Friendship, thin straps and expectations

Friendship, thin straps and expectations

            Saat itu kami masih duduk di bangku sekolah menengah pertama dan menghabiskan waktu bersama sepanjang siang. Selalu terburu-buru untuk berlomba mencari tempat duduk di sepinggir jendela karena pada saat itu para pemandu sorak akan menghalangi letak strategis untuk sekedar melirik pemain basket andalan sekolah. Dan kami benci hal itu.

            Kami biasanya akan menerobos kumpulan cahaya yang menumpuk di altar –kantin kami memilikki ujung dengan nama yang membosankan– dan menyusup ke depan agar terhindar dari makanan berbau zaitun. Biasanya yang terakhir akan mendapat makanan sampah. Lalu berikutnya kami berlari lagi ke tempat favorit sepanjang masa.

            Ada kalanya kami hanya duduk diam di atas bukit belakang sekolah dan saling menunjukkan ekspresi siapa–yang–paling–bodoh–di antara kami dan aku selalu menang. Aku pintar dalam hal ini, tetapi payah dalam segala hal yang normal, sedangkan Luhan begitu sempurna, Luhan menjadi dambaan dan aku menjadi si lamban yang sulit bergaul.

            Aku tidak begitu peduli pembicaraan orang-orang atau Chanyeol si murid pujaan seluruh anak-anak yang mengatakan kami sangat bertolak belakang, sebenarnya aku tahu, tetapi selama ini peranku menjadi anak tuli sudah tersohor di mana-mana dan berakhir Luhan yang akan membelikanku eskrim coklat di toko ujung jalan.

            Bagiku tidak ada masalah jika para anak lelaki akan berkumpul di pojok atau ujung kantin penuh cahaya saat jam siang yang membosankan dan membicarakan Luhan yang begitu mendewa bagi mereka, aku tidak marah, mungkin yeah, aku terkadang iri, kami berbeda dan sekali pun itu terjadi, jarang aku mendengar Luhan membahas hal itu saat kami keluar di musim panas seperti beberapa hari yang lalu. Luhan sama sepertiku, berpura-pura tuli. Namun terkadang aku dapat melihat rona merah muda tipis di pipinya yang lucu.

             Semua tak kepedulianku selama ini direspon baik oleh Luhan, kadang-kadang dia menemuiku di kelas dan anak perempuan akan berteriak karena melihat anak lelaki selucu dan sekeren Luhan, biasanya jika hal itu terjadi Luhan akan tersenyum pada mereka sementara jari-jari kecilnya menuntunku keluar dari kelas. Seringnya aku kesal pada Luhan, kenapa dia harus tersenyum? Kenapa dia tak bisa saja menyembunyikan senyuman itu untukku sendiri?

            Tetapi kesalku hanya berlangsung beberapa menit atau mungkin detik, karena begitu keluar dari kelas, Luhan akan membelikanku puding yang sangat manis! Juga menemaniku menggambar di ruang teater sekolah yang jarang dipakai. Luhan akan selalu bertanya padaku, “Hunnie, are you happy with me?” lalu aku akan mengangguk dengan bersemangat dan dia akan tertawa kecil dengan pipi merona yang membuatku ingin menciumnya. Luhan memang lucu dan keren. Tetapi ketika kembali memikirkan hal itu, aku merasa kecil dan menciut di bawah jari kaki Luhan, bahwa memang terkadang kerendahan itu kembali melemparku dalam kenyataan yang sebenarnya.

            Tetapi hal itu tak berlangsung lama, Luhan sangat berbeda saat berjalan di sampingku pada hari Kamis. Luhan diam dan murung sepanjang perjalanan kami ke bukit belakang sekolah. Ini tidak pernah terjadi, semestinya Luhan tertawa dan bersikap ceria karena akan menuju tempat favoritnya. Ketika aku bertanya apakah ada masalah yang terjadi, Luhan hanya mengangkat kepalanya dan tersenyum padaku, meyakinkan bahwa semuanya baik-baik saja. Aku diam dan hanya tersenyum sekilas, namun memikirkan alasan apa yang sebenarnya terjadi.

            “Mungkin dia sedang ada masalah!” kata Baekhyun padaku suatu hari saat aku memutuskan untuk menceritakan masalah murungnya Luhan belakangan ini.

            “Tetapi apa? Luhan tidak pernah mengatakan apapun padaku!” sangkalku, separuh mengiyakan dan separuh tidak percaya jika Luhan akan melakukan hal seperti ini pada sahabat sejak kecilnya. Luhan biasanya akan bercerita tentang apapun, walau itu sekedar Clara (kucing betina milik Luhan) sedang sakit dan terkena flu. Atau saat petugas sampah tidak membuang sampah di kompleks kami tepat waktu.

            Baekhyun memutar bola matanya dan menusuk-nusuk daging domba di hadapannya dengan bersemangat. Itu artinya dia sedang dalam tahap berpikir serius. “Sehun,” bisiknya pada piring yang diamatinya. Lalu menempelkan seluruh wajahnya pada selembar tisu di atas meja. “baiklah, tetapi kuharap kau jangan pernah marah padaku atau apapun itu ya? Berjanjilah dulu padaku (aku tidak menjawab sementara ucapannya semakin rumit) walau kita masih anak-anak. Yeah. Kau tahu, eum mungkin… Luhan bosan bermain denganmu.” dia betul-betul berbisik saat itu, antara khawatir dan lega, mungkin, tapi dia pasti mengerti jika aku tak akan percaya. Dia benar, aku tak percaya kalimat itu akan terungkap begitu mudahnya –walau lambat– namun saat kupikir-pikir kembali, apakah benar Luhan bosan denganku? Bosan bermain denganku? Atau dia memang akan memilih bersama kumpulan anak-anak populer?

            Dan jawabannya ada pada hari berikutnya saat aku melangkahkan kaki ke dalam perpustakaan, ini adalah salah satu tempat favorit kami juga jika ingin membolos pelajaran Mr. Robert yang membosankan. Aku melihatnya, di tempat biasa namun ini sangat berbeda. Luhan tidak sendiri, dia bersama para anak-anak basket. Luhan pernah bicara padaku kalau dia ingin sekali masuk kelompok tersohor itu. Luhan tertawa sementara di sampingnya anak-anak lelaki berbondong melakukan hal idiot. Itu bukan masalah serius, namun yang begitu membuatku ingin menangis adalah si anak lelaki populer yang begitu tinggi daripada Luhan berada di sampingnya. Kris bersama para teman-temannya yang lebih seperti perkumpulan para gangster melekat padanya. Bahkan bagiku dalam sudut ini begitu mesra. Semakin merasa terpuruk ketika Luhan tidak sengaja menatapku, kali ini dia tidak tersenyum atau melambai untuk sekedar basi-basi menyuruhku menghampirinya dan Luhan akan mengenalkanku pada mereka.

            Tidak. Luhan bahkan mengalihkan pandangan. Wajahnya meredup, tak bersemu seperti biasanya, dan aku dapat melihat sinar-sinar mata yang dulu sering kukagumi menghilang begitu saja.

***

            Hari-hari kulalui tanpa Luhan. Dan kini aku semakin tak terlihat. Dulu aku masih bergantung pada Luhan tentang menaikkan popularitas walau pun aku tidak begitu menyukai tatapan orang-orang. Tetapi semakin lama aku hanya sekumpulan kabut dan kini tak nampak sama sekali.

            Beberapa hari setelah kabar Luhan masuk anggota tim inti basket, aku masih bisa tersenyum, menyelipkan kebanggan pada sahabatku sejak kecil, walau yeah, mungkin dia sudah tak menganggap diriku sahabat seperti perkiraan. Aku masih dapat menemukan kesabaranku saat melihatnya menggiring bola dan para anak perempuan sepanjang bench berteriak padanya. Hei ini sahabatku yang lucu dan keren!

            Tetapi lama kelamaan aku muak, perasaan kesal itu meninggi dan datang secepat bus yang lewat di halte ujung kompleksku. Luhan semakin menyebalkan dengan segala sikap angkuh dan congkak yang ditunjukkannya. Bukan hanya menganggapku tidak ada, kini semakin menjadi-jadi sifat asing itu melekat dalam seluruh dirinya. Luhan tidak pernah menjemputku untuk berangkat sekolah bersama, Luhan tidak pernah menemaniku tidur-tiduran lagi di bukit belakang sekolah, dan yang paling penting dari semua hal konyol ini, Luhan tidak pernah mengikutiku untuk melukis lagi. Itu menyedihkan.

            Pernah suatu hari aku berusaha ingin memperbaikki hubungan kami agar seperti dulu dengan cara menjemputnya di kelas dan mengajaknya membolos, namun yang kudapat tak lebih dari sebuah kalimat menyakitkan yang tak pernah sekali pun kudengar dari mulutnya.

            “Maaf ya Sehun. Mulai sekarang kita tak usah bertemu lagi. Lihat! Aku sudah menjadi teman-teman para anak populer juga anggota tim basket. Kau tahu ‘kan ini impianku? Terkadang aku berpikir setelah semua ini terjadi, ternyata aku terjebak bersamamu selama ini. Namun kukira sudah saatnya kau mencari teman baru! Baiklah Sehun, selamat tinggal.” Dengan itu semua dia meninggalkanku dalam sebuah tawa di kelas yang jujur saja, aku tak sanggup menanggung malu. Terlebih ini pertama kalinya Luhan berbicara begitu padaku, padahal sejak dulu dia tak akan pernah membiarkan selarik pun kata buruk untuk masuk dalam telingaku. Panggilan Sehun juga terasa aneh keluar dari mulutnya.

Mulai saat itu kami tidak pernah sekali pun bertemu lagi. Jika tidak sengaja aku melihatnya di koridor yang ramai, aku akan menyelipkan diri di antara ratusan murid dan mensyukuri bahwa tubuhku cukup untuk ditelan orang-orang. Atau ketika makan siang bersama, aku berusaha mematenkan mataku pada piring di hadapanku dan untungnya Baekhyun bersiap menjadi tembok untuk menghalangi mataku melirik padanya.

Yah, awalnya memang sulit. Kadang-kadang aku menangis dalam diam di tengah malam dan berpura-pura sedang tidak lapar jika ibu mengetuk pintu dan menyuruhku untuk turun. Semua ini kulakukan agar setidaknya nama Luhan yang melekat di hatiku hilang perlahan-lahan, dan untungnya berhasil melalui berbagai tahap yang sulit.

Aku tidak lagi kecewa saat menemukan Luhan berjalan dan semua anak-anak anggota basket yang  menjulang berdiri di sampingnya serta merta menenggelamkan tubuhnya, mengekorinya bagai belalang sembah. Juga ketika Luhan membuang sampah di pagi hari dan melihatku akan berangkat sekolah, sejak saat itu aku memang lebih memilih berangkat pagi-pagi dengan alasan agar tak bertemu dengan Luhan.

Kejadian ini berlangsung sampai akhir semester di kelas tiga. Kami tak pernah berhubungan lagi selama itu, dan kini aku berteman dekat dengan Jongin. Dia memang berbeda dengan Luhan, semua fisiknya. Sifatnya yang dingin cenderung terlihat seperti tidak peduli. Namun Jongin begitu melindungiku. Jongin jarang tersenyum, tetapi saat tersenyum matanya berkilat-kilat jenaka.

Jongin selalu menemaniku kemana pun, dia setinggi denganku. Tetapi tak pernah sekali pun mengeluh atau sekedar malu jika berjalan sejajar denganku, karena dengan itu, kami memilikki banyak kesamaan. Saat makan siang, Jongin pasti akan menceritakan pertandingan bola semalam yang dilihatnya bersama sang ayah. Menambah kilatan matanya menjadi sinar terang. Dan aku mulai sadar jika aku menyukai Jongin lebih dari seorang teman. Namun aku tak ingin membuat semua ini hancur karena aku tak dapat menyaring pikiranku sendiri.

Hingga suatu hari Jongin mengejutkanku dengan seluruh kalimatnya juga senyuman malu-malu dan pipi yang merona. Dia menyukaiku dan ini seperti pertanda baik meluncur cepat dalam hidupku. Aku senang, aku bahagia dan aku merasa saat ini menjadi orang paling beruntung di tahun terakhir sekolah. Aku tidak lagi malu bergandengan tangan melewati koridor ramai jika bersama Jongin, aku juga tidak pernah merasa kesepian lagi. Karena bagiku Jongin segalanya.

Namun suatu hari kejutan itu bertambah lagi. Saat aku sedang membereskan seluruh alat lukis di gedung teater yang kosong, suara pintu berderit membuatku terlonjak, bukan itu yang utama, tetapi seseorang yang bahkan selama ini masih saja membuatku berpikir apa kesalahanku.

***

“Hunnie?”

Luhan saat itu berjalan dengan langkah kecil-kecilnya seperti yang masih teringat di kepalaku. Luhan tidak berubah, mungkin saja jika dia tidak berdiri di depanku, aku akan meyakini persepsi itu, namun sekarang dia lebih tinggi beberapa centi dari yang lalu. Dan wajahnya terlihat murung, ekspresi yang kuingat terakhir kali saat bersamanya. Bahkan aku tidak sadar dia memanggilku dengan kata favoritnya.

Aku menatapnya bingung. Apa dia sedang ada masalah? Karena jika begitu, pasti dia sulit tidur, Luhan selalu menceritakan itu saat kami makan siang bersama. Sejujurnya aku ingin memeluknya, dan meneriakkan bahwa aku merindukan Luhanku lebih dari apapun. Namun ketika mengingat apa yang ia lakukan padaku, egoku menang. Dan aku terlihat jahat.

“Ada apa?” aku bertanya saat dia tidak kunjung berbicara. Aku bisa melihat ujung-ujung matanya melirikku takut-takut, dan alisnya bergelung tidak sabar. Sebenarnya itu lucu omong-omong.

Akhirnya Luhan menatapku. Bibir bawahnya pucat dan ada bekas gigitan samar. Luhan pasti benar-benar ketakutan. Maka dari itu aku tersenyum, berusaha menampakkan sifat yang wajar, yang begitu ingin sekali kulakukan pada Luhan sejak dulu. “Luhan ada masalah?”

Ini pertama kalinya aku mendengarnya menangis. Luhan terisak diselingi cegukkan kecil. Aku tidak tega, jadi aku memeluknya erat. “Tidak apa-apa, jangan menangis. Walau Luhan ada masalah, aku akan tetap menjadi orang yang pertama mendengarkan Luhan. Yah jika Luhan mau.”

“Hun maafkan aku! Maafkan aku!” Luhan meronta seperti anak kecil, aku jadi teringat masa kecil kami. Dan ia menyurukkan kepalanya di leherku. Menangis semakin keras dan itu membuatku ingin melindunginya. Walapun kenyataan Luhan lebih tua beberapa bulan dariku.

“Aku merasa bersalah. Seharusnya aku tidak meninggalkan Hunnie dulu dan bergabung dengan mereka. Harusnya aku menyadari jika Hunnie lebih baik segala-galanya dari apa pun. Aku, aku rasa ini kesalahan terbesarku Hunnie!”

Dalam hati aku mengiyakan, ingin menangis menemaninya, tetapi berusaha meyakini jika ini adalah masa depan dan semua sudah berubah. Aku tidak akan menjadi anak kecil di mata Luhan, atau anak manja. Sehun si parasit sudah dapat berdiri sendiri.

Aku melepas pelukkannya lalu mencium pipinya. Luhan menghapus air matanya dan menatapku dalam-dalam. “Walau Luhan membuatku sedih dan nyaris mengubur diriku dalam ribuan pasang mata yang membicarakanku dengan jahat, aku akan tetap menerimamu apa adanya. Luhan tetap sahabatku dan selamanya begitu.” lantas aku tersenyum. Luhan masih mengamatiku diam-diam.

“Bestfriends?”

Aku memukul bahunya. Ia mengerang tetapi berusaha tersenyum. Aku tahu walau memang ini tidak akan merubah apa pun, tetapi memang ada perubahan kecil di antara kami. Mungkin setelah ini aku tidak akan terlalu sering bermain bersamanya atau menghabiskan sepanjang malam untuk berteriak di balkon. Namun aku percaya kami akan menjadi si pemimpin dalam gebrakkan sekolah nanti.

Ya, Luhan akan selalu mendapatkan tempat di hatiku. Setidaknya walau memang tak sebesar dulu, aku akan selalu menyayanginya.

E n d

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
seideer #1
Chapter 1: Wowwww persahabatan yaaa..
Tema nya wajar sih.. Ga berley..
Krn itu kdg konflik yg dihadapi anak muda..
Perasaan ingin di akui..