The Man Who Was Crying Alone

The Man Who Was Crying Alone

Menjadi pemimpin tidaklah mudah. Ada suatu saat ketika kita merasa lelah, tetapi tidak ada satu orang pun yang bisa kita jadikan sandaran. Bukan. Bukannya tidak bisa. Tapi, itu karena kita yang tidak ingin menjadi beban yang lain. Harus menyimpan semuanya sendiri walaupun sebenarnya anggota lain tidak akan keberatan mendengar keluhan kita. Lelah, sakit, dan senang menjadi tidak ada bedanya ketika kita bertatap wajah dengan yang lain.

Itu semua adalah yang Soonyoung rasakan. Perannya sebagai pemimpin Performance team membuatnya harus menjadi teladan bagi membernya. Apa pun yang terjadi ia harus terlihat kuat. Ia rela tidak tidur karena menjaga Chan yang demam, mendengar keluhan Minghao selama latihan, atau mendengar cerita Junhui yang merindukan kampung halamannya. Bahkan bukan hanya member performance yang bersandar padanya, tetapi hampir semua member.

Soonyoung selalu berkata kalau selama latihan kita tidak boleh mengeluh karena itu akan berdampak pada member lain juga. Karena itu, ia tidak pernah menunjukkan rasa lelahnya. Terkadang ia ingin menangis karena kakinya terkilir saat tampil, tenggorokkannya sakit karena terlalu lama berlatih, atau kepalanya yang pusing saat latihan dalam keadaan demam. Tetapi ia tidak melakukannya. Ia menyimpan semuanya sendiri.

“Soonyoung, kau baik-baik saja?” Jihoon menghampirinya saat sedang istirahat. Ia merasa Soonyoung tidak seperti biasanya. Anak laki-laki itu hanya diam daritadi.

Soonyoung mengangguk sambil tersenyum seperti biasa. Ia berbohong pada Jihoon padahal wajah pucat dan keringat yang membanjiri tubuhnya secara tidak wajar tidak dapat membohongi Jihoon. Tubuhnya sedang dalam kondisi tidak baik. Napasnya memburu dan keringat terus menerus keluar dari tubuhnya.

“Latihan mulai lima belas menit lagi, oke?” Ia  berkata pada member lain dan dibalas anggukan oleh yang lain. Semuanya memanfaatkan waktu tersebut dengan baik. Termasuk Jihoon yang menghabiskan waktunya untuk memerhatikan Soonyoung.

“Kau benar baik-baik saja?” Suara Jihoon menyadarkan Soonyoung dari kegiatan melamunnya. Sekali lagi, ia mengangguk. Mencoba untuk meyakinkan Jihoon. Teman mungilnya ini memang tidak mudah dibohongi. Butuh akting yang hebat untuk mengelabuhinya.

“Kau menghawatirkanku, Jihoon?” Tanya Soonyoung sambil tertawa. Jihoon benci ketika Soonyoung tertawa seperti ini. Ia ingin Soonyoung bisa terbuka padanya. Soonyoung selalu menyimpannya sendirian padahal Jihoon selalu bercerita padanya. Apa pun. Soonyoung selalu mendengar keluh kesahnya tapi Soonyoung tidak mau terbuka padanya.

Jihoon memukul kepala Soonyoung pelan lalu bangkit dan menghampiri Jisoo yang sedang mengobrol dengan Jeonghan. Soonyoung yang melihatnya hanya tertawa. Lagi-lagi Soonyoung tertawa, Jihoon membencinya.

Latihan selesai pukul dua malam. Mereka akhirnya dapat beristirahat. Satu demi satu mereka merebahkan diri di kasur. Tidak ada yang berbicara, semuanya lelah dan ingin langsung tidur.

Jihoon sekamar dengan Soonyoung, Seokmin, dan Jeonghan. Semuanya sudah berada di kasur masing-masing dan lampu kamar telah dimatikan. Tubuhnya lelah, namun Jihoon belum berhasil masuk ke dunia mimpi.

Satu jam berlalu dan Jihoon belum bisa tidur. Sampai akhirnya ia mendengar seseorang menangis. Mata sipitnya langsung terbuka ketika menyadari tangisan itu berasal bawah kasurnya. Itu artinya Soonyounglah yang menangis karena kasur anak laki-laki itu berada di bawah kasurnya.

Suara tangis itu tidak keras karena memang hanya isakan yang terdengar. Jihoon melihat ke bawah diam-diam dan benar Soonyoung sedang menangis. Ada rasa khawatir dalam dirinya ketika melihat Soonyoung menangis. Ia ingin bertanya pada Soonyoung, tapi ia tahu Soonyoung tidak suka kalau ia tahu Soonyoung menangis. Karena itu Jihoon memutuskan untuk pura-pura tidak tahu dan kembali mencoba tidur.

Jihoon akhirnya dapat tidur ketika Soonyoung berhenti menangis.

.

.

Jadwal padat membuat kondisi kesehatan mereka menurun. Tidak hanya itu, rasa lelah yang dirasakan para member membuat mereka sulit untuk mengontrol emosi. Tidak jarang mereka bertengkar hanya karena hal kecil.

Soonyoung duduik sendiri di pojok ruangan. Sebentar lagi mereka akan tampil di sebuah acara musik. Para member sedang melakukan persiapan, tapi Soonyoung hanya duduk dan tidak melakukan apa pun. Matanya berat sekali, begitu juga dengan kepalanya. Ia butuh tidur.

Staf memanggil mereka untuk segera masuk ke panggung. Dengan tubuh yang tidak dalam kondisi baik, Soonyoung bangun dan berjalan ke luar ruangan bersama member lainnya.

Soonyoung itu hebat. Ia mampu menahan bebannya sendirian. Jihoon malu pada dirinya sendiri. Ketika matanya menangkap tubuh Soonyoung yang limbung, ia terkejut bukan main. Ia pikir Soonyoung akan jatuh, tapi nyatanya tidak. Anak laki-laki itu berpegangan pada dinding. Ketika mereka dipanggil untuk naik ke panggung, Jihoon menatap Soonyoung tidak percaya. Soonyoung tersenyum lebar seolah-olah baik-baik saja. Ia tampil maksimal.

Setelah penampilan mereka selesai. Soonyoung turun dipapah Junhui. Wajanya pucat bukan main. Napasnya tidak beraturan. Matanya hampir tertutup membuatnya sulit untuk berjalan. Jihoon melihatnya khawatir. Matanya terus mengikuti Soonyoung. Member yang lain pun tak kalah khawatir. Bahkan Jeonghan hampir menangis.

Masih terekam jelas di kepalanya ketika Soonyoung tiba-tiba duduk di pinggir panggung dekat tangga. Lampu panggung sudah mati jadi tidak ada penggemar yang melihat Soonyoung jatuh. Junhui yang ada di belakangnya segera membantu Soonyoung berdiri dan memapahnya berjalan tanpa banyak tanya. Sementara Jihoon hanya dapat melihatnya dari belakang karena posisinya yang jauh dari Soonyoung.

“Ya Tuhan, kau pucat sekali. Air. Tolong ambilkan air.” Jeonghan segera menyuruh siapa pun di sana untuk mengambilkan air untuk Soonyoung.

Sesampainya di ruang tunggu, Junhui langsung memapah Soonyoung menuju sofa. Jeonghan segera duduk di samping Soonyoung dan menyandarkan tubuh Soonyoung ke tubuhnya. Laki-laki berambut paling panjang tersebut terlihat paling panik dibandingkan yang lain. Padahal Jihoon yakin kalau dirinyalah yang paling panik ketika Soonyoung tiba-tiba terjatuh tadi.

“Aku tidak apa-apa. Hanya tadi tiba-tiba pusing,” ujar Soonyoung setelah meminum air yang diberikan Jeonghan. Member lain masih mengelilinginya. Menatapnya khawatir.

“Apanya yang tidak apa-apa! Wajahmu pucat sekali tahu!” Jeonghan mengelap keringat yang terus keluar dari dahi Soonyoung. Tubuh Soonyoung panas tapi telapak tangannya dingin. Jihoon duduk di sebelah Soonyoung lalu memijat telapak tangannya. Sambil menatap Soonyoung khawatir.

“Terima kasih, Jihoon.”

Jihoon hanya membalasnya dengan senyum kecil.

.

.

Soonyoung itu tidak ingin menyusahkan orang lain. Ia hanya berbagi kebahagiaan. Soonyoung tidak pernah menangis di hadapan teman-temannya. Kecuali ketika mereka menang untuk pertama kali di acara musik. Itu pun tangis kebahagiaan. Ia menangis seolah tidak ada hari esok. Matanya bengkak sampai besok. Suaranya serak dan membuatnya dimarahi Jihoon karena terlalu banyak menangis kemarin. Tapi ia tidak kesal pada Jihoon. Karena Soonyoung tahu Jihoon itu terkadang bersikap sebaliknya dengan apa yang dirasakannya.

“Ayo lebih semangat lagi latihannya! Jangan merasa puas dengan kemenangan pertama.” Suara Soonyoung memenuhi ruangan latihan mereka. Perkataannya barusan disambut dengan sorakan member lain.

Jihoon merasa sangat lelah sebenarnya. Selain promosi album ini, ia juga sedang mengerjakan proyek mereka berikutnya. Lingkaran hitam menghiasi kantung matanya. Bahkan tak jarang ia menguap. Jihoon mengusap matanya yang berair. Ia memutuskan untuk duduk bersandar di cermin ketika Soonyoung memberi mereka waktu istirahat.

Tenggorokannya kering, tapi Jihoon terlalu lelah untuk sekedar mengambil botol minum yang ada di atas meja dekatnya duduk. Jihoon sangat mengantuk. Tiba-tiba sesuatu yang dingin menempel di pipi kanannya. Jihoon segera membuka matanya dan ada Soonyoung duduk di sebelahnya dengan tangan mengangkat botol minum.

“Untukmu. Kau kelihatan lelah sekali, Ji.” Soonyoung meminum air dari botol minum miliknya lalu kembali menatap Jihoon.

“Aku harus menyelesaikan semua lagu bulan ini. Tinggal tiga lagu. Aku ingin selesai secepatnya,” ujar Jihoon lalu meminum airnya.

“Bagus sih kalau cepat selesai. Tapi jangan lupa istirahat, Ji. Nanti kau sakit.”

Jihoon hanya mengangguk. Dalam hatinya mengumpat kalau Soonyoung tidak sadar diri. Mungkin Jihoon harus memberinya cermin.

.

.

Matanya masih terfokus pada layar komputer di depannya. Sesekali jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja mengikuti musik yang keluar dari headphonenya. Sudah hampir empat jam Jihoon duduk di sini. Mengerjakan lagu untuk album daur ulang mereka. Dengan ditemani segelas es americano, Jihoon mencoba menyelesaikan pekerjaannya.

Terlalu asyik dengan pekerjaannya, Jihoon sampai tidak tahu kalau ada seseorang sedang berdiri di belakangnya.

“Jihoon.” Orang tersebut menepuk pundak Jihoon agar ia menoleh.

“Eh, Jisoo hyung. Ada apa?”

“Bisa kau temui Soonyoung di balkon? Kulihat tadi dia duduk sendirian di balkon. Aku tanya sedang apa, dia bilang sedang  mencari inspirasi untuk koreo.  Dia pasti bohong. Mana ada orang mencari inspirasi dengan wajah murung seperti itu?”

Jihoon diam, mencoba mencari tahu alasan mengapa Soonyoung murung belakangan ini.

“Tolong ya, Jihoon. Kupikir dia pasti mau cerita padamu. Aku takut dia sakit lagi karena stress.”

“Iya, hyung. Jangan khawatir. Nanti aku coba bicara dengannya.” Jihoon tersenyum mencoba menenangkan Jisoo yang tampak khawatir.

Setelah menyampaikannya pada Jihoon, Jisoo langsung keluar ruangan. Sementara itu, Jihoon tidak langsung menghampiri Soonyoung di balkon. Ia termenung. Kemudian menghembuskan napas lelah. Jihoon sudah lelah dengan sikap Soonyoung yang seperti ini.

Tidak lama kemudian, Jihoon akhirnya menghampiri Soonyoung yang sedang duduk di balkon. Wajah Soonyoung terlihat murung. Kantung matanya terlihat jelas sama seperti Jihoon. Pipinya yang berisi kini nampak lebih tirus. Jihoon tahu pasti Soonyoung kehilangan beberapa kilogram berat badannya.

“Sedang apa?” Jihoon memulai pembicaraan. Ia duduk di bangku sebelah bangku Soonyoung.

Soonyoung sedikit terkejut tapi ia mencoba bersikap biasa. Wajahnya kemudian menampilkan senyum manisnya.

“Sedang mencari angin.” Jihoon hanya mengangguk mendengar jawaban Soonyoung. Padahal tadi Soonyoung bilang pada Jisoo ia sedang mencari inspirasi untuk koreo, tapi sekarang malah bilang mencari angin.

“Tumben sendiri, biasanya ada Seokmin atau Seungkwan,” kata Jihoon sambil menyandarkan tubuhnya di sandaran bangku.

“Mereka lagi latihan vokal berdua. Lagipula memangnya aku tidak boleh sendiri?"

Jihoon menggeleng. “Tidak juga sih.”

“Kau ada masalah, Soonyoung? Kuperhatikan kau lebih diam belakangan ini.” Jihoon mencoba langsung ke inti permasalahan.

Soonyoung menatap Jihoon dengan tatapan yang sulit diartikan Jihoon. Jihoon berpikir mungkin Soonyoung sedang mencari alasan yang tepat untuk membohonginya. Soonyoung tidak pandai berbohong, Jihoon tahu.

“Tidak ada. Hanya sedang lelah saja. Kau manis sekali sih Jihoon sampai memerhatikanku.” Soonyoung tertawa. Matanya yang sipit terlihat lebih sipit. Tapi itu tidak membuat Jihoon terhibur sama sekali.

“Kau tahu aku tidak suka dibohongi, kan?”

Soonyoung diam mendengar perkataan Jihoon. Ia tahu kalau ia sudah membuat Jihoon kecewa. Jihoon tidak suka dibohongi dan sekarang Soonyoung sedang mencoba berbohong pada Jihoon. Soonyoung menunduk beberapa saat sebelum ia mengangkat kepalanya dan tersenyum pada Jihoon.

“Kau bisa cerita padaku kalau ada masalah. Tidak perlu ke member lain. Cukup cerita padaku.” Suara Jihoon terdengar kecewa.

“Iya, aku tahu.”

“Kita sudah berteman lama. Apa kau masih tidak memercayaiku? Aku bahkan sudah bercerita banyak padamu. Tidak hanya aku, Soonyoung. Tapi yang lain juga. Kita semua sudah berteman lama.”

Soonyoung diam.

“ Aku tahu kau tidak mau membuat member lain khawatir. Tapi dengan sikapmu yang seperti ini malah membuat mereka khawatir.”

Soonyoung masih diam.

“Aku ingin kau lebih terbuka, Soonyoung. Jisoo hyung tadi datang menemuiku karena khawatir melihatmu duduk sendirian seperti orang stress di sini.”

“Maaf,” kata Soonyoung pelan.

“Jangan menutup diri seperti ini. Bagaimana aku dan yang lain bisa membantumu kalau kau saja tidak terbuka pada kami.” Baru kali ini Jihoon bicara panjang lebar.

Kemudian hening. Tidak ada yang bicara lagi. Soonyoung menunduk dan Jihoon menengadah menatap langit. Menikmati keheningan malam yang menyelimuti.

“Maaf. Kita sudah lelah Jihoon. Kalau aku cerita, aku takut akan menambah pikiran kalian juga. Aku tidak mau. Kita harus semangat agar yang lain juga semangat. Karena itu kalau ada masalah lebih baik aku menyelesaikannya sendiri.” Akhirnya Soonyoung mengungkapkan alasannya.

“Tapi..” Ucapan Jihoon langsung dipotong oleh Soonyoung.

“Iya aku mengerti. Maaf, ya. Aku tidak tahu kalau malah membuat kalian semakin khawatir. Mulai besok aku akan mencoba lebih terbuka.”

“Tapi jujur, kalau sekarang aku memang tidak ada masalah. Hanya lelah. Aku hanya sedang ingin istirahat sendiri,” lanjutnya.

Jihoon mengangguk. Ia mencoba percaya pada Soonyoung. Karena untuk kali ini, Soonyoung terlihat jujur. Mungkin ia memang sedang ingin istirahat sendiri.

“Jangan sakit lagi, oke? Kau terlihat lebih kurus,” ujar Jihoon sambil menepuk pundak Soonyoung.

Soonyoung mengangguk sambil memamerkan senyum khasnya.

“Ya, kau juga. Jangan sampai tambah kecil, hahaha.” Lalu mereka berdua tertawa.

Bukan. Bukan Soonyoung tidak memercayai mereka. Soonyoung hanya tidak ingin menyusahkan mereka. Soonyoung sangat percaya dengan membernya, sungguh. Ia hanya tidak ingin menjadi beban. Tapi mungkin mulai sekarang, Soonyoung bisa lebih terbuka pada mereka. Karena sekarang ia sadar kalau kalau keluarga harus terbuka. Harus melalui susah dan senang bersama.

 

“Terima kasih, Jihoon.”

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet