“Nngg…”, aku terbangun dari tidurku. Setelah menghela nafas yang cukup panjang, perlahan ku buka kedua mataku. Hitam, gelap, hanya lampu tidur yang remang-remang menyinari kamar. Kututup lagi kedua mataku, rasanya mataku masih terasa berat.

Sampai tiba-tiba kurasakan gerakan dari samping tubuhku, kubuka mata dan melihat asal gerakan di sampingku. Ah, iya. Aku tidur bersama dia, Choi Seung Hyun.

Tanda sadar, aku tersenyum. Tanpa sadar, hatiku merasa hangat. Tanpa sadar, aku tersadar penuh. Hanya dengan melihatnya, aku bahagia. Entah sejak kapan, atau mungkin sejak awal berjumpa dengan dia aku menjadi seperti ini.

Ku miringkan tubuhku, ku hadapkan wajahku ke arah pangeran tidurku. Rahang yang sempurna, bibir yg sedikit terbuka, hidung yang mancung dan bulu mata yang panjang. Tidak pernah bosan aku menikmati hasil karya Tuhan yang luar biasa indah di wajahnya.

Aku iri?

Ya wajar, aku manusia biasa.

Ingin memilikinya?

Aku suka hal indah dan cantik, dan siapa yang tidak mengagumi wajahnya?

Tiba-tiba dia berbalik ke arahku dengan sedikit mengeluarkan erangan. Tangannya meraih pinggangku dan menarikku mendekat ke tubuhnya. Dia memelukku. Wajahku memerah, kulit kami bersentuhan. Ya, kami berdua telanjang di bawah selimut hotel ini. Kami baru saja bercinta seusai konser.

Ku senderkan kepalaku ke bahunya, kurasakan dadanya yang bidang dengan tanganku. Aku memilih untuk menyentuh perutnya yang terbentuk dengan sempurna daripada memeluk dia. Aku menahan diri,konser kami belum selesai. Naifnya aku.

“Kau terbangun?”, suara beratnya mengejutkanku. Aku membalasnya dengan anggukan, tanpa suara. Kesunyian antara kami saat ini lebih berharga dari nada dan irama musik apapun. Di telingaku hanya terdengar hela nafas dia dan detak jantungku.

Dia memelukku lebih erat lagi, menghapus jarak antara kami. Membagi hangat tubuhnya padaku, mengalirkan getaran hasrat, merasakan peluh tersisa yang nyaris terhapus dinginnya pendingin di kamar ini. “Kenapa? Apa yang kau pikirkan?”, dia bertanya lagi sambil mencium kening dan mataku. Rasanya ingin menangis, rasanya ingin berteriak pada dunia betapa besar aku mencintainya.

“Tidak. Aku hanya terbangun.”, bisikiku sambil menikmati hangat tubuhnya.

“Lalu mengamati wajahku?”, suara tertawanya menggema di telingaku. Membuatku tersenyum lebar, dia mencintai dirinya sendiri. Dan aku mencintainya.

“Apa tidak boleh?”, tanyaku sambil melihat matanya. Kepalanya mundur sedikit untuk memandangku, lalu tertawa geli. Rasanya nyaman, rasanya aman, aku ingin selamanya seperti ini.

“Kau bahkan sudah menikmati tubuhku malam ini, JiYongie.”, kata-katanya membuat ku menggigit bibir bawahku. “Oh, jangan digigit. Bibir mungil ini pantasnya di kecup.”, dan dia mencium ku.

Aku tidak polos, murni, atau apapun kau menyebutkan kata lain dari ‘perjaka’. Bukan 1 atau 2 wanita yang ku tiduri. Aku yakin dia pun begitu, karena selera kami sama. Tapi terkadang kami juga bercinta, entah buat apa, satu yang pasti kehadirannya selalu membuat darah panasku menggebu. Setiap malam yang ku lalui bersama dia terasa berbeda.

Apa karena aku terlalu mengenalnya?

Apa karena kami satu band?

Apa karena hati?

2 atau 3 menit berlalu, aku tenggelam dalam pikiran, batin dan kecupannya yang lembut. Dia berhenti menciumku dan mengumpulkan kembali nafas dan meredam detak jantungnya yang mulai terasa cepat. Perlahan dia membuka mata dan melihatku. Bukan tatapan tajam yang biasa dia bagi untuk fans ataupun kamera. Lembut, dan bergetar. Tangannya meraba punggungku perlahan.  Ada sesuatu yang ingin dia ungkapkan.

“Hyunie?”

“Aku sayang kamu, JiYong.”

Jantungku berhenti.

Ini bukan pernyataan yang pertama darinya untukku dan untuk yang kesekian kalinya pula aku ‘mati’.

Tolong, tolong jangan buat aku jatuh lebih dalam lagi.

Berhenti, Kwon Jiyong.

“Bodoh.”, lalu ku memeluknya, memendam kepalaku di lehernya yang kokoh penuh aroma tubuhnya. Aku yang biasa membagi cinta dan hati untuk banyak orang, untuk kali ini, untuk yang satu ini aku tak ingin membaginya pada siapapun. Tidak boleh ada yang menyentuhnya. Dia milikku, dia punyaku. Choi Seung Hyun punya Kwon Ji Yong.

“Kau malu ya?”, dia mencium kepalaku dan tertawa. “Aku juga malu, tapi itu keluar begitu saja.”

“Hmm…”, aku mencium lehernya dan mulai merasa kantuk lagi.

“Tidur ya, JiYong. Besok kita konser lagi.”, aku merasakan tangannya satu di punggungku dan satu lagi sibuk mengelus rambutku yang lembab.

“Hmm…Hyunie?”, tanyaku sambil mulai menutup mata.

“Ya?”

“Aku sayang kamu. Tolong tetap bersamaku.”, lalu ku tertidur. Aku tak peduli apa yang orang lain bilang tentang ku, tentang dia. Yang pasti saat ini, inilah kami, setelah banyak yang sudah kami korbankan, banyak yang sudah kami lalui. Inilah kebahagian kami.