Don't Go!

Don't Go --Kris Version
Please Subscribe to read the full chapter

Di dalam bangunan tua setengah jadi yang tampak sepi dan suram, Kris berjalan terseret seret menelusuri sepanjang lorong gelap. Tangannya memegang segelas air putih —-tak sepenuhnya berwarna putih, karena telah bercampur dengan darah yang menetes dari ujung dagunya. Tatapan matanya nanar. Segaris darah merah segar mengalir dari pelipisnya melewati permukaan wajahnya yang kusam. Kedua pipinya yang menggemaskan itu tampak memar berwarna biru lebam. Seragam sekolah yang dikenakannya kotor dan kusam bercampur tanah dan debu, sebagiannya berwarna bercak bercak merah. Darah.

Kris benci bau darah. Tetapi kehidupannya yang menyedihkan ini memaksanya berteman dengan darah. Bayangkan saja, kehidupannya penuh dengan perkelahian yang Kris sendiri tidak tahu mengapa orang orang itu tega melakukan hal tersebut padanya. Penuh emosi, penuh tenaga, dan penuh rasa benci. Orang orang itu sama sekali tidak memikirkan kehidupannya. Kehidupannya yang sendiri. Kehidupannya yang sepi. Kehidupannya yang berantakan. Kehidupannya yang buruk. Kehidupannya yang begitu menyedihkan.

Seperti halnya tadi, orang orang itu memukulinya tanpa sempat mendengarkan penjelasannya kenapa ia belum bisa membayar hutangnya sekarang. Orang orang itu menendanginya tanpa sempat mendengarkan kalau ia belum mendapatkan uang sepeserpun dari hasil mengamennya hari ini untuk membayar hutang. Orang orang itu menghajarnya habis habisan tanpa sempat mendengar keluhannya kalau ia akan membayarnya esok hari saat ia sudah mendapatkan uang. Orang orang itu terlalu tuli untuk mendengarkan penjelasan apapun dari mulut Kris.

Ketika ia ditendang tendang bagai hewan oleh orang orang itu, ketika ia dipukul dan dihajar habis habisan oleh orang orang itu, ketika ia tidak bisa berpikir lagi saat tubuhnya diperlakukan bagai hewan oleh orang orang itu, bahkan saat ia kehilangan kesadaran, Kris berharap kalau ia tidak akan bangun lagi dan mengakhiri kehidupannya yang menyedihkan ini, dengan cara yang menyedihkan pula. Ia benar benar berharap mati.

Tetapi pahit.

Ternyata Tuhan masih menginginkan ia hidup.

Ternyata malaikat pencabut nyawa belum ingin mencabut nyawanya sekarang.

Kris terus menyeret kedua kakinya yang sudah tak kuat jalan lagi untuk menaiki anak tangga di ujung lorong tersebut. Pada anak tangga ketiga, ia mengangkat gelasnya mendekati bibirnya. Perih, itulah yang ia rasakan ketika permukaan gelas itu menempel pada bibirnya yang juga biru lebam. Dengan susah payah ia menelan air itu, namun kembali dimuntahkan ketika merasakan bau darah ketika menelannya. Gelas di tangannya jatuh, dilanjutkan dengan suara kepingan gelas yang pecah.

Kris memejamkan matanya, merasakan kepingan gelas itu menancap pada punggung kakinya yang telanjang. Ia sedikit membungkuk dan mengerang kesakitan sambil memegang betisnya mencoba menahan rasa sakit luar biasa pada kedua punggung kakinya yang telanjang. Ketika ia membuka matanya, darah segar sudah membanjiri kedua punggung kakinya. Sekali lagi ia mengerang kesakitan. Kali ini lebih keras. Namun tak ada yang mendengar ataupun menolongnya, karena memang tak ada siapapun disana. Hanya dirinya seorang di lorong gelap ini.

Kris mengatur pernafasannya sambil memijit pelan betisnya. Lalu turun ke mata kaki dengan terus memijitnya. Hingga akhirnya ia berteriak lagi ketika tangannya menyentuh punggung kakinya.

“Ah, !! Gelas sialan!!” Kris mendesis pelan. Ia menegakkan tubuhnya dan berusaha kembali menyeret kakinya untuk naik tangga.

Tertatih-tatih ia mengangkat kakinya menaiki anak tangga satu persatu. Sedikit meringis karena darah tak henti hentinya mengalir dari punggung kakinya, menciptakan jejak kaki berwarna merah darah pada setiap anak tangga. Kris tertawa miris melihat jejak kakinya sendiri di anak tangga rumahnya. Bahkan rumahnya pun telah kotor oleh darahnya sendiri. Bukankah berarti Kris telah berteman baik dengan darahnya sendiri?

Di puncak tangga, langkah Kris terhenti. Bukan karena akhirnya ia sampai di lantai dua. Karena begitu ia tiba di puncak tangga, napasnya langsung tersentak. Matanya mengerjap, menatap ke arah depan dengan mata bulat sempurna. Terkejut.

Saat melihat Baekhyun dan Chanyeol berdiri dua meter di depannya.

“Sedang apa kalian disini?” tanya Kris dengan suara tertahan, menatap kedua lelaki itu dengan tatapan awas. “Apa yang kalian lakukan?”

Chanyeol membuang puntung rokok yang terselip di bibirnya setelah menghembuskan asap rokoknya ke udara, lalu menatap Kris dengan tajam. “Seharusnya kami yang bertanya, apa yang baru saja kau lakukan hingga wajahmu seperti itu?”

Kris membuang muka, tidak mau menatap manik mata Chanyeol yang mengunci di manik matanya. Oh, lebih tepatnya menghindari tatapan Chanyeol yang melihat kondisi wajahnya yang tidak berbentuk seperti ini.

“Kau dipukul lagi?” Baekhyun bertanya dengan suara miris, juga menatap Kris dengan tatapan miris. Melihat Kris tidak menjawab, Baekhyun meringis. “Bodoh!”

Tangan Kris mengepal, tidak terima dengan panggilan ‘bodoh’ yang diucapkan Baekhyun untuknya. Giginya bergemelutuk saat berkata, “Kau yang bodoh! Kau pikir aku bisa melawan gangster yang jumlahnya bejibun itu?!” dengan suara tertahan.

“Siapa yang bilang kau bodoh karena itu?!” bentak Baekhyun. Tangannya juga mengepal, terbawa emosi karena melihat kondisi temannya yang begitu menyedihkan itu. Oh, melihat Kris saja sebenarnya ia tidak sanggup, apalagi merasakan apa yang sedang dirasakan lelaki itu.

“Kau bodoh karena kau tidak melibatkan kami!”

Kris mengangkat kepala. Melihat Baekhyun yang menatapnya dengan napas naik turun.

“Kau bodoh karena kau tidak memberitahu kami! Kau bodoh karena kau tidak mengajak kami saat kau bertemu dengan para gangster itu! Kau bodoh karena kau tidak membiarkan kami membantumu untuk menghadapi mereka! Hal itu lebih bodoh dibandingkan kau tidak melawan mereka!” bentak Baekhyun penuh emosi. Matanya tidak lepas menatap mata hitam Kris.

“Kau tahu kalau kau akan dipukuli saat kau bertemu dengan mereka, tetapi kau malah pergi kesana sendiri! Kau malah pergi kesana dengan tangan kosong! Tanpa memberitahu kami! Tanpa mengajak kami! Tanpa melibatkan kami! Tanpa membiarkan kami membantumu! Kau sok kuat! Sok berani! Sok tidak butuh bantuan! Sok bisa mengalahkan mereka semua dengan tanganmu sendiri! Sok jagoan!”

“DIAM, brengsek!” Kris membungkam semua bentakan dari Baekhyun. Ia menggeram, menatap Baekhyun dengan penuh emosi yang meletup letup di dadanya.

Siapa yang sok kuat? Siapa yang sok berani? Siapa yang sok tidak butuh bantuan? Siapa yang sok jagoan? Ia sama sekali tidak begitu! Kalau Baekhyun mau tahu jawabannya, sebenarnya ia lemah! Sebenarnya ia takut! Ia takut saat bertemu dengan para gangster itu dengan tangan kosong, tanpa membawa uang sepeserpun yang dapat meloloskannya dari para gangster itu. Bibirnya gemetar saat ia mengatakan kalau ia belum bisa membayar hutangnya sekarang. Lututnya gemetar sampai ia sendiri tidak percaya kenapa ia masih dapat dan sanggup berdiri di depan mereka yang sudah menatapnya dengan tatapan membunuh. Ia memang jago dalam berkelahi, tapi jumlah mereka tidak sebanding dan ketakutan yang menyergapnya membuat seluruh kemampuannya menguap dan membuatnya limbung seketika saat tinjuan pertama mendarat di rahang dan perutnya secara bersamaan. Dan ia sebenarnya butuh bantuan! Sangat! Tetapi…

“Aku tidak bisa melibatkan kalian karena hanya aku yang berhutang pada mereka, kalian tidak.” dari sekian kalimat yang ingin dilontarkannya, hanya kalimat itulah yang akhirnya keluar dari mulutnya.

Chanyeol mendesah. Menatap Kris dengan tatapan terluka.

“Kami sahabatmu, Kris, bagaimana bisa kau berpikir tidak bisa melibatkan kami? Kalau kau memang tidak ingin mengajak kami bertemu dengan para gangster itu, setidaknya kau bisa meminjam uang pada kami untuk membayar hutangmu pada mereka.”

Kris kembali memalingkan pandangannya. “Aku benci menghutang pada teman sendiri.”

“Kau tidak menghutang pada kami, Kris, kau hanya meminjam.” ujar Chanyeol.

Memang apa bedanya? Kris hanya menjawab dalam hati. Menatap darah di punggung kakinya yang sudah mulai mengering.

Baekhyun dan Chanyeol berjalan mendekat. Menghampiri Kris yang masih membeku di puncak tangga. Berhenti tepat di depan lelaki itu dan menepuk pundaknya.

“Sebesar apapun ombak yang kau hadapi, sebesar apapun ombak yang Baekhyun hadapi, sebesar apapun ombak yang kuhadapi, dan sebesar apapun ombak yang kita bertiga hadapi, kita tetap akan berlayar bersama, bukan?” tanya Chanyeol lirih, menatap manik mata Kris yang sama sekali tidak membalas tatapannya.

Kali ini Kris mengangkat kepala, balas menatap Chanyeol dan Baekhyun secara bergantian dengan mata berkaca kaca.

“Kami bersamamu, Kris. Ingat slogan persahabatan kami: We are one.” Baekhyun menambahkan.

Kemudian ketiga tubuh itu saling merengkuh. Saling mendekap. Saling berbagi kehangatan. Dalam keheningan. Dalam kesenyapan. Dalam kesunyian. Dalam kegelapan.

Tanpa ada yang menyadari bahwa keraguan mulai meliputi salah satu di antara mereka.

.

Kau tahu apa yang lebih menyakitkan daripada sebuah kehilangan? Menyangka bahwa hal itu tidak akan pernah terjadi, tetapi akhirnya tiba tiba saja terjadi padamu. Tanpa pertanda. Tanpa peringatan. Tanpa sebuah aba aba dan petunjuk bahwa kau sesaat lagi akan ditinggalkan. Oleh orang yang kau cintai. Oleh orang yang kau (kira) juga mencintaimu. Yang selama bertahun bertahun menumbuhkan perasaan cinta kepadamu, bahkan mengajarimu bagaimana cara mencintai seseorang dengan baik dan menjaga cinta itu.

Ditinggalkan oleh orang yang mengajarimu agar terus bertahan dengan cinta yang kau miliki, dan tak akan pernah meninggalkannya walau bagaimanapun keadaannya. Ironis, bukan?

Dan orang itu adalah, kedua orangtuamu.

“Hei, Bos! Bocah itu datang lagi kesini!”

Kris berjalan dengan langkah terseok seok —masih merasa tubuhnya lemas bekas perkelahian kemarin yang belum sembuh total dalam waktu semalam, mendekati sekumpulan lelaki —lima orang berwajah berandal yang mengepung di sudut jalan dengan tatapan menantang.

Lelaki yang duduk di atas tumpukan box menoleh dan membulatkan mata terkejut begitu melihat Kris kembali datang, tetapi tatapannya langsung berubah melecehkan saat melihat kondisi lelaki itu yang masih menyedihkan. Ia melompat turun dari tumpukan box dan berdiri tepat di depan Kris dengan wajah melecehkan.

“Hey, bro! Kau terlihat sehat sekali!” sindir Tao.

Kris tidak menjawab. Malah menatap Tao dengan tatapan masih menantang. Tetapi sebenarnya dadanya bergemuruh. Takut. Takut dengan keputusan yang sedang ia ambil. Bertemu dengan para gangster itu. Menginjak granat!

Tao menatap Kris dari ujung kepala sampai ujung kaki, merasa heran saat melihat Kris tidak membawa apapun. “Kau datang kesini untuk membayar hutangmu, bukan?” tanyanya dengan suara menyelidik.

“Bunuh aku.” ucap Kris datar, namun penuh penekanan.

Tao terkejut, bahkan Sehun, Kai, Luhan, dan Chen yang masih duduk santai di belakangnya ikut terkejut, sedetik berlalu mereka langsung tertawa keras, menganggap lucu ucapan dari seorang yang baru saja mereka pukuli kemarin.

Tao menghentikan tawanya dan menatap Kris dengan alis terangkat. “Kau yakin? Apa motifmu?”

“Tidak bisa membayar hutang pada kalian.” jawab Kris datar, masih tidak melepaskan maniknya dari mata Tao.

“Apa?” Lagi lagi Tao dan keempat temannya tertawa keras.

“Kau memutuskan untuk mengakhiri hidupmu karena kau tidak bisa membayar hutang pada kami?” teriak Kai sambil tertawa melecehkan. “Yang benar saja! Dimana mental dan harga dirimu sebagai seorang lelaki, hah?!” ia tertawa lagi, bersama keempat temannya yang lain.

Kris menatap mereka berlima dengan tatapan datar, tanpa peduli kalau mereka sedang menertawakan dirinya, menertawakan jawaban bodohnya. Tapi ia benar benar tidak peduli. Ia memang benar benar ingin mengakhiri hidupnya sekarang. Makanya ia memutuskan untuk datang lagi kesini dengan tangan kosong. Tanpa memberitahu Baekhyun ataupun Chanyeol.

“Sudah terkubur dalam dalam.” jawab Kris. Menghentikan suara tawa kelima gangster itu, sekaligus membuat mereka bingung. “Mental dan harga diriku sebagai seorang lelaki sudah terkubur dalam dalam setelah mereka pergi meninggalkanku.”

Suara Kris terdengar bergetar dan penuh penekanan saat menjawabnya. Bahkan rahangnya sampai mengeras dan tangannya terkepal sampai buku buku jarinya memutih. Rasa kesendirian, rasa kesepian, rasa kehilangan, dan rasa tidak memiliki kembali bergemuruh di dalam dadanya, bergejolak, ingin segera dikeluarkan. Terputar kembali jelas jelas saat ayah dan ibunya melepaskan tangannya secara paksa yang sedang menggenggam erat kemeja mereka untuk tidak pergi meninggalkannya, untuk menyuruh mereka tetap tinggal bersamanya. Ibunya dan ayahnya berbalik pergi, tanpa menatap wajahnya, meninggalkannya di Seoul seorang diri, saat umurnya masih tujuh tahun. Tanpa pertanda. Tanpa peringatan. Tanpa sebuah aba aba kalau ia akan ditinggalkan. Oleh orang yang ia cintai. Oleh orang yang ia (kira) juga mencintainya.

Rasa kesendirian, rasa kesepian, rasa kehilangan, dan rasa tidak memiliki selalu bergemuruh di dalam dadanya saat ia teringat dengan kepergian ayah dan ibunya. Selalu bergejolak, ingin segera dikeluarkan. Tetapi bagaimanapun ia berusaha, rasa itu tidak akan pernah keluar, rasa itu tetap akan bergejolak di dalam dada, kecuali ia mengakhiri hidupnya sendiri.

“Karena mental dan harga diriku sudah terbukur, sekarang saatnya mengubur diriku sendiri, jadi bunuh aku sekarang.” kata Kris dengan suara tertahan. Pandangannya sudah buram terhalang oleh airmata yang menggenang di pelupuk matanya. Mental dan harga diriku sudah terkubur semenjak ayah dan ibu pergi meninggalkanku, jadi untuk apa aku masih hidup?

Tao mendengus, menatap Kris dengan tatapan tidak percaya sekaligus jengkel. “Hey, brengsek, bukannya aku tidak mau membunuhmu. Aku justru sangat senang sekali kalau kau mati. Tetapi, sebelum kau mati, kau harus membayar hutangmu dulu padaku, baru aku akan membunuhmu.”

“Kalian bisa mengambil rumahku, jadi cepat bunuh aku sekarang!” bentak Kris, seiring dengan air hangat yang akhirnya jatuh dari pelupuk matanya. Sekaligus bogem mentah yang mendarat telak di rahang kanannya, bersentuhan dengan aliran hangat yang baru saja meninggalkan jejak disana.

Kris tersungkur jatuh ke belakang, terhempas. Seperti kehidupannya yang selalu terhempas ke belakang. Menyakitkan. Menyedihkan.

Kai, Sehun, Luhan, dan Chen langsung merangsek maju ke depan begitu melihat kalau boss mereka sudah mendaratkan tinjuan pertamanya ke rahang Kris. Menandakan pertarungan sudah dimulai. Mereka mengelilingi tubuh Kris yang terbaring di tanah dan langsung menghujaninya dengan pukulan, tinjuan, dan tendangan yang bertubi-tubi.

Sementara Tao membeku di tempat. Menatap tangannya yang masih terkepal, yang sedikit menyilau karena cahaya matahari menabrak aliran air sela sela jemarinya yang saling merapat, aliran air yang didapatkannya setelah mendaratkan kepalan tangannya di rahang Kris. Air apa ini? Hujan? Tao mendongak, tidak ada tanda tanda akan hujan, dan hey, langit begitu terang, jadi tidak mungkin hujan, bukan? Tao mengalihkan pandangannya pada teman temannya yang sudah mengeepung tubuh Kris. Di sela sela kaki teman temannya yang berdiri mengepung tubuh Kris, Tao masih dapat melihat tubuh Kris yang meringkuk dalam dalam. Dan matanya langsung membulat begitu pandangannya terhenti pada wajah lelaki itu. Demi Patung Liberty yang tingginya minta ampun, lelaki itu menangis!

Kris menyadari, walaupun ia ingin mati, tetapi ia tetap berusaha mati matian untuk melindungi tubuhnya dari tinjuan dan tendangan yang bertubi tubi itu. Betapa tololnya ia yang menginginkan mati justru malah tidak ingin dipukuli dengan cara seperti ini. Sungguh, ia memang ingin mati, ia ingin hidupnya berakhir, tetapi ini terlalu menyakitkan. Dan Kris tidak sanggup menahan ribuan tinjuan yang menghujani tubuhnya. Ia tidak ingin merasakan sakit itu. Rasa sakit ini benar benar membuat matanya yang ia rutuki itu terus menerus mengalirkan air hangat. Tolol, di saat ia ingin mati, ia malah menangis! Sungguh, ia benar benar ingin langsung mati saja. Dengan sederhana, tanpa ada rasa sakit. Seperti saat ayah dan ibunya melepaskan tangannya dari cengkaramannya pada ujung kemeja yang mereka kenakan. Sekejap dan sederhana.

Please Subscribe to read the full chapter

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
blanco0719 #1
Chapter 1: deuh pilihan katanya bagus thor + karakternya dapet (y) aku jadi sedih kan :( keep writing thor =='9
kiyuroo #2
Chapter 1: “Kami bersamamu, Kris. Ingat slogan persahabatan
kami: We are one .”

“Sebesar apapun ombak yang kita bertiga hadapi,
bukankah kita tetap akan berlayar bersama?”


tuh dua kalimat bikin merinding banget deh thor. miris banget pas kris pergi :(
kenjin
#3
Chapter 1: annyongg..saya dari malaysia..saya juga sedih perkara sebegini boleh belaku..x sangka sangat kann.. :(
kiyuroo #4
Update cepetan authoooorrrrr. Aku jiga sedih tuh pas denger rumornya Kris :(