Dua

The Truth of Hurt

Raekyo bangun lagi, kali ini hari sudah pagi. Kejadian semalam sudah tidak terlalu mempengaruhinya, dan ia bersyukur karenanya. Dengan malas, Raekyo berganti pakaian, menyisir rambutnya yang berantakan. Memandang pantulan dirinya di cermin, Raekyo tertegun. Ia masih terlihat sama, persis seperti sebelum kejadian itu terjadi, tingginya mungkin bertambah sedikit namun sisanya sama. Ia tersenyum kecut bagaimana ia bisa nampak tidak berubah sementara sekelilingnya berubah sangat drastis?

            Setelah mendengus pada bayangannya sendiri, Raekyo beranjak keluar kamar. Sudah waktunya mengganti posisi ‘kakak-kakak’nya. Ini sudah menjadi kebiasaannya namun ia tidak pernah merasa terbiasa melakukannya. Raekyo menghembuskan nafas berat lalu membuka pintu kamar kakak kembarnya. Semua perabotan di kamar masih sama, tidak ada yang berubah maupun diubah. Raekyo mengamati sosok kedua ‘kakaknya’ dengan alis berkerut. Seingat dirinya, ia belum mengubah posisi mereka semalam. Ataukah dia lupa? Apakah ayahnya?

            Kini patung Kyuhyun –kakak keduanya, yang semalam masih Raekyo ingat tertidur di kasurnya, sekarang berdiri tegak menghadap tembok. Satu tangannya terangkat ke atas sementara tangan satunya lagi ada di samping tubuhnya. Raekyo memandang ke seberang ruangan, di kursi, duduk patung Kibum, kepalanya terarah ke pintu masuk seolah kini sedang memandangi Raekyo. Gadis itu merasakan kulitnya meremang. Raekyo berusaha menetralkan detak jantungnya, ia mencoba berpikir positif, mungkin semalam memang ia yang melakukan ini, mungkin ayahnya. Tidak mungkin patung-patung itu bisa bergerak sendiri kan? Atau jangan-jangan ada orang lain di rumah ini? Raekyo berusaha mengenyahkan pikiran itu, tidak baik menakut-nakuti diri sendiri.

            Gadis itu kemudian mengatur ulang posisi kedua patung kakaknya, membuat Kibum seakan sedang belajar dan Kyuhyun duduk di atas kasur memperhatikan Kibum. Adegan itu terasa begitu tidak asing dan membuat hati Raekyo menghangat. Merasa puas dan tidak mau ambil pusing, Raekyo turun ke bawah, berharap menemukan kedua orangtuanya. Namun kamar mereka dan dapur kosong. Hanya terdapat sepiring roti isi yang sudah dingin di atas meja beserta sebuah notes tertempel di kulkas. Isinya ringkas, memberitahu bahwa kedua orangtuanya pergi bekerja. Hari ini rupanya sang ibu merasa cukup sehat untuk pergi bekerja. Raekyo merasa miris, bagaimana ibunya bisa sangat terlihat normal di saat-saat paling tidak warasnya?

            Suara klakson mobil membuat Raekyo terperanjat. Namun ia mendesah lega mengetahui itu suara klakson mobil sahabatnya. Raekyo menyambar roti di atas meja kemudian berlari keluar rumah, melihat Adelle duduk di balik kemudi, melambai dengan santai. Raekyo balas melambai, ia segera masuk mobil, menyambut kehidupannya yang sedikit normal. Mereka pun segera berangkat menuju sekolah.

            “Beri aku segigit.” Adelle melebarkan mulutnya namun tatapannya tetap lurus ke depan, berusaha tidak melibatkan ia dan Raekyo dalam kecelakaan hanya karena dia minta sesuap sarapan dari sahabatnya.

            “Habiskan.” Raekyo memberikan seluruh rotinya dengan senang hati. Ia tahu yang membuat sarapannya pasti ayahnya. Dilihat dari isi roti yang begitu kaya akan protein, telur mata sapi, keju, bacon dan sosis. Raekyo bukannya tidak suka, namun dia lebih bisa mengapresiasi roti isi selai cokelat atau kacang atau strawberry daripada ini. Prinsipnya jelas, daging harus dimakan bersama nasi, bukan roti. Di sebelah, Adelle mengunyah dengan bahagia, bahkan sedikit bersenandung, roti isi itu kesukaannya. “Aku benci bila appa yang membuatkan sarapan.”

            “Dasar tidak bersyukur, masih untung ada yang membuatkan sarapan.” Adelle mencibir main-main, membuat Raekyo tersenyum. Ia tahu keluarga Adelle sangat anti dengan yang namanya dapur, jadi yah, masakan rumah merupakan barang langka untuknya. “Aku tidak melihat orangtuamu tadi, apa eomma kambuh lagi?”

            Raekyo tidak berjengit mendengar pertanyaan Adelle. Mereka sudah bersahabat sejak kecil, dan sudah seperti saudara, maka masalah yang dialami keluarganya sudah jelas keluarga Adelle tahu. Mereka tahu dan berusaha membantu. Membuat Raekyo bersyukur, dia tidak merasa terlalu sendirian. Raekyo tahu arah pertanyaan Adelle, ia tidak sakit hati, namun cukup membuatnya menghela nafas berat. Semua sudah serba terbalik. Kambuh yang dimaksud Adelle adalah ketika ibunya sedang sadar, kembali ke realita, membuat wanita itu tenggelam dalam air mata tak henti dan ratapan memilukan sedangkan saat-saat ibunya termakan ilusi pikirannya sendiri, saat ibunya berhalusinasi adalah saat yang normal. Raekyo kadang bertanya-tanya akankah dia suatu hari terbangun dan menjadi seperti ibunya? Mungkin memang harus begitu, ayahnya juga kalau bisa hingga mereka bertiga kembali menjadi keluarga yang ‘normal’. Tapi pikiran itu membuatnya takut, Raekyo tidak boleh hilang kewarasan, tidak saat dia satu-satunya yang masih berdoa mengusahakan agar ibunya sembuh dan menjaga ayahnya tetap waras.

            “Eomma pergi bekerja. Appa juga.”

            “Benarkah?” Alis Adelle terangkat tinggi sekali hingga Raekyo menyangka alis sahabatnya itu akan bergabung dengan rambut dan tidak kembali lagi ke tempatnya. Raekyo memahami reaksi itu, ia juga seakan tidak percaya, terakhir kali ibunya merasa bisa pergi bekerja adalah tahun lalu. “Apakah tidak akan apa-apa?”

            Raekyo juga mengerti kekhawatiran sahabatnya. Tahun lalu ibunya pulang kerja dalam keadaan hancur parah, wanita itu tidak sengaja mendengar pembiacaraan karyawannya yang membicarakan keadaan keluarganya, membuat ilusi sang ibu luruh tergantikan dengan kenyataan yang masih sampai sekarang sulit ia terima. Efek kerusakan hari itu pada ibunya sangat dalam, butuh berminggu-minggu bagi ayahnya untuk membuat ilusi itu datang kembali pada ibunya. Hingga sang ibu bisa tenang. Hingga mereka bertiga bisa kembali tidur di malam hari. Raekyo tidak bisa menyalahkan ayahnya, dia sendiri pun sudah tidak tahu mana yang lebih baik, ibunya yang sadar atau ibunya yang berhalusinasi.

            “Mm-hm. Appa sudah membungkam semuanya. Harusnya tidak akan terjadi lagi.” Tidak aneh bagi Adelle, keluarga Raekyo bisa berbuat apa saja. Pengaruh ayahnya begitu kuat dan tidak terbantahkan. Beliau adalah orang yang disegani, bukan saja dalam bisnis namun juga dalam hal hubungan sosial. Tidak pernah ada yang berani menentang beliau terang-terangan, tidak rekan bisnis, tidak pesaing apalagi hanya karyawan agensi milik ibu Raekyo yang sudah jelas tidak ada apa-apanya. Adelle mungkin bisa mengagumi ayahnya, namun Raekyo tidak. Ia sedikit takut. Ayahnya bukan hanya bisa memutarbalikkan dunia demi menciptakan lingkungan yang nyaman untuk kondisi ibunya, tapi pria itu pasti akan berbuat begitu. Kalau sudah begitu, Raekyo tidak akan pernah lagi merasakan normal, seluruh hidupnya akan seperti panggung sandiwara. Panggung megah yang ayahnya ciptakan untuk sang ibu tonton, namun Raekyo bukan termasuk penonton, dia salah satu bonekanya.

            Adelle memilih diam. Raut murung sahabatnya sudah cukup memberitahunya untuk tidak mendesak lebih jauh. Mereka menghabiskan sisa perjalanan ke sekolah dalam diam. Untung saja perjalanan tinggal sedikit lagi hingga keduanya tidak terlanjur tersadar dan menjadi canggung. Bangunan sekolah nampak seperti biasanya, sudah ramai dengan siswa-siswi yang berjejalan masuk. Adelle memasuki pekarangan parkir, memilih mengistirahatkan mobilnya di bawah bayangan satu-satunya pohon di tempat parkir itu. Hanya ada beberapa mobil yang terparkir, namun bukan hal yang aneh. Hanya sedikit siswa yang mau repot-repot menyetir mobil sendiri, seperti Adelle salah satunya, sisanya tentu saja diantar sopir atau diantar orangtuanya kalau mereka beruntung. Maklum saja, sekolah Raekyo merupakan sekolah paling elite di sini.

            Adelle berlari menyusul Raekyo setelah mengunci mobilnya. Mereka berjalan beriringan, berusaha tidak menabrak anak lain yang berlari seperti kesetanan karena takut terlambat masuk kelas. Adelle mengecek jam tangannya, mereka memang sudah terlambat namun Raekyo tidak sama sekali mempercepat laju jalannya. Sahabatnya itu mungkin satu-satunya yang tidak takut bila terlambat, lagipula siapa yang mau memarahi mereka? Alasannya? Tentu saja ayah Raekyo pendonor utama di sekolah ini.

            “Dell, apa kau pernah mengalami menaruh barang namun keesokan harinya barang itu berpindah tempat?” Mereka sedang mengambil buku di loker masing-masing ketika Raekyo bertanya.

            “Tentu saja, kau tahu keempat adikku seperti tikus. Sulit menaruh barang di tempat yang sama dalam waktu sepuluh menit. Kenapa?”

            “Bukan begitu. Ini berbeda. Barang yang hanya milikmu, yang orang lain tidak pernah menyentuhnya, tapi berpindah keesokan harinya.” Raekyo agak kesulitan menjelaskan karena satu-satunya hal yang masih ia rahasiakan pada Adelle adalah mengenai patung-patung ‘kakak’nya. Terasa seperti hal yang sangat tabu untuk dibicarakan bahkan kepada sahabat yang sudah mengetahui segalanya tentang dirimu.

            “Terdengar seperti film hantu. Kau tahu kan, hantu kadang menggerakkan benda-benda untuk menakuti. Tapi aku tidak percaya. Itu semua hanya film, lagipula barang kecil berpindah tempat sangat masuk akal sekali. Bisa saja tersenggol tidak sadar atau apa lah. Mungkin saja ayahmu. Atau ibumu. Kalau kau memang melihat dengan mata kepalamu sendiri benda itu bergerak, baru aku percaya. Memang apa sih yang berubah tempat?”

            “Tidak ada. Aku hanya bertanya bukan berarti aku mengalaminya kan?” 

            “Dasar.” Adelle menonjok pelan lengan Raekyo, “Kukira sungguhan. Aku bahkan sudah berpikir harus membantumu dengan memanggilkan ghostbuster.”

            Raekyo tertawa. Gadis itu menggamit lengan sahabatnya lalu menariknya ke arah kelas. Ia berpikir untuk melupakan kejadian tadi pagi, mungkin memang ayahnya yang merubah. Tidak mungkin ibunya, tapi pasti ayahnya. Raekyo mengingatkan dirinya untuk bertanya pada ayahnya nanti setelah ia pulang ke rumah. Untuk saat ini, lebih baik ia memusatkan perhatian pada ulangan matematika yang tentu saja sudah mulai dari sepuluh menit lalu.

 

* * *

 

            Raekyo melambai sampai mobil Adelle menghilang di tikungan. Sahabatnya itu menyetir seperti dikejar setan, membuat ia geleng-geleng kepala melihatnya. Lupa menjemput adik bungsunya dari tempat penitipan anak katanya, Raekyo jadi tersenyum sendiri mengingat betapa paniknya sahabatnya itu tadi. Raekyo pun berbalik, hendak berjalan masuk ke dalam rumahnya. Namun sesuatu menarik perhatiannya, maka ia mendongak. Di atas, Di jendela kamar kedua kakaknya, terpajang dua patung yang Raekyo ingat jelas terakhir posisi mereka ada di mana. Kini mereka berdiri bersebelahan, kedua wajah patung itu menatap ke bawah, ke arah pintu masuk. Irama jantung Raekyo berdetak tidak karuan. Kalau ini perbuatan ayahnya maka ayahnya sudah sangat keterlaluan. Raekyo melihat ke kanan ke kiri, jalanan nampak sepi, teteangga juga tidak ada yang keluar rumah. Namun sejak kapan kedua patung itu di sana, Raekyo tidak tahu, dia juga tidak tahu sudah berapa banyak orang yang melihat.

            Merasa marah, Raekyo menerjang masuk ke dalam rumah. Ia berlari menaiki tangga langsung dua-dua sekaligus ke arah kamar kakaknya. Dengan kasar ia menarik kedua patung itu menjauh dari jendela lalu melemparkannya asal ke lantai. Sudah cukup gunjingan tetangga bahwa keluarga mereka tidak normal, tidak perlu pembuktian lebih lanjut kan? Raekyo menutup rapat gorden jendela rapat-rapat menghalangi sinar matahari masuk. Tubuh kedua patung itu tergolek dengan sudut yang ganjil di lantai, kedua wajahnya yang tidak manusiawi menghadap ke atas, menatap langit-langit seolah berharap akan runtuh mengubur mereka. Raekyo  melangkahi patung-patung itu, berderap kembali ke bawah. Ayahnya harus bisa menjelaskan apa yang baru saja ia lakukan.

            Nihil. Seluruh rumah telah Raekyo cek namun hasilnya nihil. Kedua orangtuanya tidak ada di rumah. Satu-satunya pertanda keberadaan mereka adalah catatan yang tertempel di kulkas. Raekyo kebingungan, perasaan itu datang lagi membuat bulu kuduknya kembali berdiri. Raekyo menggapai ponselnya, menelepon ayahnya berharap ayahnya dapat menjelaskan apa yang terjadi.

            “Halo, Rae?” Suara ayahnya terdengar pelan. Raekyo sadar ayahnya sedang berbisik.

            “Appa, apa tadi appa pulang ke rumah?”

            “Hm? Tidak. Ada sesuatu terjadi? Apa eomma….”

            “Tidak, tidak appa. Eomma baik-baik saja di kantornya. Hanya…” Raekyo bingung menjelaskannya. “Tidak apa-apa, appa. Hanya merasa aneh tidak ada orang di rumah.”

            “Oh, syukurlah. Ya benar, aneh ya rasanya melihat eomma-mu kembali kerja?” Ayahnya terkekeh di seberang sana, terdengar bahagia akan kemajuan istrinya. Raekyo menggigit bibirnya, bagaimana bisa dibilang kemajuan bila sebenarnya eommanya justru mengalami kemunduran dalam halusinasinya? “Ah, appa sedang meeting, mungil. Kau tidak takut kan sendirian di rumah? Sampai jumpa nanti malam.”

            “Ya appa, aku tidak takut.”

            “Bagus. Love you, mungil.” Sang ayah memutus sambungan, gagal mendengar getaran dalam suara putrinya. Sementara itu Raekyo diam terpaku, bukan ayahnya yang mengubah posisi patung-patung itu. Lalu siapa? Benarkah hantu seperti yang Adelle bilang? Tiba-tiba suara berkelotakan terdengar dari kamar Kibum dan Kyuhyun, Raekyo refleks menoleh ke atas namun tidak melihat ada pergerakan atau bunyi lain selain itu. Raekyo menaruh ponselnya di saku, berjalan perlahan ke atas. Ia takut, ia tahu sharusnya ia kabur keluar rumah, namun rasa penasaran membuatnya maju. Raekyo berjingkat pelan, berjalan sehalus melayang, keahlian yang terasah karena terlalu sering bermain petak umpet dengan kakak-kakaknya. Tangannya berada di dada, berusaha menetralkan detak jantugnnya yang menggila. Mungkin siapapun atau apapun yang ada di kamar kakaknya tidak bisa mendengar langkah kakinya namun Raekyo yakin mereka bisa mendengar detak jantungnya. Mungkin.

            Raekyo berusaha mengintip ke dalam kamar yang gelap dari celah di pintu. Tidak ada apapun yang aneh, kedua patung kakaknya masih tergolek di lantai, memberanikan diri, Raekyo membuka pintu perlahan. Ia pun masuk ke dalam, sebuah suara tertangkap telinganya, berasal dari dalam lemari pakaian Kyuhyun. Suaranya seperti seseorang sedang mencari atau mengaduk-aduk sesuatu. Raekyo berdiri diam di depan pintu lemari, ragu-ragu untuk membuka pintunya. Bagaimana kalau ternyata hantu? Takut. Bagaimana kalau cuma tikus? Takut juga. Bagaimana bila ada orang jahat atau penyusup? Sangat takut. Namun bagaimana bila itu salah satu kakaknya? Mungkin saja kan kakaknya pulang diam-diam untuk mengambil sesuatu, pakaian misalnya?

            Raekyo membulatkan tekad, apapun itu ia harus tahu. Menghitung sampai tiga, Raekyo membuka lemari pakaian Kyuhyun sekali sentak, ia melihat tidak ada yang aneh sampai dua sinar muncul dari balik pakaian yang tergantung. Begitu telat hingga Raekyo sadar, dua sinar itu bukan cahaya tapi bola mata, gadis itu menjerit. Itulah yang Raekyo ingat sebelum sosok pemilik bola mata itu melompat keluar menerjang Raekyo hingga gadis itu terjatuh, kepalanya terantuk pinggiran kasur dan setelahnya Raekyo jatuh dalam kegelapan.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet