CH.2 - THE TRUTH UNTOLD

MY TURN TO CRY (BAHASA)

Jungkook tak sadar meremas bunga rapuh seperti Wild Carrot itu dengan kuat.

Karena pandangannya hanya tertuju, pada Jennie yang melepaskan pakaiannya untuk pemuda lain di belakangnya. Pada Jennie yang membiarkan Yoon-gi menyentuh setiap inci dari kulitnya.

Pada Jennie, yang mendesahkan nama seseorang selain namanya.

"Y-Yoon-aah~"

Setiap desahan, hentakan dan geraman nikmat dari keduanya menyakiti hati Jungkook begitu dalam. Dimana ia menyaksikan sendiri, di depan matanya bahwa Jennie beitu menikmati bersetubuh dengan Yoon-gi.

Bahkan Jennie terlihat lebih menikmatinya daripada bersama Jungkook.

Jungkook hanya merasakan matanya memanas menahan amarah, entah bagaimana warnanya jika ia bisa melihatnya melalui cermin. Mungkin memerah. Atau sangat merah. Dan mungkit urat-urat matanya sangat menonjol.

Karena genggaman tangannya pada bunga itu sangat keras, mungkin meremukkannya.

Melihat bagaimana Jennie mengambil alih lalu mengendarai Yoon-gi seolah keduanya adalah pasangan yang dimabuk asmara. Padahal Jungkook baru saja ingin melamarnya untuk menjadi istri. Tetapi pada malam ini, gadis itu tengah menikmati seseorang menyentuhnya dengan sangat dalam.

Jungkook tak bergerak, seolah tubuhnya mematung. Seolah jantungnya pun berhenti berdetak.

Ia hanya bisa diam di dalam lemari. Menyaksikan Jennie dan Yoon-gi bersetubuh sampai akhirnya mencapai klimaks dan keduanya terlelap dalam keadaan berpelukan dan telanjang.

Seharusnya malam ini tak seperti ini.

Seharusnya Jungkook tengah bahagia.

Entah sejak kapan mereka memulai hal ini. Yang pasti sekarang Jungkook tahu, bahwa alasan smartphone mati ataupun tak ingin dijemput bukanlah sebuah kenyataan. Bahwa itu semua hanya bualan agar Jennie bisa bersama dengan Yoon-gi.

Jungkook membiarkan waktu berlalu sampai keduanya benar-benar terlelap.

Pemuda itu pun keluar tanpa membiarkan sedikit suara pun terdengar. Melirik keduanya untuk yang terakhir kalinya dengan segala amarah tertahan. Lalu dengan langkah seperti tanpa nyawa, ia berjalan ke arah dapur tanpa menyalakan lampu.

Pikirannya berkecamuk tetapi Jungkook tak boleh gegabah.

Dia tidak bisa membiarkan semuanya berlangsung begitu saja tanpa ia melakukan sesuatu untuk membalas keduanya. Tidak, Jungkook tidak akan mengambil pisau dan menusuk salah satu dari mereka atau keduanya—walau ia begitu ingin melakukannya.

Yang Jungkook lakukan adalah mengambil sebuah kantung plastik berukuran sedang. Lalu memasukkan semua masakan yang sudah ia persiapkan ke dalamnya—membuangnya. Tak lupa membuang bunga Wild Carrot yang sudah remuk di tangannya.

Selanjutnya Jungkook mencoba mencuci semua piring dan peralatan lain yang ia gunakan dengan suara seminim mungkin. Walau jantungnya berdetak sangat cepat dan terasa memenuhi seluruh indra pendengarannya.

Bukan, yang terbayang sebenarnya adalah desahan Jennie di bawah desahan Yoon-gi.

Jungkook tak tahu apa yang lebih menyakitkan seumur hidupnya.

Setelah memastikan semuanya selesai, ia pun membawa kantung plastik tersebut ke ruang tengah, untuk membuang bunga Wild Carrot di dalam vas bunga dan mengubah kalendar kembali ke bulan April.

Terakhir, ia mengenakan ranselnya dan kemudian keluar dari apartemen tersebut.

Dengan berat hati.

Dengan sakit hati.

Dengan perasaan yang hancur berkeping-keping.

:x.o.x:

Mungkin sudah sekitar tigapuluh menit, Lisa berdiri di depan pintu apartemen Yoon-gi pada pagi itu. Memegang smartphone-nya, berusaha menghubungi kekasihnya yang sama sekali tak bisa dihubungi.

Sampai ia terkesiap, mendengar suara langkah kaki yang berasal dari elevator, dimana Yoon-gi baru datang, menyusuri koridor ke arah pintunya.

Oppa~!” seru Lisa terkejut, lalu mengerucutkan bibirnya. “Aku sudah bangun pagi~!”

Yoon-gi tak mengatakan apapun sampai di hadapannya.

“Aku tidak tahu bahwa kau menginap di kantor.” Kata Lisa. “Aku ingin mengajakmu sarapan bersama. Kau tahu ini hari Minggu dan kita jarang sek—“

“Aku lelah, Lisa.” Potongnya.

Lisa mengatupkan bibir dan tampak kecewa. “Kalau begitu… bagaimana jika aku yang membuatkan sarapan di ap—“

“Kau tahu kau tidak bisa memasak.” Kata Yoon-gi. “Lagipula aku sangat lelah, aku butuh sendiri.” Lanjutnya sembari merogoh saku celananya untuk mendapatkan kunci kamarnya.

Sementara Lisa masih berusaha membujuknya. “Tapi oppa, aku bisa—“

“Masih banyak pekerjaan. Aku pulang ke apartemen bukan artinya aku bebas.” Katanya, setelah mendapatkan kuncinya dan membuka pintunya.

Lisa memperhatikannya yang mulai melangkah masuk.

“Kita bertemu hari Selasa, sepulang aku bekerja. Aku sangat sibuk untuk hari ini dan Senin.” Kata Yoon-gi, berbalik untuk melihatnya. “Ya?”

Lisa tak menjawab karena merasakan penolakan hampir setiap kesempatan yang Lisa pikir bisa ia dapatkan.

Yoon-gi memperhatikannya dan kemudian maju selangkah untuk mengusap kepalanya. “Aku janji.” Lanjutnya lembut.

Dan karena kalimat itu, Lisa pun akhirnya menyetujui dengan anggukan. Yoon-gi tersenyum tipis dan kembali mundur.

Sedangkan Lisa mengangkat satu tangannya, berniat melambai. “Kalau begitu, istirahatlah, oppa. Aku akan… bertemu Rose.”

“Ya, luangkanlah waktu dengan temanmu.” Katanya lagi.

Lisa pun tersenyum tipis. Menyaksikan pintu itu mulai tertutup secara perlahan di hadapannya.

Gadis itu pun berbalik perlahan dan mencoba baik-baik saja. Tetapi senyumannya memudar dan langkahnya menjadi lesu.

Mungkin ia akan sarapan seorang diri saja untuk hari ini.

.

.

.

Lisa berakhir di sebuah restoran yang tak jauh dari apartemen Yoon-gi.

Ia duduk di bangku luar, tanpa berkeinginan untuk menyentuh sepiring sarapan ala Amerika di depan matanya. Bahkan jasmine tea sebagai minumannya saja sama sekali belum ia sentuh.

Padahal Lisa sudah menolak ajakan Rose—salah satu teman dekatnya di kampus—saat hari jumat, sehingga Rose memilih untuk pergi keluar kota bersama kekasihnya. Dan kini ia sendiri. Menikmati Minggu kosongnya sendiri.

Lisa pikir seharusnya tak masalah jika Lisa berada di dalam apartemennya. Lisa berjanji tak akan mengganggu jika Yoon-gi memang perlu bekerja. Toh Lisa bisa menonton televisi, atau membaca buku, atau mungkin hanya tidur-tiduran saja.

Tetapi Yoon-gi malah menolaknya.

Lisa sendiri sudah mencoba untuk berubah walau itu sulit. Karena ia tahu Yoon-gi tak suka jika ia bangun tidur lebih dari jam enam pagi.

Padahal sebagai anak seni, sulit sekali untuk tidur dengan teratur. Seharusnya Yoon-gi mengerti hal itu. Tetapi Yoon-gi tak memberi pengecualian. Bahkan melihat apartemen Lisa dengan banyaknya kanvas saja membuatnya mengomel—dengan dingin dan sarkastis tentunya.

“Lisa?”

Lisa terkesiap saat mendengar seseorang menyebut namanya.

Di kursi yang tak jauh darinya, Jungkook, salah satu temannya, duduk—atau mungkin baru saja duduk karena masih menggenggam gelas karton berisi minuman panas di tangannya.

Hei… Jungkook!” Lisa tersenyum lebar menyapanya. “Sudah lama tak melihatmu.”

Jungkook membalas senyumannya. “Kau sendiri?”

Lisa melirik makanannya dan berpikir bahwa ia tak ingin terlihat menyedihkan.

Seringkali ia terlihat menyedihkan diantara teman-teman satu kelasnya. Misalnya jika mereka menunggu cukup lama di kampus untuk dijemput, atau bercerita tentang kejutan yang diberikan oleh kekasihnya, atau setidaknya membicarakan mengenai malam romantis yang sengaja kekasih mereka lakukan walau tanpa ada apapun yang spesial.

“Tidak.” Lisa berbohong. “Aku bersama Yoon-gi-oppa.”

“Dan dimana Yoon-gi-hyung?” tanya Jungkook lagi.

Uhm…” Lisa mengulum bibir bawahnya. “Dia belum datang. Maksudku, aku diminta menunggu disini. Kau tahu apartemennya sangat dekat.”

Ah…” Jungkook pun mengangguk dan berdiri. “Kalau begitu boleh aku duduk denganmu sebentar?”

Lisa memperhatikan Jungkook yang menghampirinya dan tersenyum lagi.

“Kau tahu, jika Yoon-gi-hyung sudah datang juga kita bisa sarapan bersama. Atau aku bisa pergi.” Lanjutnya.

Lisa pun mengangguk perlahan menjawabnya. “Ya. Itu boleh. Tidak apa.”

“Terima kasih.” Jungkook tersenyum cukup manis sebelum menarik kursi dan duduk di hadapan Lisa. Ia pun menaruh gelas kopinya dan kemudian menatapnya. “Bagaimana kabarmu?”

“Baik.” Lisa tersenyum tipis. “Well, aku memang jarang melihatmu di kampus.”

“Aku juga.” Jungkook terkekeh. “Kapan terakhir kita bertemu?”

Uhm… saat pesta ulangtahunku?” tanya Lisa sembari mengetuk dagunya.

Jungkook pun menyetujui dengan anggukan cepat. “Ah, iya. Ulangtahunmu dan Yoon-gi-hyung dirayakan bersamaan.”

“Ya.” Lisa tersenyum tipis. “Dimana Jennie? Kau tidak bersama Jennie?”

“Jennie sedang sibuk, kau tahu?” Jungkook terkekeh. “Dia orang yang selalu sibuk.”

“Ya… seperti Yoon-gi-oppa?” Gumam Lisa perlahan.

“Yoon-gi-hyung tak memiliki waktu?” tanya Jungkook tepat, membuat Lisa terkesiap. “Jelas saja, dia sudah bekerja.”

“Ya… maksudku tidak… dia selalu ada waktu untukku.”

Hm…” Jungkook hanya mengangguk-angguk. “Kau menunggu Yoon-gi untuk memakan ini?” tanyanya sembari menunjuk piring Lisa yang sama sekali belum tersentuh.

“Tidak. Aku hanya… belum lapar.”

“Kau yakin?” tanya Jungkook. “Pantas saja kau kurus seperti itu.”

“Apa?” Lisa menggembungkan pipinya secara spontan. “Kurus? Aku kurus?”

“Kau mau bilang tubuhmu berisi?” Jungkook terkekeh cukup keras. “Coba, kau berani adu panco denganku?”

“Apa?” Lisa bergerak untuk memukulnya tetapi mengurungkannya kembali. “Aku ini wanita, dan kau lelaki.”

Jungkook tertawa. “Aku tidak akan menggunakan tenaga, aku bersumpah.”

“Aku pernah melihatmu otot-ototmu, Jungkook. Tanganku bisa patah.” Lisa memutar kedua bolamatanya.

“Kau pernah melihatku?” kini Jungkook menggodanya.

Lisa pun tersadar dan tampak malu. “Yah!! Kau berenang di villa tanpa mengenakan apapun! A-aish! Maksudku kau hanya mengenakan celana pendek! Otomatis aku bisa melihat tubuh bagian atasmu!”

Jungkook terbahak mendengarnya. “Berarti kau memperhatikan tubuhku?”

Lisa pun membulatkan matanya dan menggeleng cepat. “Tidak! Bukan itu maksudku! Kau tahu aku punya mata dan—“

Kalimat Lisa terhenti oleh tawa Jungkook yang semakin keras.

Lisa pun melipat kedua tangannya di dada dan menatap Jungkook dengan kesal—walau dengan wajah memerah.

“Akui saja, kau memerhatikan tubuhku.”

“Tidak, Jungkook.”

“Akui saja, Lisa~” Jungkook menggodanya.

“Ti. Dak.”

Jungkook menahan dagunya dengan telapak tangan, menatap Lisa dengan jahil. “Akui saja. Nanti kubelikan ice cream.”

Ice cream tak cukup untuk seorang Lalisa Manoban.” Lisa membalasnya, menginginkan penawaran lebih.

Okay, okay.” Jungkook menarik diri dan menyeringai. “Ice cream dan menonton ke bioskop?”

“Tidak.”

Jungkook berpikir sementara Lisa mengangkat alis, menantangnya.

“Kau takkan bisa.”

“Baiklah.” Jungkook memajukan kembali tubuhnya tanpa melepaskan pandangannya dari Lisa. “Ice cream, menonton ke bioskop, dan…” lalu Jungkook meraih satu potong kentang berbentuk dadu dari piring Lisa dan memakannya. “suatu tempat dimana kau bisa melukis dengan nyaman.”

Lisa sangat menyukai melukis.

Lisa sangat menyukai alam.

Dan tawaran itu begitu menggiurkan. “Baiklah, aku memang melihat tubuhmu. Tetapi itu karena kau berenang tak jauh dariku saat di villa.” Katanya, segera mengklarifikasi. “Dan itu karena… Yoon-gi-oppa tampak tak tertarik padaku saat itu. Ia tetap… sibuk sendiri.”

Jungkook menyeringai mendengarnya dan mengambil potongan bacon dari piring tersebut dan memakannya—masih menatap Lisa.

Lisa memperhatikannya dan tak sadar bahwa ia menyerah dalam kebohongan.

“Dan aku tidak menunggu Yoon-gi-oppa.”

Great.” Jungkook mengedikkan bahunya. “Mau ke apartemenku untuk bermain video game? Kau suka?”

Lisa belum pernah bermain video game, tapi yang ia lakukan hanya mengangguk.

Toh, Jungkook membuatnya tertawa.

:x.o.x:

Sesampainya di apartemen Jungkook, pemuda itu tak pernah berhenti membuat Lisa tertawa. Atau bahkan membuat Lisa gemas sehingga memukulnya.

Hal yang tak pernah keduanya rasakan akhir-akhir ini, atau memang selama ini bersama dengan pasangan masing-masing.

Lisa tak menyadari bahwa Jungkook memiliki sebuah maksud mengajaknya kemari.

Sementara Jungkook tak menyangka bahwa bertemu dengan Lisa dan berpikir mengenai sakit hatinya, akan terbalas dengan sempurna. Walau secara tak sadar ia menikmati bagaimana bercanda dengan Lisa. Setidaknya itu bukanlah sebuah kebohongan.

Kini keduanya tengah bermain video game seperti apa yang dijanjikan.

Mereka duduk di karpet, menghadap televisi di ruang tengah itu dan tenggelam dalam banyak tawa.

Maklum saja, ini adalah kali pertamanya Lisa bermain video game. Walau Jungkook bilang game ini adalah yang termudah, tetap saja Lisa kewalahan dan membuatnya kalah. Membuat Jungkook dengan leluasa mengejeknya.

“Ini yang paling mudah, cepat susul aku!” seru Jungkook, tak sedikitpun memalingkan pandangan dari layar televisi yang menampilkan mobilnya yang hampir mencapai garis finish di layar teratas.

Sementara Lisa kesulitan dengan joystick-nya. “Astaga! Mengapa jadi mundur! Yah! Yah!”

“Kau salah menekan lagi, hahaha!” Jungkook tertawa dan tampak puas. “Lihat! Lihat!”

“Mengalahlah, Jungkook! Ini sudah keduabelas kalinya kau menang!” rengek Lisa. “Apa? Mengapa mobilku jadi terbalik?!”

“Dan… dan finish! Yash!! Kemenangan ketiga belas untuk Jeon Jungkook!!” seru Jungkook dalam kemenangan, sampai ia menghentakkan joysticknya lumayan keras ke karpet.

Lisa masih menatap layar dan berusaha menyelamatkan karakter mobilnya dari terguling. “Kau licik! Lihat! Joystickku memang licin!!”

“Kau kalah lagi~” Jungkook menjulurkan lidahnya pada Lisa.

Lisa meliriknya dan memukul bahunya kesal. “Sudah! Aku tidak mau bermain lagi!”

Why~?” Jungkook menggodanya.

Lisa menaruh joysticknya di karpet dan mengerucutkan bibir. “Kau selalu licik.”

“Apa? Aku tidak licik~” Jungkook terkekeh.

Lisa segera menatapnya kesal—memutar posisi duduknya untuk menghadap Jungkook lebih jelas. “Tapi kau tidak mengalah untukku! Apa susahnya mengalah untukku?!”

Jungkook mendekatkan wajahnya dengan jahil. “Kau tidak meminta?”

“Harusnya kau sadar!” lanjut Lisa sembari mencubit lengan Jungkook.

Jungkook meringis dan tertawa kecil. “Yah~ seharusnya kau meminta.”

“Kau—aish! Aku marah!” Lisa melipat kedua tangannya di dada—kebiasaannya jika marah.

Jungkook tertawa dan semakin mendekatkan wajahnya. “Kau yakin~?”

Lisa tampak tak nyaman tetapi tidak mengubah raut wajahnya disana. “Y-ya. Aku yakin. Aku marah.”

“Kau menggemaskan jika marah.” Jungkook terkekeh, namun lebih lembut.

Lisa tidak bergerak tetapi menyadari bahwa Jungkook kini memperhatikan bibirnya.

“Kau… selalu licik…”

Hm? Benarkah?”

“Ya…” Lisa menelan ludahnya, agak terintimidasi dengan tatapan Jungkook pada bibirnya. “Jungkook selalu licik.”

Jungkook terkesiap dan segera menatap mata Lisa. “Apa? Katakan lagi.” Pintanya sembari berbisik.

“Apa?” Lisa terkejut dengan tatapan itu.

“Namaku. Sebut namaku.”

“Untuk ap—“ tanyanya terpotong.

“Kumohon…”

Lisa menahan napasnya sebentar sebelum membuka mulutnya kembali. “Jung…kook…”

Jungkook masih terdiam menatap matanya, dengan sangat intens.

Dan Lisa memilik untuk bertanya, “Jungk—“

Tetapi Jungkook membungkamnya menggunakan bibirnya. Pemuda itu mencium Lisa agak dalam namun sangat singkat.

Lisa terkejut dan menatap Jungkook dengan mata yang membulat.

Jungkook masih terdiam, sampai dilihatnya Lisa bergerak panik untuk berdiri.

“Aku—aku harus… aku harus pulang…” katanya tak beraturan.

Jungkook memperhatikan Lisa memperhatikan sekeliling untuk mencari tas kecil yang ia bawa.

Lisa pun menemukannya di atas sofa dan segera meraihnya. Dengan canggung dan terkejut, Lisa membelakangi Jungkook untuk berjalan menuju pintu keluar.

Sementara Jungkook masih terdiam dalam duduknya—namun menghadap ke arah pintu.

“Apa kau tidak lelah?”

Lisa menghentikan langkahnya sebelum sempat mencapai pintu—yang hanya berjarak dua langkah lagi. Dia terdiam, menatap ke depan tanpa bicara.

“Dengan… semuanya.” Jungkook memperhatikan punggungnya yang tampak tegang. “Yoon-gi yang selalu sibuk—kau yang katakan itu. Dan apa kau tidak pernah tertawa? Apa Yoon-gi tak pernah membuatmu tertawa?”

Lisa masih terdiam disana.

Jungkook pun berdiri perlahan dari duduknya. “Aku mengenal Yoon-gi. Aku tahu apa yang tak pernah kau dapatkan dari Yoon-gi.”

Semua ucapan Jungkook seolah mengacaukan Lisa. Terlebih atas ciuman tiba-tiba itu. Terlebih setelah Lisa tampak bersenang-senang dengan Jungkook, lalu Jungkook mengingatkannya kembali pada apa yang selama ini ia coba tanamkan pada dirinya.

Bahwa ia menyukai sifat dingin Yoon-gi.

Bahwa ia tak membutuhkan semua candaan yang sebenarnya ia sukai.

Bahwa ia tak membutuhkan semua kejutan yang teman-temannya miliki.

Lisa sadar, bahwa selama ini ia membohongi dirinya sendiri.

Berpikir bahwa ia tak membutuhkan sifat-sifat itu, padahal ia tertekan karena tak bisa mendapatkannya.

Tapi… Lisa bukanlah gadis jahat. Lisa tidak bermain perasaan.

Lisa bukanlah… seorang penghianat.

“Dan kau mengenal Jennie. Kau pasti tahu apa yang tidak aku dapatkan dari Jennie.”

Dan kalimat itu seolah penghancur dinding yang Lisa bangun dengan sangat kuat.

Pikirannya kini tengah kacau.

Ia begitu frustasi menginginkan perhatian lebih dari Yoon-gi.

Sehingga jangan salahkan dirinya karena ia berbalik untuk mendekat ke arah Jungkook dengan cepat, lalu mencium bibirnya seiringan dengan Jungkook menggendong tubuhnya.

Ada keputusasaan yang Lisa luapkan. Ada kebenaran yang Jungkook sembunyikan.

:x.o.x:

hope you like it guyssss~

gimme some love pwease

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
My_stark #1
Chapter 2: continue please
Givenchy96 #2
Chapter 1: Love ur story~ Nggak sabar episode seterusnya .. hehehe.. kamu ada wattpad account nggk?