Delapan

Lies

“Jangan habiskan makananmu! Sudah-sudah cukup, tidak usah dihabiskan tidak apa-apa.” Nyonya Shim memandang ngeri piring putra bungsunya. Ia, Yunho dan Changmin sedang duduk makan malam bersama. Yunho yang memang sejatinya jahil, mengadakan taruhan dengan sang adik, bila Changmin bisa menghabiskan seluruh makanan yang ia taruh ke piring adiknya, maka Yunho akan membelikan kaset game terbaru untuk adiknya itu. Changmin yang memang suka tantangan dan mengincar kaset game yang ditawarkan Yunho tentu saja tidak menolak. Ia memandang remeh jumlah makanan di piringnya. Jangan remehkan kelenturan perut seorang Shim Changmin!

            “Eomma tenang saja! Lihat saja akan kudapatkan kaset game itu!” Changmin dengan semangat kembali menyuapkan makanan tanpa henti ke dalam mulutnya.

            “Akan eomma belikan! Sudah Changmin-ah, nanti perutmu sakit makan sebanyak itu!” Nyonya Shim mulai panik sendiri.

            “Aigoo, eomma, seperti tidak tahu saja porsi makan anak bungsumu! Tapi aku juga bingung, apa yang dia pelihara di perutnya? Naga?” Yunho mulai ngeri juga melihat piring yang kini sudah habis setengahnya itu.

            “Memang kau tidak makan seharian ini Changmin-ah?”

            “Tentu saja aku makan, kalau tidak bagaimana aku bisa bertanding dengan baik hari ini? Barusan aku juga habis makan bersama Kyuhyun dan teman-teman sekelasku sebelum pulang, merayakan kemenangan kelas kami.”

            “Mwo?” Nyonya Shim dan Yunho kini benar-benar ngeri melihat titisan monster di hadapan mereka.

            BRAK! Tiba-tiba suara dari pintu depan mengagetkan ketiganya. Changmin refleks menghentikan suapannya yang sudah setengah jalan dan balik menatap eomma dan hyungnya yang juga memandang bingung ke arahnya.

            “Su-suara apa itu? Hantu?” Changmin menelan ludahnya karena takut. Ia jelas tahu suara itu bukan dari appanya yang memang sedang dinas keluar kota sampai minggu depan.

            “Akan kulihat. Kau di sini aja bersama eomma.” Yunho sebagai si sulung merasa dialah yang harus mengecek.

            “hati-hati Yunho-ya.” Nyonya Shim menatap khawatir. Yunho mengangguk menenangkan lalu beranjak ke pintu depan. Changmin dan sang eomma saling menatap khawatir.

            “Andwae.. EOMMA!! CHANGMIN-AH!! CEPAT KEMARI!!” suara teriakan Yunho segera membuat Changmin dan sang eomma berlari menghampiri. Langkah mereka terhenti melihat pemandangan di hadapan mereka, Yunho kini sedang berlutut memangku seorang gadis berseragam sama dengan Changmin yang sepertinya sudah pingsan. Pemuda kelebihan tinggi itu perlahan menghampiri, jantungnya serasa mau lompat melihat sosok yang sangat ia kenali.

            “RAEKYO!!” Changmin ikut berlutut di hadapan kakaknya, ia menggoncang-goncang tubuh adik sahabatnya itu namun Raekyo bergeming. Ia panik, apa yang harus ia lakukan sekarang?

            “Yunho-ya, segera pindahkan Raekyo ke kamar tamu! Changmin-ah segera ambilkan kotak P3K dan baskom beserta air! Ayo cepat!” Nyonya Shim rupanya memang yang berpikiran paling jernih. Kedua anaknya segera melaksanakan tugas yang diberikan sang eomma. Nyonya Shim tahu sesuatu telah terjadi, ia mengekor di belakang Yunho yang sedang menggendong tubuh Raekyo yang terkulai lemas, kemudian membaringkan perlahan tubuh gadis itu di kasur. Saat sudah memastikan Raekyo berbaring dengan nyaman, Yunho mundur dan mereka berdua terkesiap. Saat di depan tadi mereka tidak seksama memperhatikan wajah Raekyo, namun kini di bawah penerangan lampu kamar, wajah gadis itu terlihat jelas.

            “Rae… Dia…” Yunho kehilangan kata-katanya. Wajah Raekyo nampak membiru di berbagai tempat, kedua pipinya memerah bekas tamparan, sudut bibirnya terluka. Nyonya Shim memang tahu Raekyo terluka makanya ia menyuruh Changmin untuk membawa kotak P3K namun tidak menyangka bahwa luka Raekyo lebih parah dari dugaannya.

            “Eomma! Ini semua yang kau minta, cepat… Rae… Apa yang terjadi padanya?” Changmin menaruh semua bawaannya ke atas nakas di samping kasur lalu segera menghampiri adik sahabatnya itu. Ia memberanikan diri menyentuh bekas luka di pipi Raekyo dan segera menarik tanagannya cepat ketika gadis itu merintih kesakitan.  Nyonya Shim segera mengambil tempat di sisi lain kasur dan mulai membersihkan wajah dan luka gadis itu, gerakannya nampak perlahan dan berhati-hati, takut semakin menyakiti gadis di hadapannya.

            “Sakit… Eomma mianhe.. Ampun eomma… Mianhe..” Raekyo menggeliat menghindar dari usapan nyonya Shim sambil terus mengigau. Mata gadis itu tetap terpejam rapat. Changmin menggenggam tangan gadis itu, berusaha menenangkannya. Sementara itu Yunho kini berjalan keluar kamar, sambil berusaha menelepon seseorang.

            “Eomma.. Kyuhyun..”

            “Jangan Changmin-ah. Jangan beritahu Kyuhyun.” Nyonya Shim menggeleng pelan. Ia tahu maksud anak bungsunya.

            “Tapi eomma…”

            “Ingat kita sudah berjanji.” Nyonya Shim memandang si bungsu berusaha mengingatkannya.

            “Aku sudah memanggil Hankyung hyung, juga Leeteuk hyung, mereka akan segera datang.” Tiba-tiba Yunho masuk ke dalam kamar. Ia berjalan pelan memandang Raekyo dengan sedih, “Kali ini apalagi yang ia alami?”

            Sudah lama nyonya Shim selesai membersihkan luka-luka di wajah dan kaki Raekyo karena gadis itu berjalan tanpa menggunakan alas kali ketika akhirnya Leeteuk dan Hankyung datang bersamaan. Beberapa saat juga telah berlalu ketika Leeteuk berseru panik melihat keadaan maknaenya dan Hankyung yang mengusir mereka semua keluar kamar karena butuh ketenangan untuk memeriksa gadis itu. Kini si sulung keluarga Cho hanya terduduk diam di sofa bersama dengan Yunho dan Changmin yang juga sama-sama tidak berminat membuka suara.

            “Minumlah ini, Teuki-ah.” Nyonya Shim menyodorkan segelas lemon madu hangat ke hadapan Leeteuk yang diterima pemuda itu dengan senyuman terima kasih. “Jangan khawatir, Raekyo itu anak yang kuat, ia akan baik-baik saja.”

            “Gomawo, Ahjumma. Aku… Aku hanya merasa bersalah. Kalau saja aku tahu eomma datang ke rumah, semua ini tidak akan terjadi.” Nyonya Shim mengelus kepala Leeteuk yang kini menundukkan kepalanya sambil terisak.

            “Ini bukan salahmu. Sudah, sudah jangan menangis lagi. Apa kata Raekyo nanti bila tahu kakak tertuanya menangis sesenggukan begini?”

            “Teuki hyung, Raekyo akan baik-baik saja.” Yunho menghampiri sahabatnya dan menggenggam tangan Leeteuk, mencoba memberi kekuatan. Leeteuk tersenyum berterimakasih lalu menghapus jejak air matanya.

            “Hyung, teleponmu berbunyi. Lagi. Kali ini dari Kyuhyun.” Changmin menunjuk handphone Leeteuk yang lagi-lagi berbunyi. Sudah berpuluh kali telepon masuk bergantian dari kedua adiknya, Kibum dan Kyuhyun yang hanya ia biarkan tanpa diangkat, “Lebih baik kau angkat telepon itu, hyung. Mereka bisa curiga.”

            “Benar itu, Teuki-ah. Angkatlah. Mereka pasti khawatir karena Raekyo tidak ada di rumah dan kau tidak bisa dihubungi.” Nyonya Shim mengambil handphone Leetek dari atas meja dan menyodorkannya ke hadapan pemuda itu. Leeteuk menatap handphonenya sebentar, menghela nafas lalu mengangkat teleponnya.

            “Yeoboseyo?...... Ani, mianhe, hyung sedang menyetir jadi tidak tahu ada telepon masuk……. Raekyo? Ne, dia sedang bersama hyung, tadi kami bertemu….. Ne, tidak usah khawatir, kami bersama sekarang…… Ani, tidak usah menunggu kami, kalian makan duluan saja…… itu, itu, hyung tiba-tiba ada telepon penting yang harus segera ditangani, hyung akan membawa Raekyo, kagok bila mengantarnya pulang dahulu……ANI! Jangan, tidak usah menjemputnya, Rae bilang ingin bersama hyung sekarang….. Ne, hyung tidak akan pulang terlalu malam…. Ne, ne, arasso.” Leeteuk menghembuskan nafas lega, setidaknya Kyuhyun mempercayainya kali ini.

            “Teleponlah Donghae atau Kibum, setidaknya salah satu di antara mereka harus tahu, hyung. Itu akan meringankan bebanmu juga.” Leeteuk menimbang usulan Yunho sebentar lalu memencet nomor yang sudah ia hafal di luar kepala.

            “Telepon Donghae tidak diangkat.” Keluh Leeteuk, ia segera memencet nomor lain yang juga ia hafal di luar kepala dan menunggu nada sambung, “Kibum-ah? Bisakah kau menjauh dari yang lain sebentar? Ke kamarmu saja, hyung ingin bicara……… Kibum-ah, Donghae ke mana? Kenapa teleponnya tidak diangkat?........ mwo? Belum pulang? Bukankah ia tidak ada kuliah hari ini?........ Ne, baiklah, Kibum-ah dengarkan hyung baik-baik, hyung dan Raekyo kini ada di rumah Changmin….. itu, Raekyo, Rae terluka Kibum-ah…. Tunggu! Tenang dulu Kibum-ah, Rae baik-baik saja, hyung rasa Rae baik-baik aja, ani, ani maksud hyung bukan begitu tapi dia memang benar baik-baik saja…… Ani, ani dia tidak terjatuh atau tertabrak, Rae, dia ehm berjanjilah jangan panik dan tetap tenang Kibum-ah….. Berjanji dulu pada hyung…… Raekyo dipukuli eomma di rumah, wajahnya memang babak belur namun hyung juga belum tahu ia sedang diperiksa Hankyung sekarang….. Yeoboseyo? Kibum-ah? Kau masih di sana?...... Stop Cho Kibum! Jangan bertindak gegabah!...... Ani, ani, jangan lakukan itu….. Tidak, jangan menyusul ke sini, Kyuhyun bisa curiga….. Bisakah kau membantu hyung dengan tetap diam di rumah dan berlaku seolah tidak terjadi apa-apa?,……Kau tenang saja, ada hyung di sini,…. Ne, ne, hyung janji akan mengabarimu perkembangan sekecil apapun…. Foto? Baiklah akan hyung kirimkan. Hanya pastikan Kyuhyun tidak menyusul ke sini….. Ne, hyung serahkan padamu Kibum-ah…… ah mungkin kau harus mengarang alasan kalau….”

            Tiba-tiba pintu kamar Raekyo terbuka, Hankyung keluar dari sana dan menutup pintu perlahan. Membuat keempat orang di sana sontak berdiri dan menghampirinya.

            “Bagaimana, han?” Leeteuk segera bertanya.

            “Hyung, kau tahu kan kepala adalah bagian tubuh yang paling berbahaya bila terluka? Benturan keras di kepala bisa membuat seseorang mengalami pingsan, koma bahkan kematian. Raekyo beruntung hyung dia hanya mengalami cedera ringan di wajahnya yang membuatnya pingsan. Untuk ginjalnya, tidak ada perbaikan dari terakhir kemarin namun juga tidak memburuk. Aku sudah memasangkan infus padanya, beritahu aku bila bangun nanti dan ia mengalami mual dan muntah-muntah. Segera bawa ke rumah sakit bila itu terjadi, aku takut ia mengalami gegar otak.”

            “Gomawo Hankyung-goon.” Nyonya Shim menepuk bahu dokter dihadapannya, mengabaikan ketiga pemuda di belakangnya yang masih terdiam, berusaha mencerna perkataan Hankyung. Mereka masih terdiam bahkan ketika Hankyung pamit karena masih harus berjaga di rumah sakit dan diantar keluar oleh sang nyonya rumah.

            “Ini tidak bisa kita biarkan, hyung! Sama saja dia mencoba membunuh Raekyo. Kita tidak bisa membiarkan wanita itu berbuat seenaknya begini.”

            “Shim Changmin!! Jaga bicaramu! Bagaimanapun wanita itu yang kau maksud adalah eomma dari Teuki hyung, Raekyo dan juga sahabatmu Kyuhyun!” Yunho menegur adiknya.

            “Tapi hyung eomma mana yang tega membunuh anaknya sendiri?? Yang tega mengambil ginjal anaknya yang satu demi menyelamatkan anaknya yang lain?? Eomma mana yang tega memukuli anaknya sampai seperti itu?? Bahkan kini Raekyo terancam gegar otak! Apa itu masih bisa disebut dengan panggilan eomma??”

            “Shim Changmin!!” Tangan Yunho yang bergerak hendak memukul Changmin dihentikan oleh tangan Leeteuk.

            “Changmin benar, Yunho-ya. Sejak bertahun-tahun lalu aku sudah tidak memiliki eomma. Eomma yang kupikir kumiliki sudah lama mati. Wanita di rumahku saat ini memang hanya sebatas ‘wanita itu’, dan Changmin benar lagi, akan kulakukan apapun agar wanita itu berhenti menyentuh dan mengganggu adikku.” Leeteuk melepaskan tangan Yunho yang masih ia pegang, dirinya berjalan ke arah kamar di mana maknaenya terbaring, di depan pintu Leeteuk berbalik ke arah kakak adik yang masih menatapnya dalam diam, “Tapi Yunho juga benar Changmin-ah, wanita itu adalah eommaku mau seberapapun aku menyangkalnya. Dari rahim wanita itulah aku dan keempat adikku lahir ke dunia. Jadi, dia memang eommaku. Sungguh sial bukan?”

            Pintu yang ditutup rapat itu sukses membuat Yunho dan Changmin sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Tidak menyadari kehadiran eomma mereka di sana, yang juga ikut memandang pintu yang tertutup itu dengan sendu.

 

* * *

 

            Kibum duduk termenung di kamarnya sambil menatap handphonenya yang kini masih tersambung dengan handphone kakak sulungnya. Ia mendengarkan semua, penjelasan Hankyung hyung, perdebatan Yunho dan Changmin, juga kata-kata Leeteuk yang terdengar begitu memilukan di telinganya. Sungguh sial bukan? Pertanyaan sarat makna yang dilontarkan kakaknya itu cukup membuat Kibum berpikir keras. Sial ya, benarkah ia juga sial lahir di keluarga seperti ini?

            Tes. Setetes bulir bening menetes dari onyx hitamnya. Kibum tidak pernah menyangka keluarganya akan serumit ini. Ia hanya ingin memiliki keluarga yang damai, bahagia, ia bahkan tidak akan meminta appa dan eommanya rujuk, bisa bersama keduanya walau berbeda waktu sudah cukup baginya. Namun kini kenyataan pahit yang ia hadapi, sukses membuat harapan itu hancur berkeping-keping. Kibum bukan pendendam, ia hanya seorang pemikir, namun perbuatan sang eomma cukup membuatnya muak melihat wanita itu lagi. Sosok eomma ideal di bayangannya hancur sudah, ia dipaksa menerima sang eomma yang ternyata kejam dan tidak berprikemanusiaan. Semua teman-temannya bahagia bersama keluarga mereka, bahkan keluarga Changmin pun begitu, kenapa hanya dia yang mengalami hal ini? Kalau Tuhan itu ada, kalau Tuhan itu Maha Adil, maka adil yang seperti apakah yang sedang dialaminya sekarang?

            Kini Kibum harus dihadapi dengan kenyataan adik bungsunya kembali sakit. Sakit karena perbuatan sengaja sang eomma. Apa tadi katanya? Memukuli wajahnya? Benturan di kepala? Terancam gegar otak? Cobaan apa lagi yang harus dialami si bungsu. Harapan Kibum kini hanya satu, bila memang ia harus menerima eommanya yang berlaku kejam, bila ia harus berakting seumur hidupnya demi agar Kyuhyun tidak tahu yang sebenarnya ia akan terima asalkan semua penderitaan Raekyo berpindah kepadanya. Kibum yakin ia akan lebih kuat dari si bungsu.

            Suara getaran di handphonenya menyadarkan Kibum. Melihat sang pengirim pesan, Kibum segera membukanya, detik itu juga ia menangis keras. Leeteuk memenuhi janjinya, kakaknya itu menuruti permintaan Kibum untuk mengirimkan foto sang maknae kepadanya. Kibum ingin melihat dengan mata kepala sendiri seberapa parah yang dialami Raekyo. Tangan Kibum bergetar hebat, membuat handphonenya jatuh begitu saja ke lantai, ia membenamkan wjahnya di kedua tangannya dan terisak hebat. Pemandangan di foto itu melebihi perkiraan teburuknya. Wajah sang adik yang bengkak, lebam yang terdapat di seluruh wajahnya, membuat Kibum ingin menyangkal bahwa itu bukan adiknya. Sebagai seorang kakak, ia merasa bersalah dan gagal. Ia merasa bersalah mengijinkan adiknya pulang ke rumah terlebih dahulu padahal ia tahu ada sang eomma di rumah. Ia merasa gagal karena telah menukar wajah cantik adiknya dengan pelatihan olimpiade sains yang kini sama sekali tidak penting di mata Kibum.

            Kibum tersentak ketika handphonenya kembali berbunyi. Ia mengambil dari lantai lalu melihat siapa yang meneleponnya. Agak sedikit tergesa, Kibum mengangkat telepon itu.

            “Ottoke….” Dan Kibum kembali menangis. Menumpahkan segala perasaannya pada satu kata panggilan kepada sosok di seberang telepon sana, panggilan yang menjanjikannya tempat untuk bersandar dan bergantung, panggilan yang mengesahkan statusnya lebih muda dari orang di seberang sana, panggilan yang membuat ia berhak melimpahkan tanggung jawab pada sosok di sana, panggilan yang menjanjikan rasa aman, hanya satu panggilan itu , “Hyung”

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Awaefkyu1311 #1
Chapter 7: please buat kyuhyun tau secepatnya.... hihiiii
Awaefkyu1311 #2
Chapter 5: ff mu yg ni jg baguussss.... aku suka... please cepet di update...