Final

Kyuhyun: Do I love her?

 

                Jika kau tanya aku pertanyaan apa yang paling ingin kulontarkan pada Tuhan, aku akan menjawab; Tuhan, kenapa umur adalah hal yang harus diukur? Jika aku boleh menanyakan hal lain pada-Nya aku akan bertanya; Tuhan, kenapa aku dan dia tidak dapat bersatu hanya karena umur?

            Sebelum bertemu dengannya, aku selalu mengejek Leeteuk Hyung, yang sedang berada di akhir umur dua puluh tahun—haha, dasar tua. Sebelum bertemu dengannya, aku sangat bangga dengan gelar magnae, bahwa akulah pria paling muda di grup kami, bahwa akulah pria yang paling polos—sungguh lho—jika dibandingkan dengan para Hyung yang pikirannya sudah lebih mencapai titik akulturasi dewasa, bahwa akulah orang yang paling di manja di antara yang lain. Tapi kenapa, kenapa kini aku menyesal aku terlahir tidak lebih awal darinya? Kenapa kini aku justru iri pada Leeteuk Hyung? Kenapa kini aku baru bertanya apa sebenarnya tujuan umur? Kenapa kini aku sungguh ingin lebih tua darinya?

            Tapi akhir-akhir ini aku berpikir, kenapa diabukan orang lain yang umurnya lebih muda dariku? Akan lebih mudah jika dia tidaklebih tua dariku, dan tidakjutek. Jika kau tanya pendapatku, dia jutek setengah mati. Rasanya jauh lebih mudah mencari jarum di tumpukan jerami dibanding membuatnya tersenyum. Serius. Aku mendapatkan sesuatu, bukan sebuah jawaban dari semua pertanyaanku, mereka tidak akan pernah kutemukan jawabannya, tapi aku mendapatkan sesuatu yang pasti;

 

Kenapa aku tidak berhenti bertanya?

 

            Nah, kau pasti mengerti aku. Apa yang kukatakan barusan sangat tepat, kenapa aku tidak berhenti berpikir dan berhenti memunculkan pertanyaan yang tidak habis pikir dan tidak akan pernah dapar dijawab. Lagi-lagi aku mendapat pertanyaan; Tuhan, kenapa kau tidak membuat semuanya lebih mudah saja?

            Sebenarnya aku tidak seharusnya terus-terusan mengeluh. Bukankah Tuhan telah membuat segalanya dengan sempurna? Ya, aku harus berhenti memikirkan pertanyaan yang secara tidak langsung berisi keluhanku pada Tuhan.

            Setelah aku berpikir lagi, hanya satu pertanyaan—aku mulai muak dengan pertanyaan, entah kenapa aku jadi benci SAT—yang mendasari semua hal ini. Ya, pertanyaan bodoh. Mengapa aku, yang idealnya memiliki IQ lebih tinggi ketimbang mereka—tidak perlu kusebutkan siapa saja merekaitu—begitu bodoh dalam hal ini? Ah, hal ini merepotkanku saja. Omong-omong tentang “hal merepotkan” aku jadi benar-benar repot mengatasi pertanyaan yang karenanya telah tumbuh cabang-cabang pertanyaan yang lebih merepotkan.

            Kenapa aku harus mencintai Noona itu?

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
CindyT
#1
Good story~~~