Yandere.

Yandere.
Please log in to read the full chapter

Namaku Yuzumi, orang-orang biasa memanggilku Yu. Usiaku baru 17 tahun bulan depan dan aku adalah seorang gadis yang—ya menurutku biasa-biasa saja. Aku bersekolah di Sekai High School.

Aku menjalani kehidupan yang normal sampai suatu hari kelasku kedatangan murid baru. Seorang murid laki-laki pindahan dari Amerika. Seluruh murid-murid dikelas memanggilnya Mark, karena memang itulah namanya. Mark Tuan, anak laki-laki keturunan China-Amerika yang baru saja pindah dan ditempatkan dikelasku. Kebetulan juga pak guru menempatkan nya duduk satu meja denganku.

“Hai”

Aku menoleh kepada suara itu datang. Mark sudah berdiri disampingku, menjajalkan tangan kanannya sambil tersenyum menunjukan beberapa deret gigi-gigi kecil bertaringnya. Lucu.

Senyumannya sangat manis. Sangat Amerika kalau menurutku mengingat kalau Mark memang murid pindahan dari Amerika. Wajahnya yang kecil hampir tenggelam dengan poni miring dan kacamata ber-frame besar berwarna hitam senada dengan retina matanya.

Semua kekaguman itu aku tepis sambil juga aku ikut menjajalkan tangan kananku untuk Mark dan mulai menggeser bangku ku untuk tempatnya duduk.

Mark mulai melepaskan tas dan juga jaket hitam dan duduk disampingku.

Seluruh isi kelas mulai tenang saat pak guru menyuruh kami untuk membuka buku paket halaman 113.

“Namaku Mark”

Sontak aku mengubah pandangan mataku dari buku kearah samping. Lagi-lagi senyum manis itu datang.

“Aku Yuzumi, panggil saja aku Yu”

“Nice to meet you, Yu”

Aku membalasnya dengan senyuman dan kembali menaruh fokusku pada buku sejarah ditanganku. Pak guru menjelaskan dengan detail tentang sejarah perang antara Jepang dan Amerika dan bagaimana Amerika bisa kalah dan menyerah kepada Jepang.

Tapi fokusku buyar setelah aku sadar kalau sedari tadi ada yang memperhatikan dan menatapku tanpa henti. Tatapan itu datang dari arah samping kananku, Mark.

‘What’s on earth is he doing?’ batinku.

Lama kelamaan bulu disekitar tubuhku berdiri dan keringat dari dahiku mengucur layaknya air terjun. Aku merasa kalau tatapan ini sudah sangat menganggu bahkan membuat aku takut.

Dan akhirnya jam pelajaran pertama pun berakhir. Anak-anak perempuan lain berkumpul mengerubungi bangku ku sesaat setelah pak guru meninggalkan kelas.

Karena sudah terlanjur merasa risih lantaran tatapan yang di lontarkan Mark sepanjang pelajaran, aku memilih untuk pergi membiarkan mereka-mereka yang terlihat seperti ibu-ibu sedang berebut ikan segar dipasar.

Aku berjalan menelusuri lorong sekolah sambil beberapa kali menyeka keringat yang terus berjatuhan dari dahiku.

“Apa-apaan yang dilakukan anak baru itu? Membuatku kacau saja”

Gerutu ku sepanjang lorong.

Kaca besar yang menempel di sepanjang westafel memantulkan diriku begitu aku memasuki toilet. Dapat aku lihat betapa basah nya diriku sekarang ini. Bagaimana bisa tatapan itu membuatku keringatan sampai sebegininya.

Buru-buru aku membuka keran dan mencuci mukaku dan mengelapnya dengan tissue hingga semuanya benar-benar kering.

Begitu aku kembali ke kelas, Mark sudah lebih dulu menyapaku dengan senyuman manisnya. Anak-anak perempuan sudah kembali ke posisi duduknya masing-masing.

Aku menarik dan membuang nafas, membuat diriku relax sebelum aku kembali ke tempat duduk ku. Ke tempat Mark.

“Mereka semua ramah”

Aku hanya menatap Mark aneh dan memindahkan pandanganku kearah jendela. Burung-burung gereja berterbangan riang sepanjang lapangan sebagai pemandanganku kali ini. Cukup membuat diriku tenang.

-

-

-

Hari ini sudah genap sepuluh hari sejak kepindahan Mark ke kelas kami. Seperti biasa, aku mengganti pakaianku bersama dengan teman-teman perempuan di ruang ganti baju sebelum memulai pelajaran olahraga.

“Kamu beruntung Yuzumi, sungguh-sungguh beruntung bisa duduk satu meja dengan Mark”

“Iya, aku rasa ada sesuatu dari Mark”

“Aku sering melihat dia menatapmu selama pelajaran”

“Ah aku rasa Mark menyukaimu”

“Beruntungnya”

Semua ocehan yang di lontarkan membuat diriku muak. Ocehan dan tawa mereka setelah bergosip bergema sepanjang ruangan. Mereka bahkan tidak memberiku kesempatan untuk sekedar berucap.

“Apa sih yang kalian bicarakan, huh? Mark tidak menyukaiku”

Spontan aku meninggikan suaraku. Ruangan kini menjadi sangat sunyi seperti tidak ada satu orangpun disini. Walaupun nyatanya ada sekitar 12 orang termasuk aku yang sedang berkumpul.

“Yu, suaramu besar sekali” Tegur Riko.

Seluruh pasang mata menatap kearahku. Manik mata yang menunjukkan ketakutan nya sehabis aku bentak barusan.

“Maaf aku tidak bermaksud demikian”

Buru-buru aku melipat seragamku dan meninggalkan ruang ganti.

“Permisi”

Setengah berlari aku menuju arah loker. Menaruh tas kain kecil berisi seragam dan menukarnya dengan sepatu olahraga. Aku langsung menuju ke ruang Gym untuk pemanasan.

Sepanjang permainan bola voli, aku berusaha bermain sefokus mungkin walaupun aku tahu di sudut lain ada orang yang sedang memperhatikanku.

Mark berdiri di pojok ruangan dengan bola voli ditangan nya sambil terus-terusan menatap kearahku. Sesungguhnya aku sedikit merasa terganggu. Tapi sebisa mungkin aku meyakinkan diriku bahwa Mark tidak sedang memperhatikanku melainkan permainan kami.

Perasaan aneh mulai muncul ketika aku melihat Mark sama sekali tidak berpindah dari tempatnya. Juga tatapan nya yang tidak berpindah seiring bola terbang kesana kemari. Ia hanya menatap pada satu tempat, yaitu tempatku.

DUK!

Bola voli melayang mengenai kepalaku. Aku berdiri sempoyongan sampai akhirnya ambruk dan pingsan.

Aku membuka mata dan sadar kalau aku sedang berbaring di sebuah ruangan dengan tirai putih. Mataku meraba sekitar ruangan sampai aku menemukan kotak putih dengan tanda tambah berwarna merah di pojok ruangan.

“Kamu sudah sadar, Yu?”

Aku tidak yakin dengan siapa yang bertanya barusan karena kepalaku terasa cukup pusing. Namun aku sudah dapat mengenali suara itu. Suara milik seseorang yang aku kenal cukup dekat. Suara Mark.

Belum sempat aku menjawab, sebuah tangan sudah mendarat di dahi ku. Seperti mengecek apakah aku baik-baik saja.

“What are you doing here?” tanyaku dengan suara purau.

“Aku meminta kepada guru untuk menemanimu sampai kamu sadar, Yu. I’m very worried about you”

-

-

-

Sudah sekitar satu jam aku menunggu Shiro di kafe tempat kami janjian tapi ia tidak juga menampakan batang hidungnya. Aku mulai mendengus kesal sambil sesekali mengecek layar ponselku. Tidak ada satupun notifikasi muncul disitu.

Choco Frape Blended milikku sudah hampir habis dan Shiro baru saja tiba.

“Maaf Yu, jalanan macet”

“Hmm” jawabku singkat.

Baru saja duduk, Shiro beranjak dari bangkunya, berjalan menuju meja kasir dan kembali dengan segelas Choco Green Tea Jelly Blended besar ditangannya.

“Jadi bagaimana?”

Shiro menyeruput minumannya. Aku tidak bisa memalingkan pandanganku sedikitpun darinya. Aku telah menyimpan rasa untuk Shiro semenjak tahun pertama sekolah. Bahkan sampai sengaja melibatkan diriku sebagai pengurus organisasi di sekolah hanya untuk sekedar bisa dekat dengannya.

Rambut hitam berponi dan kharisma yang keluar setiap kali ia berbicara membuatku sangat ingin dekat dengannya. Apalagi kali ini ia berpakaian santai namun rapi. Kaos hitam yang dibalut dengan kemeja kotak-kotak besar membuat tubuhnya serasa tenggelam. Aku sangat suka melihatnya seperti ini, berbeda dengan saat ia memakai seragam sekolah.

“Aku sudah mendapat izin dari kepala sekolah. Acara kita bisa di langsungkan bulan depan”

Kedua tangan Shiro menyapu seluruh mukanya; mengucap syukur. Akupun ikut bahagia walaupun nyatanya kabar gembira ini datang dari diriku sendiri.

Setelah urusanku selesai dengan Shiro, kami berdua pulang bersama. Kami memilih berjalan kaki ketimbang naik bis yang sudah dua kali lewat tapi tetap saja penuh.

Tidak banyak perbicangan diantara kami selama kami berdua berjalan kaki. Aku merasa sangat senang bisa menghabiskan hari libur ini bersama dengan Shiro sampai akhirnya ada seorang anak perempuan melambai dari kejauhan. Shiro mempercepat jalannya begitupula aku yang mengekornya dari belakang.

“Kenapa kamu tidak bilang kalau sudah selesai, Sayang?”

Kalimat pertama yang di lontarkan anak perempuan itu ketika kami bertiga bertemu.

“Maaf, handphone ku lowbat”

Please log in to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
AhnXion #1
Chapter 2: <span class='smalltext text--lighter'>Comment on <a href='/story/view/1388310/2'>Yandere.</a></span>
Omgg i love this story!!! Im from malaysia but i can totally understand the story as i do understand the Indonesian language kekeke. Please write more story about mark🥺 thanks btw for this absolutely amazing story authornim❤️