakukan saat membaca surat ini? Apakah kau yang sedang membaca surat ini atau orang lain? Dari yang kudengar sekarang kau sudah seperti artis ternama; surat-surat dari penggemarmu tidak pernah sampai kepadamu, melainkan di buang oleh manajermu yang kemudian membalas surat-surat itu dengan gambar wajahmu dan sepucuk surat yang mengatakan kalau kau terlalu sibuk untuk membalas tetapi kau menghargai surat yang kau terima. Yah, kau atau bukan, aku akan tetap melanjutkan surat ini.

 

Sudah pukul setengah tiga dan yang kutuliskan baru omong kosong tidak penting. Sepertinya surat ini tidak akan selesai tepat waktu. Yah, kalau waktunya tidak sempat aku akan langsung memberitahumu janji kita.

Tempat tinggalku sekarang sangat nyaman. Aku tahu apartemen mewahmu tidak nyaman, makanya aku menyombong. Tidakkah kau ingat perkataanmu dulu kalau kau ingin tinggal di sebuah rumah kecil di pinggiran kota dan memelihara anjing? Bersamaku? Itu adalah salah satu janji yang kau ingkari. Sekarang kau tinggal di apartemen mewah di pusat kota dengan tetangga yang tidak ramah dan angkuh sementara aku masih menunggumu di rumah kecil yang kau impikan ini. Bersama seekor Siberian Husky bernama Kafka karena kau pernah bilang kalau kau paling suka anjing jenis Husky. Oh, dan Luhan. Luhan sering menginap karena ia tahu aku sering kesepian apalagi pada malam-malam dimana aku merindukanmu (yang berarti setiap hari).

 

Matahari sudah mulai mengintip. Luhan dan Kafka masih tidur. Wajar sih, karena semalam aku membangunkan Luhan saat aku terbangun dari mimpiku tentang aku dan kau, jadi aku akan membiarkan Luhan tidur beberapa saat lagi sebelum ia harus bersiap untuk pergi kerja. Aku lupa menuliskan siapa Luhan. Luhan adalah satu-satunya teman dekatku setelah dirimu. Kau tahu aku susah berteman; cewek menganggapku akan mengubah pacar mereka menjadi homo dan cowok mengira aku akan mencuri pacar mereka. Padahal aku tidak menginginkan siapa pun kecuali dirimu.

Oh aku ingat apa yang akan kuceritakan padamu! Baiklah, jadi setelah jarak diantara diriku dan dirimu semakin melebar semenjak kita tamat kuliah, aku melanjutkan kuliahku di London. Apakah kau tahu tentang hal itu? Kurasa tidak karena kau pun sibuk melanjutkan kuliahmu sambil bekerja sebagai gitaris EXO. Bahkan dari usia dua puluhan namamu sudah menghiasi halaman twitter-ku. Di London aku bertemu dengan banyak orang menarik, tetapi tidak ada yang bisa menggantikan dirimu. Saat itu aku menyadari kalau aku selamanya tidak akan bisa mendapatkan penggantimu; kalau aku sudah terlambat untuk mendapatkan penggantimu.

Setelah aku tamat dari London aku pindah ke Amerika, menjadi jurnalis disana. Mungkin kau pernah mendengar tentangku, tetapi kurasa kau terlalu sibuk; lagipula setahuku kau tidak terlalu suka membaca majalah luar negeri. Tapi entahlah, mungkin kau suka. Kurasa semua hal yang kutahu tentang dirimu sudah tidak lagi sama. Seperti saat itu aku membaca tentangmu di sebuah majalah dan kau mengatakan pada mereka kalau kau menyukai kesendirian untuk menenangkan dirimu, padahal dulu kau harus selalu ditemani. Olehku. Kalau aku tidak ada, yang menemanimu adalah boneka Rilakumma yang kuberikan padamu sebagai oleh-oleh dari Jepang. Apakah kau masih memilikinya? Tidak mungkin, sih, kau masih menyimpannya. Boneka itu mungkin sudah rusak. Tapi aku masih menyimpan boneka Rilakumma yang kau beri padaku. Bahkan boneka itu kubawa tidur, karena boneka itu adalah satu dari sedikit benda peninggalanmu.

 

Hatiku sakit menulis kalimat barusan. Aku ingin menghapus lebih dari setengah isi surat ini karena aku baru sadar betapa konyolnya aku terdengar, tetapi aku sudah berjanji untuk tidak menghapus apa pun, jadi, ya sudahlah. Oh, Luhan memanggil untuk sarapan. Sudah jam setengah delapan ternyata dan aku baru menulis dua halaman berisi omong kosong. Aku berjanji akan menulis lebih setelah aku pulang kerja.


“Tuan Park?”

Chanyeol mengalihkan pandangan dari surat yang tengah dibacanya saat mendengar ketukan di pintu kantornya. Ia menaruh surat itu di atas meja dan membuka pintu kantornya, mendapati sekretarisnya, Kim Minseok.

“Ada apa?” Ia bertanya.

“Ada yang ingin bertemu denganmu, seseorang dari S.M. Entertainment,” jawab Minseok.

“Jam kerjaku selesai…,” Chanyeol mengecek jam tangannya, “satu jam yang lalu. Kau tahu itu, Minseok.”

Minseok menatapnya dengan kaget. “A-aku tahu, tapi kulihat kau masih disini jadi kukira kau masih megerjakan sesuatu—“ Ia berkata dengan terbata-bata, takut kalau-kalau bosnya marah.

“Tenanglah. Aku…ada urusan pribadi yang sedang kukerjakan. Bilang saja pada orang itu untuk kembali hari Senin,” kata Chanyeol sambil tertawa kecil.

“Baiklah, pak.”

“Ya ampun, Minseok, untuk kesekian juta kalinya, panggil aku Chanyeol. Kau lebih tua dari pada aku, hyung,” Chanyeol menekankan kata terakhir untuk membuat Minseok kesal dan ia tahu ia berhasil saat Minseok merengut. “Pergi sana. Jangan bikin orang dari S.M. nunggu,” lanjutnya setelah ia tertawa.

“Baiklah,” gumam Minseok. “Oh ya, Chanyeol?” Panggil Minseok saat Chanyeol hendak menutup pintu kantornya.

“Ya?”

“Apa kau baik-baik saja?”

“Hah? Kenapa?”

“Entahlah. Kau terlihat seperti ingin menangis,” jawab Minseok sebelum ia berbalik menuju elevator.

Minseok benar—Chanyeol memang ingin menangis.


Aku baru saja pulang dan tebak apa yang kudapati begitu aku menyalakan TV? Wajahmu, tentu saja. Kau masuk ke daftar cowok paling seksi di umur tiga puluhan versi Korea. Apakah kau bangga? Tentu kau bangga. Kau selalu bangga akan penampilanmu. Kurasa tidak ada yang tahu kalau kau dulunya gendut dan memakai kacamata dan terobsesi dengan binatang.

Oh, presenternya baru saja membacakan ‘fakta-fakta’ menarik tentang dirimu. Mengapa aku menggunakan tanda kutip, kau bertanya? Karena itu bukan fakta—itu hanya kebohongan. Masa ia bilang hobimu adalah bermain golf? Hobimu adalah bermain musik—gitar terutama, tapi kau juga bisa bermain drum sama hebatnya dan juga piano. Mereka tidak tahu apa-apa tentangmu.

Atau sebenarnya akulah yang tidak tahu apa-apa. Sebenarnya yang mereka katakan itu benar—akulah yang sok tahu. Mungkin saja semua fakta yang kuketahui tentang dirimu tidak lagi benar setelah lima belas tahun. Apakah itu benar Chanyeol? Apakah kau bukan lagi Chanyeol yang sama?

Aku ingat saat muncul berita kalau kau sudah punya pacar. Saat itu aku di Australia, sedang berlibur di Pantai Whitehaven. Bayangkan, di tempat seindah itu yang kulihat hanyalah kepahitan begitu aku membaca artikel tentangmu dan gadismu! Memang benar perkataan kalau kita sebaiknya meninggalkan alat elektronik selagi berlibur. Liburanku rusak. Aku tidak menyalahkan dirimu, tentu saja.

Aku langsung mencari tahu tentang gadismu detik itu juga. Saat itu aku langsung berpikir kalau ia memang pantas menjadi seseorang yang berada di sebelahmu. Kalian bertemu di salah satu pertunjukanmu, dimana ia bertugas menjadi MC. Dari situ saja aku sudah melihat betapa serasinya kalian, bekerja di bidang yang sama. Kalian memiliki banyak hal yang serupa, mulai dari karakter kalian hingga kesukaan kalian. Apa yang kau suka, entah itu musik, buku ataupun film, ia juga suka. Apa karena itu kau memilih dia, Chanyeol? Karena ia begitu serupa denganmu sementara kita begitu berbeda? Kukira lawan jenis saling tarik menarik, kau tahu, opposites attract, dan sejenisnya. Ternyata itu hanya omong kosong.

Tapi kita memang selalu berbeda. Kau tinggi, aku tidak. Telingamu seperti Yoda, aku normal. Matamu besar, mataku tidak. Suaramu berat, suaraku bisa mencapai nada tinggi yang tidak akan pernah bisa kau capai. Kau suka musik rock dan indie, aku suka pop dan jazz. Kau melihatku sebagai teman, aku melihatmu sebagai pacar.

Waktu aku sadar kalau kau sudah benar-benar keluar dari kehidupanku, Chanyeol, aku merasa tersesat. Barulah aku menyadari kalau selama ini aku terlalu bergantung kepadamu, dan perginya kau membuatku bingung. Sangat bingung. Maaf kalau tulisannya sedikit luntur; air mataku jatuh tanpa sadar. Aku benar-benar emosional sekarang. Itu juga salah satu perbedaan kita.

 

Maaf aku membuka luka lama akan gadismu yang pertama. Pasti ia sangat berkesan di hatimu. Aku ingin mengatakan kalau aku menyesal hubungan kalian berakhir, tapi kita berdua tahu kalau itu bohong. Lagipula setelah gadismu yang pertama muncul gadis-gadis lain yang mengisi hatimu. Aku ingin tahu Chanyeol, apa masih aku laki-laki yang mengisi hatimu atau sudah ada penggantiku disana?

Sepertinya surat ini benar-benar tidak akan selesai tepat waktu. Sudah pukul lima sore dan surat ini belum dekat ke akhirnya sama sekali. Ke pertengahan pun belum. Tadinya aku sudah ingin menyerah untuk menuliskan padamu kisah hidupku, karena air mataku entah mengapa terus mengalir setiap aku memegang pena, tapi Luhan baru saja pulang dan ia memaksaku untuk menulis. Ia bilang aku akan menyesal kalau aku tidak melakukannya. Dasar sok tahu. Dia baru saja mengintip dan memarahiku karena aku bilang dia sok tahu. Dan ia memarahiku karena aku bukannya menceritakan kisah hidupku padamu. Capek ah, lihat Luhan.

Tidak banyak yang bisa kuceritakan, itu masalahnya. Aku tamat di Seoul, pindah untuk mengambil S2 di London, kerja menjadi jurnalis sebentar di New York Times dan kembali ke Seoul untuk mengajar selama beberapa tahun kemudian hal-hal tidak menyenangkan terjadi dan aku pindah ke pinggir kota untuk mengajar di sebuah sekolah dasar.

Jangan mengasihani aku karena hidupku sangat menyenangkan—walau kehadiranmu akan membuatnya jauh, jauh, jauh lebih sempurna. Dan tentang hal-hal tidak menyenangkan itu…entahlah, kurasa kalau kau mengingat janjimu, kau bisa mengetahui apa hal-hal itu. Masih belum ingat juga? Chanyeol, aku sudah kehabisan bahan untuk bicara.

Aku memutuskan untuk lanjut menulis. Makan malam membuat otakku kembali bisa berpikir. Badanku masih bagus, jadi jangan kau berpikir kalau aku sekarang gendut.

Masih banyak yang sebenarnya bisa kuceritakan tentang hari-hariku tanpamu. Tapi aku takut aku menjadi terlalu emosional—melebihi tadi siang. Menuliskannya lebih menyakitkan daripada mengalaminya, entah mengapa. Kurasa karena kau akan mengetahui seberapa menyedihkannya aku tanpamu. Serius Chanyeol, apa yang sudah kau lakukan padaku?

Aku selalu membayangkan apa jadinya kalau kau ada di sisiku di setiap kegiatanku. Mulai dari bangun pagi, yang pertama kulihat hanyalah kasur yang kosong tanpa badan tinggimu di sebelahku. Aku selalu membayangkan apa jadinya kalau aku terbangun di pelukanmu, dengan wajahmu sebagai hal yang pertama kulihat di pagi hari. Memikirkannya sudah membuat hariku merasa lebih baik, apalagi kalau kau benar-benar ada disini.

Lalu aku ke kamar mandi untuk mencuci muka dan sikat gigi. Terkadang aku melihat bayanganmu di kaca, berdiri di sebelahku sambil menyikat gigi juga, dengan curi-curi kau melirikku dari kaca dan saat aku memergokimu, kau akan tertawa bersamaku.

Sarapan adalah salah satu saat terburuk. Kau tahu kenapa? Karena setiap makanan yang kumakan rasanya tidak sesempurna rasa makananmu. Kau terlalu sering memasak untukku sebelum kita berpisah dan sekarang aku hanya bisa memakan masakanmu. Seorang teman jauh bernama Kyungsoo yang terkenal karena masakannya bahkan tidak bisa membuatku melupakan masakanmu. Apa kau menaruh narkoba di makananmu makanya aku ketagihan? Jahat kali kau.

Untung saja setidaknya pikiranku berhasil melupakanmu sejenak saat aku bekerja, kalau tidak aku pasti sudah bakalan dipecat sejak entah kapan. Tapi saat anak-anak itu istirahat, aku tinggal di kelas, kembali memikirkan dirimu. Apa yang sedang kau lakukan? Itu salah satu pertanyaan yang sering keluar. Walaupun tidak sesering pertanyaan “Apa Chanyeol masih mengingatku?”

Waktu luangku pun terisi oleh dirimu. Jangan salahkan aku—salahkan media karena meliput berita tentangmu setiap saat. “Park Chanyeol berhasil membangun kerja sama dengan Domino Records”; “Artis terbaru PCY Ent. membawa pulang Grammy Award”; “Park Chanyeol kembali berpacaran; kali ini dengan model asal Jepang”; Park Chanyeol ini, Park Chanyeol itu. Tidak adil, Chanyeol, kenapa kau meninggalkanku begitu saja tetapi kau masih tetap muncul pada saat yang sama? Apa tujuanmu? Membuatku jatuh cinta setengah mati hingga aku benar-benar hancur?

 

Maaf. Aku tidak bermaksud menulis hal seperti itu. Aku hanya lelah. Muridku sedikit berulah tadi di sekolah.

Aku harus memberikan surat ini padamu esok pagi, Chanyeol. Sepertinya aku tepat waktu karena tidak ada lagi yang bisa kuceritakan. Kau siap untuk janjimu?

Oh, tidak, aku lupa. Maaf sudah membuatmu semangat. Aku baru membaca ulang dan menyadari kalau aku belum memberitahumu apa yang kulakukan di malam-malam tanpa kau di sisiku untuk menyenandungkan melodi asal dengan gitarmu, atau tanpa kau untuk mengecup pelan pipiku sambil mengucapkan selamat malam.

Setiap malam, tanpamu Chanyeol, aku selalu berharap keesokan pagi aku akan mendapati dirimu sudah ada di sebelahku lagi. Aku selalu berharap esok pagi aku akan melihatmu lagi, bukan hanya melalui layar TV atau media lainnya. Tapi benar-benar bertemu denganmu. Dimana aku bisa menyentuhmu sejenak untuk memastikan kalau kau bukan hanya bayangan—bukan hanya wujud dari imajinasiku.

Kau tidak bisa menyalahkanku karena menjadi delusional, Chanyeol, karena ini semua janjimu. Kau berjanji untuk bangun di sisiku setiap pagi. Kau berjanji membuatkan sarapan untukku setiap hari. Kau berjanji untuk selalu berhubungan denganku baik melalui telepon, sms, maupun socmed, kalau kita terpisah walau cuma sebentar saja. Kau berjanji untuk menghabiskan waktu luangmu denganku. Kau berjanji kalau wajahmu adalah hal terakhir yang kulihat sebelum tidur dan yang pertama kulihat saat bangun.

Aku ingin membenci dirimu sekarang, Park Chanyeol. Karena semua hal yang terjadi. Karena kau meninggalkanku. Karena kau memiliki orang lain selain diriku. Karena kau tidak pernah menepati janjimu. Satu lagi janji yang kau lupakan, Chanyeol, kau berjanji kalau cuma aku yang bisa kau sayangi dan cuma aku yang bisa menyayangimu. Aku benci padamu karena mengingkari janji itu. Setiap malam aku menunggu kau untuk akhirnya datang, tetapi yang kulihat hanyalah bayangmu.

Tapi walau aku teramat ingin membencimu, mengapa aku masih merona setiap aku memikirkanmu?

Mengapa aku masih jatuh cinta setengah mati pada bayangmu?

Mengapa Chanyeol?

 

Aku lelah Chanyeol. Aku sudah tidak mau lagi ‘bercumbu dengan bayangmu’. Aku mau kau yang sebenarnya tapi aku sudah tidak mau lagi menunggu karena lima belas tahun hidupku habis hanya untuk menunggu dirimu. Setiap malam aku berdoa akan menemukan senyummu esok pagi. Namun sudah cukup. Tidak akan ada lagi esok pagi untukmu.

 

Sekarang pukul lima pagi. Maaf kalau semalam aku terlalu kasar—paragraf terakhir kutulis sekitar jam satu dan aku belum tidur sama sekali. Aku benar-benar...entahlah, bingung kurasa. Menuliskan semua janjimu dan mengetahui kalau akan membacanya sebentar lagi membuatku tidak karuan. Aku terus-menerus berpikir apakah yang ada di pikiranmu saat membaca setiap kata yang kutuliskan di surat ini. Apakah kau kesal? Marah? Jijik? Muak? Bingung? Sedih? Atau bahkan sedikit saja rindu? Aku benar-benar ingin dirindukan olehmu sampai terdengar menyedihkan. Aku harus berhenti sekarang.

Sudahkah kau mengingat janjimu padaku? Janji kita berdua akan satu sama lain? Kalau belum, akan kuberitahu sekarang.

Kau berjanji padaku kalau kau akan selalu ada di setiap saat aku memanggil namamu.

Selama lima belas tahun ini aku terlalu angkuh untuk memanggilmu, untuk memintamu terus berada di sisiku, tetapi lima belas tahun sudah cukup lama, jadi akan kukatakan sekarang.

Aku membutuhkanmu Chanyeol.

Lima belas tahun kulewati ulang tahunku tanpa ada kehadiranmu, namun aku sangat mengharapkan kau ada saat hal itu terjadi tahun ini. Masihkah kau mengingat ulang tahunku? Kalau tidak, yah, aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Kurasa aku pun tak akan sanggup mengatakan apapun karena aku sudah terlalu hancur.

Aku sangat berharap kau menepati janjimu yang satu ini Chanyeol. Hanya satu dari sekian ribu, dan yang kau perlu lakukan hanyalah berada di sisiku untuk satu hari saja.

 

Dari Baekhyun-mu yang masih teramat menyayangimu.

 

p.s: Luhan bilang ia sendiri yang akan mengantarkan surat ini padamu. "Ingin melihat wajah orang yang ditangisi Baekhyun setiap malam secara langsung," katanya. Itu bohong. Aku tidak menangisimu setiap malam. Kadang-kadang saja.

p.p.s: kertasnya sudah jelek sekali karena basah. Harap maklum.


Lembaran kertas yang berada di genggaman Chanyeol sekarang lusuh karena genggamannya yang terlalu erat disertai dengan puluhan tetes air mata. Tes, tes, tes, mengalir tanpa henti dari pelupuk matanya, menuruni pipinya dan jatuh bertebar di permukaan surat.

Lima belas tahun.

Chayeol tidak pernah menyangka kalau ia sudah meninggalkan Baekhyun selama lima belas tahun. Baekhyun-nya. Baekhyun-nya yang dulu sering tertidur di pelukannya; Baekhyun-nya yang selalu tertawa pada setiap lelucon konyolnya; Baekhyun-nya yang ia pernah cintai dengan seluruh hati, jiwa dan raga. Baekhyun-nya tersayang yang sudah terluka karena kebodohannya.

Ia selalu mengira kalau ia akan kembali ke Baekhyun dengan mudahnya. Ia selalu mengira kalau Baekhyun akan ada di penghujung hari untuk menantinya. Ia ingat bagaimana ia sempat marah karena Baekhyun tidak ada lagi di sisinya. Namun selama ini ia salah. Baekhyun selalu menunggunya; ialah yang enggan kembali kepada Baekhyun.

Karena apa? Chanyeol bertanya dalam hati, berusaha menemukan alasan mengapa ia meninggalkan Baekhyun sendiri. Uang? Ketenaran? Semua itu terdengar bodoh. Mengapa ia meninggalkan Baekhyun? Mengapa? Mengapa? Mengapa?

 

Chanyeol terbangun. Ia mengerjapkan matanya berkali-kali, berusaha mengingat dimana ia berada.

Oh, di kantor, ia berpikir dengan lega. Namun kelegaan itu hanya sesaat karena detik berikutnya ia mengingat alasan mengapa ia masih di kantornya pada Sabtu malam pukul delapan.

Baekhyun, pikirnya dengan kalut. Aku haru menemukan dimana Baekhyun tinggal. Ia berdiri, dengan lembaran surat dari Baekhyun masih di tangannya. Dengan terburu-buru ia keluar, tidak memperdulikan ruang kantornya yang masih terbuka lebar, dan langsung menuju ke elevator. Ia berpikir dengan keras; siapa yang bisa ia hubungi untuk mengetahui dimana Baekhyun tinggal sekarang? Ia tidak mengenal satu pun teman Baekhyun—karena Baekhyun memang sedikit susah berteman—dan ia yakin teman-teman SMA mereka tidak berhubungan lagi dengan Baekhyun.

Selagi ia masuk ke mobil, ia mengeluarkan handphone-nya; akhirnya tahu siapa yang bisa ia tanya.

"Mrs. Byun? Ini Chanyeol, teman SMA Baekhyun."

 

Pukul satu pagi.

Ia sampai di alamat yang diberikan oleh Mrs. Byun pukul satu pagi. Rumah itu memang terletak di daerah pinggir Korea dan sedikit tersembunyi (walau sebenarnya Chanyeol memakan waktu lama karena ia tersesat). Rumah yang di hadapannya persis seperti bayangannya; mungil, nyaman dan penuh bunga. Seperti rumah peri. Sangat Baekhyun. Saat ia berjalan keluar dari mobilnya, muncul bayangan akan dirinya dan Baekhyun menghabiskan sore mereka di taman rumah itu; muncul bayangan ia berjalan pulang ke rumah ini setiap malam; muncul bayangan Baekhyun membukakan pintu untuknya dan tersenyum begitu melihat dirinya. Dan itu cukup menjadi motivasi Chanyeol untuk berdiri dengan tegap di depan pintu.

Tangan mengetuk.

Apa yang harus kukatakan? Selamat malam? Maaf? Selamat ulang tahun? Aku pulang? Aku merindukanmu? Maukah kau menikah denganku?

Lampu dinyalakan.

Siapa yang datang kemari pukul satu pagi? Luhan? Orang mabuk yang salah rumah? Pencuri? Masa pencuri mengetuk pintu? Atau jangan-jangan dia?

Pintu dibuka.

Semua kata-kata yang sudah disiapkan hilang begitu saja. Semua pikiran terhapus dari kepala. Yang tersisa hanyalah sosok di hadapan masing-masing.

Dan saat mata mereka bertemu dalam suatu reuni yang sudah ditunggu-tunggu selama lima belas tahun, semua hal lain menjadi tidak penting lagi.


a/n: hehe.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Ri_E0408
#1
I just read the English version of this story on AO3 and I was wowed by how beautiful it was so I came over to AFF to save the original (even if I don't understand it😅). I fell in love with the softness of this fic and the pure heartbreak and repair. Like I wanted to cry at times. This was so touching and amazing, I'm just speechless. This fic definitely deserves more recognition! Thank you so much for writing this! I really enjoyed this!💗
02taty
#2
Chapter 1: ahhh how i wish for a sequal
Hyelyn #3
Chapter 1: Suratnyaaaaaaaa ;;;; terharu sumpah
Endingnya ngegantung, pengen tau lanjutan hubungan mereka
But over all ini bagus keren malah ><
mahisyeol #4
WELL THIS IS DAEBAK sometimes bahasa baku enak juga buat dibaca author-nim
hrikaray
#5
Chapter 1: keeceee beneeer dah >< sequel dong endingnya kurang gregeeet aaaaaaa~ ><
seideer #6
Chapter 1: Ahhh unyukkk ya.. pengen sequel..m
immafans #7
Chapter 1: Kece banget sih gigit dulu sini yang bikin-_-keseluruhan sih aku suka cuma pas ending agak kurang greget gimana gitu yaaa secara aku pikir bakal ada sedikit percekcokan antaran mereka berdua tapi ternyata nggak. Tapi gapapa sih unyuk!
fresh-salad
#8
Chapter 1: ANJIR!!! GELISAH BGT GUE BACANYA!! ARGGGGH DAEBAAAAK!!
joohyun007 #9
Chapter 1: please give me a sequel if you can :")
i wanna see their relationship.