Words are Unneeded

Tanpa Kata-kata / Words are Unneeded / 言葉はいらない (Kotoba wa Iranai)

Matahari sudah hampir naik sekepala. Panasnya sibuk menyengat dan menyebar diantara para manusia yang berserakan di jalan-jalan kota. Topi dipakai, kacamata hitam dikenakan, bahkan payung dibuka. Tetapi, hawa panas tetap saja menjalar, membakar kulit manusia dengan tekun.

Di antara manusia yang berserakan itu, seorang lelaki bertubuh tinggi sibuk menyelip diantara kerumunan manusia yang rapat. Kaki panjangnya melompat-lompat dengan gesit di antara langkah-langkah kaki manusia.  Sesekali pria itu membisikkan “permisi” ketika ia hampir menabrak orang yang menghalangi jalan di depannya.

Astaga... ini sih tidak akan sampai tepat waktu. Pria tersebut mempercepat langkahnya dengan gusar.

Dari belakangnya, bisa terdengar suara derum bis yang makin lama makin mendekat. Sontak, pria itu dan beberapa orang lainnya, menengok dengan terkejut.

Bis tersebut meluncur mulus melalui persimpangan. Lalu berhenti pada halte di seberang jalan. Orang-orang yang tadi menengok dengan terkejut, segera berlari menyeberangi jalan, terburu-buru agar bisa segera masuk bis.

Hampir seluruh penumpang, yang sudah menunggu di halte lebih dulu, sudah masuk ke bis, saat pria tinggi itu meloncat ke trotoar dekat halte. Beruntung, langkah kaki panjangnya segera membawanya memasuki bis, tepat sebelum pintu ditutup. Beberapa orang yang tertinggal di belakangnya, tampak menatap bis yang langsung berangkat, dengan kecewa.

Changmin membuka topinya. Bulir-bulir keringat meluncur deras di keningnya. Ia melonggarkan tas punggungnya sedikit sambil mengipas-ngipas wajahnya dengan topi. Tangannya lalu sibuk mengorek-ngorek dompetnya, mencari uang logam untuk membayar bis.

Changmin lalu berjalan menyusuri lorong bis. Bisnya cukup ramai hari itu, maklumlah, hari senin sebagian besar orang harus berangkat kerja. Pekerjaan Changmin sebagai jurnalis sebenarnya sangat longgar, ia tidak perlu ke kantor setiap hari, karena jalanan adalah kantornya. Setiap manusia yang berseliweran, burung yang terbang, dan batu yang dilempar adalah kliennya. Bersama dengan Changmin adalah kekasih sejatinya, kamera yang siap memotret setiap kilasan peristiwa untuk ditulisnya.

Tetapi, hari itu boss Changmin memintanya untuk segera ke kantor. Rupanya seorang jurnalis mendadak berhalangan untuk tugas ke luar kota, jadi, Changmin diminta untuk menggantikan jurnalis tersebut. Tugasnya memang untuk minggu depan, Changmin hanya datang untuk mengambil tiket perjalanan.

Sialnya Changmin justru bangun kesiangan. Padahal, bosnya sudah mengingatkan Changmin berkali-kali, kalau dia sudah harus segera berangkat untuk tugas ke luar kota juga, setelah makan siang.

Changmin bolak-balik menatap jam di tangannya dan mencari kursi kosong.

Changmin menghela nafas lega saat ia menemukan satu kursi kosong di belakang, sekaligus tercenung saat melihat pria yang duduk di kursi sebelahnya.

Pria itu lagi.

Changmin mendeham, ragu. Ia lalu berjalan menghampiri kursi tersebut.

Ini adalah keduabelas... err... bukan... kesekian kalinya Changmin satu bis bersama pria itu.

Pria itu... berwajah bersih dan jernih. Matanya berbinar-binar bahagia, menatap ke arah luar jendela dengan penuh perhatian.

Pria itu juga begitu... pendiam. Walaupun sudah kesekian kalinya Changmin berada di satu bis dengannya, tetapi mereka tidak pernah berbicara. Tepatnya, pria itu tidak pernah berbicara dengan siapapun. Bahkan saat ia berpapasan dengan orang lain, ia hanya mengangguk sopan sambil tersenyum lebar. Meskipun begitu pendiam dan misterius, pria tersebut... begitu ramah.

Changmin tersenyum ragu-ragu sambil berdiri di hadapan pria tersebut.

Pria itu segera menyadari kehadiran Changmin.

“Permisi... Kita bertemu lagi...” sapa Changmin hati-hati.

Sontak, tatapan pria tersebut segera berubah menjadi berbinar-binar. Ia tersenyum lebar, sambil mengangguk-angguk riang. Jelas, ia masih mengenali Changmin.

Changmin masih tersenyum sopan, “Hai... err... bolehkah aku duduk di sebelahmu... lagi?” tanya Changmin.

Pria tersebut mengacungkan jempolnya sambil nyengir lebar. Ia juga menepuk-nepuk kursi di sebelahnya.

Tuh, kan. Ia tidak berbicara lagi... pikir Changmin bingung.

Bagaimanapun, ia menunduk sopan, melepas tasnya, lalu duduk di sebelah pria tersebut, “Terima kasih...” ucap Changmin sambil sedikit bernafas lega, karena ia masih bisa duduk di bis yang ramai tersebut.

Pria tersebut masih tersenyum lebar. Ia menepuk-nepuk pundak Changmin ramah, seakan menyapa Changmin.

Pria itu lalu mengulurkan tangannya, mengajak Changmin berjabat tangan, dengan antusias.

Changmin masih bingung, terutama karena interaksi tiba-tiba pria tersebut yang tetap tanpa kata-kata, “Engg... ya... hai... senang berjumpa denganmu lagi?” Changmin lalu melemparkan senyum bingung sambil menjabat tangan pria tersebut.

Pria itu mengangguk-ngangguk senang, lagi. Tangannya lalu sibuk bergerak-gerak riang.

Changmin masih terpaku, bingung, matanya terfokus pada tangan pria tersebut yang bergerak-gerak ruwet. Apa? Kenapa? Bagaimana?

Pria tersebut lalu menepuk keningnya, seakan menyadari sesuatu. Ia lalu seperti tergelak riang, tapi tanpa suara. Ia lalu menunjuk telinganya, mulutnya, lalu membentuk tanda silang dengan lengannya. Matanya yang ramah menatap Changmin penuh perhatian, sepertinya mengira-ngira apakah Changmin mengerti maksudnya.

Tentu saja Changmin masih belum mengerti. Tetapi, pria tersebut berulang-ulang menunjuk telinga dan mulutnya, lalu membentuk tanda silang, dengan sabar.

Changmin mengikuti gerakan tangan pria tersebut dengan hati-hati. Apa? Kenapa? Pria ini kok... tidak berbicara saja... tunggu... kok...

“AH!” Changmin lalu berseru paham. Matanya yang bulat semakin membesar karenanya, “Kau tidak bisa berbicara dan mendengar! Begitu?” seru Changmin mengerti. Ia lalu menyadari kalau ia baru saja berteriak keras, penumpang yang lain pun menatap Changmin dengan galak. Changmin sontak menutup mulutnya, ia lalu mengedarkan pandangan meminta maaf.

Pria di sebelahnya tampak memerhatikan saat penumpang yang lain menatap Changmin marah. Sepertinya, ia bisa mengira-ngira kalau Changmin baru berteriak, mengejutkan penumpang bis karenanya. Pria itu tertawa-tawa tanpa suara, jarinya lalu diletakkan di bibirnya. Changmin menunduk malu.

Ahh... jadi begitu... pria pendiam yang selalu duduk bersamanya di bis selama ini, ternyata tuli dan bisu. Pikir Changmin.

Mereka memang sudah berkali-kali bertemu, di bis yang sama, duduk bersebelahan di kursi yang sama.

Entah bagaimana kebetulan bisa mengatur mereka, sehingga mereka sudah bertemu berkali-kali dalam beberapa bulan ini.

Changmin bahkan sampai hafal, kalau ia pergi ke kantor tiap pukul sepuluh, sudah pasti, berarti ia akan berjumpa dengan pria pendiam-tapi-ramah ini. Sebenarnya, berkali-kali Changmin merasa, sepertinya pria tersebut ingin mengajaknya bicara. Tetapi, ia hanya menatap Changmin dengan mata ramahnya sambil berbinar-binar. Satu-satunya hal yang mendekati interaksi di antara mereka berdua adalah saat pria tersebut sampai di pemberhentiannya, halte dari suatu kebun binatang. Kalau sudah sampai halte kebun binatang tersebut, pria itu akan menepuk pundak Changmin, lalu menggesturkan kepada Changmin untuk minggir sebentar, karena ia akan keluar.

Tidak pernah terpikirkan oleh Changmin kalau pria tersebut tuli. Changmin pikir, pria tersebut hanya sedikit aneh.

Changmin lalu sadar, kalau ia tidak bisa berinteraksi dengan pria tersebut dengan suara. Changmin bergegas mengambil telepon genggamnya, menatap notifikasi SMS dari kantornya sambil mengerut kesal, lalu bergegas mengetik sesuatu di telepon genggamnya.

Pria ramah itu menunggu dengan sabar.

Tak lama, Changmin menyodorkan telepon genggamnya ke arah pria tersebut.

Ah... jadi kau tidak bisa mendengar dan berbicara?

Begitu tertulis di layar telepon genggam milik Changmin.

Pria tersebut mengangguk. Lagi-lagi, ia mengacungkan jempolnya.

Pria itu lalu menggerak-gerakkan tangannya lagi. Kali ini, ia seperti tengah menulis sesuatu di telapak tangannya, lalu menunjuk dirinya, lalu tangannya sibuk bergerak-gerak lagi.

Changmin menatap pria tersebut panik. Ia tidak mengerti bahasa isyarat! Sama sekali!

Changmin mengangkat tangannya, meminta pria tersebut untuk berhenti, “Tunggu, tunggu, aku sama sekali tidak mengerti isyarat... ahh... tidak. Mengerti.” Ujar Changmin sambil menggelengkan kepalanya berkali-kali.

Lagi-lagi pria tersebut menepuk keningnya dan tertawa. Pria itu sepertinya cepat lupa kalau Changmin tidak mengerti isyarat yang ia katakan. Ia lalu turut mengeluarkan telepon genggamnya dan mengetik sesuatu dengan antusias.

Yunho

Changmin menatap layar telepon, lalu pria di hadapannya lagi. Pria itu kini menunjuk layar, lalu dirinya. Mulutnya bergerak-gerak mengeja kata Yun. Ho.

Changmin menepuk tangannya mengerti, “OH! Namamu Yunho! Hai... Aku... Eh...” Changmin lalu menyadari kalau pria tersebut tentu saja tidak bisa mendengarnya. Ternyata, Changmin juga mudah lupa kalau ia tengah berbicara dengan orang... spesial.

Yunho tersenyum maklum, sementara Changmin sibuk mengetik sesuatu lagi.

Namaku Changmin. Senang berkenalan denganmu.

Changmin tersenyum lebar, sementara Yunho menatap layar telepon dengan mata berbinar-binar.

Yunho lalu tampak mengeja sesuatu dengan mulutnya. Sesuatu seperti... A dan U...

“Maksudmu, namaku bagus? Terima kasih...” ucap Changmin bahagia. Ia lalu bergegas mengetik kata-kata yang baru saja ia katakan ke teleponnya.

Yunho mengangguk-angguk antusias. Kali ini ia menunjuk Changmin, lalu tangannya mengusap-usap dagunya sambil mengacungkan jempol.

Setelah itu, Yunho bergegas mengetik sesuatu di teleponnya

Arti: Kau. Tampan.

Changmin tergelak. Begitu juga Yunho. Astaga. Kenapa tiba-tiba jadi begini? Lucu sekali percakapan mereka kalau dipikir-pikir. Lagipula tiba-tiba, Changmin jadi mengetahui bahasa isyarat “tampan”.

“Terima kasih...” ujar Changmin lagi, sambil menunduk. Lalu mengetik lagi.

Bagaimana isyarat terima kasih?

Yunho tertawa tanpa suara. Ia lalu menepuk pundak Changmin, menunjuk dirinya, meminta Changmin memperhatikan dirinya, meletakkan telapak tangan di mulutnya, lalu dijauhkan. Mulutnya bergerak-gerak membentuk kata “Terima kasih”.

Changmin mengangguk-angguk mengerti. “Ah... begitu... baik... terima kasih, Yunho,” lanjut Changmin. Tangannya lalu meniru gestur “terima kasih” yang dicontohkan Yunho.

Yunho mengacungkan jempol tanda setuju.

Entah bagaimana... Changmin dan Yunho akhirnya bercakap-cakap. Dengan cara yang unik pula.

Dalam sekejap, Changmin melupakan kalau ia sudah sangat telat untuk menuju ke kantornya. Changmin telah larut dalam percakapan bisu antara ia dan Yunho.

Kalau dipikir-pikir, mereka sebenarnya ribut sekali saat itu, tetapi uniknya, tidak ada suara yang dikeluarkan sehingga tidak mengganggu penumpang lainnya.

Kecuali, Changmin yang kelepasan berseru kadang-kadang.

Yunho begitu ramah, tanpa perlu ia mengeluarkan suara sedikit pun.

Senyumannya bersinar hangat. Matanya yang berbentuk bulan sabit, seakan tersenyum, berbinar-binar, dan begitu semangat.

Perbincangan mereka sebenarnya begitu terpatah-patah, karena Yunho harus mentranskripsikan bahasa isyaratnya ke bentuk tulisan. Sementara, Changmin menuliskan kata-katanya sepenuhnya ke dalam tulisan di telepon genggamnya.

Selain itu, ada hal lain yang menghalangi perbincangan mereka. Hal itu diungkapkan Yunho dengan isyarat yang rumit dan kalimat patah-patah di telepon genggamnya.

Maaf. Kalimat berantakan. Tidak bisa struktur. Tidak belajar.

Begitu tulis Yunho di layar teleponnya.

Changmin menatap layar telepon Yunho dengan sedikit bingung. Memang sedari tadi, saat Yunho mengetikkan kata-katanya di telepon genggam, kata-katanya ditulis seperti orang yang baru belajar suatu bahasa baru. Patah-patah dan terpisah-pisah.

Kening Changmin mengerut, tanda ia sedang berpikir keras. Sementara jarinya sibuk mengetikkan sesuatu.

Maksudnya, kalimat yang kau ketikkan berantakan strukturnya? Kau tidak bisa membentuk kalimat terstruktur karena kau tidak bisa belajar, begitu?

Yunho mengangguk lagi, kali ini ekspresinya tampak sedih dan mulutnya melengkung kebawah.

Tidak pernah belajar benar. Belajar sendiri. Jadi berantakan.

Ketik Yunho. Ia sudah tersenyum lagi saat Changmin membaca tulisannya.

Changmin termangu membacanya. Tidak pernah belajar? Tapi...

Changmin terdiam bingung.

Yunho kan hanya tidak bisa mendengar, bukan tidak bisa melihat? Kalau hanya sekedar membentuk kalimat. Seharusnya, Yunho tidak kesulitan. Ia kan bisa membaca dari buku.

Maka, Changmin menanyakan hal itu kepada Yunho.

Yunho menggeleng saat membaca tulisan Changmin. Jemarinya lalu sibuk mengetik sesuatu.

Aku kecil belajar isyarat. Isyarat jago. Bahasa lisan? Tidak. Seperti belajar bahasa asing. Misal Inggris. Bisa Inggris. Tidak jago. Bukan orang Inggris.

Changmin membacanya dengan cermat. Oooh... mungkin maksud Yunho seperti ini: Kebanyakan orang yang bisa mendengar seperti Changmin bisa menulis dengan struktur seperti bahasa lisan. Hal tersebut karena Changmin sudah terbiasa kesehariannya lengkap mendengar dan membaca bahasa lisan. Yunho mungkin bisa, tetapi tidak sebaik Changmin atau orang yang bisa mendengar juga. Apakah mungkin karena Yunho sedari kecil sehari-harinya sudah dipenuhi dengan bahasa isyarat?

Changmin menanyakan hal itu juga kepada Yunho.

Yunho kali ini mengangguk riang. Matanya berbinar-binar penuh antusias.

Aku kecil beruntung. Aku kecil belajar isyarat. Tidak semua tuli beruntung. Aku isyarat jago.

Yunho nyengir lebar saat menunjukkan tulisannya kepada Changmin. Ia terlihat bangga sekali karena sudah belajar dan terbiasa dengan bahasa kaumnya dari kecil.

Changmin mengangguk mengerti. Sebuah senyuman terpintas di mulutnya.

Syukurlah, Yunho. Aku senang mendengar kau sudah diajari isyarat dari kecil. Struktur bahasamu sebenarnya bagus kok! Aku bisa mengerti sepenuhnya!

Puji Changmin sambil mengacungkan jempol. Yunho menunduk malu, mukanya memerah karenanya. Telunjuk dan jempolnya membentuk huruf “O” sambil dikibas-kibaskan.

Arti: Tidak.

Yunho lalu menambahkan sesuatu dengan malu-malu.

Senyum kamu manis.

Kali ini, muka Changmin yang memerah. Jantungnya berdetak lebih cepat karenanya.

Ah, bisa saja. Pikir Changmin. Hatinya mengembang bahagia karena dipuji oleh Yunho yang tampan.

Eh? Yunho tampan?

Ya, menurut Changmin, Yunho cukup tampan. Apalagi ia begitu ramah, walaupun “pendiam”. Rahangnya tajam dan tegas. Rambut hitamnya dipotong rapih, tetapi tidak kaku, membuat wajahnya tampak seperti model kelas atas. Ditambah senyumannya yang meneduhkan. Makanya Changmin merasa nyaman-nyaman saja walau berkali-kali bertemu Yunho di satu bis yang sama tanpa pernah berbicara. Justru, berkali-kali Changmin mengharapkan bisa bertemu Yunho.

Sekarang, Changmin bisa berbincang-bincang dan mengetahui kenyataan hidup Yunho.

Changmin begitu malu, sampai-sampai tangannya membeku, tidak mampu mengetik apa-apa.

Yunho tersenyum geli. Diam-diam, ia mengagumi kecantikan dari Changmin. Wajah Changmin mulus sekali dengan pipi yang tembam dan terlihat empuk. Matanya yang lebar berkilau-kilau indah. Belum lagi rambut panjang coklat Changmin yang terlihat halus. Changmin jadi terlihat manis karenanya. Begitu pikir Yunho.

Yunho akhirnya menepuk pundak Changmin, sambil menyodorkan telepon genggamnya.

Kau mau kemana?

Mendadak Changmin teringat tujuan awalnya.

Astaga! Aku kan harus buru-buru kantor! Bos akan harus pergi sebentar lagi!

Changmin menatap jam di tangannya, melongok melalui jendela ke arah luar, lalu membaca SMS dari kantornya. Changmin masih jauh dari kantornya! Tangannya kini sibuk membalas SMS dari kantornya.

Yunho menatap Changmin bingung.

“Ah! Maaf-maaf... aku...” seru Changmin saat menyadari bahwa Yunho menunggunya.

Aku mau ke kantor! Sekarang sudah telat sekali dan Bos sepertinya marah! Matilah aku...

Yunho kini menatap Changmin dengan tatapan kasihan. Ia mengepalkan tangannya ke atas, seperti menyemangati Changmin.

Arti: Semangat.

Changmin tersenyum lemah. Ya, semoga saja Bosnya akan berinisiatif menitipkan tiket dan hal-hal lainnya ke resepsionis kantor saja atau apalah. Changmin lalu meletakkan telapak tangannya di mulut dan menjauhkannya, “Terima kasih”, ujar Changmin.

Jempol dan kelingking Yunho kini membentuk seperti tanduk dengan jari lainnya terlipat. Yunho lalu menggerak-gerakkan tangannya di dekat dadanya.

Arti: Sama-sama.

Hati Changmin terasa lebih baik saat menatap Yunho dan antusiasmenya.

Kalau dipikir-pikir, hidup Yunho sebenarnya lebih tidak beruntung dibanding Changmin.

Bertemu Yunho bukanlah pertama kalinya Changmin bertemu orang tuli. Changmin sudah berkali-kali bertemu orang tuli. Ia sendiri pernah mewawancara orang tuli, tentu saja ditemani penerjemah bahasa isyarat. Dari merekalah Changmin tahu, kalau orang tuli tidak suka disebut tunarungu. Karena kalau disebut tunarungu, berarti mereka sakit. Padahal, mereka baik-baik saja. Mereka hanya tidak bisa mendengar.

Meskipun pernah diberitahu begitu, Changmin masih merasa sedih setiap melihat atau bertemu orang tuli.

Alasannya satu: Changmin tidak bisa membayangkan hidup tanpa musik.

Kalau hidup dalam kesunyian saja... Hmmm.... Mungkin mereka justru jadinya lebih beruntung dari Changmin. Karena, toh, mereka tidak harus mendengarkan cerewet orang bergunjing, cercaan, makian, dan juga bunyi berisik lalu lintas.

Tapi, tanpa musik?

Salah satu kegemaran Changmin adalah menari. Changmin suka sekali bergerak mengikuti irama musik. Kadang-kadang, kalau Changmin sudah mulai suntuk dalam perjalanannya, ia akan memasang headset dan mulai menyetel musik kesukaannya. Lalu Changmin akan asik sendiri bergerak-gerak mengikuti musik. Ia sudah tidak peduli lagi dengan orang-orang yang memerhatikan.

Saat mendengarkan musik juga, kepala Changmin akan sibuk dipenuhi imajinasi-imajinasi dan ide-ide untuk tulisannya selanjutnya. Menjadi jurnalis memang tetap membutuhkan imajinasi sedikit, terutama kalau Changmin sudah mentok, tidak tahu harus menulis apa. Lagipula, jika tulisannya terlalu kaku, pembaca juga tidak akan suka membaca artikel-artikel Changmin. Tentu saja, bukan berarti Changmin mengganti fakta. Changmin hanya membutuhkan imajinasi untuk memperindah tulisannya.

Dan musik selalu membantu Changmin.

Lantas, jika orang tuli seperti Yunho, bagaimana ia bisa menikmati musik?

Tanpa berpikir, Changmin akhirnya mengetik suatu pertanyaan untuk Yunho.

Apakah kau suka musik?

Saat Changmin sudah menyodorkan telepon genggamnya ke Yunho, barulah Changmin sadar bahwa pertanyaannya salah.

Tunggu? Apa maksudnya ‘kau suka musik’? Yunho kan tidak bisa mendengar!

Tetapi, jawaban Yunho mengejutkan Changmin.

SUKA!

Changmin terkejut. Mendadak, Yunho mengetik jawabannya dengan huruf besar semua. Yunho menatap Changmin dengan gembira. Tangan kanannya membentuk tangkupan, lalu bergerak-gerak di dadanya.

Arti: Suka. Suka musik jazz, rock, klasik. Pop suka. Suka TVXQ! Changmin?

“AAHH! AKU JUGA SUKA TVXQ!” Lagi-lagi Changmin kelepasan berseru. Tetapi, penumpang bis sudah bosan memelototi dan menegur Changmin. Mereka hanya menengok malas, lalu membiarkan Changmin.

Yunho tertawa lagi, sepertinya mengetahui kalau Changmin lagi-lagi kelepasan berteriak. Sementara Changmin mengetikkan kata-katanya ke layar telepon genggam.

Yunho tampak membaca tulisan Changmin dengan penuh perhatian. Sementara itu, Changmin sepertinya sedang berpikir.

Tunggu, bagaimana ia bisa mendengarkan musik kalau ia tuli?

Rasa penasaran Changmin, akhirnya mengalahkan rasa tidak enak Changmin untuk menanyakan hal tersebut.

Tunggu, maaf sekali, tapi, bagaimana kau mendengarkan musik?

Yunho tersenyum maklum. Pertanyaan ini bukan pertamakalinya ia dapatkan. Tetapi, Yunho bisa menjelaskan dengan mudah.

Yunho meraih tangan Changmin, ia membungkuk sopan meminta izin sebelumnya. Wajah Changmin jadi bersemu merah saat tangan Yunho dengan lembut menggenggamnya.

Yunho meletakkan telepon genggamnya di tangan Changmin. Yunho tampak sibuk mengatur sesuatu pada telepon genggamnya. Lalu terdengar musik pelan berbunyi.

Changmin bingung. Musik yang dimainkan Yunho begitu pelan! Masa iya, Yunho tiba-tiba bisa mendengarkan musik dengan volume sepelan itu?

Yunho menangkap wajah Changmin yang kebingungan. Ia tertawa kecil tanpa suara, tangannya menggenggam tangan Changmin yang memegang telepon genggam, lebih erat lagi.

Changmin masih bingung untuk sekian menit. Sampai Yunho terlihat mengangguk-angguk senang mengikuti musik. Yang mengherankan, gerakan Yunho sesuai dengan musik yang bermain.

Changmin menggaruk-garuk kepalanya. Bagaimana Yunho bisa mendengarkan musik? Tunggu...

Changmin lalu menyadari kalau sedari tadi, telepon genggam Yunho bergetar pelan selama musik bermain. Karena volume musiknya pelan, getarannya juga lembut saja. Tapi, Changmin bisa merasakan getaran tersebut merambat melalui lengannya.

Tentu saja. Telepon tersebut sudah distel kedalam mode getar. Sehingga, saat musik berbunyi, telepon ikut bergetar mengikuti irama musik.

Beginilah cara Yunho menikmati musik selama ini.

Hanya melalui getaran... tetapi Yunho mampu menikmati musik.

Yunho bahkan mampu mengklasifikasikan musik dan memilih genre kesukaannya.

Yunho lalu menarik telepon genggamnya dari Changmin dan mengetik sesuatu.

Getaran lembut: Klasik. Getaran keras: Rock. Getaran teratur: Pop. Aku bisa dengar musik!

Changmin hanya mampu menatap Yunho takjub, sementara Yunho lanjut mengetikkan sesuatu.

Tuli dan Dengar beda. Masalah biasa dan tidak. Beda perspektif. Beda bahasa. Tapi, kita sama! Bisa hidup nikmat!

Mungkin maksud Yunho, beda tuli dan dengar hanya beda pada masalah perspektif dan bahasa. Selain dari itu, Yunho dan Changmin bisa sama-sama pergi ke bioskop, menonton film, makan popcorn sambil tertawa-tawa. Mereka bahkan bisa nonton konser musik!

Changmin lalu teringat bahwa ia ada jadwal mewawancara member TVXQ pada konser mereka bulan depan. Changmin mencatat dalam hatinya agar ia ingat untuk mengajak Yunho.

Mengerti!

Balas Changmin melalui tulisannya. Yunho lagi-lagi mengacungkan jempol dengan puas.

Mereka berbincang-bincang lagi melalui bahasa patah-patah mereka. Yunho mengajarkan beberapa isyarat dasar kepada Changmin. Seperti isyarat abjad, cara memperkenalkan diri kepada orang tuli, dan, yang paling Changmin suka, isyarat makanan!

Yunho juga menceritakan pengalamannya bekerja di kebun binatang. Yunho ternyata selama ini bekerja sebagai tour leader untuk orang-orang tuli. Yang unik, kebanyakan kliennya ternyata adalah anak-anak tuli yang sedang belajar bahasa isyarat.

Yunho pun dengan riang mengajak Changmin untuk datang ke tempat kerjanya.

Changmin menggaruk-garuk telinganya. Ia sangat ingin untuk berkunjung ke tempat kerja Yunho. Selain bisa menjadi bahan berita yang bagus, Changmin harus mengakui, ia ingin sekali mengenal Yunho lebih jauh.

Perbincangan singkat mereka selama perjalanan begitu membekas di hati Changmin. Changmin tentu saja sudah menanyakan nomor telepon Yunho sebelumnya. Tapi, ia masih ingin terus bercakap-cakap dengan Yunho.

Changmin lalu merasakan teleponnya bergetar. Changmin bergegas mengecek.

Perlahan-lahan, muka Changmin berubah cerah. Alisnya terangkat dan mulutnya termangu.

Ternyata bosnya sungguh sudah berangkat. Bosnya bilang, ia memutuskan tiketnya dititipkan saja ke resepsionis kantor. Sehingga, Changmin bisa mengambil tiketnya nanti-nanti saja. Hal-hal lainnya yang harus dibicarakan, akan dibicarakan melalui telepon saja, nanti.

Yunho menatap Changmin yang tiba-tiba tampak cerah, sambil mengangkat alisnya, penasaran.

Yunho! Aku bisa berkunjung ke tempat kerjamu, sekarang!

Ketik Changmin antusias. Wajah Yunho ikut berubah cerah mendengarnya.

Bagus! Ayo ikut!

Changmin merasa bersyukur, sebagai jurnalis, ia tidak pernah meninggalkan kameranya sama sekali. Kamera Changmin selalu setia mengikuti kemanapun Changmin pergi. Tangannya kini sibuk mengutak-atik kameranya. Dalam hati, Changmin berharap kebun binatang juga menyediakan penerjemah untuk bahasa isyarat. Changmin merasa beruntung karena ia bisa mendapatkan bahan untuk beritanya!

Yunho memerhatikan Changmin dengan takjub. Jari-jari Changmin yang lentik tampak dengan ahli mengatur-atur kameranya. Changmin sepertinya asik sekali dengan kegiatan itu. Yunho mengira-ngira, akankah Changmin mau mengajarinya fotografi jika Yunho meminta?

Mereka akhirnya tiba di halte kebun binatang. Seperti biasa, Yunho menepuk-nepuk pundak Changmin saat bis berhenti. Tetapi, kali ini, Yunho mengajak Changmin untuk turun bis.

Setelah Yunho mengisi presensi, Yunho bergegas berganti pakaian menjadi seragam coklat. Yunho terlihat tampan sekali dengan seragam kebun binatang itu!

Changmin segera mengusap-usap dagunya lalu mengacungkan jempol, “Kau tampan sekali!”.

Yunho tergelak, ia mengatupkan tangan dengan mulutnya lalu dijauhkan, Terima kasih.

Dari kejauhan, Changmin mendengar langkah kaki berderap-derap. Melihat Changmin yang terkejut, Yunho pun berbalik dan menatap ke arah yang sama dengan Changmin.

Sekelompok anak-anak dapat terlihat berlari menghampiri Yunho. Mereka melambaikan tangan dengan gembira. Tidak ada suara ribut yang dikeluarkan. Tetapi, mereka tampak riang sekali melihat Yunho.

Sepertinya, merekalah “klien” anak-anak yang Yunho maksud.

Yunho segera menyambut anak-anak tersebut dengan riang. Ia melambai-lambaikan tangan. Beberapa anak yang telah mendekat, langsung menubruk Yunho dengan pelukan.

Tidak ada suara, hanya pelukan-pelukan riang dan gestur-gestur sapaan.

Mengherankan. Tetapi saat Changmin melihatnya, mereka tampak bahagia sekali.

Changmin lalu merasakan tarikan pada bajunya.

Saat Changmin menengok, seorang anak laki-laki manis tampak menyapa Changmin dari bawah.

Changmin melambaikan tangan.

Anak tersebut menunjuk Changmin. Ia lalu menyatukan kedua telunjuknya dan menggerakannya ke atas dan kebawah. Lalu menunjuk Yunho.

Changmin mengerut bingung. Apakah anak itu bertanya kalau ia adalah teman Yunho?

Changmin mengangguk-angguk saja karena bingung.

Anak tersebut tersenyum riang, ia lalu menghampiri Yunho. Mengulang isyarat yang sama ke Yunho, tetapi menambahkan isyarat tampan.

Yunho tampak kaget setengah mati. Ia menggeleng keras.

Changmin bisa melihat Yunho melakukan bebarapa isyarat yang sama ke anak itu ditambah beberapa isyarat rumit lainnya.

Anak tersebut tampak sedikit keras kepala. Berkali-kali, ia menunjuk ke arah Changmin.

Yunho bingung. Mukanya memerah seluruhnya. Sementara anak-anak yang lain tampak bolak-balik memperhatikan Changmin dan Yunho dengan ekspresi takjub.

Yunho segera mengeluarkan telepon genggamnya, mengetik sesuatu, lalu menghampiri Changmin.

Kau bilang kau pacar aku?

Changmin terkejut.

“APA? Aku tidak pernah bilang begitu kok! Aku... eh...” Changmin lagi-lagi lupa kalau Yunho tidak bisa mendengarnya. Ia menunduk malu, meminta Yunho untuk meminjamkan telepon genggamnya.

Aku tidak pernah bilang aku pacar kamu... kenapa tiba-tiba kamu bertanya begitu?

Yunho kali ini menggaruk-garuk kepalanya. Ia lalu menjelaskan dengan patah-patah lagi. Ternyata, isyarat yang ditanyakan anak itu adalah pacar, bukan teman. Yunho juga menambahkan, dengan malu-malu, kalau anak itu mengatakan pacar Yunho sangat tampan.

Yunho dan Changmin hanya bisa berdiri, saling menatap satu sama lain dengan kaku dan malu.

Seharusnya Changmin memang tidak sembarangan menjawab saja!

Kalau anak-anak itu bisa berbicara, mereka pasti sedang bersorak-sorai menggoda Changmin dan Yunho. Beberapa bahkan menirukan gestur orang yang sedang bersuit.

Mereka lalu sepertinya bosan menggoda Changmin dan Yunho. Mereka menarik-narik Yunho, meminta Yunho untuk segera memulai tur kebun binatang.

Yunho tampak menghela nafas, menyerah. Ia bahkan seperti tak mampu lagi mengetik apapun di telepon genggamnya. Yunho hanya bisa menarik tangan Changmin, mengajaknya ikut, sambil mengarahkan dagunya ke arah anak-anak-kelewat-riang yang tengah berlarian memasuki kebun binatang.

Changmin ikut-ikutan menghela nafas.

Yah, setidaknya, Changmin mendapatkan pengalaman baru hari itu. Bahan untuk artikelnya. Dan teman baru.

Changmin diam-diam bersyukur dia tidak mengerti bahasa isyarat. Tapi, entah kenapa rasanya Changmin bisa mengerti saat anak-anak itu menggoda Changmin yang tengah berjalan bergandengan tangan dengan Yunho.

Hari itu dijalani Changmin dengan candaan riang menggunakan bahasa yang tidak ia mengerti, tawa tanpa suara, dan kehangatan dari teman barunya, Yunho.

Dan Changmin dengan takjub menyadari, bahwa hari itu, tak ada kata-kata yang diperlukan untuk berinteraksi, menyampaikan kekaguman, dan mengawali suatu persahabatan. Sama sekali.

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
minenchanted
#1
Chapter 1: Pertama, aku sangat menghargai ini. Aku punya temen yg mirip kaya Yunho di sini *bedanya dia cewek*. Nggak bisa ngomong, nggak bisa denger. Dan tentang struktur kalimat itu bener bgt. Temenku pun kalo nulis tata bahasanya kacau, bhkan susah buat ngerti apa maksudnya, krn dr kecil emang nggak prnh denger org ngomong. Bedanya, temenku cuma pake bahasa isyarat abjad, dipake kalo kita lgi ngomongin rahasia aja biar org lain ga ngerti hahahaha *yeah we are partners in crime lol* selebihnya kalo komunikasi ke siapapun dia ngomong biasa tp dgn penekanan bntuk mulut biar org2 ngerti apa mksudnya.
Satu hal baru, aku baru tau kalo mereka dengerin musik dg cara seperti itu! Sempet heran temenku punya beberapa lagu di ponselnya tp ga prnh tanya buat apa atau gmn dia bisa denger XD
Thank you so much for writing this! Berguna banget buatku ❤
syamie
#2
Chapter 1: Oh, ternyata lebih baik dipanggil tuli toh.
Endingnya kawaiii banget. Saya jadi belajar juga nih bahasa isyarat, dan ternyata org tuli bisa denger musik. Wow baru tau.


Cantik bgt ffnya.

*meletakkan telapak tangannya di mulut dan menjauhkannya*
Thanks buat ceritanya, ka
Tika_choi
#3
Chapter 1: Wow~~~ aku terharu, ini keren bgt!! Beneran keren deh ceritanya, kakak author daebak ^^ aku sampe gak sadar udah end aja ceritanya saking terlarutnya^^
Padahal ceritanya maniiiiis bgt, but I can't stop my tears, aku gatau kenapa, aku sediihh T^T aaaa~~ jadi kepengen belajar bahasa isyarat, kenapa dikampus aku gada kelas bahasa isyarat juga yaa? :' kakak jurusan apa? Apa kelas bahasa isyarat untuk semua jurusan??
Ceritanya maniiisss bgt, bikin melting >< bikin terharu dan banyak dapat ilmu (trnyata orang tuli bisa menikmati hidupnya dalam kesunyian, bahkan suka musik juga^^) dan bikin bisa bahasa isyarat dikit2 juga (aku ngikutin yang diajarin author, hehe) apalagi ceritanya ini dibawakan oleh uri pair kesayangan, HoMin. Makin menjadi2lah kadar kemanisannya, I think I got diabetes soon ><
Makasih buat cerita daebak ini kak, good story^^ seriusan aku sukaaaa~ bgt, love this story <3 Keep writing author-nim, Fighting ^^9
JiJoonie
#4
Chapter 1: Whoooaaaaahhhhhh!!!!!!! *bau nafasnya* :v

Wah wah wah wah!

KEREN!!!!

Keren banget, sumvaah ga bisa dijelaskan! Duuhh dibagian si changmin dikira pacara yunho lucu banget, tapi ujung2nya mereka keliling kebun sambil gandengan tangan aaaakkkkk manisnyaaa>__<

Duuhj ajeeeng, mau komen banyak tapi ntar panjang banget dan kamu bakal capek bacanya XD intinya aku suka banget sama ff ini, menyentuh dan bikin seneng <3

Semangat ya untuk bikin ff lainnya^^
Bigeast88 #5
Chapter 1: Baguuus... bikin tersentuh loh... dan manis sekali ini....