The Moment I Knew

Skinny Love

Banyak yang bilang senjata paling mematikan di dunia adalah nuklir.

Tapi bagiku senjata paling mematikan adalah senyuman.

Senyuman yang sangat indah,

yang dapat menghentikan aliran darahmu.

Senyuman yang dapat menyembunyikan sebuah luka dengan sangat sempurna.

Ya, senyuman, senyuman miliknya.

Sangat mengerikan.

Aku takut..

~*~

Pergantian musim gugur ke musim dingin tahun ini bisa jadi merupakan masa paling buruk bagi para agen biro pariwisata. Hujan selalu turun setiap sore hari dan rasanya tidak akan pernah berhenti sampai tengah malam. Menyisakan angin dingin yang menusuk langsung ke sumsum tulang.

Jung Yunho menggigil. Dalam balutan sweater, jaket, dan coat – jangan lupa juga hotpack yang ada di punggungnya – ia masih menggigil kedinginan. Ia dapat melihat banyak orang disekitarnya, banyak yang meneduh seperti dirinya, ada juga yang menyerah menunggu hujan dan memilih masuk ke dalam restoran di samping atau berlari menembus hujan menuju halte bus terdekat – yang ia yakini pasti penuh juga.

Ia melihat jam tangannya sekali lagi, sudah hampir 45 menit, brengsek! Kemana Jaejoong? Aku bisa membeku kalau harus berdiri disini lebih lama.

Sesungguhnya ia bisa saja langsung masuk ke dalam restoran tapi Jaejoong bersikeras bahwa ia harus menunggunya di salon – yang letaknya tepat di sebelah restoran, tempat mereka akan bertemu untuk makan malam sebelum acara reuni akbar universitas.

“Ikuti saja kata-kataku atau kau akan menyesal,”

Yunho hanya bisa menghela nafas panjang mengingat kata-kata Jaejoong itu. Temannya yang satu ini memang sering bercanda tapi ia merasa ada keseriusan yang ditunjukkan Jaejoong walaupun setelah mengatakan hal tersebut Jaejoong cekikikan.

10 menit lagi. 10 menit lagi kalau si brengsek itu belum muncul aku akan masuk dan pesan makanan semauku sendiri.

Bohong.

Yunho tahu ia pasti akan menunggu Jaejoong datang walaupun si brengsek itu akan datang satu jam kemudian dengan cengiran lebar ala manusia pengidap mental korban seperti biasanya.

Pemikiran itu membuat Yunho menghela nafas panjang lagi.

Dan ia menggigil hebat saat angin berhembus kencang membawa cipratan hujan yang membasahi celana juga ujung coat orang-orang yang berdiri disana. Termasuk dirinya.

KIM JAEJOONG BRENGSEK!

~*~

Di dalam restoran terdengar tawa yang membahana.

Tawa dari sebuah meja di samping jendela tiga baris dari pintu, berisi empat orang pria di akhir masa 20-an mereka. Dua orang tertawa terbahak-bahak, satu menenangkan pria yang duduk disampingnya, dan yang terakhir berusaha untuk tidak membunuh satu dari dua pria yang tertawa itu – kalau pandangan mata bisa membunuh mungkin orang yang dituju sudah mati di tempat.

“HAHAHAHAHA!” Jaejoong kembali tertawa saat melihat ekspresi yang ditujukan Yunho untuknya.

Park Yoochun yang juga ikut tertawa akhirnya berhenti dan berusaha menenangkan detak jantungnya. Pipinya sedikit pegal karena tertawa terlalu heboh.

“Maaf hyung, tapi sungguh kami sudah mencoba untuk menghubungimu berkali-kali,” kata Yoochun setelah benar-benar tenang, ia menyikut Jaejoong yang masih saja cekikikan.

Yunho menghela nafas panjang – sudah yang keberapa kali untuk malam ini?

“Tak apa, Yoochun-ah, salahku juga tidak mengecek handphone.”

Kim Junsu, pria dengan lemak bayi yang tidak pernah hilang dari pipinya, hanya nyengir bersalah sebelum menatap Jaejoong tajam.

“Hyung, hentikan, semua orang bisa berfikir kau mabuk sebelum kemari.”

“Mabuk lebih baik dari pikiranku yang mengatakan dia merokok ganja sebelum kemari,” celetuk Yoochun.

Walau masih terkikik, Jaejoong akhirnya membuka mulut untuk bicara, “Maaf Yunho, maaf. Aku sungguh lupa kalau aku menyuruhmu menunggu di gedung sebelah,” ia mengakhiri permintaaan maafnya dengan cengiran khas yang sudah Yunho bayangkan sebelumnya.

Menghela nafas panjang, lagi, Yunho hanya dapat berkata, “Memang ada lagi yang bisa ku lakukan selain memaafkanmu?”

Cengiran Jaejoong makin lebar dan Yunho sangat ingin menonjok deretan gigi putihnya yang rapi.

“Sebagai bukti bahwa aku dengan tulus meminta maaf, aku akan traktir kalian malam ini,” kata Jaejoong sembari mengangkat tangan – memanggil pelayan.

Yunho merasa handphonenya bergetar, entah kenapa ia tadi tidak dapat merasakan getarannya sama sekali, sebuah notifikasi e-mail dari perusahaannya muncul saat Yunho membuka layar. Bersamaan dengan notifikasi missed call dari Jaejoong, Yoochun, dan Junsu. Juga pesan yang memberi tahu bahwa mereka sudah ada di dalam restoran saat Yunho kedinginan menunggu di luar.

Sekali lagi Yunho menghela nafas panjang.

“Apa semuanya baik-baik saja, hyung?” tanya Junsu.

Tanpa memalingkan wajah dari layar handphone, Yunho menggerutu, “Hanya melihat notifikasi dari kalian saja aku jadi kesal lagi.”

Junsu hanya tertawa kecil sebelum suara lain datang dalam pendengeran mereka.

Suara yang sangat dikenalnya.

Suara yang hampir ia lupakan.

Suara yang sedikit ia rindukan.

Sedikit…

 

“Yunho, sepertinya aku sudah mencintaimu.”

 

“Jangan pergi, apapun yang terjadi, ku mohon jangan pernah tinggalkan aku.”

 

Bersamaan dengan bayangan sosok tinggi, ramping, dan rambut coklat tua yang sedikit bergelombang. Juga matanya dan senyumnya. Matanya yang kecoklatan dan indah, senyumnya yang…

“... daridulu tidak pernah berubah ya, hyung?” suara itu tertawa garing, “Jadi kalian mau pesan apa malam ini?”

Sebenarnya mata Yunho sudah tidak fokus melihat apa isi e-mail dari perusahaannya itu. Seolah memiliki nyawa sendiri, tangannya tetap menurunkan layar seakan-akan ia tekun membaca. Seharusnya Junsu dapat melihat bagaimana tangan Yunho bergerak sangat kaku tapi yang melihat justru Jaejoong yang duduk di hadapannya.

Berusaha menahan senyum jahil, Jaejoong memanggil, “Yunho.”

Yunho mendongak, sangat halus seperti ia memang sedang membaca e-mail, namun matanya tidak dapat menipu Jaejoong. Mata itu terlihat kaget.

“Apa ada masalah?” Jaejoong bertanya sambil mengangkat satu alis, tidak lupa cengiran menyebalkannya. Ketika Yunho hanya memicingkan mata, Jaejoong tahu Yunho tahu ia tahu.

“Hanya laporan yang harus kuperiksa nanti malam,” dengan jengah Yunho mengedikkan bahu dan mengambil menu. Sudah cukup ia menjadi bahan candaan Kim Jaejung malam ini.

“Ah,” suara itu kembali terdengar dan Yunho sedikit tersentak, sedikit. “Aku juga masih harus mengerjakan tugas laporan dari Professor Lee.”

Sial, mereka pasti sering kemari dan sengaja mengajakku makan disini. Sengaja! Karena Jaejoong tahu aku masih… AH! Sial! Sial! Sial!

Tidak perlu melihat. Fokus pada menu dan pesan makanan, Jung Yunho. Kau lapar, kau butuh makan.

“Professor Lee? Presentasi kelompok atau analisis riset? Aku pesan American Steak dan Redler,” ujar Yoochun.

“Analisis riset studi kasus,” suara itu menggerutu. “Kau pesan apa Jaejoong-hyung?”

“Aku mau Korean Set #2,” jawab Jaejung, “Kau selalu menggerutu setiap saat tapi tetap saja dapat beasiswa penuh.”

“Kalau tidak dapat beasiswa dia akan mabuk seminggu penuh dan mengumpat sepanjang semester,” timpal Junsu, “Aku mau Paket Cheeseburger, Ravioli, dan Café Latte dingin.”

“Aku pikir kau sedang diet, gendut,” suara itu mengejek dan terdengar seperti ada sesuatu yang dipukulkan bersamaan dengan erangan kecil juga tawa, hingga akhirnya, “Kau mau pesan apa, Yunho-hyung?”

Semua mata tertuju padanya, ia tahu itu.

Sial, ia bahkan tidak tahu jenis makanan apa yang ia baca, pikirannya terbagi antara membaca dan mendengarkan suara itu.

“Hmm,” akhirnya ia hanya menggumam, kali ini benar-benar membaca menu dihadapannya.

“Kalau kau bingung, menu spesial kita malam ini ada Chinese Fried Noodles juga Fried Dumplings.”

“Oke, kalau begitu itu saja,” ia menutup menu.

“Minumnya?”

Berusaha untuk tidak terlihat gelagapan, Yunho membuka menu lagi, langsung menuju bagian minuman.

“Strawberry Juice?” ada senyum jahil yang sangat ia kenal dalam pertanyaan itu.

Dan Yunho akhirnya mendongak, menatap sepasang mata coklat yang sudah menatapnya duluan, ia dengan jelas dapat melihat bagaimana mata itu sempat kaget beberapa detik sebelum berubah normal kembali, ditambah dengan sebuah senyuman di bibir tebalnya.

Senyuman itu. Ah, sudah berapa lama ia tidak melihat senyumannya?

“Tidak,” Yunho sangat bersyukur suaranya tidak berubah aneh, “Aku pesan Redler seperti Yoochun.”

Pelayan itu menulis pesanan terakhir dari Yunho sebelum membaca ulang seluruh pesanan. Terdengar Jaejoong menggumam, “Formalitas. Aku tahu kau tidak akan salah kecuali kau sedang kesal pada kami.” Yang hanya dibalas dengan jari tengah dari si pelayan sambil masih membaca ulang pesanan.

Sebelum pelayan tersebut pergi, Yoochun berkata, “Jangan lama-lama Changmin, kami lapar.”

Dan hanya dibalas dengan lambaian tangan dari pelayan jangkung nan ramping dengan rambut hitam yang bergelombang.

 

Oh, dia menghitamkan rambutnya lagi.

Changmin.

Shim Changmin.

Aku…

 

Pikirannya terhenti saat Changmin menghilang di balik pintu dapur dan Yunho baru sadar kalau pandangannya mengikuti seluruh gerakan pria itu sedari pandangan mereka bertemu beberapa menit yang lalu. Dengan canggung ia berdehem dan ia merasa semakin canggung saat melihat senyuman penuh arti dari tiga pria lain di mejanya.

Helaan nafas panjang kembali keluar dari mulut Yunho.

Dan niatnya untuk membayar makan malam kali ini musnah saat senyuman penuh arti itu berubah menjadi cengiran yang sangat menyebalkan. Seakan mereka tahu bahwa Yunho akan bereaksi seperti ini.

 

“Hyung, aku lihat di drama, katanya kau hanya butuh satu langkah untuk merubah suatu hubungan.”

“Hubungan apa?”

“Hubungan yang sangat menarik.”

 

“Hyung,”

“Hm?”

“Kalau aku maju satu langkah padamu, apa kau keberatan?”

 

Sebuah kilat cahaya mendadak menyinari restoran. Rasanya seperti ia menyambar tepat disamping telingamu. Disusul ledakan nyaring yang membuat seluruh wanita berteriak.

Ya.. tidak hanya seluruh wanita sih..

Yunho melirik dan cengengesan pada Jaejoong yang masih meringkuk gemetaran dengan mata tertutup rapat dan tangan menutup kedua telinga. Teriakannya lebih nyaring dari seluruh wanita di restoran. Yoochun bahkan tidak menyembunyikan ekspresi sebalnya – semoga telinganya masih berfungsi dengan baik.

“Kalau aku jadi tuli kau akan kutuntut!” geram Yoochun.

Bertepatan dengan geraman Yoochun, Changmin datang membawa minuman sesuai pesanan, kecuali satu tambahan redler dan kentang goreng juga nachos. Tidak hanya Yunho yang memandang aneh cemilan tersebut tapi hanya dirinya yang memandang heran saat Changmin duduk disamping Yoochun.

“Mood Vic sedang baik,” ucap Changmin sambil lalu kemudian menyesap redlernya. Yang lain hanya ber-“ooh” ria sebelum mulai menyambar camilan yang ada di hadapan mereka.

Yunho masih memandang heran pada Changmin sampai Junsu berbisik untuk menjelaskan, “Changmin biasa duduk bersama disini kalau kami datang karena biasanya kami datang saat hari sepi restoran jadi ia juga bisa sedikit santai.” Yunho mengangguk paham.

“Itulah kenapa aku bilang kalian pembawa sial,” gumam Changmin yang ternyata mendengar bisikan Junsu, dan tidak membuat telinga Yunho mendadak panas. Tidak, telinganya tidak menjadi merah. Tidak.

“Hyung, kurasa kau harus konsultasi pada psikolog,” kali ini ia berkata pada Jaejoong.

“Huh? Kenapa?”

“Teriakanmu itu terdengar sampai dapur, untung aku tidak menjatuhkan minuman kalian,”

Jaejoong cemberut. Yoochun dan Junsu tertawa. Changmin nyengir. Dan Yunho hanya bisa tersenyum.

Ia masih tidak tahu harus bersikap bagaimana di hadapan Changmin.

Tapi saat ia melirik Changmin, ia dapat melihat tawa dan senyuman tanpa beban, seperti tidak ada masalah.

Seperti tidak ada sesuatu yang pernah terjadi diantara mereka.

Tidak seperti Yunho yang salah tingkah setengah mati mencoba bersikap normal.

Seperti tidak ada…

 

“Aku tidak mengerti...” pandangan Changmin kosong, tangannya bergetar hebat, Yunho yakin kakinya juga bergetar tapi pria dihadapannya tidak menunjukkan itu. “Aku kira selama ini…”

“Maafkan aku,” hanya itu yang dapat Yunho katakan.

Mata Changmin memerah tapi tidak ada air mata yang tergenang disana. Ia mengepalkan tangannya – mungkin agar Yunho tidak melihatnya bergetar.

“Maaf-“

Belum sempat ia menyelesaikan kata-kata sesuatu terlempar tepat di wajahnya. Keras.

 

Refleks, Yunho menyentuh bekas luka di wajahnya tanpa ia sadari.

Ia menangkap Changmin yang sedang memperhatikannya dari ujung ekor matanya.

Tanpa eskpresi seolah tidak terjadi apapun, pria jangkung itu langsung memalingkan muka ke arah meja kasir di ujung lain restoran. Tapi Yunho menangkap sesuatu yang lain juga. Ujung bibir pria jangkung itu tertarik, hanya terlihat sedikit karena ia menopangkan dagu di tangannya, menutup hampir seluruh mulut dengan jari-jarinya yang panjang. Sebuah senyuman.

Shim Changmin tersenyum saat Yunho menyentuh luka yang diakibatkan olehnya.

Yunho memperhatikan sekitar, Yoochun dan Jaejoong sedang adu argumen – entah tentang apa, Junsu hanya tertawa dan kadang ikut menimpali. Tidak ada yang melihat interaksi antara dirinya dan Changmin barusan.

“Jadi sejak kapan –“ baru saja ia akan memulai topik dengan Changmin,

SHIM CHANGMIN! PESANANMU!

Tiga pria lainnya bersorak gembira dan Changmin hanya tertawa melihat reaksi pria-pria yang mengaku lebih tua darinya itu. Changmin berdiri dan menerima high five dari Yoochun sebelum pergi mengambil makanan pesanan mereka.

Tanpa sadar, Yunho memperhatikan setiap gerakan Changmin lagi. Yang lain kembali berbincang, mengenai pekerjaan Yoochun dan pacar baru Jaejoong - kali ini Yunho mendengarkan sekilas. Dan karena hanya Yunho memperhatikan, maka hanya dirinya yang melihat bagaimana Changmin berbalik dan melihat tepat ke arah mata Yunho. Ingin rasanya ia membuang muka dan tidak menatap sepasang mata coklat itu, tapi tidak bisa, seolah dirinya sudah terperangkap. Mata itu bukan mata yang ia kenal, mata itu sangat dingin dan penuh kebencian.

Changmin hanya berdiri diam di sana, dengan perlahan mengeluarkan senyuman yang sangat mengerikan. Kali ini sangat terlihat jelas karena tidak tertutup jari-jarinya lagi. Yumho dapat melihat dengan jelas bagaimana bibir tebal milik Changmin bisa terlihat sangat tipis saking lebarnya ia tersenyum. Tidak ada satupun ujung gigi yang terlihat. Hanya senyuman biasa yang sangat lebar dan penuh paksaan.

Seperti Joker

 

“Bukankah menurutmu Joker sangat mengagumkan, hyung?”

“Sebenarnya ia telah mengalami banyak rintangan dan siksaan hidup tapi ia tetap tersenyum walau senyum itu buatan.”

 

Beberapa detik terasa bagai puluhan tahun dan Changmin tetap tersenyum pada Yunho. Ah, bukan tersenyum tapi menyeringai.

Sampai teriakan wanita yang sama terdengar lagi, “Heh apa yang kau lakukan disana? Cepat kemari dan ambil pesanananmu!” Mata Changmin berkedip dua kali, sebelum ia berbalik dan berjalan ke arah pintu dapur dengan wajah datar seolah tidak terjadi apapun bahkan sempat menggerutu.

Detak jantung Yunho mendadak tidak berirama dan ada setetes keringat mengalir di punggungnya. Ia menggigil tapi bukan menggigil karena kedinginan.

Butuh beberapa detik bagi Yunho untuk bisa memalingkan muka dari pintu dapur. Ia melihat mulut Jaejoong seperti mengucapkan sesuatu begitu juga Yoochun dan Junsu, tapi ia tidak dapat mendengar apapun, hingga ia sadar bahwa telinganya berdengung dan ia dapat mendengar detak jantungnya yang berdegup sangat keras.

Ia takut.

Jung Yunho sangat ketakutan.

~*~

Berada di bawah pengaruh rasa takut, Yunho tidak sadar ada orang lain yang juga menyaksikan kejadian tersebut.

Jadi semua itu benar… Aku benar… Ada yang aneh pada diri Changmin dan itu muncul karena Yunho.

~*~

Senyuman indah itu sekarang memiliki kerabat,

Senyuman lain yang menyerupai seringai penjahat tanpa hati.

Aku takut…

Tapi aku merasa tidak memiliki hak untuk takut.

Karena bagaimanapun,

Aku tetap penjahat utama dalam cerita ini.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Zheeda #1
Woa....changmin jadi aneh krna yunho?kepribadian ganda kah? Can't wait....
SkyCloudz
#2
Chapter 1: Menarik ceritanya~