One Step To Heaven

One Step To Heaven {oneshot}

Dari segala hal yang ia benci, baginya yang terburuk adalah mendengar ibunya menangis.

Jadi ketika isak tangis ibunya bahkan terdengar sampai ke lorong rumah sakit tempat ia menunggu, Son Naeun hanya duduk diam sambil menutup kedua telinganya.

“Tidak, saya tidak ingin kehilangan anak saya dokter! Saya mohon tolong lakukanlah sesuatu!”

“Saya sudah melakukan semampu yang saya bisa, tapi penyakitnya sudah tidak bisa dihindari lagi. Saya… turut sedih untuk Anda, nyonya.”

Dan kemudian raungan ibunya pun semakin mengeras. Ia pun meringkuk di kursinya, berharap dengan begitu suara yang menyayat hati itu tidak lagi terdengar.

 

:::

 

Salah satu hal yang paling ia senangi dari pekerjaannya adalah pakaiannya. Toh ia akan tetap dengan suka rela berpakaian serba hitam meskipun pekerjaannya tidak menuntutnya untuk seperti itu, tetapi pekerjaannya rupanya begitu mengerti dengan selera berpakaian yang ia miliki. Dengan begini ia mempunyai alasan berlebih untuk selalu mengenakan warna favoritnya itu.

L menangkupkan payungnya (yang juga berwarna hitam) dan mulai mengeluarkan folder hitam yang berisi ‘tugas’nya yang baru. Pekerjaannya memang selalu menuntut waktu yang berlebih dengan membanjirnya daftar tugas yang harus ia selesaikan. Terkadang ia bertanya-tanya kenapa populasi manusia tidak pernah habis, meskipun ia juga tidak menyukai jika ada bencana yang memakan banyak korban. Bencana-bencana seperti itu hanya akan membuatnya bekerja ekstra keras.

Tangannya berhenti di halaman yang ia cari, dan ia mengamati halaman tersebut dengan seksama. Sebuah foto dan biodata orang tersebut tertulis dengan jelas di sana. Satu jiwa lagi untuk diambil, dan kini sudah saatnya bagi L untuk bekerja.

 

:::

 

Setiap hari pukul setengah tiga sore, jika hari cerah maka Naeun akan melewatkan sorenya di taman yang berada tepat di bawah kamarnya. Dan memang taman itu akan penuh dengan para pasien tetap yang sedang mencari udara segar. Berada di dalam kamar persegi yang mereka terus-menerus temui terkadang memuakkan, maka berjalan-jalan di taman adalah alternatif lain untuk mengusir kejenuhan mereka. Termasuk Naeun.

Pada hari itu matahari benar-benar bersemangat, sehingga menularkan energinya pada Naeun yang sangat antusias. Sayangnya jalan-jalan sorenya harus ia lewatkan sendiri tanpa ditemani oleh ibunya atau teman sesama pasien yang ia kenal seperti Jaekyung yang masih menjalani terapi berjalan atau Jinri dari kamar sebelah yang beberapa hari lalu baru saja mengalami trauma di kepala. Jadi pada sore itu Naeun hanya duduk-duduk di taman tanpa ditemani oleh siapa-siapa, kecuali seekor kucing hitam yang tiba-tiba muncul entah dari mana.

Naeun mulai bermain-main dengan kucing itu, anehnya meskipun kucing hitam ini tampaknya tidak memiliki pemilik tetapi kucing liar itu bertingkah sangat jinak kepadanya. Kucing itu sama sekali tidak memprotes meskipun Naeun mengelus-elus, menggendong, ataupun membaringkan kucing tersebut.

“Apa Anda tidak lelah berdiri terus seperti itu?” kata-kata itu keluar dari mulut Naeun yang kini mengelus-ngelus kucing yang sedang tidur di pangkuannya. Tentu saja kata-kata itu  bukan ditujukan untuk si Kucing. Tetapi untuk seseorang (atau mungkin sesuatu) yang lain.

“Kau bisa melihatku?” Naeun mendongak dan beradu pandang dengan seorang lelaki yang berpakaian serba hitam. Yang gadis itu sadari telah berdiri di sana sejak tadi tanpa menggerakkan satu otot pun. Pria berpakaian serba hitam itu tampak sedikit terkejut begitu tahu Naeun sedang berusaha berbicara dengannya.

Naeun hanya tersenyum kecil, “Dan tampaknya orang lain tidak menyadari kehadiran Anda. Jadi aku rasa Anda adalah ‘sesuatu’ yang seharusnya saya dan orang-orang di sini tidak sadari keberadaannya?” Naeun bisa melihat dengan jelas wajah pria itu sedikit tertekuk ketika ia selesai bicara.

“Ya. Seharusnya.” gumam pria itu dengan wajah dikerutkan, “Manusia-manusia spesial seperti dirimu adalah hal yang merepotkan.”

“Dan jika Anda menyebut kami ‘manusia’ lalu kalau begitu, siapa Anda sebenarnya?” untuk ukuran seorang gadis polos yang bisa melihat sesuatu yang seharusnya tidak bisa dilihat, Naeun tergolong sangat tenang menghadapi ini semua.

Pria itu untuk sesaat hanya diam dan menatapnya. Sebuah tatapan yang tajam, pikir Naeun. “Namaku L. Dan aku adalah ‘shinigami’ yang ditugaskan untuk mencabut nyawamu.”

Dan sejujurnya bukan sebuah senyuman yang L kira akan keluar sebagai reaksi pertama dari gadis itu.

“Ternyata dugaanku benar. Senang bertemu denganmu, Tuan Shinigami.”

 

:::

 

“Jangan lupa meminum obatmu ya nak, dan jangan berkeliaran di lorong atau di taman tanpa ada siapapun yang mengawasimu, kalau ada sesuatu yang kau butuhkan pencet tombolnya dan suster akan datang.”

“Ibu tidak perlu khawatir, dan lebih baik ibu cepat-cepat berangkat sebelum terlambat.”

Ibunya memandang Naeun cukup lama sebelum akhirnya wanita paruh baya itu mengelus-elus rambut dan mengecup dahinya. “Ibu akan berusaha pulang cepat hari ini, dan semoga rapat direksinya tidak memakan waktu. Ibu pergi dulu.”

Ketika ia yakin ibunya sudah benar-benar pergi, Naeun menoleh ke pojok kamar dari tempat tidurnya. “Kalau Anda tidak akan mencabut nyawaku sekarang, lalu kapan?”

L sekarang sudah mulai terbiasa dengan pertanyaan-pertanyaan aneh yang selalu diberikan oleh gadis ini. Ia harus mulai melakukan itu terutama karena ia dituntut ‘menempel’ dengan Naeun sampai waktunya tiba. “Aku tidak melihat adanya keuntungan bagiku jika memberitahumu. Itu hanya akan membuatmu panik.” jawab L dengan tenang.

“Tidak akan. Aku tidak akan panik. Aku bukan seperti orang kebanyakan.”

“Ya, aku bisa melihatnya dengan jelas kalau kau memang bukan seperti orang kebanyakan.”

“Sesungguhnya Tuan Shinigami, aku juga tidak melihat ada ruginya kalau Anda memberitahuku.”

“Kenapa kau begitu yakin?”

“Aku tidak akan takut hanya karena tahu kapan aku akan mati. Tidak ada gunanya, lagipula aku sudah tahu itu akan terjadi.”

“Kau orang yang aneh, Son Naeun.”

“Jadi?”

“Jawabannya tetap tidak.”

“Tuan Shinigami, kau orang yang membosankan.” kali ini giliran Naeun yang sedikit cemberut.

“Sudah berapa kali kubilang namaku bukan ‘Tuan Shinigami’. Aku punya nama.”

“Dari mananya ‘L’ bisa disebut sebagai nama? Yang kupelajari di sekolah, ‘L’ itu cuma sebuah huruf alphabet.”

“Mana kutahu, aku sudah dipanggil seperti itu sejauh yang bisa kuingat.”

“Tuan Shinigami, kau adalah Dewa Maut yang aneh.”

“Kau berbicara seolah-olah kau pernah bertemu Dewa Maut yang lain.”

“Aku pernah.”

L terdiam. Yang satu itu ia tidak akan pernah mengira akan keluar dari mulut Son Naeun.

“Aku pernah melihatnya, satu yang mengikuti Ayahku waktu aku kecil, sampai akhirnya Ayah meninggal.”

Jadi sepertinya L memang menemukan manusia yang tidak pernah ia temui di kasus-kasus lain selama ia bekerja menjadi shinigami. Son Naeun adalah manusia yang spesial.

 

:::

 

Sudah empat hari sejak L muncul di sisa-sisa kehidupan Naeun. Terkadang Dewa Kematian itu muncul tiba-tiba dan menghilang tiba-tiba juga, terkadang pula L akan benar-benar menempel ke manapun Naeun pergi. Dan hari ini adalah waktu di mana L muncul tiba-tiba saat Naeun sedang menghabiskan waktu sorenya sendirian di taman rumah sakit.

“Oh, di situ Anda rupanya.” seru Naeun yang menyambutnya dengan senyuman yang lebar. L tidak menjawab ketika ia hanya berdiri di samping Naeun yang sibuk bermain dengan kucing-kucing hitam yang mengelilinginya. Kucing-kucing. Ya, dalam bentuk jamak.

“Apa kau begitu menyukai mereka?” tanya L pada Naeun, biasanya bukan tugas L yang memulai obrolan tetapi ‘Tuan Shinigami’ itu sendiri merasa dirinya banyak berubah setelah bertemu dengan Naeun.

“Maksudmu kucing-kucing ini? Tidak juga, tapi mereka teman yang menyenangkan ketika aku tidak punya siapa-siapa untuk diajak bicara. Dan entah kenapa akhir-akhir ini jumlah mereka menjadi banyak.” Satu kucing hitam yang bertubuh paling kecil diangkat oleh Naeun dan digendong-gendong seolah kucing itu adalah bayi yang baru lahir.

L menghela nafasnya cukup keras hingga bisa didengar oleh Naeun, “Mereka merasakan kehadiranku dan berkumpul karena tertarik dengan aura ‘shinigami’. Makhluk yang merepotkan. Kucing-kucing hitam itu suka berkumpul ke tempat di mana kami bekerja.”

“Aaaah, itu menjelaskan kenapa ada mitos tentang kucing hitam yang membawa sial.”

Setelah itu mereka berdua melewatkan menit yang cukup lama dalam keheningan. Naeun sibuk bermain dengan kucing-kucingnya sementara L… L hanya menjadi L, berdiri diam seperti patung yang memang sering ia lakukan.

“Tuan Shinigami…” celetuk Naeun tiba-tiba, “Kenapa Dewa Kematian sepertimu harus mengikuti orang-orang yang akan kalian cabut nyawanya? Kenapa tidak langsung saja datang ketika memang sudah saatnya?”

“Kami bertugas untuk memastikan urusan kalian di dunia sudah selesai. Supaya tidak ada jiwa-jiwa penasaran yang menolak untuk diantar ke ‘atas’.” seperti biasa L menjawab pertanyaan Naeun dengan tanpa memasukkan emosi di dalamnya, datar seperti musim dingin pada puncaknya.

“Kalau begitu… boleh aku bertanya padamu?” Naeun kini mengalihkan perhatiannya dari kucing-kucing yang masih bergeliat di kakinya dan menghadap sepenuhnya ke arah L. Ketika L tidak segera menjawab, Naeun tidak ragu-ragu ketika melanjutkan pertanyaannya. “Apakah kau yang mengambil nyawa Jinri?”

Kedua alis L bertaut, “Jinri?”

Naeun mengalihkan tatapannya dari L dan kembali mengelus-elus kucing yang sedang bergeliat di pangkuannya. “Anak yang berada di kamar sebelahku. Tadi pagi Jinri dinyatakan sudah tidak ada karena dokter telat mendeteksi pendarahan dalam di otaknya. Apa itu juga pekerjaanmu…?”

“Bukan. Bukan aku. Mungkin itu tugas Taemin. Tidak heran kenapa aku terkadang melihatnya berkeliaran di sini.” sanggah L cepat, baru saja masuk di kepalanya kenapa ia akhir-akhir ini bisa bertemu dengan teman sesama Dewa Mautnya itu di sini.

“Taemin? Temanmu yang juga seorang shinigami?” dahi Naeun berkerut ketika ia tampak heran dengan jawaban L. “Aneh, aku sama sekali tidak pernah melihat ada Dewa Maut lain selain dirimu di sini.”

“Itu berarti tidak semua Dewa Maut bisa kau lihat.” entah kenapa jauh di dalam hatinya L merasakan ada perasaan lega yang sedikit menyeruak. “Tapi kau ini aneh, tidak terlihat sedih ketika temanmu meninggal.”

“Aku sedih kok. Aku hanya tidak memperlihatkannya. Karena aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menangis sejak Ayah meninggal.” L terhenyak untuk sejenak ketika mendengar Naeun mengatakan itu semua dengan wajah sama datarnya. Mungkin sesungguhnya ada banyak hal tidak terduga yang masih belum ia dengar dari gadis ini. Son Naeun jelas bukan orang yang bisa langsung ditebak hanya dari luarnya saja.

“Tapi aku iri dengan Jinri.” celetuk Naeun dengan setengah tersenyum, “Aku ingin kematianku seperti Jinri. Begitu banyak orang yang datang untuknya. Orang tuanya, gurunya di sekolah, teman-teman sekelasnya. Semua orang menyayangi Jinri.”

“Kenapa itu harus membuatmu iri?” L tahu pertanyaan ini adalah pertanyaan retoris, ia tidak perlu membutuhkan jawaban yang sudah jelas akan Naeun katakan berikutnya.

“Karena aku sendirian. Aku tidak punya siapa-siapa selain ibuku.” tangan Naeun berhenti mengelus-elus kucing yang mengendur di pangkuannya. L sudah tidak bisa melihat wajah gadis itu lagi ketika Naeun menunduk dalam-dalam dan menutupinya dengan rambutnya yang panjang.

Seandainya L bisa menyentuh gadis itu, maka ia akan melakukannya sekarang untuk membelai rambutnya yang panjang, jika itu bisa membuatnya merasa baikan. Tetapi ia tidak bisa, belum. Ini belum saaatnya.

 

:::

 

“Kenapa kau selalu berpakaian hitam?”

“Karena aku suka. Dan karena tuntutan pekerjaan.”

“Kenapa kau memilih jadi ‘shinigami’? Apa asyiknya mengambil nyawa orang-orang?”

“Aku tidak memilih. Terjadi begitu saja.”

“Hmmph, jawabanmu terlalu datar Tuan Shinigami, setidaknya berikan fakta-fakta yang menarik tentang kehidupanmu.”

Di tengah hari keenam yang mendung, L dan Naeun saat ini sedang berada dalam sesi ‘tanya jawab’ yang Naeun paksakan untuk mereka lakukan. Meskipun L hanya melakukannya setengah hati, tapi gadis itu tidak akan berhenti merengek sampai ia akan benar-benar mau melakukannya. Jadi di sinilah ia, terjebak untuk menjawab semua pertanyaan bersama seorang gadis yang setengah sekarat di dalam kamar pasiennya.

“Ini tidak adil, aku tidak diberi kesempatan bertanya.”

Kedua sudut bibir Naeun pun melengkung ke atas membentuk sebuah senyuman yang lebar, “Kalau begitu silahkan bertanya apapun tentangku, Tuan Shinigami!”

Untuk sesaat L hanya duduk terdiam dan tampak tenggelam dalam pikirannya. Namun pria itu kemudian mendongak ke arah Naeun, “Apa kau takut dengan kematian?”

L hanya disambut dengan dua bola mata yang menatapnya tanpa berkedip. “Tidak.” jawab Naeun pendek, “Tidak ada yang perlu ditakutkan. Karena hal itu tidak bisa dihindari lagi, kan?”

Ah, seharusnya ia tahu Naeun pasti akan menjawab dengan hal-hal yang seperti itu.

“Kalau begitu ketika kau bertemu dengan shinigami yang mendatangi Ayahmu, apa kau ketakutan?”

Naeun terlihat sedang memikirkannya dengan keras, kepalanya dimiringkan ke samping dan matanya menatap kosong seolah sedang berusaha mengingat-ingat. “Hmm… mungkin juga. Aku tidak begitu ingat. Yang kuingat adalah aku sedikit kaget ketika aku melihat ada seorang pria yang berpakaian rapi serba hitam yang selalu mengikuti ke manapun Ayahku pergi. Tapi aku tidak pernah menceritakannya pada Ayah dan Ibuku.”

“Apa kau mengingat wajahnya? Dan apa shinigami itu tahu kalau kau bisa melihatnya?”

Sejenak kemudian Naeun pun mengeluarkan tawa kecil, “Waktu itu aku berumur 4 tahun. Aku nyaris tidak bisa mengingat apa-apa. Hmm… tapi aku tidak yakin kalau shinigami itu menyadariku. Atau mungkin iya?” Jari telunjuk dan jempolnya kini menopang dagu, Naeun terlihat seperti berusaha mengulang kembali kejadian itu di kepalanya. “Ah. Tapi… ada saat di mana aku benar-benar memandang lurus ke arah shinigami itu tanpa mengalihkan perhatianku ke hal yang lain, dan sepertinya shinigami itu menatapku balik. Kemudian shinigami itu seperti menyentuh ujung topi bundarnya dan menunduk sedikit kepadaku, lalu pergi. Keesokan harinya Ayahku sudah meninggalkan aku dan ibuku.”

Ketika ia menoleh untuk menatap L, Naeun mendapati Dewa Kematian itu sedang tersenyum sedih ke arahnya. Itu adalah saat pertama kalinya Naeun melihat L tersenyum.

“Wow Tuan Shinigami, kau tersenyum.”

Dan sedetik kemudian senyum itu (walaupun terlihat sedih) pun lenyap. “Apa salahnya kalau aku tersenyum?”

“Tidak, tidak ada.” kali ini tawa Naeun terdengar berdering di telinga L, “Tapi Tuan Shinigami terlihat lebih tampan kalau tersenyum seperti itu, dan tidak tampak terlalu mengerikan.”

Oh sungguh, L tidak tahu reaksi seperti apa yang harus ia keluarkan ketika ia mendengarnya. Jadi Dewa Maut itu hanya mengerutkan dahinya pada Naeun, “Son Naeun kau ini manusia yang aneh.”

 

:::

 

Pada hari ke delapan, saat L muncul di kamarnya dengan mantel hitam yang tampak sedikit basah dan payung hitam di tangan, Naeun sedang menuliskan sesuatu di atas kertas. Gadis itu mendongak dari apapun yang ia tulis untuk menatap L, lalu pandangannya beralih ke pemandangan Kota Seoul di luar yang sedang diterpa hujan.

“Dewa Kematian juga bisa kehujanan?” celetuk gadis itu keheranan.

L hanya memutar kedua bola matanya, “Hanya karena kami tidak bisa dilihat oleh manusia bukan berarti kami kebal dengan elemen-elemen duniamu.” kemudian barulah perhatiannya tertuju pada kertas yang ada di tangan Naeun. “Apa yang sedang kau tulis?”

Naeun sama sekali tidak berhenti menggerakkan penanya ketika ia menjawab, “Ini? Ini surat untuk ibuku. Saat waktunya sudah tiba. Aku ingin ibuku membacanya.”

‘Ketika waktunya sudah tiba.’ entah kenapa gadis itu terdengar lebih siap, bahkan lebih siap daripada Dewa Maut yang akan mengambil jiwanya.

“Tuan Shinigami, tugasmu adalah memastikan segala urusan dunia kami terselesaikan kan?” jari-jari Naeun yang ramping melipat kertas surat yang ditulisnya lalu dimasukkannya ke dalam amplop. “Boleh aku minta tolong? Tolong berikan ini kepada ibuku, saat aku sudah pergi.”

Mata L bergantian bergerak antara amplop yang disodorkan kepadanya dengan wajah Naeun yang tersenyum kecil. Bagaimana gadis ini bisa begitu terlihat kuat bahkan di saat-saat terakhir, adalah sebuah misteri yang selamanya tidak akan pernah bisa ia jawab.

Tangan L sudah bergerak untuk mengambil amplop itu saat Naeun menariknya kembali. “Ah! Tapi kau tidak boleh membacanya!” seru gadis itu dengan nada panik.

Tetap saja L akhirnya merebut paksa amplop itu dan memasukkannya ke dalam saku mantelnya. Ia sama sekali tidak mempedulikan rentetan protes yang keluar dari mulut Naeun.

 

:::

 

L memperhatikan arloji kuno yang ia keluarkan dari dalam saku jasnya. Waktu kini berjalan terasa sangat lambat. Dan detik demi detik semakin membuat pegangannya ke arloji semakin mengerat.

Hari ke sepuluh. Sudah saatnya.

Tidak ada yang memperhatikan L yang berdiri kaku di lorong ketika dokter dan para suster mulai berlalu lalang menuju ruang operasi. Tidak, tidak ada yang bisa melihatnya di sana.

Dan akhirnya ia pun menemukannya, dibawa ke luar orang operasi dengan mata masih tertutup dan terlihat sangat, sangat lemah. Ibunya mengikuti dengan diiringi air mata yang tidak mau berhenti keluar dan dokter serta suster berjalan di samping dengan wajah tertekuk. L hanya mengikuti rombongan yang panik itu dengan langkah yang pelan namun pasti, tidak sekalipun ia menimbulkan suara.

Naeun telah dibawa ke sebuah kamar dengan banyak kabel dan alat-alat lain seperti pendeteksi detak jantung dan tabung oksigen yang bisa menopang hidupnya untuk sementara. Sementara, sampai sentuhan L yang akan membawanya pergi untuk selamanya. Tetapi itu belum terjadi. Jadi ketika dokter, suster, serta ibunya meninggalkan Naeun sendiri di kamar untuk membicarakan sesuatu, L tahu itu adalah waktu yang tepat baginya untuk menemui gadis yang selama sepuluh hari ini telah mengajarkannya banyak hal.

Dari bunyi alat pendeteksi jantung, L bisa mendengar detak jantungnya yang lemah dan semakin jarang. Di sana di ranjangnya, Naeun terbaring seperti sedang tertidur pulas. Terlihat bahkan lebih memukau dari gadis yang selalu ia temui.

Seolah menyadari kehadirannya, mata Naeun perlahan-lahan terbuka untuk menyambut L yang menatapnya dengan mata yang terlihat tumpul. Naeun tersenyum lemah, terlihat senang bisa bertemu dengan L,meskipun ia tahu bertemu dengan Dewa Maut itu berarti suatu hal yang lain.

“Sudah waktunya ya?” tanya gadis itu dengan suara pelan, terdengar tidak berdaya. Meskipun begitu mata gadis itu terlihat sangat bercahaya, berbeda 180 derajat dengan pandangan L yang gelap.

“Ya.” jawab L singkat. Ia sudah dilatih untuk ini, jadi seharusnya ia bisa melewatinya dengan segala sikap professional yang harus ia junjung tinggi.

L meraih tangan Naeun yang dingin untuk digenggam, tangan gadis itu terasa lembut sekaligus rapuh.

“Tanganmu terasa begitu… hangat.” gumam Naeun dengan senyuman yang tak sekalipun pernah luntur. “Tidak akan terasa sakit kan?”

Dewa Kematian itu berusaha sekuat tenaga agar suaranya terdengar stabil. “Tidak.”

Jika ada yang bisa dilakukan oleh L terakhir kali untuk Naeun, adalah membuat kepergian gadis itu tidak terasa menyakitkan. Ia akan membiarkannya pergi dengan tenang.

“Seperti apa kelihatannya…? Surga…”

“Aku tidak tahu. Aku belum pernah pergi ke sana.”

“Kenapa?”

“Surga tidak cocok untukku.”

Dan ia tertawa kecil, L masih bisa mendengar tawa Naeun yang terdengar seperti bisikan angin di musim semi.

Tetapi kemudian raut wajah gadis itu pun jatuh, “Jadi kau tidak akan ikut bersamaku?”

“Tidak.”

“Kalau begitu aku rasa ini sudah saatnya mengucapkan perpisahan denganmu.”

L tersenyum kecil untuk terakhir kali, matanya tidak mau lepas dengan tatapan Naeun yang meskipun lemah namun terlihat berkilau “Mungkin.”

Naeun akhirnya membentuk sebuah lengkungan di wajahnya untuk yang terakhir, “Sampai jumpa lagi, Tuan Shinigami. Aku berharap kita bisa bertemu lagi, mungkin di kehidupan yang lain.”

Satu genggaman erat menjadi perpisahan mereka. Dan akhirnya Naeun pun tertidur pulas untuk selamanya.

Bunyi alat pendeteksi jantung pun jatuh dengan satu suara datar, tidak ada lagi detak jantung di sana. Tidak berapa lama kemudian dari arah pintu ibunya, dokter, dan beberapa suster menyeruak masuk. L melepaskan genggamannya dari tangan Naeun dan melangkah mundur dengan teratur. Tetapi sebelum ia pergi ke luar, tidak lupa ia melakukan satu permintaan terakhir yang ia telah janjikan. Diam-diam L menyelipkan surat yang telah ditulis Naeun ke dalam saku mantel ibunya. Dan Dewa Maut itu pun melangkah menjauh.

 

:::

 

Hari itu adalah hari pemakamannya, dan L berdiri di luar rumah duka dengan payung hitam yang melindunginya dari rintik hujan yang menyapa bumi. Mungkin langit juga ingin memberi perpisahannya yang terakhir untuk gadis yang begitu tegar dan kuat sampai hari ketika ia benar-benar harus pergi.

“Betapa murah hatinya dirimu. Tidak biasanya seorang shinigami datang ke pemakaman manusia yang menjadi tanggung jawabnya.” sebuah suara menyadarkan L dari lamunannya. Ia menoleh ke samping dan menemukan seorang pemuda dengan topi bundar dan pakaian serba hitam berdiri di sampingnya sambil menatap langit yang menangis siang itu.Payung hitam pemuda itu sedikit bersentuhan dengan payung miliknya.

“Taemin.” sahut L dengan nada yang terdengar datar dan pahit seperti biasa. “Dan apa yang kau lakukan di sini?”

Taemin memberikannya sebuah senyuman lebar, “Oh hanya mengunjungi teman yang sepertinya terlihat sedih, kalau-kalau dia butuh seseorang untuk menemaninya.”

“Aku tidak butuh ditemani.” potong L singkat.

“Jadi sampai saat-saat terakhir pun kau tidak pernah bilang kepadanya? Kalau kaulah yang waktu itu bertugas untuk mengambil jiwa Ayahnya?”

L terdiam sesaat dan menutup matanya rapat-rapat, “Aku tidak perlu melakukan itu. Yang kulakukan adalah melaksanakan tugasku dengan baik.”

“Tugasmu? Atau permintaan dari Ayahnya?” ucapan Taemin berhasil membuat L membelalakkan matanya kembali.

“Aku tidak mengerti maksudmu, Taemin.”

“Bukankah ini hal yang menarik? Ayah dan anak sama-sama bisa melihat shinigami yang sama. Ah gadis itu bahkan pernah bertemu dengan shinigami yang akan mengambil jiwanya nanti saat ia masih kecil. Bukankah itu romantis?”

“Aku melaksanakan permintaan terakhir Ayahnya untuk mengambil nyawa Naeun dengan tenang. Dan aku melaksanakannya dengan sebaik yang aku bisa. Meskipun aku baru menyadari Naeun adalah orang yang sama dengan gadis cilik yang bisa melihatku waktu itu, setelah ia menceritakan detailnya padaku.” lucunya, agak menyakitkan bagi L untuk mengungkit Naeun kembali dalam pembicaraan.

Taemin hanya mengangkat bahunya dengan enteng dan selanjutnya beranjak untuk membiarkan L sendiri. “Terserah kau saja teman. Meskipun sejujurnya aku iri kau bisa bertemu dengan manusia-manusia unik. Daaaah L, pesanku jangan tenggelam dalam kesedihan terlalu lama ya. Bye bye~” seenak ia muncul, semudah itu pula Taemin tiba-tiba menghilang meninggalkan temannya.

“Aku bukannya tenggelam dalam kesedihan, bodoh.” sia-sia saja, gerutuannya tidak akan didengar oleh Taemin yang sudah lenyap entah ke mana.

Barulah L sadar kemudian, hujannya telah reda dan matahari mulai memancarkan sinarnya melalui celah-celah awan abu-abu yang mulai membelah. L beranjak dari sana, menjauh dari rumah duka. Tiba-tiba ia teringat akan surat yang Naeun tulis untuk ibunya. Oh ya, dia tentu saja membacanya.

 

 

Untuk Ibuku Tersayang,

 

Jika Ibu sudah membaca ini, berarti aku sudah tidak ada lagi untuk menemani ibu. Jangan sedih. Bagiku yang paling menyakitkan adalah melihat ibu mengeluarkan air mata. Tenang saja, Ibu tidak perlu khawatir karena aku pasti sudah berada di tempat yang lebih baik. Sesungguhnya ketika aku menulis ini, aku sudah tidak sabar bertemu dengan Ayah lagi. Kalau aku bertemu dengannya, aku akan bilang pada Ayah bagaimana Ibu tetap menjadi wanita yang cantik dan menawan. Ayah pasti akan bangga sudah menikahi Ibu.

Ibu, apa ibu ingat ketika aku bilang pada Ibu kalau aku kesepian? Tenang saja, di hari-hari terakhirku aku sudah tidak kesepian lagi. Aku justru merasakan bahagia lebih dari yang bisa kuingat, karena aku bertemu dengan seorang teman yang membuat hari-hariku lebih berarti. Ah, surat ini juga diberikan kepada Ibu melalui temanku itu. Sesungguhnya aku ingin Ibu bisa bertemu dengannya, tapi temanku itu tidak bisa ditemui oleh sembarang orang, jadi aku yang akan menceritakannya padamu. Temanku itu adalah seorang pemuda yang tampan dan memiliki tatapan paling tajam yang pernah kulihat, sayangnya penampilannya memang terkesan mengerikan karena dia gemar mengenakan pakaian serba hitam. Yah, tapi dia memang terlihat benar-benar tampan sih, jadi ya termaafkan. Ketika aku pertama kali bertemu dengannya, aku pikir dia orang yang dingin, ternyata dia juga bisa memberikan kehangatan ketika aku membutuhkannya. Yang bisa kukatakan adalah, temanku ini telah membuatku lebih menghargai sisa-sisa hidupku selama aku bertemu dengannya. Dan aku sangat bersyukur bisa mengenalnya.

Dan untuk Ibu, terima kasih karena telah menjadi Ibu terhebat yang pernah aku miliki. Terima kasih atas segala kasih sayang dan pengorbanan yang telah Ibu berikan kepadaku selama ini. Maaf karena aku banyak membuat Ibu menangis. Tapi aku ingin Ibu tahu bahwa aku menyayangi Ibu lebih dari apapun. Dan aku mohon setelah Ibu membaca ini, aku ingin Ibu bisa tersenyum untukku.

 

Tetaplah tersenyum,

Son Naeun

p.s: kalau Ibu tidak keberatan, pada hari pemakamanku, aku ingin ibu melepaskan beberapa balon warna-warni ke langit, supaya temanku yang tadi bisa melihatnya. itu adalah tanda terima kasihku yang terakhir untuknya, agar ia tahu kalau aku juga sudah berada di tempat yang lebih baik.

 

 

Satu sudut bibir L terangkat ke atas setelah ia selesai mengingat isi surat yang ditulis oleh Naeun. Dan setidaknya, langkahnya kini sudah semakin mantap dan tidak terlihat gontai lagi. Ketika ia melihat ada bayangan warna-warni yang terpantul di tanah, secara refleks L menurunkan payungnya dan mendongak ke atas.

Langit yang sudah bersinar cerah kini dihiasi dengan balon-balon dengan berbagai warna  yang menyebar berterbangan ke sana kemari. ‘Tanda terima kasih yang terakhir’. Senyuman yang terukir di wajahnya pun semakin lebar. L mengulurkan tangannya ke atas, seolah ingin meraih salah satu balon yang terbang semakin ke atas.

Benar, dia sudah berada di tempat yang lebih baik sekarang.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
harakimmy #1
Chapter 1: Such a nice drabble! /sambil elap air mata yg berjatuhan/? Ditunggu karya selanjutnya yaa author. Suka sama gaya bahasa ff buatan kamu. Huehue
kantiws #2
Chapter 1: Angst yang keren bgt ga kebayang jadi myungsoo gimanaa.. duuhh awalbaca kirain happy ending ternyataa.. duuhh... nangiss bacanyaa... sedih bgt... baca nya kaya bener bener ngalamin yaa thoor bahasanya duh keren banget.. ditunggu next chapnyaa thooor
SoYeon_AI #3
Chapter 1: tisu mana tisu...
kkeerrreeennnnn
sumpah asli keren bgt ><
aku kiraiin yg nyabut yg ayah naeun taemin taunya L.
aaa sumpah ini oneshot myungeun terkeren '-')b
btw tmt kapan di update? *apa ini haha
fakemaknae
#4
Chapter 1: Ceritanya bagus sekali! Such a heartbreaking ; u ; <3
gotonyeo
#5
Chapter 1: sobsss seriously, i love thissss!
myungsoo sbg shinigami dan naeun sbg pasien mungkin adalah karakter myungeun kesukaanku!!! <3
nyesek karena mereka gabakal ketemu lagi, dan berakhir sbg temen aja, tp plotnya smooth banget jd terobati dikit :")

dan panggilan 'tuan shinigami'nya lucu bgt. bener2 kebayang naeun ngomong gitu <3 good job! \o/
dyochen
#6
Chapter 1: huwaaaaa! this is so good! blm pernah baca ff tentang dewa kematian kayak gini XD seru nih :D buat FF PinkFinite lainnya yaaa :)
andin_1310 #7
Chapter 1: huwaaaa sedih banget ;A; ini bagus banget
kkkyungsoo
#8
Chapter 1: huhu kak araaa ini bagus ;___; aku suka deh sama "gaya bahasa" bukan bukan majasnya aja tapi cara penyampaian kakak itu hohoho <3
yvnhyeong
#9
I'M GOING TO CREY OVER THIS OKAY. AUDHASDA.
; w ; I love you for writing this drabble for me ; w ; <33
Dan ceritanya bagus, serius kelewat bagus. Bahkan aku masih nggak nyangka di endingnya, Myungsoo yang juga ngambil nyawa ayahnya Naeun. Sayang mereka nggak akan bisa bertemu lagi, sayang banget.
And lastly, Thank you bb. THANK YOUUUU <3<3 (/throws heart)