His name is...

First Rain

Masih ingat hari itu?

 

Hari dimana gerimis mengguyur tanah. Kau dan aku duduk bersama di serambi rumah sambil menikmati segelas jus jeruk.

 

Kau yang biasanya terlampau ‘berisik’, kali ini hanya terdiam dan menggumamkan sebuah nada yang tak kutahu lagu apa itu.

 

Rasanya melihatmu setenang ini sangat nyaman. Kita tidak harus berargumen atau mencela satu sama lain. Dan rasa nyaman ini memberikan dampak aneh pada hatiku.

 

Ada sebuah pernyataan yang ingin kuserukan dan itu menyangkut dirimu, juga hatiku.

 

Kalau saja keberanianku sebesar guntur yang menyambar, mungkin sejak tadi akan kukatakan segera. Tanpa menunggu waktu yang tepat atau berpikir bagaimana kita saat kalimat itu terucap.

 

“Ini hujan pertama sejak kita disini, ‘kan?” Kau menoleh dan seulas senyum terukir.

 

Ya, ini adalah hujan pertama. Tampak sama namun berbeda jika menikmatinya bersamamu. Tak ada siapapun, karena penghuni yang lain lebih memilih untuk menikmati matahari dengan berjemur di pesisir pantai.

 

“Ah, kenapa tak ada salju?”

 

Pertanyaan konyol. Salju dimusim panas?!

 

“Memangnya kenapa jika ada salju?”

 

“Akan terasa dingin, tentu saja.” Ia tertawa cukup lama. Untung saja aku sudah kebal menghadapi tingkah idiotnya. Tapi seketika tawanya mereda. “Katanya, jika salju pertama muncul, kita boleh berbicara kebohongan dan tidak akan menjadi dosa.”

 

Oh, pendapat darimana itu? Apa ada dalilnya atau hanya mitos?

 

“Itu kata-kata dari drama yang kutonton kemarin.”

 

Harusnya aku sudah menduganya.

 

“Kalau hujan ini digantikan dengan salju, kau ingin mengatakan kebohongan apa?” tanyanya sambil menopang dagu melihatku.

 

“Tidak ada.” jawabku singkat dan mendapati bibirnya yang mengerucut mendengar jawabanku.

 

“Kau tidak asik.” Lengannya tersilang di depan dada.

 

Bolehkah kebohongan itu diganti dengan kejujuran? Kejujuran yang hanya akan mendapat balasan penerimaan, bukan penolakan? Jika iya, aku ingin mengatakannya, bahwa aku–

 

“Aku menyukaimu.”

 

Benar seperti itu. Dua kata yang berdesakkan untuk segera meluncur dari mulutku. Tapi kenapa suaranya yang terdengar?

 

Aku menatap tajam kearah kau yang juga menatapku dengan tatapan yang –

 

“Aku menyukaimu.”

 

“Hah?”

 

Dia aneh itu sudah biasa. Tapi ini lebih aneh dan sepertinya ia tidak waras. Mungkin petir baru saja menyambar kepalanya dan ada satu sel disana yang rusak.

 

“Kau... apa maksudmu? Tidak lucu!”

 

“Aku serius. Aku menyukaimu.”

 

Tunggu! Menyatakan perasaan tidak semudah itu. Butuh berpikir lama dan pembicaraan yang serius. Apalagi hal ini diucapkan oleh orang dengan tingat ke-aneh-an yang akut.

 

Sampai menit berikutnya aku masih terdiam, begitupun dia.

 

Apa aku perlu menjawab pernyataannya? Atau aku juga perlu menyuarakan bahwa: hey, aku juga menyukaimu.

 

Dan kurasa itu semua tak perlu saat derit kursi kayu terdengar. Kau berdiri dan tersenyum lebar.

 

Kau melanjutkan langkah. Kembali masuk dan tinggalkan bekas yang kau torehkan.

 

Boleh kuucapkan ‘terima kasih’ atas apa yang kau perbuat? Dimana khayal hapir menyentuh langit lalu sepersekian detik kau tarikku kembali ke bumi. Menyadari kalau, ya ini hanya angan.

 

Dan, bolehkah kulewati waktu ketika kau ucapkan kejujuran itu? Anggap tak ada, yang ada hanya sebuah ikatan kita kala hujan berhenti dan pelangi hiasi langit.

 

Bolehkah?

 

.

.

.

.

.

.

.

.

.

 

“Hey, kau menganggap itu serius? Aku hanya bercanda. Bukankah kebohongan diperbolehkan?”

 

.

.

.

 

Namanya Jung Hoseok. Pria dengan segala kejutan yang tak bisa kau tebak.

 

 


 

Apa aku membuat Hoseok menjadi pria yang jahat? Mianhaeyo~

Comment juseyo ^^

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
mssLEEKIM
#1
Chapter 1: meskipun fanfic yang terlalu singkat,tapi aku suka kata2nya yang bikin aku berasa ada dlm cerita ^^