Heart Not

Heart Not

(Minho POV)

"Tuan Choi, Mr. Danson sudah datang, ayo keluar, sudah waktunya untuk belajar piano."

Aku mendengar salah satu pelayanku memanggil namaku, namun aku tetap bersembunyi didalam sini, didalam gudang. Aku muak dengan semua ini, setiap hari aku dicekoki oleh berbagai macam not balok, tapi selalu ada yang sakah dengan permainanku, ibukupun tak pernah bangga akan hasil permainanku, walaupun aku telah mendapat ribuan penghargaan dan thropy.

Aku memang terlahir dalam keluarga yang jenius, kakekku adalah seorang pianis, nenekku merupakan vionist legendaris dan hal ini mengalir dalam darah ibuku yang menguasai berbagai alat musik dan menikah dengan ayahku yang seorang konduktor. Akupun terlahir dengan harapan besar bahwa aku bisa terkenal di dunia ini seperti keluargaku, namun setiap aku bermain paino, permainanku tak pernah hidup, tetap ada yang kurang. Ibuku mengetahuinya dan ia tak pernah puas akan permainanku walau menurut para juri permainanku sempurna, begitu pula kata guruku.

Aku jarang sekali keluar dari mansion ini, sedari kecil aku memang dipersiapkan menjadi pemain musik terhebat didunia, terutama untuk menjadi seorang pianis yang hebat. Aku jarang sekali untuk bertemu dengan anak-anak sekitar hanya sekedar untuk menyapa atau bermain, namun dulu hari-hariku tidak pernah bosan, selalu dipenuhi oleh permainan piano ibu yang mengagumkan.

Aku keluar melalui jendela, untung saja gudang ini berada di lantai 1. Aku melihat keadaan dan kabur melewati pagar, menyusuri jalan setapak menuju hutan dibalik mansion.

Setelah menyusuri jalan setapak, aku mendengar alunan piano, begiu lembut namun kuat, hidup seperti pemainnya, menyatu dengan hati.

"Sonata" gumamku dalam hati, aku mengenal sekali lagu ini. Karena lagu inilah yang selalu dimainkan ibuku sebelum aku tidur. Permainan inilah yang mrmbuatku mencintai piano, dan belajar mengenal suara dentingan piano.

Aku berjalan mengikuti alunan piano tersebut, alunan itu membawaku ke sebuah pondok tua. Tempat itu sangat kecil dan kumuh, bisa aku perkirakan dalam 1-2 tahun lagi tempat ini akan rubuh.

"Siapa?" tanya seorang wanita, aku begitu kaget, belum aku mengetuk pintu rumah tersebut, ia sudah menyadari kehadiranku. Kemudian dibukalah pintu tersebut, seorang perempuan keluar dari rumah tersebut, ia mungil, tingginya hanya sebahuku, rambutnya kuning keemasan, dibiarkan dikepang kesamping, bajunya sangat sederhana seperti yang digunakan para pelayan di rumahku, namun ia terlihat sangat cantik dengan semua itu.

"Siapa?" tanya wanita itu sekali lagi. Namun ia sama sekali tidak mendongak melihat ke arahku, seakan-akan ia tidak tahu bahwa ada orang di depannya. Aku curiga, aku melambai-lambaikan tangan didepan mukanya, namun tidak ada reaksi. Perempuan iu buta.

Seakan tidak ada jawaban atas pertanyaannya ia berusaha menutup pintu rumahnya, namun kutahan.

"Maaf telat menjawab, nama saya Choi Minho , saya tinggal di villa di luar hutan ini. tadi saya mendengar ada yang bermain piano ketika saya berjalan-jalan disekitar sini. Apakah itu anda?

"Ah iya betul itu saya yang memainkannya Tuan, apakah anda tersesat? Banyak sekali orang yang tersesat jika berjalan ke dalam hutan ini, mari masuk dan minum teh terlebih dahulu.”

Akupun masuk ke dalam rumahnya, sederhana dan asri. Kulihat ia berjalan seakan-akan bukn seorang yang buta, melenggang begitu saja dengan tongkat kayunya.

“Silahkan tehnya tuan, silahkan dinikmati.” Ucapnya sambil menaruh gelas didepanku dan duduk di depanku.

“Oh iya terima kasih, kalau boleh tahu siapa nama anda?

“Ah maaf adi saya lupa memperkenlkan diri tuan. Nama saya IU, tuan”

“Tidak masalah, IU.Tidak apa-apa jika saya memanggil anda begitu? Sudah berapa lama kau belajar bermain piano?” ucapku smbil menyesap the yang dibuat olehnya, sangat wangi dan nikmat.

“Tidak masalah, tuan. Sedari kecil saya sudah belajar piano, tuan” ucapnya sambil tersenyum, manis sekali. “Ibuku yang mengajarinya, namun sayang beliau telah meninggal diakibatkan oleh kecelakaan bersama ayah saya. Sekarang aku hanya tinggal bersama nenek saya.”

Aku terdiam mendengar ucapannya, bukan maksudku untuk membuatnya bercerita tentang hal itu.

“Maaf membuatmu harus bercerita tentang hal itu.. Aku turut berduka cita.”

“Tidak masalah tuan, lagipula itu sudah berlangsung beberapa tahun yang lalu. Bagaimana jika saya bermain sebuah lagu untuk tuan? Sepertinya permainan saya telah membawa tuan kesini.” Segera ia mendekati piano tua yang berada di pojok ruangan itu, piano itu bisa kuperkirakan telah berumur 10 hingga 15 tahun, namun sangat terawat. Piano tersebut ulai berdenting menyanyikan sebuah lagu, suara sangat bening dan indah. Akupun terbuai dalam permainan pianonya.

 

#TBC

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet