Chapter 3

From the Beginning
-CHAPTER 3-

 

 

2 minggu telah berlalu dan aku tidak meninggalkan rutinitasku melihat laut menelan matahari setiap hari. Aku tetap duduk dipantai ini sampai bulan telah keluar dari persembunyiannya. Semua nya masih sama.

Sampai malam terakhir aku berada di Daegu-pun aku masih melakukan rutinitas itu. Hari ini aku memutuskan untuk duduk lebih lama. Memutuskan untuk melihat bulan yang semakin meninggi. Sampai pukul 10 aku duduk di pantai dan menunggu Jongin.

Tapi sampai keesokan harinya pun. Jongin benar-benar tidak ada.

#

Sekolah masih terasa sangat sepi di pagi hari seperti ini. Apalagi ini hari pertama masuk setelah liburan musim panas. Aku berjalan dengan pelan di lorong sekolah yang terasa panjang dan kosong. Ku lihat pintu kelasku masih tertutup rapat.

Klik~

Aku mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kelas. Lagi-lagi aku orang kedua yang datang. Tapi, tunggu aku tidak salah lihat kan? Itu Jongin. Itu benar-benar Jongin. Jongin tengah duduk di kursi nya sambil menatapku.

“Jong..Jongin?” aku tergagap. Masih belum percaya bahwa aku akan melihatnya lagi sekarang. Aku pikir dia sudah menghilang entah kemana saat malam itu di pantai. Karena aku tak melihatnya lagi selama di Daegu bahkan sampai hari terakhirku sebelum pulang ke Seoul.

“Hai, apa kabar?” Jongin menyapaku dengan senyum yang mengembang diwajahnya.

“Kyungsoo, kau baik-baik saja? Kenapa masih berdiri disitu?”

Aku masih terpaku di depan pintu. Selaan Jongin menyadarkanku untuk berjalan duduk mendekati kursiku. Jongin benar-benar ada disini sekarang.

“Kau kemana saja? Ehm…maksudku setelah malam itu, kau benar-benar menghilang” mungkin terdengar lucu. Aku benar-benar khawatir dengan Jongin saat itu. Aku pikir dia sudah dimakan rakun dan bangkai nya terbawa ombak.

“Ah, malam itu.”

Jongin terdiam, dia gelisah. Bimbang antara ingin menjawab atau tidak. “A..Aku tidak ingat”

“Maksudmu?”

“Setelah pertemuan kita waktu itu aku mencoba untuk tertidur barang sejenak di tepi pantai. Tetapi sore telah berganti malam. Aku merasakan sakit, amat, di sini. Lalu aku tak ingat apa-apa”

Aku mengikuti jarinya pelan. Dia menunjuk ke arah jantungnya. Jadi, Jongin sakit? Begitukah? Aku tertarik dengan anak satu ini. Entah kenapa rasanya dia begitu misterius.

“Kau sakit?”

“Apakah kau orang yang tepat?”

“Maksudmu?” aku tak mengerti apa yang dibicarakannya. Sungguh.

“Aku tak pernah membicarakan hal ini sebelumnya dengan siapapun- yah kecuali orang tua ku tentunya.”

“Oh, yasudah” aku tau maksudnya. Aku mengerti sangat mengerti akan privacy yang Jongin katakan dengan perumpamaan yang begitu halus.

“Tapi…” ada nada menggantung disana. Aku terdiam menunggu penjelasan selanjutnya.

“Aku rasa kau orang yang tepat. Bukan begitu kawan?” JDER- seperti petir yang membelah langit aku merasakan itu didalam pikiranku. Aku yakin aku mulai keluar dari batas yang telah aku tentukan.

Tapi tidak tahu kenapa, kali ini rasanya hanya pikiranku yang menolak. Sedangkan hati ini? Hati ini diam saja seakan ikut menunggu apa yang akan terjadi berikutnya.

“Y..Ya.”

“Aku mengidap aterosklerosis. Kau tau itu apa?” Jongin memulai ceritanya. Kini dia memutar kursinya menghadapku. Aku menggeleng dengan ragu sambil menatap matanya. “Aku tidak tau”

“Penyakit jantung diakibatkan pengumpulan lemak (lipid) di sepanjang dinding arteri. Lemak ini kemudian mengental dan mengeras, lalu akhirnya mempersempit saluran arteri sehingga mengurangi suplai oksigen maupun darah ke organ-organ tubuh. Timbunan lemak yang mengeras di dinding arteri ini disebut plak. Bila plak menutupi saluran arteri sepenuhnya, jaringan yang disuplai oleh arteri akan mati. Bila arteri jantung (arteri koroner) yang tersumbat, maka penderita akan terkena angina, serangan jantung, gagal jantung kongestif, atau irama jantung abnormal.”

Jongin bercerita dengan tenang. Sangat malah. Kata-kata itu meluncur dari bibirnya tanpa jeda seakan dia sudah mengahafal itu semua untuk mata pelajaran di ujian. Setelah selesai Jongin menghela nafas panjang lalu diakhiri dengan senyuman di atas bibir tipisnya.

“Jongin…..”

“Ya?”

“A….aku” aku terdiam. Tidak tau apakah aku boleh melanjutkan pertanyaan yang sudah tersangkut di tenggorokanku ini.

“Kau mau mendengar detak jantungku?” Jongin tersenyum sembari menarik tanganku pelan. Aku mengangguk dengan ragu. Sekarang tangan Jongin tengah menuntun kepalaku menuju dadanya. Ku pejamkan mataku pelan dan kubiarkan tangan Jongin menyandarkan kepalaku.

“Jongin maaf” hanya itu kata yang aku bisa katakan setelah mendengar detakan jantungnya. Sekarang kelas sudah terisi banyak orang. Sebentar lagi bel akan berbunyi. Aku melepaskan tangan Jongin di atas kepalaku dan membetulkan posisi dudukku kembali seperti semula.

Selama pelajaran aku sama sekali tidak dapat berkonsentrasi.

-

Jantung Jongin berbeda.

Detaknya berbeda.

Kata-kata itu terngiang dibenakku selama satu hari ini, seperti tape yang terus memutar tanpa henti. Aku tak bisa mendeskrispsikan bagaimana bunyi detakan jantung Jongin. Yang jelas itu terdengar seperti pintu yang digedor dan dipaksa masuk. Dan itu sangat menggangu. Bunyi detak jantung Jongin sangat menggangu. Aku tak bisa berlama-lama mendengarnya.

Waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam. Hari ini aku pulang agak larut karena aku harus mengikuti kelas tambahan di sekolah. Kurikulum dan materi yang berbeda antara Korea dan Canada membuatku sedikit kewalahan untuk mengejar materi.

Aku menyusuri lorong-lorong yang sepi dan terasa begitu panjang. Semua pintu kelas sudah terkunci dengan rapat kecuali satu pintu besar yang berlabel “Ruang Tari”. Alunan musik jazz mengalun pelan lewat celah pintu yang tidak terkunci itu. Dengan pelan ku tarik sadel nya dan terlihatlah seorang namja masih dengan seragam lengkapnya tengah meliuk-liuk kan anggota tubuhnya di depan cermin besar. Kaki nya yang begitu jenjang berputar dan mengayun ke kiri dan ke kanan. Terlihat beberapa butir keringatnya jatuh melalui pelipisnya.

“Yeogiso boanya?”

“Ah, ma…maaf menggangu. Ku pikir sudah tidak ada orang.” Bodoh. Aku merutuki diriku sendiri karena sudah tertangkap basah. Jongin pasti berpikir yang tidak-tidak tentangku sekarang. Aku menunduk dan segera mundur untuk kembali menutup pintu sebelum-

“Kyungsoo tunggu”

Aku menyusuri jalan pulang bersama Jongin. Aku tidak mengerti kenapa Jongin memintak untuk pulang bersama tadi. Aku mencoba membuka suara, mencoba mengajak Jongin bicara.

“Eum, kau suka menari?” pertanyaan bodoh batinku pelan. Pasti Jongin akan mengejekku karena menanyakan ini padanya.

“Sangat. Menari adalah segala-galanya bagiku.” Jongin menjawab sembari tersenyum.

“Apakah penyaki….” Aku terdiam dan membeku ditempat. Aku menggigit bibir bawahku sambil memejamkan mata. Bodoh, aku benar-benar bodoh. Kenapa aku bisa mengeluarkan pertanyaan seperti itu? “Jongin pasti marah” aku membatin.

“Wae? Kenapa berhenti? Pasti kau ingin bertanya, apakah penyakit ini tidak menyulitkanku?” Jongin tertawa dengan sangat renyah. Dia menyunggingkan senyum disudut bibirnya dan menarik tanganku agar kembali berjalan.

“Tidak. Tidak sama sekali. Malah jika aku menari aku akan melupakan rasa sakitnya. Malah dengan menari aku merasa menjadi orang yang paling sehat di dunia. Kau lihatkan tadi? Betapa kerennya aku saat menari?”

Jongin benar-benar membuatku terkesan dengan semua perkataannya. Dari awal aku memang sudah yakin. Jongin memang berbeda. Kami kembali berjalan seperti biasa. Tiba-tiba kurasakan tangan Jongin menyelinap diantara perpotongan bahu dan leherku.

“Mendekatklah, malam ini agak terasa dingin.” Jongin makin merapatkan tubuhku ke tubuhnya. Kami terus berjalan beriringan. “Tidak terasa sebentar lagi musim gugur” Jongin menambahkan dengan desahan yang lumayan panjang.

“Kenapa kau mendesah? Kau tidak suka?” Aku membuka suara. Jongin terlihat seperti memikirkan sesuatu. Mata nya terlihat kosong.

“Ani, aku hanya ingin tau sampai musim mana aku dapat bertahan.”

Aku menghentikan langkahku. Ku palingkan kepalaku untuk melihat wajah Jongin. Aku benar-benar tidak menyangka dia akan berbicara seperti itu. Sebegitu parahnya kah penyakit Jongin?

“Masuklah, ini rumahmu kan?”

Tidak terasa perjalanan ini sudah berakhir. Kupikir kami akan berjalan hingga keesokan hari. Rasanya aku tidak ingin berpisah dengan Jongin. Masih banyak pertanyaan yang masih menggantung di tenggorokanku., menunggu untuk dikeluarkan. Tapi Jongin, seakan bisa membaca pikiranku dia berkata.

“Masuklah, kita bisa berbicara lain kali. Aku tau masih banyak pertanyaan yang ingin kau tanyakan. Oh ya, hanya ingin kau tau saja. Rumahku disebelah hehehe”

Sekarang Jongin sudah masuk melewati pagarnya dan hampir sampai didepan pintu rumahnya. Rasanya belum siap aku mencerna semuanya pada hari ini. Semua ini terasa begitu tiba-tiba.

“Kyungsoo, kau tidak ingin masuk kedalam rumahmu?”

-

Hari ini hari minggu di bulan September. Musim panas telah berganti menjadi musim gugur. Entah kenapa aku selalu takjub dengan musim gugur di Korea. Musim gugur disini sangatlah indah. Dengan cuaca yang stabil juga, tidak panas juga tidak dingin. Angin yan berhembus meyebabkan banyak dedaunan berwarna jingga keemasan itu jatuh berserakan dijalan. Lalu aku akan memotretnya dengan kamera ku dan setelah itu, akan kugantung semua di dinding yang sudah ku desain khusus untuk aku memajang semua hasil potret-an ku.

Semua hasil potret-an ku semenjak aku datang ke korea ada disini. Semuanya ku gantung dengan rapi di di dinding. Tapi hanya satu foto yang tidak aku gantung dan tetap aku simpan rapi di dalam kotak. Aku terus memandangi nya setiap malam. Betapa misteriusnya dia dimataku. Aku masih menunggu janjinya untuk bercerita dan menjawab apapun pertanyaan yang aku ajukan kepadanya.

Entah kenapa, kata-kata Jongin di jalan tadi tiba-tiba merasuki ku. “Aku hanya ingin tau sampai musim mana aku dapat bertahan”

Perlahan ku gerakkan kakiku sembari melirik komputer yang terletak manis di atas meja belajar. Aterosklerosis, sepersekian detik kemudian keluarlah semua informasi yang aku cari. Ku teliti satu persatu deretan kalimat yang ditampilkan layar komputerku. Ku pastikan tidak ada satu kata yang aku lewatkan saat membaca tadi. Utup

Aku membuka jendela di balkon yang terletak dikamarku. Jendela kamar Jongin tertutup dan lampunya telah dimatikan. Jongin pasti sudah tidur.

Angin dingin mulai berhembus dan membuat tengkuk ku bergetar. Angin ini mengingatkan ku pada malam itu, malam dimana Jongin merangkulku di jalan.

Aku membuka mulutku perlahan sambil tetap menatap jendela kamar Jongin yang tertutup. Aku menggumam sebentar, menimbang-nimbang apakah aku pantas berkata seperti ini? Tapi aku benar-benar serius kali ini.

Malam ini, hari ini, di musim gugur ini.

Aku akan terus menemani Jongin dan melihat sampai musim mana dia dapat bertahan.

.

.

TBC

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet