Confession

Description

 

Suasana sunyi di salah satu taman di tengah – tengah kota Seoul seakan menjadi saksi. Bintang dan bulan menangis, tapi mereka tidak mampu menunjukkannya. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya, hanya Sang Pencipta yang mengetahuinya. (devinardelia)

 

Kami menyenderkan punggung kami di sebuah pohon dan kami menatap langit secara berlawanan. Aku mendekatkan  kakiku ke perutku dan kupeluk kedua kakiku dengan tanganku. Malam ini merupakan malam terakhir musim semi dan hari ini merupakan hari terakhirku berada di Seoul karena keesokan harinya aku harus pergi ke Canada untuk melanjutkan bisnis perusahaan ayahku. Di hari terakhirku inilah, laki – laki ini mengajakku ke sebuah taman. Aku tidak ingin berpisah dengannya. Andai saja dia tahu aku menyukainya, aku tentu tidak akan meninggalkan kota ini. Tapi, harapanku hanyalah harapan kosong yang tidak akan menjadi nyata.

“Ijinkan aku menceritakan sesuatu sebelum kau pergi karena setelah kau pergi, aku tidak bisa lagi bercerita banyak padamu,” suara lembut dari seorang pria terdengar dari belakang kepalaku. Suasana sunyi di taman itu membuat suaranya terdengar walaupun kami terpisahkan oleh sebatang pohon yang cukup besar. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan saat ini karena yang mampu kulakukan hanyalah mendengar ia bercerita.

“Aku berharap kau tidak membenciku karena aku akan bercerita banyak hal padamu. Kurasa inilah saat yang tepat,” katanya lagi.

“I won’t hate you,” kataku dalam hati. Ingin sekali aku mengucapkannya saat itu juga tetapi lidahku kelu. Suaraku seakan tertahan sehingga dia tidak ingin keluar dari tempat persembunyiannya.

“Aku mencintai seorang wanita. Sudah cukup lama aku menyukai wanita ini. Dia…“ ia menghela nafas sejenak. Jujur, aku gugup menunggu apa yang akan dia katakana selanjutnya. “Dia cantik. Persis seperti bidadari yang jatuh ke bumi,” lanjutnya.

“Why do you tell me about this?” kataku dalam hati. Shock? Tentu saja.

Lelaki di belakangku menyeringai. Tanpa melihatnya pun aku tahu dia baru saja menyeringai.

“Aku benar – benar tidak tahu harus mengatakan apa. Kurasa aku benar-benar sudah jatuh cinta,” katanya.

Pandanganku menjadi kabur. Bintang – bintang di langit seakan membesar dan saat aku mengerjapkan mataku, bisa kurasakan air menyusuri lekuk pipi dan hidungku. Mudah sekali dia mengatakan dia mencintai seorang wanita di depan wanita lain yang mencintainya?

“Andai saja ada cara yang lebih mudah untuk mengatakan ini padanya,” ucapnya, “aku ingin sekali mengatakan ‘aku mencintaimu dan hanya itulah yang aku tahu’ padanya.”

Lagi – lagi dia menyeringai. Aku memeluk kakiku lebih erat lagi dan aku menggigit bibir bawahku untuk menahan suara tangis yang mungkin akan keluar dalam beberapa detik.

“Dan aku mengharapkan kalimat itu dari mulutmu dikeluarkan untukku,” gumamku. Untuk kesekian kalinya, aku hanya mampu mengatakan itu di dalam pikiran dan hatiku.

“Pada saat aku bertemu dengannya, jantungku berdegup kencang sekali,” jelasnya, “seakan-akan aku sedang berdiri di atas panggung di mana semua orang menujukan mata mereka ke tempat aku berdiri.”

“That lady…is really something,” katanya.

Kami berdiam cukup lama. Aku berusaha mencerna kata-katanya tadi, namun pikiranku menolak.

“I am like a Casanova, aren’t I? Padahal baru beberapa hari yang lalu aku menceritakan padamu bahwa aku sedang mencintai seorang wanita,” katanya sambil tertawa.

Aku tersenyum kecil. Memang, ini adalah kali kedua dia menceritakan kisah cintanya padaku. Aku menutup mataku. Air mataku berjatuhan lebih deras lagi.

“Aku melihatnya di suatu malam musim dingin. Saat itu sedang turun salju. Dia sedang mengenakan kaos berwarna pink muda dengan mantel bulu berwarna putih. Dengan jeans berwarna gelap dan flat shoes, dia benar-benar telah mengambil hatiku. Dia sedang duduk di sebuah halte bis sambil memegang sebuah sapu tangan dan sesekali dia menggunakan sapu tangannya itu untuk mengusap air matanya. Merasa tidak tega, aku pun akhirnya memberanikan diri untuk mendekatinya dan menanyakan apa yang sedang dia lakukan di malam dingin seperti ini. Terlebih lagi dia hanya sendiri. Dia akhirnya menjawab. Dengan suara bergetar dan diiringi oleh isak tangisnya. Dia bilang dia baru saja diputuskan oleh kekasihnya karena dia terlalu polos dan dia tidak tahu apa arti dari berpacaran. Pada saat itu aku berpikir, aigoo, wanita secantik dia bagaimana bisa dicampakkan oleh kekasihnya?”

Aku menggigit bibirku lebih kencang lagi untuk menahan suara tangisku yang semakin menjadi. Aku berusaha semaksimal mungkin untuk menahan punggung dan bahuku. Aku memegang dadaku dengan satu tangan dan meletakkan kepalaku di atas lututku. Sakit rasanya mendengar ia menceritakan ini.

“Aku pun akhirnya menawarkan diri untuk mengantarnya pulang. Pikiranku pada saat itu adalah bagaimana agar dia sampai di rumahnya dengan selamat dan menghentikan air matanya. Sejak saat itulah, aku bertekad untuk menjaga wanita ini. Karena bagiku, wanita ini pantas mendapatkan yang jauh lebih baik dari mantan kekasihnya. Dan kurasa aku jauh lebih baik dari mantan kekasihnya,” katanya diselingi tawa khasnya.

Aku mencoba tertawa di sela tangisku. Aku hanya tidak ingin dia tahu kalau tangisanku semakin menjadi.

“Aku mengantarnya ke rumah dengan menggunakan sepeda motorku. Aku menyesal mengapa aku tidak membawa mobilku pada hari itu. Memberikan tumpangan pada seorang wanita dengan sepeda motor di malam dingin seperti itu sama saja membunuhnya, iya kan? Singkat cerita, sesampainya di depan rumah gadis itu, dia mengembalikan helmku. Dia membungkuk sebentar sambil mengucapkan terima kasih, lalu dia berjalan masuk ke rumahnya. Mataku tertuju pada sebuah kain putih yang berada di atas tumpukan salju. Aku rasa sapu tangan itu milik gadis itu dan dia memakainya saat dia sedang menangis tadi. Kau pasti tahu aku adalah orang yang tidak suka dengan hal – hal kotor seperti itu, tapi entah malaikat apa yang merasuki diriku pada saat itu, aku pun akhirnya mengambil sapu tangannya. Saat itulah aku tahu apa nama dari wanita itu.

“Tanpa kuduga, ternyata dia satu universitas denganku. Hal itu pun baru kusadari saat aku melihatnya duduk sendirian di bawah sebuah pohon di taman universitas. Aku mendekatinya dan aku melihat keterkejutan tergambar di wajahnya. Aku menyapanya dan dia membalas sapaanku dengan senyuman. Walaupun senyumnya tidak terkesan tulus, tapi aku suka dengan senyumnya itu,”

“When you are in love, everything is just looking good. Sounds funny, doesn’t it?” katanya lagi.

“Kami berteman baik sejak saat itu. Setelah beberapa hari bersamanya, bisa kulihat senyuman mulai terbentuk di wajahnya. Aku merasa bahagia karena aku telah berhasil mengembalikan senyumannya itu. Kami sering bertemu di bawah pohon saat istirahat. Bahkan pada saat sedang liburan, kami masih sering bertemu di bawah pohon itu. Pohon itu seakan menjadi saksi dari kebersamaan kami. Terlebih lagi, rasa cintaku pun tumbuh seiring berlalunya waktu. Tidak terasa semusim telah kami jalani. Aku sangat bahagia. 4 bulan bersamanya terasa sangat cepat dan aku ingin menambah 4 bulan, 8 bulan, 1 tahun, 2 tahun lagi bersamanya. Bahkan selamanya sampi maut yang memisahkan.

“Tapi, pada suatu hari di musim semi, dia bercerita padaku kalau dia sedang menyukai seorang lelaki. Lagi-lagi dia bercerita di bawah pohon itu. Pohon kami, demikian aku menyebutnya. Dia bilang lelaki itu sangat tampan, baik hati dan baginya, lelaki itu sangat…”

“Perfect,” kataku nyaris berupa bisikkan.

“Yeah, perfect,”

Tak kusangka dia mendengar aku mengucapkan kata itu. Dia mengulang kata itu  dan tersirat nada kesedihan dan kecewa dalam kata – katanya itu.

“Mendengar ia begitu memuja lelaki itu membuatku lemas. Cara dia menceritakan lelaki itu membuatku cemburu. Sangat cemburu. Aku pun menatapnya saat dia sedang bercerita. Dia menyebut lelaki itu dengan sebutan oppa dan itulah yang membuatku semakin cemburu. Dia lebih muda dariku, tetapi dia tidak pernah sekalipun memanggilku oppa,” jelasnya.

“Akhirnya aku memutuskan untuk menghilangkan rasa sukaku padanya. Kau pasti menganggapku pecundang, pengecut. Tapi kurasa, dia sudah menemukan pria yang dicintainya dan dari ceritanya, aku bisa meyakini bahwa lelaki itu pasti bisa menjaganya dengan baik. Lebih baik dariku. Aku bahkan mencoba menghindarinya. Tetapi apa dayaku? Perasaanku tidak bisa dihilangkan. Semakin aku berusaha menjauhinya, semakin aku ingin dekat dengannya. Walaupun aku sudah mencoba untuk mengalihkan perasaan itu dengan wanita lain, tetap saja, bayang – bayangnya menghantuiku siang dan malam.

“Kami mulai jarang bertemu saat ujian. Padahal dia sering mengirimiku pesan dan memintaku untuk mengajarinya beberapa pelajaran yang dia tidak mengerti. Aku memang seorang pecundang karena aku menjawab tidak terhadap permintaannya itu. Sekali, dua kali, tiga kali… akhirnya dia tidak lagi mengirimiku pesan. Bahkan sampai ujian selesai, wanita itu tidak lagi mengirimiku pesan atau meneleponku. Rasa rindu menyerangku. Ya, di saat seperti itulah aku membutuhkan senyumnya untuk menghiburku. Sempat terpikir olehku untuk mengajaknya jalan – jalan. Tapi, ah, apa gunanya? Kalau aku semakin dekat dengannya, aku takut aku malah tidak bisa melepasnya saat graduation nanti.”

Wajahku pasti sudah memerah dan basah oleh air mata.

“Terlintas di kepalaku untuk menemuinya dan mengajaknya berjalan - jalan. Bahkan mengakui perasaanku padanya yang sudah kusimpan selama 4 bulan terakhir. Tetapi, niat itu aku urungkan karena aku teringat akan ceritanya tentang seorang laki – laki.

“Aku mendiamkannya selama beberapa lama. Sampai akhirnya sebuah dorongan membuatku memutuskan untuk meneleponnya dan memintanya untuk bertemu. Seakan seperti karma, dia menolak permintaanku. Dia bilang kalau akhir – akhir ini dia sedang sibuk bersiap – siap untuk pergi ke Canada. Ya, dia akan pergi akhir musim semi ini. Awalnya aku sudah menyerah untuk menemuinya dirinya. Namun, kalau aku benar – benar tidak sempat bertemu dengannya sebelum dia pergi, aku pasti akan menyesali segalanya. Aku pun mengiriminya pesan agar dia mau menemuiku. Hingga akhirnya hari itu tiba. Pada akhir musim semi, aku bertemu dengan dirinya. Hari itu merupakan sehari sebelum graduation dan sehari sebelum dia pergi,” katanya.

“Stop it,” kataku.

“No! I haven’t finished yet!” serunya.

“Stop it,”pintaku lagi.

“Aku sudah bilang padamu, aku belum selesai bercerita,” katanya keras kepala. “Biarkan aku menyelesaikannya terlebih dahulu,” lanjutnya.

Dia dan aku terdiam cukup lama. Aku rasa dia pasti sudah mendengar tangisanku.

“Aku ingin dia mengetahui sesuatu sebelum dia pergi. Aku ingin meceritakan bagaimana aku pertama kali bertemu dengannya, bagaimana rasa cinta itu tumbuh. Betapa aku cemburu saat dia menceritakan tentang seorang laki – laki dan aku hanya bisa mendengarnya bercerita, mengatakan padanya bahwa aku turut bahagia. Walaupun menyakitkan, aku harus berpura – pura seakan itu bukan apa - apa. Walaupun air mata ingin jatuh dari pelupuk mata, aku harus tahu bagaimana cara menyembunyikannya. Berusaha tersenyum seakan – akan tidak ada yang salah. Aku berpikir, hari – hariku tanpanya pasti akan berlalu. Rasa cintaku padanya pun akan berakhir dan musnah seakan – akan rasa cinta itu tidak pernah tumbuh. Ya, walaupun rasanya sungguh menyakitkan, aku harus menahannya karena kurasa itulah cara yang tepat untuk melepaskan dirinya. Bagiku, cinta adalah rasa sakit dan lama kelamaan, aku pun akhirnya mulai terbiasa menahan rasa sakit itu. Aku mulai terbiasa menjalani hari – hariku tanpa dirinya. Mengatakan pada diriku sendiri bahwa besok akan sedikit lebih baik. Berharap aku bisa melupakan dirinya sedikit demi sedikit. Pikiran tentangnya memang tidak bisa kuhindari. Dia sering sekali datang ke dalam pikiranku. Tapi, adalah omong kosong kalau aku bilang aku sudah berhasil melupakan gadis itu. Aku tidak bisa dan tidak akan pernah bisa melupakan gadis itu...”

“Enough,” kataku sambil memejamkan mata.

“Aku tidak mau mendengarnya lagi,” kataku sambil menutup kedua telingaku dengan tanganku.

“Kau harus mendengarnya,” katanya dan tak lama kemudian bisa kurasakan kedua tanganku dilepaskan dari telingaku. Aku membuka mataku dan dia sudah berlutut di depanku.

“Aku belum selesai. Aku belum memberitahu siapa gadis itu sebenarnya. Kau masih ingat kalau dia menjatuhkan sapu tangannya saat aku mengantarnya pulang?” tanyanya.

Dia pun merogoh – rogoh kantung mantelnya dan dia mengeluarkan sebuah sapu tangan berwarna putih seputih salju. Dia membuka lipatannya dan dia mengusap wajahku dengan sapu tangan itu.

“Pemilik sapu tangan itu adalah gadis yang kini tengah menangis di depanku, Pemilik sapu tangan itu adalah gadis yang sedang kuusap wajahnya dengan sapu tangan miliknya. Gadis itu adalah kau, Chae Hyena…” katanya.

“Kyuhyun-ah …” aku memanggil namanya dan aku langsung memeluknya. Aku menangis di pundaknya. Kyuhyun pun membalas pelukanku. Dia mengusap punggungku yang bergerak naik turun akibat tangisanku.

“Aku mencintaimu, Hyena-ah. Aku mencintaimu dan hanya itulah yang aku tahu,” katanya lagi sambil mencium puncak kepalaku.

“I love you, too Kyuhyun-ah.. It has always been you,” jawabku – masih sambil membenamkan wajahku di pundaknya.

“I beg you, stay here in Seoul. Please don’t leave me alone. Aku sudah merasakan sakitnya berada jauh darimu. Kumohon,”

Aku mengangguk pelan di pundaknya.

“Thank you so much,” katanya dan dia mencium puncak kepalaku lagi.

Aku akhirnya bisa mengontrol tangisanku. Aku sudah tidak bergetar hebat seperti tadi. Aku sudah merasa tenang karena Kyuhyun terus – terusan mengusap punggungku.

Setelah merasa lebih tenang, aku menarik tubuhku menjauhi dirinya dan menyandarkan tubuhku di batang pohon.

Dia duduk di sebelahku dan merangkul pinggangku dengan tangan kirinya, menarikku mendekatinya dan membiarkan aku bersandar di dadanya.

“Jadi, laki – laki yang kau cintai itu…”

“Kau,” jawabku memotong kata – katanya. Aku menengadahkan kepalaku agar aku bisa melihat wajah tampannya itu. Wajah orang yang paling baik hati, wajah orang yang perfect bagiku.

“Sudah kuduga,” katanya sambil tersenyum. Senyum khasnya.

“Lalu kenapa kau masih harus cemburu?” tanyaku.

“Karena kau membuat lelaki itu terdengar tidak seperti aku,” katanya, “I am not perfect.”

“Yes, you are,” jawabku.

“Okay, I am perfect because I can be loved by you,” katanya dan dia mendekatkan wajahnya ke wajahku. Bisa kurasakan hembusan nafasnya di wajahku.

“I love you,” katanya singkat dan dia menempelkan bibirnya di bibirku.

Sebuah senyum mengembang di bibir kami berdua saat kami sedang berciuman.

“Cho Kyuhyun, kau memang sudah berhasil membuatku bahagia,” ucapku dalam hati saat kami masih berciuman.

Kami menghabiskan malam itu di bawah pohon kami. Suara tawa terdengar di sela – sela ciuman kami...

I won’t leave as I will always stay by your side… devinardelia

~end~

Foreword

a story about confession of a guy named cho kyuhyun. guess that's all for the foreword. better read it by yourself :) visit my blog, www.devinardelia.wordpress.com for more indonesian fan fictions :) thanks guys!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet