Promise

Promise

"Sudah berapa lama kau menungguku disini?"

 

Joshua yang tengah membaca buku terpaksa menoleh kearah sumber suara. Di sampingnya telah duduk seseorang yang amat ia cintai selain keluarga dan saudara-saudaranya. Namanya Yoon Jeonghan, laki-laki berparas cantik dengan surai panjang yang selalu saja mengganggu penglihatannya jika angin datang. Bisa dikatakan sebuah kebiasaan dari seorang Joshua untuk selalu menjaga agar rambut kekasihnya itu tidak mengganggu pandangannya.

 

Jika ada yang bertanya apa yang ia suka dari seorang Yoon Jeonghan, mungkin hanya ada dua probabilitas. Entah terlalu banyak hal yang ia suka, atau kosong. Bagi Joshua, ia tak butuh alasan untuk mencintai seorang Jeonghan. Ia hanya tahu saat wajah itu muncul di kehidupannya, Jeonghan adalah the only one. Sebagai pria yang sederhana, Joshua juga mencintai Jeonghan dengan sederhana. Menjalin suatu hubungan dalam kamus seorang Hong Jisoo berarti mendukung satu sama lain, saling percaya, dan saling tulus dengan apa yang mereka rasakan. Joshua tidak pernah berbohong, tidak pernah memarahi Jeonghan, dan selalu sabar dengan laki-laki itu. Senyum indah selalu menghiasi wajah Joshua saat pandangan mereka bertemu. Seperti saat ini.

 

"Belum lama. Mungkin baru sepuluh menit yang lalu." Ucap Joshua lalu tersenyum. Ia dengan percaya diri mengangkat tangannya dan meletakkannya di pipi kekasihnya itu dan mengelusnya pelan.

 

"Itu sudah sangat lama. Mengapa kau tak memberitahuku untuk datang lebih cepat?" Tanya Jeonghan. Joshua pun mengecup pipinya sebelum menjawab.

 

"Kau tak perlu terburu-buru, sayang. Aku akan selalu menunggumu seperti waktu-waktu kemarin. Dan percayalah aku akan selalu bersamamu." 

 

Jeonghan tak tahu apa yang pernah ia perbuat sehingga ia bisa berada di dekapan laki-laki ini. Jeonghan merupakan orang yang sangat manja pada orang lain. Kata 'ketergantungan' mungkin juga bisa menggambarkan sosok pria cantik itu. Entah mengapa setelah mengenal Joshua, sifat manja yang ia miliki mulai berkurang. Tentu saja karena Joshua selalu memberikan apa yang Jeonghan minta maupun tidak. Mungkin Jeonghan pernah menyelamatkan nyawa seorang raja pada zaman dahulu sehingga ia bisa bertemu dengan Joshua-nya. Ya, Joshua-nya.

 

"Jeonghan, sayang. Bolehkah aku memelukmu sepanjang kencan kita hari ini? Aku ... aku hanya ingin memelukmu." Ucap Joshua tiba-tiba.

 

"Kau tak harus meminta izin, Shua. Aku akan selalu mengizinkanmu, kau tahu itu?" Jeonghan pun tersenyum. Senyum itu bahkan tak pudar begitu Joshua mendekapnya erat.

 

Detik ini, Jeonghan bisa membayangkan dirinya dan Joshua tinggal di sebuah rumah di pinggir kota. Rambut mereka yang dulu berwarna kini telah hilang digantikan oleh surai-surai putih. Kulit mereka mulai mengendur, mulai tampak kerutan di hampir seluruh bagian tubuh mereka. Ditemani dengan anak-anak yang berlarian kesana kemari, entah mengejar sesuatu atau bercengkrama sembari bermain dengan satu sama lain. Atau mungkin juga makan bersama keluarga besar Joshua dan dirinya. Detik ini, Jeonghan ingin merasakan bagaimana rasanya selalu bangun dan tertidur di pelukan Joshua, selalu menjadi orang yang dilihatnya setiap pagi dan orang terakhir yang mengucapkan 'mimpi indah' dan memberinya kecupan lembut di kening. Joshua adalah laki-laki yang sederhana, namun dengan kesederhanaan itu, Jeonghan tahu dirinya bahagia.

 

"Jika aku punya satu kesempatan lagi, aku akan mendekapmu dalam pelukanku selamanya, Han-ah. Selalu."

 

Aneh. Bukan Joshua yang berbicara. Joshua tidak pernah se-pesimis ini.

 

"Maksudmu, sayang?" Tanya Jeonghan. Namun Joshua hanya mengeratkan pelukannya dan memberikan kecupan di kepala kekasihnya itu sebanyak yang ia bisa.

 

--

 

"Kini aku sadar mengenai ucapanmu waktu itu, Shua-ya."

 

Jeonghan tak sadar tetes bening airmatanya mulai menghalangi pandangannya.

 

"Aku tak ingin menyalahkanmu karena tentu saja ini bukan salahmu," Jeonghan menghapus jejak airmatanya. "Tapi mengapa takdir begitu jahat? Aku sudah membayangkan jutaan cerita yang aku ingin tulis bersamamu. Namun aku tak bisa menulisnya bersamamu lagi, Shua-ya."

 

 

 

Karena kita sudah tak lagi berada di dunia yang sama.

 

 

 

Jeonghan meletakkan buket bunga itu tepat diatas makam kekasihnya. Bagaimanapun ia mencoba menahan, air mata itu tetap saja jatuh. Ia masih tak percaya kekasihnya meninggalkannya begitu cepat.

 

Joshua menderita kanker otak stadium awal saat ia bertemu Jeonghan untuk pertama kalinya dan ia menolak untuk melakukan pengobatan, karena ia tahu Jeonghan mungkin menyadarinya dari rambut Joshua yang tak lagi lebat. Joshua punya harapan, dan ia hanya bergantung pada harapan itu. Begitupula dengan Jeonghan yang bergantung pada harapan bahwa mereka akan hidup dengan umur yang panjang. Harapan dan Jeonghan-lah yang membuat Joshua berani menghadapi segalanya. Walau pada akhirnya Joshua menyerah pada takdir.

 

Walaupun kakimu tak lagi menopang badanmu untuk berdiri, walaupun jiwamu tak lagi terperangkap dalam ragamu, kau tetaplah Joshua yang dulu berjanji akan mendekapku dalam pelukan itu selamanya. Dan aku menunggu janji itu.

 

 

----

 

Maaf gakjelas *kabur*

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet