Accidentally Falling to You [Mingyu x Mark]

Description

• One shoot fanfiction story
• Crack Pairing Cast
• BxB Story
• Zone!
• DLDR!
• AU

Foreword

Pemuda jangkung bersurai hitam itu sedang menikmati angin musim gugur yang berhembus sepoi-sepoi, menerbangkan dedaunan kuning keemasan dari pepohonan maple menambah kesan menyejukkan suasana senja yang nyaman. Sembari bergumam pelan menyenandungkan lagu Don't Wanna Cry dari Seventeen yang di dengar melalui airpod-nya, matanya menyapu ke seluruh taman kota dimana tak banyak orang sedang menghabiskan waktu akhir pekan mereka.

Lega rasanya melepaskan penat sesaat dari tempat kerja sebagai CBO alis Chief Brand Officer yang harus mendapatkan konsentrasi penuhnya selama lima hari dalam seminggu, menikmati tenggelamnya matahari di ufuk barat suasana musim gugur adalah setitik little piece of mind bagi seorang Kim Mingyu.

Ia membenarkan posisi kacamatanya, memandang ke bagian barat bumi pada benda langit bulat berwarna emas, saat seseorang yang berjalan berlawanan menabrak pundaknya. Hal itu membuat Mingyu berpaling hendak memberi sedikit teguran.

"Hey!"

Sepertinya orang tersebut, yang tampak sedang melakukan jogging sore hari karena berlari kecil, tak mengindahkan suaranya dan terus bergerak menjauh.

Mingyu menghela nafas. Saat akan berbalik ke posisi semula, matanya menangkap sebuah dompet berwarna hitam yang tergeletak di tanah. Dipungutnya dompet itu, dengan penasaran ia membuka untuk mencari identitas pemiliknya.

Sepertinya milik orang yang menabrak tadi, kata Mingyu dalam hati. Dilihatnya orang tersebut, yang mengenakan jaket warna kuning terang dengan kepala tertutup hoodie, sudah berjalan cukup jauh.

"Kau menjatuhkan dompetmu!" seru Mingyu. Sekali lagi orang itu tidak menyadari, entah memang tidak peduli atau tidak mendengarnya.

Sambil berdecak kesal, Mingyu pun mencoba mengejar orang itu. Ia setengah berlari lebih cepat agar bisa mendahului si pemilik dompet. Ketika sudah sampai di tepi jalan, sepertinya orang itu baru saja menyadari jika ada yang mengikutinya.

Tanpa memperlambat langkah kakinya, ia berpaling ke belakang dimana Mingyu mulai mendekat mengejarnya. Namun, bukannya berhenti, orang itu malah mempercepat langkah kakinya dari berlari kecil, menjadi berlari lebih cepat.

Melihat orang itu malah berlari menjauh, Mingyu terkejut dan melangkahkan kakinya juga semakin cepat, sambil terus memanggil-manggil nama si pemilik dompet. Mingyu mengira ia dapat dengan mudah mengejar mengingat tubuh mungil orang itu mustahil untuk berlari cepat pikirnya. Tapi ia salah. Orang itu seperti seorang atlit lari yang semakin memperlebar jarak antara dirinya dengan Mingyu.

Semakin kesal dan jengkel, Mingyu tak ingin kalah dengan mempercepat larinya. Keringat sudah membasahi wajahnya, membuat sedikit embun di kacamatanya, nafasnya sedikit tersengal dan dadanya mulai memanas. Orang itu bolehlah mungkin seorang atlit lari, tapi Kim Mingyu tak pernah absen berkunjung ke tempat fitness dua hari sekali. Staminanya yang bugar boleh diperhitungkan.

Dilihatnya di kejauhan orang itu berbelok, Mingyu mempercepat larinya dan ikut membelokkan langkahnya. Tanpa ia duga tiba-tiba ia merasa sesuatu menghantam hidungnya dengan keras, membuatnya berhenti seketika, terhuyung sambil meringis memegangi hidungnya yang mulai mengucurkan darah sampai mengenai kaus hitamnya. Belum sampai disitu, ia diguyur air sedingin es ke bagian wajah hingga terkesiap kaget.

Sambil mencoba memfokuskan pandangannya yang sedikit berkunang-kunang, dilihatnya orang yang tadi ia kejar tepat berada di depannya, memegangi sebuah papan kayu di tangan kanannya yang sepertinya tadi digunakan untuk memukul, dan sebuah ember kecil di tangan kirinya.

"Kau pasti yang kemarin menjabmbretku, benar kan?" seru lelaki itu berteriak galak, "mau apa kau mengikutiku sekarang? Kau pasti mau merampokku. Atau kau mau menculikku dan menjadikan aku budak seksmu? Dasar lelaki mesum."

Masih merasakan hidungnya yang sakit berdenyut dan mungkin tulangnya patah, matanya juga masih sedikit berkunang-kunang ditambah tubuhnya agak menggigil karena disiram air dingin tadi, Mingyu membelalak tak percaya pada apa yang baru saja dikatakan lelaki mungil di depannya.

"Jangan ngawur. Aku ingin—" baru saja Mingyu mengangkat dompet hitam di tangannya.

Menyadari jika itu adalah dompet miliknya, lelaki mungil itu melotot marah.

"Kemarin kau mencopet ponselku, kini kau mencopet dompetku?" ia mengacungkan lagi papan yang tadi digunakan untuk menghantam hidung mancung Mingyu.
"Tunggu dulu, Mark Lee, aku bukan mencopetmu. Tadi dompetmu—" Mingyu berusaha menjelaskan, tapi lelaki mungil bernama Mark Lee itu tampak tak mau mendengarkan.
"Alasan saja kau! Pasti kau sudah mencuri uangnya dan kini berpura-pura ingin mengembalikkan dompet itu," sergah Mark, "dan darimana kau tahu namaku? Kau sudah membuka-buka isinya pasti."

Mingyu mulai jengkel. Jika harus berkelahi mungkin saja ia akan menang, pikirnya. Tubuhnya lebih besar dan jangkung dibandingkan lelaki mungil penuh imajinasi liar bernama Mark Lee ini. Tapi ia tak ingin melakukan jalan pintas tidak elegan itu tentunya.

"Periksa saja dan buktikan sendiri," tukas Mingyu, melemparkan dompet itu ke bawah kaki Mark. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali mencoba menahan rasa sakit di hidungnya yang bercucuran darah.

Mark memungut dompetnya, masih memandang tak percaya pada Mingyu, lalu mengecek semua yang ada di dompetnya. Matanya seketika membulat usai memastikan semua isi disana masih lengkap.

"Lihat? Apa ada yang hilang?" geram Mingyu kesal.

Mark tersenyum kecut sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Matanya yang tadi berapi-api, kini berubah sayu dan memelas.

"Tidak," bisiknya dengan pipi dan telinga merah padam, "maaf aku sudah menuduhmu yang tidak-tidak dan memukulmu, juga menyiram dengan air dingin. Terima kasih," sambungnya tersipu malu.

Mingyu hanya berdecak. Ia tak membutuhkan kalimat ucapan terima kasih tak bermanfaat itu. Yang dibutuhkannya adalah bisa segera ke rumah sakit dan mengecek keadaan hidungnya. Niat baiknya malah menjadi bumerang, dan jika tahu akan seperti ini, Mingyu tadi tidak akan mengembalikan dompet Mark.

Sambil menyeringai menahan sakit dan kesal, Mingyu hanya mengibaskan tangannya, berbalik dan hendak pergi.

"Ahh, tunggu," Mark berjalan menghalangi langkahnya, "euhmm, sebagai permohonan maafku, ijinkan aku mengobati lukamu. Dan aku bisa meminjamkan kaus untukmu. Kau bisa masuk angin nanti jika tidak segera berganti pakaian." katanya dengan nada suara dan tatapan mata bersalah.
"Tidak usah. Aku bisa mengobatinya sendiri," kata Mingyu, tapi Mark menahannya.
"Kumohon, biarkan aku menolongmu. Aku tak akan bisa tidur dengan banyak rasa bersalah karena sudah melakukan ini padamu."

Bibir mungil itu ber-pout lucu, matanya membulat sayu penuh penyesalan. Kalau saja keadaannya tidak seperti ini, mungkin Mingyu akan berpikir lelaki mungil di depannya ini sangat lucu dan menggemaskan seperti anak kucing. Entah memang karena mendadak seakan terhipnotis oleh itu, Mingyu pun mengangguk kecil, membiarkan Mark yang tersenyum cerah dan memasang wajah riang, menariknya pergi dari tempat itu.

Mark membawa Mingyu ke sebuah apartemen sederhana. Mungkin lebih cocok disebut dengan rumah susun tak terlalu mewah daripada sebuah apartemen. Kamar yang Mark tempati berada di lantai dua dari empat lantai keseluruhan rumah susun itu. Setelah memasukkan kunci ke dalam lubangnya dan memutarnya sampai terdengar bunyi klik pelan, Mark kemudian membuka pintu.

"Tempat tinggalku tidak begitu mewah. Kuharap kau tidak terganggu dengan ini," bisik Mark canggung, bergerak ke sisi agar Mingyu bisa masuk.

Memang luas ruangan itu tidak besar, tapi menurut Mingyu sangat nyaman. Begitu masuk, di samping kiri pintu terdapat rak sepatu yang disusun rapi dan berdasarkan warna. Kebanyakan dari sepatu itu adalah sepatu olahraga. Melewati lorong pendek adalah sebuah dapur mini dengan beberapa peralatan masak yang disimpan rapi, di sebelah kanannya adalah kamar mandi kecil yang bersih dan harum.

Masuk lebih dalam, adalah ruangan santai dengan tiga sofa kecil bundar berwarna biru tua, beralaskan karpet bulu lembut putih gading, ada sebuah televisi berukuran 24 inch diatas sebuah meja kecil di depan sofa-sofa. Jendela menghadap ke luar dengan tirai berwarna senada dengan sofa, beberapa foto-foto terpajang di dinding di belakang sofa.

Terdapat satu kamar berukuran kecil tepat disamping dapur, dan satu kamar lagi di sisi lain bagian ruangan. Secara keseluruhan luasnya memang tidak begitu besar, tapi entah mengapa Mingyu merasa nyaman.

"Duduklah, aku akan mengambil kotak obat dan kaus untukmu," kata Mark, masuk ke dalam kamar yang berada di samping dapur, sementara Mingyu membawa kakinya berjalan ke ruang tv dan duduk di sofa. Meski darahnya sudah berhenti mengucur, tapi ia masih bisa merasakan sakit di hidungnya. Ada beberapa tetesan darah yang mengenai kaus hitamnya yang basah.

Dilihatnya beberapa piala yang berjajar rapi tersimpan di dalam sebuah rak di samping meja tv. Kini Mingyu tahu mengapa Mark yang postur tubuhnya kecil itu tapi mampu berlari kencang. Ternyata memang ia adalah seorang atlit lari, terbukti dari beberapa piala juara satu hasil kejuaraan lari di sekolahnya. 

Mark muncul tak lama kemudian, lalu duduk di samping Mingyu, dengan sebuah kotak obat di tangannya dan kaus berwarna putih. Awalnya Mingyu berpikir, kaus yang akan dipinjamkan oleh Mark tidak akan muat untuk dirinya, mengingat tubuh Mark yang kecil mungil sementara Mingyu yang tinggi dan besar.

"Kaus ini milik kakak lelakiku," kata Mark, seolah bisa membaca pikiran Mingyu, "ia sekarang tinggal dan bekerja di Jepang dan hanya pulang kemari dua bulan sekali," ia menyodorkan kaus itu yang diterima Mingyu.

Mark lantas duduk di samping Mingyu.

"Ngomong-ngomong, aku belum tahu namamu," Mark mengangkat kedua alisnya.
"Mingyu. Kim Mingyu," jawab Mingyu.
"Baiklah, Mingyu. Aku akan mulai mengobatimu. Maaf," katanya, melepaskan kacamata lelaki jangkung itu. 

Selama beberapa saat, Mark hanya menatap Mingyu dengan matanya yang membulat.

"Kenapa?" tanya Mingyu heran. Apa hidungnya berubah arah, bisiknya khawatir dalam hati.
"Ti—tidak," bisik Mark, cepat-cepat meletakkan kacamata Mingyu di meja.

Mark menengadahkan wajah Mingyu sedikit ke atas.

"Syukurlah. Sepertinya hidungmu tidak patah. Hanya terluka sedikit," kata Mark, menotolkan sebuah cairan pada sebuah kain putih bersih.
"Yeah. Aku tak mengerti kenapa aku masih harus bersyukur. Tapi ini cukup menyakitkan," kata Mingyu mencela.

Mark melipat bibirnya, kembali merasa bersalah.

"Darimana kau yakin hidungku tidak patah?"
"Aku sering menghadapi hal seperti ini. Banyak rekan-rekan lari-ku yang sering terjatuh saat sedang berlari. Aku bisa tahu jika hidung seseorang patah atau tidak. Bahkan aku pernah menemukan yang lebih parah dari ini. Kau tahu.. tulang hidungnya mencuat keluar," jelas Mark.

Mingyu hanya bergidik ngeri, enggan membayangkan penampilan itu.

"Ya sudah, karena aku sudah kemari, aku percaya padamu saja," kata Mingyu.

Mark pun mulai melakukan pekerjaannya. Ia membersihkan terlebih dahulu bekas darah di ujung hidung dengan kain putih, menekan sedikit pada luka di dekat lubang di bagian dalam yang membuat Mingyu meringis kesakitan. Kemudian Mark memoleskan sesuatu yang seperti krim pada luka dengan cotton bud yang terasa dingin bagi Mingyu.

"Ternyata kau seorang atlit olahraga lari. Pantas saja larimu kencang sekali," kata Mingyu, "kau yang lebih pantas menjadi pencopet sebenarnya daripada aku."

Mendengar itu, Mark hanya terkekeh.

"Memang kemarin kau habis kecopetan?" tanya Mingyu.
"Iya, di stasiun saat aku pulang kerja malam hari," jawab Mark, "aku kehilangan ponselku."
"Kau bisa membelinya lagi."
"Benar. Tapi mungkin nanti jika aku sudah mendapatkan gaji-ku. Untuk sementara aku tak bisa berkomunikasi dahulu dengan siapa pun termasuk dengan kakak-ku."
"Kenapa begitu?" Mingyu mengernyitkan keningnya.
"Aku bukan seorang pekerja dengan penghasilan tinggi. Aku harus pintar menabung juga untuk masa depanku. Aku tak mau selalu merepotkan kakakku walau hanya untuk masalah sepele seperti ini."

Penjelasan yang berhasil membuat Mingyu terdiam. Sungguh apa yang terjadi pada Mark memang jauh berbeda dengan dirinya, yang berada pada posisi tinggi sebuah perusahaan terkenal di negeri ini, bisa membeli apapun yang ia inginkan, menikmati berbagai fasilitas mewah, dan hidup dalam kegelimangan harta dunia.

"Oleh sebab itu aku sangat kesal sekali pada pencopet yang kerjanya seenaknya begitu, mengambil barang yang bukan hak-nya. Dia pasti tidak tahu jerih payah seseorang yang ia copet untuk mendapatkan sesuatu," Mark meletakkan alat-alatnya di meja, "nah sudah selesai. Kau akan baik-baik saja. Sekali lagi aku mohon maaf dengan apa yang sudah ku lakukan padamu, Mingyu. Ku harap kau tidak melaporkan aku ke polisi. Apa yang harus ku lakukan agar kau mau memaafkan aku?"

Wajah Mark tampak sekali bersalah dan penuh penyesalan. Pada dasarnya Mingyu memang orang yang tidak mudah tega pada orang lain, jadi ia hanya mengangguk.

"Tidak apa. Aku mencoba untuk memahami itu," kata Mingyu, "mungkin lain kali kau harus bisa membedakan mana yang ingin menculikmu, atau berniat baik padamu."
"Terima kasih," kata Mark cerah, menggaruk tengkuknya canggung, "lebih baik kau segera mengganti pakaianmu juga."

Mingyu lantas bangkit dari sofa. Dengan hati-hati agar tidak mengenai hidungnya yang baru saja diobati, Mingyu melepaskan kaus basah yang menempel di tubuhnya. Ia tidak menyadari, Mark sedang memandangnya terpana, tepatnya pada tubuhnya. 

Bagaimana tidak, tubuh Mingyu hasil kegiatan fitness-nya yang rutin, sukses membentuk otot-otot dada, dan otot roti sobek berjumlah enam di perutnya. Begitu juga otot-otot bisep di lengannya, ditunjang pundak lebar kokoh, membuat Mark tanpa sengaja hanya menelan saliva-nya.

"Wow," sebuah bisikkan kecil meluncur keluar dari bibir mungil Mark, namun sepertinya mampu di dengar oleh Mingyu yang menoleh padanya.

Mark buru-buru mendekap mulutnya dengan mata membelalak seperti seseorang yang baru saja tertangkap basah mencuri, memalingkan wajahnya ke sembarang arah asalkan tidak pada tubuh berbentuk lelaki jangkung di depannya.

Mingyu mengangkat sebelah alisnya saat melihat semburat kemerahan di wajah si lelaki mungil sampai ke telinganya. Ia tahu jika Mark sedang merasa malu dan canggung, dan hal itu membuat Mingyu menyeringai. Sebuah ide jahil tiba-tiba terbesit di pikirannya.

"Sepertinya aku agak gerah," tanpa mengenakan kaus putih pemberian Mark, Mingyu mendudukkan diri kembali di samping Mark dengan tubuh shirtless.
"Cepat kenakan kausmu. Kau bisa masuk angin," kata Mark tanpa menoleh pada Mingyu.
"Iya nanti juga akan ku pakai," Mingyu mendengus menahan tawa melihat wajah Mark semakin memerah. Entah mengapa ia merasa lucu dan gemas.

"Kau kenapa, sih?" Mingyu bertanya, pura-pura tidak memahami keadaan.
"Ti—tidak... aku tak apa... apa..." bisik Mark.
"Lalu kenapa kau berbicara tanpa memandangku? Itu adalah sesuatu yang tidak sopan asal kau tahu."
"Entahlah. Leherku merasa pegal sekali jika menghadap kesana, aku butuh waktu membuatnya rileks dengan menghadap kemari."

Ingin sekali Mingyu tertawa sambil terguling-guling di lantai mendengar jawaban konyol Mark.

"Hey, ada apa denganmu?" Mingyu meraih dagu Mark, membuatnya kembali menatap ke arahnya. Ia bisa melihat wajah putih mulus itu sudah memerah seperti kepiting rebus.
"A—aku... mau menyiapkan... minum..." Mark baru saja akan bangkit berdiri, namun Mingyu menahannya. Ia malah menarik Mark lebih dekat hingga kini jaraknya dengan lelaki mungil itu hanya beberapa senti saja. Tangannya melingkar di pinggang Mark.

Mingyu bisa melihat mata Mark yang membola panik, dan ia baru saja menyadari jika mata lelaki kecil itu sangat indah dan membiusnya. Tak lupa bibir mungil tipis berwarna merah muda, sukses membuat Mingyu entah mengapa merasakan sebuah sensasi aneh di dasar perutnya.

"Ternyata kau lucu sekali Mark," bisik Mingyu. Deru nafasnya menyapu bibir Mark yang merasa jantungnya berdegup ribuan kali lebih kencang dari normal, saat ia menatap mata Mingyu.

"Tadi kau bertanya apa yang bisa kau lakukan agar aku memaafkanmu, benar? Aku hanya ingin satu hal saja darimu."

Tanpa menunggu jawaban Mark, Mingyu bergerak lebih dekat dan mencium bibir mungil Mark yang sejak tadi sungguh membuatnya penasaran. Dan dugaannya benar. Bibir itu sangat hangat dan terasa manis sekali. Mingyu bisa mabuk jika terus mencium bibir mungil itu.

Mata Mark membelalak kaget saat Mingyu mulai melumat bibirnya. Separuh hatinya ingin mendorong tubuh Mingyu, tapi separuh lainnya memilih untuk bertahan. Dan pada akhirnya, ia melingkarkan tangannya di tengkuk Mingyu, memejamkan matanya, menikmati sensasi hangat, nyaman, dan nikmat, saat membalas setiap permainan ciuman Mingyu.

Rasanya lama sekali sampai akhirnya Mingyu melepaskan ciumannya untuk mengambil udara, begitu juga Mark. Benang saliva masih menempel diantara kedua bibir mereka. Mingyu sungguh terbuai menyaksikan pemandangan indah dari wajah lucu Mark dengan bibir memerah bengkak itu. 

Pesona lelaki mungil itu sanggup membuat Mingyu tak berdaya, tapi ia masih berusaha sadar, tak ingin setan menguasai nafsunya dan berbuat lebih. Ada sebuah perasaan aneh dalam dirinya yang tak ingin membuat Mark tak nyaman.

"Kau sudah memiliki kekasih?" tanya Mingyu tiba-tiba, yang dijawab Mark dengan menggeleng.
"Tak ada yang ingin menjadi kekasih orang sepertiku," kekeh Mark tertunduk malu.
"Kalau begitu, ijinkan aku berusaha membuka kunci hatimu itu."

Mark kembali mengangkat kepalanya. Ditatapnya dalam-dalam mata Mingyu, mencari dusta dan kebohongan lain dari sana. Tapi Mark tidak bisa menemukannya. Hanya ketulusan yang ada disana.

"Tapi... aku tidak pantas... kau..." Mark bergerak gelisah, tapi Mingyu menenangkannya.
"Ini mungkin terdengar terlalu cepat, aku tahu kita baru saja bertemu. Tapi aku tak berbohong dengan apa yang tadi kukatakan. Aku tidak akan memaksamu juga untuk terburu-buru. Entah apa yang terjadi padaku, tapi Mark Lee, ku mohon beri aku kesempatan untuk lebih dekat denganmu."

Mark tersentuh mendengar itu. Mingyu benar, ini terlalu cepat, bahkan ini adalah pertemuan pertama mereka. Tapi sepertinya ia bisa mencobanya, lagi pula Mingyu mengatakan jika dirinya tak perlu buru-buru memutuskan.

"Beri aku waktu," bisik Mark, "kita jalani dulu saja. Aku belum mengenalmu lebih dekat, begitu juga denganmu. Jika memang pada saatnya takdir yang mengharuskan kita bersama, biarkan waktu yang menjawabnya."

Kali ini giliran Mingyu yang tertegun lagi mendengar ucapan Mark. Ia melengkungkan senyumnya.

"Percayalah padaku."

[END]

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet