FINAL.

0330.

 

12 Januari, 2013. 03:30 pm.

Taemin berdecak penuh kekesalan. Sudah hampir setengah jam dan hujan belum berhenti. Di halte bis depan sekolah ia berdiri seperti orang linglung, melihat ke kanan dan kiri, siapa tahu ada bis lewat. Namun nasib seakan mengolok-olok keadaannya, siang itu tak ada satu bis pun yang lewat.

 

“Ya? Eomma tidak bisa jemput? Rapat mendadak? Gwenchana.. Aku naik bis saja.” Taemin merasa mengenali suara itu, ia menoleh –mencari sumber suara tadi.

 

“Taemin?” Sulli menangkap pandangan Taemin yang sedang mengamati seragam Sulli yang basah kuyup, Taemin nampak kikuk.

 

“S-Sulli.. Belum pulang?” Pertanyaan bodoh. Harusnya ia tak perlu bertanya karena ia sudah tau jawabannya. Taemin lantas menggaruk tengkuknya yang tidak gatal,

 

“Belum, eomma tidak bisa menjemput. Jadi naik bis saja.” Jawab Sulli dengan bibir yang menggigil kedinginan, namun ia masih berusaha tersenyum. Taemin hanya mengangguk perlahan. Ia lalu merogoh ranselnya untuk mengambil sesuatu,

 

“Bisnya mungkin datang agak terlambat. Aku sudah sejak tadi menunggu, tapi sampai sekarang belum ada bis lewat.  Pakai ini dulu, nanti kamu masuk angin.” Taemin menyodorkan jaket putih bertuliskan ‘Boston’ kesayangannya pada Sulli. Sulli masih menatap ragu tangan Taemin yang menyodorkan jaketnya pada Sulli.

 

“Kamu?” Taemin tidak menjawab, ia hanya menggeleng sambil tersenyum kecil. Tak masalah kedinginan, asal Sulli tidak kedinginan, pikirnya. Sulli tak kunjung mengambil jaket yang ada di tangan Taemin karena ia merasa tidak enak pada Taemin yang tidak mengenakan jaket. Taemin langsung saja memakaikan jaketnya pada Sulli, “Gomawo.” Sulli tersenyum manis pada Taemin. Degupan jantung Taemin seakan melewatkan satu degupan. Ya, ia memang selalu merasakan hal itu setiap ia di dekat Sulli. Taemin sudah sejak lama menyukai Sulli, namun ia tak cukup berani untuk mengungkapkan perasaannya. Terlalu banyak teman lelakinya yang menyukai Sulli juga, dan ia tidak ada apa-apanya jika dibanding dengan deretan nama yang mengantre untuk mendapatkan Sulli. Untuk bisa sedekat ini dengan Sulli saja ia sudah cukup bahagia.

 

“Taemin..” Sulli memecah keheningan di antara mereka. “Kau bisa main piano, kan?” Kakinya diayunkan ke depan dan ke belakang, sementara tangannya ditengadahkan ke luar untuk merasakan rintik-rintik hujan yang belum juga berhenti.

 

Taemin sudah kelewat nervous tak ada satu pun kata yang terlintas di benaknya untuk menjawab pertanyaan Sulli, lantas ia hanya mengangguk.

 

“Kalau begitu, kapan-kapan kau harus ajari aku main piano.” Taemin tersenyum, kali ini ia merasa lebih santai, “Tentu saja boleh.”

 

“Bagaimana kalau sekarang?” Raut muka Sulli tampak berbinar, ia tampak semangat. “Tapi ini masih hujan, ssul.” Sulli hanya terkekeh kecil, “Kau takut hujan? Ayolah.. Rumahmu tak jauh dari sini kan? Ayo kita hujan-hujanan. Lagi pula eomma-ku sedang tidak ada di rumah, jadi pulang terlambat pun tidak masalah. Ayoooo” Sulli menggeret tangan Taemin dan rintik-rintik air hujan pun mulai membasahi seragam mereka.

 

Cittttttttt. Mereka mendengar decitan mobil di depan halte. Taemin menengok ke belakang dan tidak ada apa pun, lalu Taemin mengangguk ke arah Sulli dan mereka berjalan pulang di bawah rintik hujan berdua.

 

---

 

Sepatu converse hitam yang basah kuyup itu tampak disandarkan begitu saja di depan pintu rumah Taemin, sedangkan si empunya sepatu sedang duduk-duduk di depan jendela ruang tamunya, mengamati hujan yang masih belum berhenti bersama Sulli di sampingnya. Sesekali ia mencuri pandang ke arah Sulli yang sedang meniup cokelat panasnya.

 

Ia menulis ‘T <3 S’ pada kaca jendelanya yang berembun –tulisan yang selalu dianggapnya norak saat ia menonton film-film romantis, dimana pemeran-pemerannya akan selalu menghembuskan napas di kaca, membuat kaca itu berembun dan saling menuliskan inisal masing-masing.

 

Sulli menoleh untuk melihat apa yang sedang ditulis Taemin, namun Taemin dengan sigap menghapus tulisannya dan berlagak sok cool –seakan-akan ia tidak melakukan apa-apa, dan berharap Sulli tidak pernah melihat tindakan noraknya tersebut.. Sulli terkekeh melihat kelakuan Taemin. “Jadi belajar pianonya?” Taemin mengalihkan topik. Sulli meletakkan mug berisi coklat panasnya ke meja yang berada di dekatnya kemudian mengangguk dengan semangat, “Ayo!”

 

Jari-jari telunjuk Sulli dengan kaku menekan-nekan tuts-tuts piano. Nampak jelas bahwa gadis ini tidak bisa bermain piano –sama sekali. Berkali-kali ia berdecak dengan penuh kekesalan melihat Taemin yang dengan piawainya memainkan piano. Taemin yang duduk di sampingnya dengan telaten mengajari Sulli. “Bukan, jangan pencet yang itu. Yang ini.” Begitulah seterusnya. Mereka tertawa berdua –menertawakan kebebalan Sulli yang selalu bersikeras bahwa dirinya benar padahal ia bahkan tidak bisa bermain piano, ia hanya menekan tuts-tutsnya semaunya saja.

 

“Taemin?” Minho, kakak lelaki Taemin tiba-tiba muncul dan mengamati Taemin dngan seksama. “Ya, hyung?” Taemin mendongak sambil tersenyum lebar. Sulli benar-benar membuatnya merasa bahagia. “Aniyo..” Minho pun menggeleng lalu meninggalkan dongsaengnya. Taemin menoleh ke arah Sulli dan mengangguk, mengisyaratkan mereka untuk kembali bermain piano.

“Kau kenapa tiba-tiba ingin belajar piano?” Taemin menengok ke arah Sulli lalu mengamati paras cantik gadis di sampingnya ini. Sulli tampak tersenyum, “Haruskah ada alasan?” Taemin tampak tertegun dan menggeleng, “Bagus. Karena aku tidak punya alasan pasti untuk belajar piano. Aku hanya ingin terlihat anggun. Tidakkah kau pikir bahwa gadis yang bisa bermain piano itu anggun?” Ia terus saja menekan-nekan tuts piano tanpa menoleh ke arah Taemin yang tenggelam dalam pikirannya, “Tidak. Anggun itu relatif.” ‘Kau tidak harus bisa bermain piano untuk menjadi anggun di mataku’ pikir Taemin.

 

Sulli mengechek jam tangan levis’-nya, “Sebaiknya aku pulang. Sudah larut. Gomawo, Taemin” Ia membungkuk lalu menenteng tas ranselnya dan keluar dari kediaman Taemin. Taemin bersandar di pintu sambil melihat punggung Sulli menjauhi rumahnya.

 

---

 

13 Januari, 2013. 06:45 am

Taemin dengan semangat menenteng tas ranselnya menuju sekolah. Tidak biasanya ia semangat sekolah seperti ini. Tentu saja kejadian kemarin membuatnya menjadi semangat sekolah. Bahkan sejak semalam ia menjadi susah tidur karena masih terbayang oleh Sulli. Ini yang namanya jatuh cinta batin Taemin. Ia selalu tidak percaya dengan omongan orang yang mengatakan bahwa perasaan senang akan datang terus menerus hanya dengan membayangkannya. Namun sekarang ia benar-benar percaya bahwa itu benar adanya. Apa lagi baru pertama kali ini ia bisa berinteraksi sedekat ini dengan Sulli.

 

Ia menengok sebentar ke kelas Sulli, namun Sulli ternyata belum datang. Ia lalu melangkahkan kaki ke kelasnya dan segera duduk di bangkunya, menunggu pelajaran yang akan dimulai dalam beberapa menit lagi.

 

‘kriiiingggg’ Murid-murid kelas Taemin tampak berkasak-kusuk hebat saat memasuki kelas. Taemin mengeryitkan dahi, ingin mengetahui gossip hebat apa yang sedang terjadi. Namun ia memutuskan untuk tidak mau tahu. Siapa tahu gossipnya tidak penting, seperti kali terakhrir sekolahnya digemparkan oleh gossip penting, Yunho seosangnim –guru olahraga, menghukum murid kelas tiga lari keliling lapangan 10x karena cintanya ditolak oleh Tiffany seosangnim –guru bahasa Inggris di sekolahnya yang terkenal sangat cantik.

 

Ia masih tersenyum saat membayangkan wajah-wajah kesal murid kelas tiga dan Changmin seosangnim pun memasuki kelas, “Anak-anak.. Mari kita berdoa sebentar untuk teman kalian yang kemarin baru saja meninggal.”

 

Senyuman di wajah Taemin pun lenyap, ‘siapa yang meinggal?

 

“Mari kita bersama-sama mendoakan Choi Sulli yang meninggal akibat tabrak lari kemarin. Berdoa mulai.” Mereka pun mulai menundukkan kepala –khidmat berdoa. Semua kecuali Taemin yang masih menolak pikirannya sendiri.

 

Tidak.. Sulli belum mati.’ Berulang kali ia mengatakan hal itu dalam pikirannya, namun kenyataan seakan ingin menunjukkan keberadaannya,

 

“Taemin, ini kartu pelajarmu yang tertinggal di jaket yang dikenakan Sulli kemarin.” Ia melangkah gontai ke depan kelas, mengambil kartu pelajarnya. Ia seakan dihempaskan ke tanah setelah kemarin ia dibuat melayang-layang oleh Sulli.

 

“Changmin seosangnim, saya ijin ke toilet.” Taemin pun segera meninggalkan kelas, tidak ke toilet melainkan ke luar sekolah untuk duduk di halte bis tempat kemarin mereka menghabiskan wktu sewaktu hujan. Ia terus mengamati tempat duduk kosong di sebelahnya yang kemarin ditempati oleh Sulli. Tak terasa air mata mengalir dari mata hazel Taemin. Makin lama, tangisan Taemin semakin menjadi-jadi seiring dengan otaknya yang kembali mengingat memori sebenarnya yang terjadi kemarin.

 

Decitan mobil itu awal dari kesedihannya hari ini. Decitan mobil itu yang mengakibatkan nyawa Sulli melayang, namun karena ia tak ingin momen bahagianya berhenti saat itu juga, ia terus membayangkan Sulli ada di sampingnya. Begitu pula dengan Minho yang tampak keheranan saat melihat Taemin tertawa sendiri waktu memainkan piano. Ia menutup telinganya sambil terus menggeleng. Suara decitan mobil itu masih terngiang jelas ditelinganya.

 

---

 

Taemin berjalan di tengah-tengah hutan saat gerimis siang itu, ia melihat sebuah piano tua dan seorang gadis sedang bermain piano dengan ransel yang disandarkan di sisi pianonya. Taemin terus berjalan mendekati gadis itu, dan saat ia sudah cukup dekat, gadis itu menoleh dan betapa terkejutnya Taemin, gadis itu adalah Sulli. Namun ia tak peduli. Ia merindukan Sulli. Sangat. Taemin yang masih mengenakan seragam segera duduk di sebelah Sulli dan bermain piano bersamanya. Kali ini mereka tak saling menertawakan kekonyolan masing-masing, melainkan tenggelam dalam diam. Namun Taemin merasakan damai dalam kesunyian ini. Hanya dentingan piano dan senyuman Sulli sudah mampu mennangkan pikirannya.

 

Saat ia masih berkutat dengan tuts-tuts piano, tanpa ia sadari lengan Sulli telah mengalung pada pinggannya dan kepala Sulli pun telah bersandar di bahu Taemin, “Saranghaeyo.” Bisik Sulli pelan.

 

“Kringgggg” Telepon genggam Minho yang tertinggal di kamar Taemin berbunyi dan membangunkan Taemin dari mimpi indahnya. Dengan malas ia bangun dan mematikan telepon yang-entah-dari-siapa-itu. Ia melirik jam digital di meja yang terletak di samping kasurnya, ’03:30 AM’

03:30 Hello-Goodbye.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
younicorn
#1
Chapter 1: sad ending </3
tapi kereenn c::
SohAnna #2
Chapter 1: Can you make an eng ver of this???
kira27 #3
Chapter 1: so you're an Indonesian ??
ahh so heart breaking
kenapa sulli harus mati :((