PROMISE (약속)

Sealed With A Kiss
Please Subscribe to read the full chapter

Dengan langkah gontai aku segera keluar dari lift apartemenku. Kini aku sudah berada di lantai teratas yang dapat dilalui oleh lift apartemenku. Dan untuk mencapai rooftop, aku masih harus berjalan melalui tangga demi tangga menuju lantai paling atas.

 

Dengan helaan nafas panjang setelah lelah meniti tangga demi tangga, kubuka lebar pintu rooftop yang berat. Udara dingin malam langsung merasuk ke tubuhku. Masih dengan setelan jas rapi karena menghadiri resepsi pernikahan siang tadi, aku keluar. Menghirup udara malam yang dingin, mencoba mendinginkan kepala dan hatiku. Tapi seakan apa yang aku lakukan tak bisa mengobati hancurnya hatiku hari ini.

 

Kulihat cahaya dari gedung-gedung di Seoul yang indah, semarak menyilaukan mataku. Malam tak pernah mati dan sepi disini, selalu ada keramaian khas kota-kota besar. Aku mendekati pinggir tembok pembatas, mengamati detil setiap pemandangan malam yang mungkin tak dapat lagi aku nikmati.

 

Tanganku bergetar, entah karena cuaca dingin malam ini atau memang karena ketakutanku malam ini. Masih dengan tangan bergetar, kuambil rokok dari saku celanaku dan kunyalakan pemantik apiku agar benda kecil yang memberikan sedikit kehangatan serta ketenangan itu menyala.

 

Kuhisap dalam rokokku, menikmati setiap tekanannya yang memenuhi kerongkonganku. Lalu kuhembuskan asapnya perlahan. Menikmati setiap asap yang mengalir keluar. Kembali kuarahkan mataku melihat sekeliling, pemandangan Seoul dari atas.

 

Aku tersenyum kecil, mengingat kota ini menjadi saksi dari seluruh umurku. Kuhisap lagi rokokku, kali ini lebih santai dan ringan dari yang pertama. Kuhembuskan lagi asapnya menembus kegelapan malam. Sejenak memori malam kemarin menyeruak dalam kepalaku, saat itu juga rasa sakit di dadaku hadir kembali, masih sama seperti yang aku rasakan beberapa tahun belakangan ini. Tangan kiriku yang bebas, memegang dadaku dan kututup kedua mataku erat untuk menahan rasa perih dan sakitnya yang tiba tiba muncul kembali. Rokokku yang kupegang ditangan kananku terjatuh. Kupegang erat besi di tembok pembatas untuk menahan tubuhku yang melemas. Namun gagal, aku terjatuh berlutut, menahan rasa sakit di dadaku.

 

Bau alkohol menyeruak di hidungku, ketika aku membuka pintu apartemen hyung tercintaku, Do Kyungsoo. Malam ini adalah malam terakhirnya membujang. Karena esok ia akan menjadi suami dari wanita yang sudah beberapa tahun belakangan ini menjalin hubungan dengannya.

 

Tidak ada pesta bujang, hanya kesunyian dan mungkin beberapa kaleng alkohol yang sebagian sudah dibuka, sisanya belum, berserakan memenuhi ruang tamunya dan sekotak fried chicken, menemani seorang Do Kyungsoo malam ini. Do Kyungsoo adalah pria penyendiri. Benci keramaian dan pesta.

 

“Hyung, kenapa kau meminum banyak alkohol begitu? Besok adalah hari pernikahanmu. Kamu tentu tak mau kan mengikat janji dengan keadaan hangover.”, kataku meledeknya saat mendekatinya dan membereskan beberapa kaleng bir yang sudah kosong ke dalam kantong plastik hitam.

 

“Kamu datang juga, Jongin-ah. Aku pikir kamu tidak akan datang. Jadi aku berpikir menghabiskan semua minuman ini sendiri.”, jawabnya sambil menatapku dengan senang, senyumannya yang merupakan favoritku selama aku mengenalnya terpancar diwajahnya.

 

“Maaf Hyung. Tadi ada beberapa pekerjaan yang belum aku selesaikan.”, ujarku dengan lirih, mengedarkan mataku ke sekeliling, menghindari matanya.

 

Tak mungkin kan, aku berkata yang sebenarnya padanya, bahwa aku terlambat karena harus pergi ke Rumah Sakit, untuk mengambil hasil check-up kesehatanku, yang hasilnya makin memburuk beberapa tahun belakangan ini.

Ya, berbohong lebih baik daripada merusak suasana malam ini bersama hyung tercintaku ini.

 

“Begitukah? Hmmm… baiklah, sebagai hukuman karena kamu terlambat, temani aku menghabiskan makanan dan minuman ini, Jongin-ah.”, sahutnya lalu menarik tubuhku untuk duduk disampingnya, setelah aku selesai membereskan kaleng-kaleng birnya yang sudah kosong. Aku seperti biasa hanya mengikuti kemauannya duduk disampingnya. Wangi tubuhnya yang kurindukan menusuk kembali dihidungku, membuatku tak berhenti menatapnya.

 

“Minum yang banyak Jongin-ah. Mari kita bersenang-senang malam ini.”, ucapnya lagi bersemangat menuangkan bir ke dalam gelas yang sudah ia persiapkan untukku. Hanya untukku. Aku hanya mengangguk dan mengambil gelas itu.

 

“Keonbae!”, katanya mengajakku bersulang dengan gelasnya yang sudah penuh berisi bir. Kudekatkan gelasku ke gelasnya hingga berbunyi denting gelas kami berdua.

 

“Keonbae!”, jawabku sambil bersulang dengannya, lalu meminum bir didalam gelas kami masing-masing dengan cepat.

 

“Ahhh… selalu nikmat jika minum bersama kamu, Jongin. Kamu memang yang terbaik.”, ujarnya setelah menghabiskan bir itu dengan nikmat. Aku hanya tertawa mendengar pernyataannya. Ia selalu berkata seperti itu setiap kali kami minum bersama.

 

“It brings back so many memories.”, ucapnya lagi sambil menuangkan bir ke dalam gelasnya dan gelasku lagi.

 

“Ingatkah kamu awal kita bertemu? Kamu masih seorang freshman yang lugu, dan aku sudah menjadi seorang sophomore. Yang harus menjadi pembimbingmu selama orientasi. Para senior gila itu meminta kami melakukan inagurasi di sebuah klub malam. Gila! Sampai sekarang aku tidak pernah tahu apa di dalam otak mereka.”, ujarnya menggeleng heran mengingat masa lalu kami.

 

“Tapi aku beruntung bisa dijaga oleh hyung selama disana. Sehingga mereka tidak mengerjai aku aneh-aneh.”, jawabku sambil tersenyum mengingat malam inagurasi itu. Seandainya tidak ada hyung disisiku, aku pasti sudah dikerjai habis-habisan oleh para senior yang sok itu, seperti beberapa teman seangkatanku yang sial.

 

“Ya.. ya. Aku pikir cara satu-satunya untuk menjaga para mahasiswa baru adalah tetap membuat kalian dekat bersamaku dan beberapa sophomore baik lain.”, katanya sambil menenggak sedikit demi sedikit minumannya.

 

“Dari situ, kita jadi lebih dekat, hyung. Hyung banyak membantu soal studiku, tips-tips menghadapi para dosen. Itu membuat kehidupan kuliahku tidak buruk-buruk amat.”, sahutku sambil tertawa.

 

“Betul Jongin-ah. Saking kita dekatnya, sampai beberapa teman kita menyangka kita pacaran. Always called us, sweet gay couple.”, jawabnya sambil tersenyum padaku. Aku tersenyum mengingat masa-masa itu.

 

“Tapi kenapa hyung tidak pernah marah dengan kata-kata mereka?”, tanyaku sambil menyesap minumanku. Pertanyaan yang sela

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet