Deceased Estate

Deceased Estate

DECEASED ESTATE

 

Note: Ditulis semata-mata karena terinspirasi lagu Courtney Barnett yang berjudul Depreston. Entah, tapi lagu itu punya atmosfer unik yang membuatku langsung berpikir, ”damn I’m so gonna write this into a fic” begitu selesai mendengar lagunya. Saya rekomendasikan untuk mendengar lagunya dulu sebelum membaca fic ini supaya lebih dapet feelnya.

 

Sejak great depression melanda, kondisi perekonomian di seluruh negara di dunia mengalami kemerosotan. Di Korea banyak terjadi perusahaan melakukan PHK, terpaksa melakukan rasionalisasi dan mengurangi jam operasional pabrik, perusahaan skala menengah gulung tikar, inflasi perlahan mengerek harga-harga barang. Dan semua orang, jika kita bisa melihat ke dalam kepala mereka, sepertinya dalam kondisi panik.

Sebagai seorang mahasiswi sebenarnya aku tidak begitu merasakan efek resesi. Namun, sebagai seorang musisi independen tentu lain cerita. Bisnis hiburan sedang lesu. Entertainment seakan menjadi opsi kesekian bagi perusahaan dalam memilih langkah marketing. Yang mana hal tersebut tentu saja sangat berpengaruh pada jadwal gigsku. Pada tahap ini tidak ada yang bias kulakukan kecuali berdoa supaya perekonomian lekas normal kembali.

Sempat terpikir untuk menghubungi orang tuaku, meminta mereka membayar biaya semester ini. Kurungkan niat itu. Aku tidak mau mereka khawatir. Atau lebih buruk, mereka memintaku pulang dan tinggal di rumah, fokus kuliah dan berhenti bermusik. Itu adalah hal terakhir yang kuinginkan di dunia ini. Kepercayaan dari mereka yang kuperoleh dengan susah payah tidak akan kusiasiakan hanya karena kekurangan uang jajan.

Dan ngomong-ngomong soal uang jajan, aku sadar akhir-akhir ini aku jarang jajan di convenience store, boro-boro hang out di kafe. Jadwal latihan band ku juga mengalami penyusutan durasi. Belum lagi sewa flat yang juga ikut naik.

Flatku sebenarnya tidak begitu bagus. Hanya saja aku suka atmosfer lingkungan sekitarnya. Tata ruangnya kuserahkan pada Wendy. Dia mahasiswi desain interior jadi dia tahu apa yang dia lakukan. Faktanya, dia sangat menyukai hasil karyanya di flatku. Dia bilang profesornya memberinya nilai A untuk hasil kerjanya. Iya, flatku adalah lab uji coba Wendy. Aku sama sekali tidak keberatan ‘menampung’ perabotan-perabotan artsy dan bergaya kontemporer yang entah darimana dia mendapatkannya. Kunci kedua kuberikan padanya supaya dia lebih leluasa jika sewaktu-waktu membutuhkan flatku ketika aku sedang keluar.

Aku dan Wendy tinggal terpisah di bagian yang berbeda di Seoul. Wendy tinggal tidak jauh dari kampusnya dengan alasan kepraktisan jarak. Alasan yang sama denganku yang tinggal di Myeongdong, pusat indie scene di Seoul. Studio musik representatif dan cafe-cafe yang tidak pernah sepi dengan event adalah habitat yang cocok untukku. Seminggu sekali atau dua kali band ku punya gigs di sekitaran Myeongdong.

Wendy sering datang ke flatku saat weekdays, atau sesekali saat weekend kalau aku tidak ada jadwal perform. Dia akan datang saat makan malam setelah tugas-tugasnya selesai dengan membawa pizza medium, pringles, dan bir yang kami habiskan sambil menjelek-jelekkan selebritis yang muncul di layar tv. Begadang sampai dini hari, memesan delivery order dari restoran china dan pergi kemanapun kami ingin pergi keesokan harinya. Sungguh sangat menyenangkan jika sekali waktu kita bisa menepi dari masalah yang membuat pusing.

Tapi kami sudah beberapa minggu ini melewatkan itu semua karena, sekali lagi, masalah uang menjadi sangat sensitif. Sampai-sampai kami membuat semacam perencanaan keuangan, berusaha agar kami tidak bangkrut. Oke, mungkin takut bangkrut terdengar berlebihan. Titik aman kami adalah tabungan yang tidak boleh disentuh, kecuali dalam kondisi darurat. Sejauh ini kami beberapa kali hampir menyentuh garis batas itu, tergoda untuk memakainya, namun selalu berhasil melalui masa-masa krisis.

Jadi, bagaimana kami melakukannya? Jangka pendeknya tentu saja dengan cara memotong anggaran untuk having fun. Uangnya bisa kami sisihkan untuk keperluan lain yang lebih penting. Jangka panjang untuk mengurangi pengeluaran bulanan, Wendy memaksaku untuk tinggal serumah dengannya. Bukan di Seoul, tapi di daerah suburban yang biaya hidupnya tidak terlalu mahal. Sebagai catatan, gap sewa apartemen di Seoul dan di pinggir kota saja sudah lumayan jauh, sekitar 1:5 perbandingannya. Sementara untuk masalah transportasi, kita nanti bisa naik commuter line untuk pulang pergi ke Seoul seperti ratusan ribu orang lainnya setiap hari.

Aku tidak bisa berkata “tidak” padanya.

So, jadilah sekarang aku dan Wendy berkendara dengan mobil rental ini mencari rumah untuk kami sewa. Wendy yang memegang kemudi tentu saja, karena aku tidak bisa menyetir mobil. Tujuannya pinggiran Seoul dimana sewa rumah disana masih sesuai dengan tabungan kami. Setidaknya sudah 4 rumah kami kunjungi dan kami belum menemukan satupun yang cocok. Kebanyakan karena harganya mahal, sih. Aku membolak-balik brosur yang kami peroleh dari pameran agen dan pengembang perumahan, membacanya satu persatu berharap mendapat satu tempat yang bagus.

“Sana-dong,” aku menunjuk pada papan jalan yang kami lewati. “Apa kita akan melihat-lihat yang ada disini?” Ada satu atau dua perumahan yang lumayan. Kalau melihat fotonya, modelnya sederhana khas perumahan murah pinggir kota. Aku sih tidak masalah. Hanya saja lingkungannya kurang hijau, Wendy pasti tidak akan suka.

“Disini semua overpriced. Kita akan cari yang lebih jauh,” jawabnya, pandangan fokus ke jalan di depannya. “Dan disini agak kering, aku kurang suka,” tutupnya.

Aku memisahkan brosur perumahan yang sudah kami lewati dengan yang belum. Dalam benakku kutulis catatan kecil; Sana-dong Village: No.

“Ok,” jawabku.

Wendy lebih banyak diam sejak kami mengunjungi rumah terakhir. Dia terlihat sedikit lelah walaupun dia pasti tidak akan mengakuinya jika kutanya. Rambutnya yang dicat blonde sudah mulai tergerai dari ikat rambutnya, berayun bebas tertiup angin dari jendela mobil yang terbuka. Ada beberapa yang tersangkut di bibirnya. Dia merapikannya dengan segera, menempatkannya dibalik telinga. Aku merasa bersalah padanya. Seandainya aku bisa menyetir, kita bisa bergantian menjadi sopir selagi yang lain istirahat. Dia mengambil sebuah helaan nafas panjang. Hampir tidak terdengar, namun aku bisa melihat dadanya bergerak teratur seiring hembusan nafasnya.

Diantara kami tidak ada yang berkata-kata dan sama-sama memilih tenggelam dalam pikiran masing-masing. Aku tidak keberatan dengan keheningan ini. Hanya saja kupikir aku perlu pengalih perhatian karena perut ini sudah merengek minta diisi. Tadi pagi aku tidak sempat sarapan dengan layak, cuma makan sepotong pizza sisa semalam. Bukan salahnya juga sih. Kami janjian pukul 09.30 dan aku baru bangun pukul 10.00. Aku benar-benar lupa kami berencana untuk hunting rumah. Yang aku ingat sebelum tidur adalah hari ini aku tidak ada kelas jadi aku tidak usah memasang alarm. Dia menyeretku dari tempat tidur sambil mengomel sesuatu tentang ‘hibernasi’, ‘slacker’, ‘lazy ’, dan sebutan lainnya yang tidak kuingat kalimat utuhnya.

Sepertinya memutar musik bukan ide yang buruk. Kubuka dasbor tempat penyimpanan CD. Aku tidak terlalu berharap banyak akan menemukan sesuatu yang bagus disana karena, well, ini mobil rental. Boy band. Girl band. Hip hop. Hip hop juga. Hip hop lagi. Sudah kuduga. Aku sudah pasrah akan memutar album girlband sebelum akhirnya kutemukan CD paling bawah dalam tumpukan itu. The Barbarettes! Puji Tuhan!

Kutunjukkan CD itu pada Wendy.

“Boleh?”

“Are you kidding? I love The Barbarettes! Please.” Wendy mempersilahkanku untuk segera memutarkan untuknya juga.

Kunyalakan CD player setelah memperoleh anggukan setuju dari Wendy. Alunan musik khas 60an dinyanyikan dengan apik oleh kuartet gadis keren dari Seoul ini. Harmonisasi suaranya sangat cocok didengarkan saat suasana siang hari seperti sekarang. Aku merasa lebih rileks. Tepat saat aku akan memejamkan mata untuk istirahat barang sebentar, handphone dalam saku celanaku bergetar.

2.13 PM

Joy

Jadi bener kalian mau cabut nih? Ah dasar kampret pindahan nggak ngajak2

Ternyata tetangga flatku. Dalam beberapa kesempatan, aku memang pernah menyinggung-nyinggung tentang wacana untuk pindah. Aku tersenyum setelah membaca pesannya untuk yang kedua kalinya. Dia menulis ‘kalian’ walaupun dia tahu aku tinggal sendirian. Sepertinya dia sudah terbiasa dengan kehadiran Wendy di flatku. Bukan hanya berkunjung di akhir pekan, Wendy bahkan praktis tinggal di flatku jika sedang mengerjakan sebuah proyek (atau alasan apapun yang dia pakai agar bisa menginap di flatku). Jadi rujukannya tadi sangat wajar meski aku menemukannya sedikit lucu.

2.15 PM

Me

Iya benar aku akan pindah. Dan jaga bahasamu, Park Sooyoung.

2.16 PM

Joy

Ah lo mah enak bisa dua2an sama Wendy,lha gue mesti ngadepin si childish Yerim sendirian dong hikshiks…

Yerim adalah yang termuda diantara kami yang tinggal satu lantai. Aku memasuki tahun ke 4 di universitas, Joy tahuh ke 3, sedangkan Yerim baru masuk tahun ini. Sifatnya memang masih seperti anak SD; lucu, imut, jail, dan tentu saja menjengkelkan.

2.17 PM

Me

Sekarang dia jadi masalahmu. Cobalah jadi senior yang baik, ok?

2.19 PM

Joy

Lo udah bkn kakak favorit gue lagi. gue benci lo

2.20 PM

Joy

P.s. klo ntar kalian udah pindah,poster landak yang di ruang tv buat gue boleh ya

Obrolan aneh seperti ini adalah sesuatu yang wajar jika mengingat lawan bicaramu adalah Park Sooyoung. Aku tidak heran dengan kontradiksi antara pesannya yang satu dengan yang lain.

2.20 PM

Me

Boleh.

2.21 PM

Joy

Yes! Asik!

2.21 PM

Joy

P.s.s. jangan salah paham,gue masih benci lo

Cih, bocah ini, berhasil juga membuatku terkekeh.

Tingkahku sepertinya tidak luput dari perhatian Wendy. Aku melihat ekor matanya melirik padaku penuh rasa ingin tahu.

Chatting dengan siapa?” tanyanya.

“Oh. Joy. Dia minta poster landak yang kita beli di garage sell waktu itu,” jawabku dengan senyum.

“Biar saja dia mengambilnya. Dia anak baik. Kita nanti bisa cari yang lebih lucu.”

“Sudah kuijinkan, kok.” Aku menjelaskan. Wendy hanya membalas dengan anggukan kepala.

Tak lama kemudian kami melewati sebuah stasiun. Wendy meberitahuku bahwa kami akan mencari di dekat sini saja. Cukup beralasan mengingat umumnya semua penopang kebutuhan hidup sehari-hari ada di sekitar stasiun. Kamu bisa menemukan apapun disana; toko swalayan, restoran, cafe, perkantoran, bioskop, apapun. Aku bahkan pernah melihat siaran berita di televisi yang meliput stasiun yang menyediakan museum di dalam gedungnya. Orang-orang juga sering menjadikan stasiun sebagai spot janjian, apakah itu kencan buta atau meeting pekerjaan

“This is our check point,” katanya, dan aku mengangguk setuju. Setelah memarkir mobilnya, kami menuju foodcourt untuk makan siang terlebih dahulu. Teriknya siang ini benar-benar kurasakan sengatannya di kulitku begitu keluar dari mobil. Ini bahkan belum masuk bulan Juli tapi weather report di handphoneku menunjukkan angka 34°c.

Kantinnya sepi. Hanya ada beberapa orang sedang menikmati makan siang mereka yang terlambat. Aku memesan sandwich besar dan bubble tea. Wendy hanya memesan diet coke. Katanya dia perlu menurunkan berat badannya sedikit lagi jadi dia tidak makan. Aku bilang padanya dia tidak usah mengkhawatirkan berat badannya dan dia berkata kalau orang sepertiku yang tidak pernah naik berat badannya  tidak akan mengerti. Jadi aku diam dan terus mengunyah.

Kami melihat brosur perumahan disini sekali lagi sambil menunggu pesanan kami datang. Wendy menyukai sebuah rumah kecil dan kesanalah kita akan menuju. Dia menelfon agen perumahan untuk reservasi guide kami nanti. Jujur aku tidak melihat ada yang istimewa dari rumah itu, tetapi mata seorang designer mungkin melihat dengan cara yang berbeda dengan orang awam. Terserah dia saja lah.

Pesanan kamipun datang. Kukeluarkan notes dan pulpen dari dalam tas. Kutuliskan apa pun yang terlintas di pikiranku sambil mengunyah sandwichku.

“Sedang menulis apa?” Dia menjulurkan kepalanya berusaha mengintip apa yang sedang kutulis.

“Kamu, kurasa,” kujawab sekenanya. Aku baru menulis dua kalimat dan ini bisa mengarah kemana saja. Mungkin nanti iya, ini tentang dia.

“Aww.. you’re too sweet.” Dia mengatakannya dengan terlalu antusias. Nadanya suaranya meninggi dan senyumnya yang lebar menampakkan deretan giginya yang putih. Aku tidak suka Wendy yang cute. Tapi aku suka saat Wendy bertingkah cute karena aku. Apa itu masuk akal?

Oh dan dia sangat berisik dan tidak bisa diam. Dia akan selalu menemukan sesuatu untuk dibicarakan. Dia orang yang sangat ekspresif, melebihi semua orang yang kukenal. Tidak ada aura yang terpancar dari wajahnya kecuali rona positif. Dia benar-benar pandai berakting seperti tidak punya beban hidup. Aku salut padanya untuk yang satu ini. Sepertinya pameo yang mengatakan kalau ‘keluarga bahagia melahirkan pribadi yang hangat’ bukan isapan jempol semata.

“Apa kamu kangen Kanada?”

Pertanyaan begitu saja meluncur dari mulutku memotong pembicaraannya. Aku tahu dia dari tadi sedang membahas film artis idolanya yang baru saja rilis, tapi semua orang juga tahu kalau aku payah kalau masalah ngobrol.

“Heh? Kok tiba-tiba menanyakan tentang Kanada? Well yeah, tentu lah aku kangen Kanada. Kangen ayah, ibu, kakak. Kangen rumah juga.” Matanya menunjukkan kalau dia begitu tulus. Dia mulai menerawang langit-langit kantin yang menjadi kanvas potongan gambar-gambar memori masa kecilnya dulu.

“Bagaimana rupa rumahmu di sana? Seingatku, kamu belum pernah menceritakannya padaku sekalipun.”

Hanya 2 detik matanya menengok ke mataku dan kemudian menatap langit-langit lagi saat gambar-gambar itu ia tuangkan dalam kata-kata.

“Halamannya luas, rumputnya hijau, bunga-bunga yang aku tidak tahu namanya tumbuh di pekarangan. Ibu selalu merawat tanaman itu dengan baik. Ada pohon maple yang sangat rindang di musim semi tetapi sangat merepotkan di musim gugur karena aku dan kakakku harus menyapu daun-daun yang berguguran di halaman. Aku dan kakakku selalu berdebat dengan ayah karena kami ingin membuat ayunan disitu tapi dia terus saja melarangnya.”

Aku bisa bilang bahwa sekarang dirinya sedang berada di Kanada, bukan di Korea Selatan. Mungkin menyerupai keadaan seperti saat kamu merindukan seseorang sampai-sampai kamu memimpikan orang itu dalam tidurmu. Rindu adalah kata yang sangat kuat, tetapi tidak cukup kuat untuk mengalahkan ruang dan waktu. Jadi yang bisa kita lakukan adalah mengenang. Seperti apa yang sedang Wendy lakukan sekarang.

“Rumah kami berdinding batubata coklat dengan kayu putih selaras dengan pagar depan. Selayaknya tipikal rumah di Amerika Utara, kurasa. Not big, but it was packed with stuff, you know. My mom is a photographer so she’s like randomly hung up a lot of photographs she took. Aneh juga, sih. Kebanyakan orang kan memajang lukisan. Tapi yah, ibuku tidak seperti kebanyakan orang. Lagipula foto-fotonya itu sangat bagus jadi kami tidak bisa protes.”

Dia mengakhiri cerita dengan satu hembusan nafas panjang. Pandangannya dia alihkan ke jendela kaca, tangannya memainkan selang dalam botol minumannya.

Caranya menuturkan cerita benar-benar menumbuhkan empati dalam hatiku. Aku seperti merasa sudah pernah tinggal disana walaupun aku belum pernah melihatnya sama sekali. Rumahku tidak jauh dari flatku tinggal sekarang, sekitar 30 menit perjalanan dengan bus. Aku bisa pulang kapanpun aku mau. Tapi Wendy tidak punya keistimewaan itu. Rumahnya ada di belahan lain bumi ini, dipisahkan oleh samudera Pasifik. Dan ketika aku menyadarinya, semakin jelas alasan kenapa aku ingin sekali melindunginya.

Setelah kuperhatikan, rumah pilihannya ini memiliki kesamaan penampilan dengan rumahnya di Kanada, atau setidaknya begitulah rumah Wendy dalam bayanganku. Tentu saja itu hal yang natural dan aku bisa mengerti alasan emosionalnya. Ketika kita berada di lingkungan asing, kita secara naluriah akan memiliki preferensi dengan hal yang paling familiar atau punya kemiripan dengan lingkungan yang dulu. Well, aku tidak keberatan tinggal di rumah yang seperti apa pun selama dia ada bersamaku.

“Sudah selesai makannya?,” tanya Wendy setelah kembali dari lamunannya. Aku mengangguk. “Sebentar, aku tanya kemana arah jalannya dulu,” dia berjalan ke meja bar. Aku merapikan semua barang-barang kami ke dalam tas. Sebelum beranjak, kuhabiskan apapun yang tersisa di gelas itu. Hambar lelehan es batu membasahi tenggorokanku yang kering. Wendy memberi kode dia sudah menyelesaikan semua urusan disini dan saatnya melanjutkan perjalanan.

Wendy memacu mobil menuju alamat yang dia peroleh dari steward tadi. Setelah 10 menit pemandangan membosankan, kami sampai di sebuah komplek perumahan. Deretan rumah-rumah tua yang catnya kusam dan mengelupas, rerumputan liar di halaman hampir setiap rumah, tembok-tembok penuh graffiti. Sepertinya lingkungan ini sudah ditinggal peradaban bertahun-tahun yang lalu. Daerah ini kelihatannya sangan muram.

Di ujung jalan kami melihat polisi sedang melakukan penggrebekkan di salah satu rumah. Seorang lelaki yang aku yakin adalah pelaku kajahatan, digiring keluar rumah dengan tangan diborgol. Wajahnya datar, tak membuka mulut sedikitpun saat polisi memasukkannya ke dalam mobil.

“Kesan pertama yang, mengejutkan,” aku melirik Wendy untuk melihat bagaimana reaksinya. Karena memang jujur ini baru pertama kalinya dalam hidupku aku menyaksikan sebuah penangkapan penjahat secara langsung. Sedikit mengerikan membayangkan kemungkinan-kemungkinan apa yang telah diperbuatnya sampai bisa ditangkap. Entah apapun itu, yang pasti itu telah membuat penilaianku terhadap tempat ini semakin buruk.

“Oh my god,” Wendy terkesiap dan langsung menutup mulutnya dengan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya masih memegang kemudi.”That’s terrible.”

“Kamu tidak takut?”

“Terkejut? Iya. Takut? Tidak. Why should I? Dia sudah ditangkap, kok.” Masuk akal. Sudut pandang yang bagus, Tupai kecil.

“Iya tapi bagaimana kalau dia salah satu anggota geng? Mereka biasanya punya massa yang banyak.”

“Geng hanya berkelahi antar sesama geng, Sseul. Dan kalau mereka mau balas dendam, mereka akan melakukannya pada polisi yang menangkapi rekan mereka, bukan pada orang biasa di jalan. Mengerti maksudku?”

“Itu tidak mengubah kenyataan kalau daerah ini rawan.”

Look, kejahatan terjadi dimana saja. Bahkan di daerah bonafid seperti Gangnam pun ada kriminalitas. Tapi toh itu tidak mengubah anggapan orang terhadap tempat itu, kan? Satu kiriminal random yang kita lihat secara tidak sengaja tidak bisa membuktikan apapun tentang status tempat ini, Sseul.”

“Menurutku itu patut dijadikan bahan pertimbangan. Kita sebaiknya jangan terburu-buru.”

Exactly! Kamu terlalu dini menyimpulkan tempat ini tidak layak huni.”

“Aku tidak mau kamu mengambil keputusan gegabah.”

“Aku gegabah? No. I’m being rational. You, are being judgemental and paranoid. Aku mengerti kekhawatiranmu dan aku mengapresiasinya. Semua akan baik-baik saja, percayalah. Lagi pula, kau kan punya sabuk hitam Taekwondo. Jika mereka menggangguku, kau akan menendang bokong mereka, iya kan?”

Aku akan menendang bokong mereka, hanya setelah kupatahkan hidung mereka.” Aku mengutip tokoh jagoan film yang pernah kutonton. Aku harap aku terlihat keren saat mengatakannya.

Good,” Wendy tersenyum. “Jadi sekarang pikirkan hal yang lebih penting daripada debat konyol ini. Seandainya kita jadi tinggal disini, kita harus menempuh jarak dari stasiun menuju kesini sekitar 7 menit dengan mobil atau 30 menit jalan kaki. Kau tidak akan memperbolehkanku berjalan sendirian di tengah malam dan sudah jelas kita tidak mungkin naik taksi terus tiap hari. Jadi bagaimana menurutmu?”

Kata ‘seandainya’ dalam kalimatnya tadi sudah mengalami distorsi. Tepat setelah dia menyelesaikan pertanyaannya, saat itu pula aku tahu bahwa kami akan tinggal disini. Tidak ada ‘seandainya’ lagi.

Jadi aku sebaiknya mulai berpikir untuk mencari jawaban atas pertanyaannya barusan. Tidak butuh waktu lama untukku menemukan jawaban, sebenarnya. Ingatanku kembali ke kantin tempat kami makan siang. Di sampingnya terdapat sebuah palang besi memanjang dengan kaki-kaki yang bercabang-cabang, terlindungi kanopi hijau. Ada dua baris, disana. Deretan sepeda berjejer rapi terkunci pada jeruji mereka, beberapa digembok. Aku menebak kantin itu juga menerima penitipan sepeda.

“Kita bisa membeli sepeda. Nanti kita bisa titipkan di kantin tempat kita makan siang tadi. Kalau tidak salah tadi aku melihat ada tempat khusus untuk memarkir sepeda.”

“Sounds like a plan to me. Hei tunggu, kupikir ingatan fotografismu buruk.” Dia mengejekku. Tapi kali ini aku tidak akan menerima pukulannya begitu saja.

“Kau terlalu meremehkanku,” jawabku mempertahankan harga diri. “Aku bahkan ingat setiap senti lekuk tubuhmu sampai detil terkecil.” Tentu kalimat yang kedua itu tak kuucapkan. Aku tidak mau terdengar terlalu obsesif, atau lebih buruk, seperti orang mesum. Dan aku bukan orang mesum! Ditambah lagi, mengatakan hal tersebut hanya akan membuatnya semakin besar kepala.

Dan akhirnya kita pun sampai. Keadaan lingkungan disini nyaris tidak ada perbedaan dengan perumahan yang baru saja kami lewati. Lebih banyak lagi rumah-rumah usang, sampah koran dan plastik belanjaan berterbangan, mobil-mobil mogok di pinggir jalan. Beberapa diantaranya tertera kalau rumah-rumah itu dijual atau disewakan. Yang disegel garis polisi pun ada.

Kami berhenti di pinggir jalan di depan rumah dengan plang “DIJUAL/DISEWAKAN” yang sudah mengelupas cat dari kayunya. Disebelahnya ada seorang agen perumahan, laki-laki 40an, memegang kertas betuliskan “Nona Wendy Son” dengan senyum yang ramah. Hampir terlalu ramah. Aku mendapat kesan kalau orang ini akan memberikan apel kepada kami dan menikam kami dari belakang saat kami lengah. Aku tidak suka orang ini. Aku kadang terkejut sendiri kenapa aku bisa menjudge orang begitu cepat.

“Ini dia agen kita. Ayo turun dan melihat-lihat rumahnya.”

Aku bahkan tidak ingin keluar dari mobil. Kenapa aku harus turun? Aku kurang suka lingkungan ini. Dan aku tidak suka orang itu.

Atau paling tidak sebelum mata Wendy melotot ke arahku. Dia sepertinya bisa membaca pikiranku dan berrencana untuk melakukan hal-hal keji padaku kalau aku bersikeras tak mau turun. Karena aku masih ingin hidup jadi mau tak mau akupun membuka sabuk pengaman dan turun dari mobil.

“Selamat siang. Selamat datang di Songgonghae Residence. Saya Park Yiran, agen perumahan Anda. Maaf sebelumnya, yang mana diantara kalian yang bernama Wendy Son?” kata agen itu sambil menuntun kami menyusuri halaman rumah. Wendy memberikan kode bahwa dia yang bernama Wendy. Aku mungkin terlalu berlebihan, tapi gesture dan ekspresi wajahnnya seperti ingin mengatakan kalau diantara kami berdua dialah yang lebih dominan. Aku merasa sangat inferior.

“Ah, sudah saya duga,” kata agen itu setengah menyeringai. Apa aku sudah bilang kalau aku tidak suka pada agen ini?

Kamipun masuk ke rumah setelah agen itu bersusah payah membuka kunci pintunya yang kutebak sudah berkarat. Harus aku akui walaupun ini rumah tua yang dari luar terlihat kurang menarik, namun kondisi di dalam cukup baik. Semuanya dalam keadaan terawat apik, rapi dan bersih. Aku senang perkiraanku salah. Semoga seluruh ruangan di rumah ini sama baiknya kondisinya dengan ruang tamu ini.

Dan bukankah logika orang disini sedikit aneh? Rata-rata orang mempercantik tampilan luar rumah mereka untuk menampilkan kesan mereka hidup berkecukupan, walaupun sebenarnya cuma pas-pasan. Biasa, show off demi memperoleh pengakuan dari masyarakat. Sesuatu seperti “hei lihat, kami punya tanaman eksotis dari Indonesia di pekarangan” atau “kami baru membeli sepasang guci besar yang mengkilap dari Dinasti Ming, ada di pintu masuk rumah, apa kalian melihatnya?” Justru kebalikannya, mereka malah menjaga barang-barang yang ada di dalam rumah.

“Lihatlah ke atas. Pressed metal ceilings, masih dalam kondisi prima. Bagus bukan?” kata agen itu saat memulai tur kami. Si agen mulai menyampaikan gambaran umum kondisi rumah ini. Yang mana itu tidak berguna karena dia tidak menjelaskan apapun selain apa yang kami lihat. Menurutku ini tidak lebih dari sekedar basa-basi ramah tamah korporasi saja. Apa benar orang ini kompeten?

Tiba-tiba terdengar suara ringtone handphone berbunyi. Itu bukan milikku, dan bukan milik Wendy juga.

“Ah, saya harus menerima telfon penting dulu. Silahkan teruskan melihat-lihat. Kalau ingin bertanya, nanti setelah ini ya,” katanya terburu-buru mengambil handphone dari saku celananya. Dia lalu bergegas keluar. Dia sama sekali tidak berusaha menyembunyikan kemesraannya mengobrol dengan nada yang dibuat-buat. Ugh. Bukannya aku ingin dia terus ada disini, tapi meninggalkan customer untuk menerima telfon ‘penting’ itu sungguh tidak sopan. Aku mendengar Wendy mendengus. Sepertinya dia juga kesal dengan orang ini.

Apa boleh buat, kami berjalan menuju kamar mandi tanpa pendampingan. Aku rasa obsevasi sendiri tidak terlalu buruk daripada harus bergantung pada orang itu.

Kamar mandinya berkeramik putih bersih dilengkapi handrail di sepanjang dindingnya yang juga putih. Tirai showernya pun juga putih. Aku merasa sedang berada di rumah sakit sekarang, mengingatkanku saat aku menjenguk nenek berobat beberapa bulan yang lalu. Melihat penampakannya, kusimpulkan bahwa yang tinggal di sini sebelumnya pasti orang tua. Kunyalakan kran air dan showernya. Keduanya masih berfungsi dengan baik. Selanjutnya kami menuju dapur.

Tidak ada yang menarik, sama seperti dapur-dapur rumah biasa yang pernah kulihat. Hanya saja yang membedakan adalah koleksi kaleng-kaleng kopi, teh, susu, dan tepung dalam berbagai ukuran yang berjejer rapi di sebuah rak kayu dari mahoni. Serius, orang macam apa yang mengoleksi kaleng bekas? Pertanyaan ini sangat menggelitik syaraf keingintahuanku. Menurutku dia mengumpulkannya bukan untuk hiasan rumah atau alasan estetis, tapi mungkin lebih karena alasan sentimental.

“Aku tidak akan membuangnya,” Wendy membangunkan lamunanku. Dia melihat satu-persatu kaleng-kaleng itu, mendekatkan matanya mencoba membaca apa yang tertera di sana. Kami bahkan belum berunding apakah kami akan mengambil rumah ini atau tidak, tapi dia sudah mengeluarkan statement seolah-olah kami telah sepakat untuk mengambil rumah ini.

Lanjut ke ruang tengah, terdapat sofa besar berwarna hitam lengkap dengan coffee table di depannya. Kususuri permukaannya dengan tanganku. Kutemukan ada lubang-lubang kecil di beberapa sudutnya. Pasti bekas terbakar abu rokok.

“Coba lihat ini,” Wendy mengajakku melihat sebuah foto yang digantung di dinding ruangan. Sebuah foto hitam putih seorang prajurit muda berpose di depan mobil militer berbendera Korea Selatan. Mungkin foto ini diambil saat perang Korea berlangsung.

“Apa kamu pikir ini foto penghuni rumah sebelumnya?” Wendy masih terpaku pada foto itu.

“Mungkin,” jawabku.

Kemudian terdengar langkah kaki mendekati kami. Si agen sudah selesai pacaran rupanya.

“Bagaimana, apa kalian menyukai rumah ini?,” tanya agen itu dengan senyum super ramahnya. Matanya bergerak mondar-mondir menatap kami berdua bergantian.

“Sayang sekali, kami berdua tidak terlalu menyukainya. Ada retakan tembok di sana-sini. Ini adalah masalah yang sangat  vital karena menyangkut keamanan dan keselamatan kami. Perabotannya juga sudah banyak yang usang. Mungkin tidak bisa dipakai lagi. Dan jangan paksa aku untuk membicarakan kacaunya halaman belakang. Kami rasa kami tidak akan mengambil rumah ini,” pungkas Wendy dengan meyakinkan.

Tunggu dulu. Pasti ada sesuatu yang aku lewatkan. Aku tadi tidak melihat hal-hal yang dia keluhkan barusan. Dan lagi, sampai beberapa saat yang lalu dia adalah orang yang paling antusias menginginkan rumah ini. Apa yang terjadi?

“Benarkah? Kami adalah agen perumahan terbaik di kota ini, Nona. Kami melakukan perawatan secara kontinu pada setiap unit yang kami jual. Anda jangan mengada-ada,” timpal si agen melakukan pembelaan.

“Aku tidak mengada-ada. Anda adalah pihak penjual, seharusnya Anda lebih tahu dan paham terhadap kondisi rumah ini. Kalau tidak percaya silahkan cek saja sendiri. Atau aku yang harus menunjukkannya padamu?”

Apa sebenarnya yang ingin dia lakukan, aku tidak tahu pasti. Yang jelas sekarang mata mereka saling beradu satu sama lain dengan intens. Satu pihak mencoba mengintimidasi pihak lawannya.

“Anda mungkin berkata benar, Nona. Namun bukan hanya sekali dua kali saja aku bertemu dengan calon pembeli yang memakai cara ini untuk negosiasi. Harus kuakui Anda cukup jeli dan cerdas walaupun masih muda.”

Wendy menyeringai mendengar pengakuan dari agen itu.

“Apa itu artinya kita akan menyepakati 20% potongan harga?”

“Saya tidak bisa menjamin akan bisa memberikan lebih dari 15%, Nona Son.”

“Itu masih terlalu mahal untuk sebuah rumah tua. Kami bisa mendapat rumah baru dengan harga yang sama dengan rumah ini.”

“Terserah Anda saja. Lagi pula, bukan saya yang jauh-jauh datang dari Seoul ke sini hanya untuk melihat-lihat rumah tua. Jika Anda ingin tinggal di rumah baru, Anda akan ke Suwon dan bukannya kemari.”

“Benar kami memang mencari rumah yang harganya reasonable. Tapi melihat kondisi rumah ini kami khawatir kami akan mengeluarkan biaya ekstra untuk renovasi.”

“Kalau Anda punya 500 juta Won, Anda bisa merobohkan rumah ini dan membangun rumah yang baru di atasnya,” agen itu tersenyum sinis.

Wendy terdiam sejenak.

“Deal.” Wendy menjawab dengan pasti. Dia bahkan tidak meminta pendapatku. Tapi itu sama sekali bukan kejutan.

“Keputusan yang tepat, Nona,” mereka lalu bersalaman tanda kesepakatan. “Kalau begitu saya akan menyiapkan dokumennya. Tunggu sebentar.” Agen itu kemudian meninggalkan kami berdua untuk mengambil dokumen di mobilnya.

“Kita dapat harga bagus,” kata Wendy padaku begitu agen itu hilang dari pandangan kami.

“Tentu saja. Agen penjual mana yang akan menawarkaan harga tinggi untuk rumah yang berada di lingkungan seperti ini?”

“Apa kamu kesal?”

Apa wajahku terlalu kentara?

“Kamu tidak memberikanku kesempatan untuk menyamapikan pendapatku. Iya, aku memang sedikit kesal.” Aku berkata terus terang. Bertahun-tahun mengenalnya aku sudah belajar bahwa adalah sebuah kesia-sian menyimpan rahasia dari Wendy. Dia pasti tahu. Dia pasti akan tahu.

“Ooh..my Teddy Bear is upset.” Dari sekian banyak nickname yang dia berikan untukku, barangkali Teddy Bear adalah salah satu yang kurang kusukai. Sebenarnya yang pertama kali memanggilku Teddy Bear bukan Wendy sih, tapi salah seorang seniorku di kampus. Setelah itu entah bagaimana tiba-tiba semua orang juga memakai nickname itu untukku. Mereka bilang aku mirip boneka beruang? Yang benar saja. Kedengaran sangat kekanak-kanakan. Aku dan Teddy Bear bahkan berbeda gender.

“Kemarilah.” Dia menuntunku ke ruang tengah yang bersebelahan langsung dengan garasi. “Kau lihat, muat untuk dua mobil.”

“Iya tapi untuk apa? Kita bahkan tidak punya mobil.”

Dia tersenyum kecil. Seperti senyum yang kamu berikan kepada anak lima tahun yang tidak tahu apa-apa.

“Di sini kamu bisa menyimpan semua peralatan musikmu yang banyak itu. Kamu juga bisa latihan di sini dengan bandmu untuk menhemat biaya sewa studio. Kudengar banyak band besar yang memulai karir bermusik dari garasi rumah mereka. Tidakkah itu akan memberimu sedikit enerji dan motivasi tambahan?” Telingaku sepertinya mendengar sedikit kepahitan dari kalimat-kalimatnya barusan. Namun, mataku tidak menemukan apapun selain kepercayaan dirinya.

Aku harus bilang kalau aku cukup tersentuh. Dia sudah mempersiapkan ‘studioku’ sementara aku bahkan belum memikirkan sampai sejauh itu. Yang menjadi prioritas utamaku sekarang hanya mencari tempat tinggal yang layak dan nyaman. Hal-hal lain itu urusan nanti.

Aku sama sekali tidak keberatan. Ini adalah ide yang bagus. Garasi ini sepertinya memang cukup lega sekalipun nanti diisi peralatan musik bandku.

“Hmm..Wendy yang cerdas memang bisa diandalkan,” aku merespon dengan tambahan dua jempol untuknya. Dia tersenyum bangga mendengar pujianku.

Agen itu datang membawa dokumen kami. Wendy mengisi data diri dan beberapa tanda tangan ia bubuhkan di atas lembaran kertas tersebut sebagai bukti rumah ini telah kami sewa dengan kentuan-kentuan sesuai perjanjian. Setelah itu dia mengeluarkan kartu kreditnya untuk membayar uang muka sewa sebagai mahar. Si agen kemudian berterima kasih dan menyerahkan satu set kunci rumah (ada banyak sekali kunci disitu, by the way) pada Wendy.

“Baiklah, saya akan berada di kantor pemasaran dari pukul 9 sampai pukul 5, jika Anda membutuhkan sesuatu silahkan hubungi nomor kami. Saya berharap semoga Anda akan betah tinggal disini. Selamat sore, Nona Son. Anda juga Nona…” dia mengarahkan pandangan padaku dengan keramahan yang berlebihan. Apa aku saja yang merasa demikian atau orang lain juga beranggapan senyumnya ini memuakkan, aku penasaran. Karena akan lebih nyaman bagiku kalau dia bermuka datar saja, sebenarnya. Sial, aku tidak seharusnya membiarkan dia mempengaruhi moodku.

“Kang. Nona Kang,” Wendy menjawab untukku.

“Nona Kang. Permisi.” Kami saling membungkukkan kepala tanda terima kasih.

Akhirnya pergi juga dia dari pandanganku, fyuh. Segera setelah agen itu pergi, Wendy menggenggam tanganku, memintaku untuk mengikutinya. “Come.”

Selagi kami berjalan melewati ruang demi ruang rumah ini, dia menjelaskan semua ide-ide yang ingin dia lakukan dengan ruang itu. Aku adalah orang yang melakukan segala sesuatu selangkah demi selangkah. Jadi bagiku itu cukup mengagumkan mengingat dia baru berada di sini kurang dari satu jam yang lalu.

“Aku tahu kamu hanya bisa menulis di tempat yang susananya tenang. Aku yakin kamu akan mendapat banyak inspirasi di tempat ini karena, seperti yang kamu bilang, tempat ini kan perumahan mati,” katanya tanpa mau repot-repot  memberikan gestur tanda kutip pada kata benda terakhir kalimatnya.

Dia benar. Setiap kalimatnya barusan adalah fakta tentangku. Aku biasa menulis dan mengkompos lagu selepas dinihari. Kesunyiannya membantuku berpikir tajam dan berimajinasi dengan bebas. Selain itu, setiap bunyi-bunyian dengan mudah mengalihkan perhatian dan membuyarkan konsentrasiku. Aku yakin kebanyakan artis akan berpendapat yang sama denganku.

Wendy kembali menuju dapur. Sekatnya terbuat dari kaca jadi kita bias memandang langsung ke halaman belakang.

“Kita bisa membereskan kebun belakang bulan depan setelah ujian semester selesai sambil memilih tanaman apa yang akan kita tanam nanti. Aku akan minta bantuan seniorku, Joohyun, dia paling expert kalau masalah desain pertamanan. Dia sudah punya bisnis sendiri, lho. Lumayan kan kita nanti dapat bantuan professional secara gratis,” dia menejelaskan dengan antusias.

Ada jeda sebentar setelah dia menyelesaikan kalimatnya. Dia menerawang halaman belakang yang ditumbuhi rerumputan setinggi lutut. Ada naungan yang tiangnya sudah roboh. Payungnya yang cukup lebar dan bermotif pelangi, robek disana-sini. Aku hampir saja tidak melihat ada kursi malas tergeletak dibaliknya. Wendy mungkin akan membuat halaman belakang ini seperti kebun ibunya di rumah.

Sudah sekitar tiga menit dia melamun. Aku mencoba untuk tidak menggangunya karena aku tahu ini adalah ‘waktunya’. Dia akan selesai kalau dia sudah selesai. Aku sudah menegenalnya cukup lama untuk tahu kebiasaannya ini.

Dia melepakan nafas panjang kemudian menatapku dengan senyuman. Tidak satu katapun keluar dari mulutnya. Dia tahu kalau akau tahu. Yup, dia sudah selesai. Sekarang dia menuntunku kembali ke ruang tengah.

“Do you think we should change the floorboards? Yang di bagian ruang tengah ini  sepertinya ada bagian yang kurang bagus. Eh, tapi nanti jadi boros, ya? Tidak diganti juga tidak apa-apa sih. Terserah kau saja.” Wendy masih terus memberondongku dengan rencana-rencananya untuk rumah ini.

Jujur saja, aku tidak dalam kondisi untuk mengomentari kayu lantai rumah ini. Aku bahkan tidak tahu apakah rumah ini menghadap ke utara atau selatan. Yang aku tahu,partnerku yang pendek ini sudah melakukan pekerjaan yang impresif. Secara teknis memang belum melakukan pekerjaan sih, tapi dia punya pandangan yang visioner, dengan ide-ide bagus yang aku yakin akan cocok jika nanti diterapkan.

Dan tiba-tiba itu terjadi begitu saja. Sesuatu yang baru saja kusadari menghantam kepalaku dengan sangat keras. Menohok di dada sampai kurasakan nyeri di hatiku, fisik maupun mental. Aku sama sekali tidak siap dengan kesimpulan logis yang harusnya selama ini kupahami. Aku tidak suka dengan cara bagaimana ini semua terungkap. Karena dengan tiba-tiba semua hal yang kuyakini pecah berantakan dengan sekali jentikan jari.

Aku adalah orang dengan prinsip. Aku akan berpegang teguh dengan prinsipku dan mempertahankannya jika ada orang yang meragukannya. Itu adalah sedikit dari hal-hal yang menjadi kebanggaanku. Bahkan jika orang tersebut adalah orang tuaku sekalipun. Dan aku sudah sering melakukannya. Hanya saja, sekarang orang yang meragukannya tidak lain adalah diriku sendiri.

Aku hampir kehilangan keseimbangan. Aku perlahan mundur setapak demi setapak, kedua tanganku meraba-raba mencari tempat bersandar. Begitu tanganku merasakan kulit sofa yang lembut dan sedikit berdebu itu, aku langsung terduduk. Aku mungkin malah sedikit membanting tubuhku. Jelas aku sudah tidak punya kontrol atas tubuhku sendiri sekarang. Aku menguburkan wajahku kedalam kedua telapak tanganku. Aku merasa malu. Lebih dari itu, aku tidak yakin bagaimana aku harus berreaksi setelah menyadari semua ini. Wangi parfum Wendy yang menempel di telapak tanganku justru membuatku semakin nervous.

“Ada apa?”

Wendy bertanya. Tentu saja dia akan bertanya. Dia memandangku dengan seksama dari atas sampai bawah dengan mata yang memperlihatkan kekhawatiran. Aku punya opsi untuk tidak menceritakannya. Aku akan selalu punya alasan untuk itu dan jika aktingku cukup meyakinkan maka Wendy akan mempercayainya. Tapi itu terdengar sangat salah dan akan menempatkanku sebagi orang jahat dalam hubungan ini.

“Aku hanya.. sungguh bodoh..,” aku membuka tanganku. Aku terdengar lebih rapuh dari apa yang aku inginkan. Suaraku tidak menunjukkan apapun selain kegugupan dan keputusasaan. Jika dia tidak bisa melihat dari suaraku maka dia pasti sudah melihat dari raut wajahku. Ototku menegang, kurasakan suhu badanku mulai menghangat.

Hey, what’s wrong?.”

Wendy kemudian duduk disampingku, menuntunku untuk bersandar pada sofa. Kedua tangannya dia letakkan di pundakku. Dan ketika mata kami bertemu, aku merasa lemah.

“Entahlah. Aku baru menyadari satu hal setelah kita mencari rumah sepanjang hari ini.”

“Dan satu hal itu adalah…?”

Aku menarik nafas, melepaskannya perlahan dengan harapan semua kegugupanku juga terbawa olehnya. Tapi ternyata tidak demikian. Aku masih kesulitan menemukan kata-kata yang akan mewakili semua pikiraanku. Wendy masih dengan sabar menunggu sedangkan otakku menolak bekerja setelah dikalahkan gengsi. Mungkin yang terbaik adalah dengan mengatakan yang pertama kali terlintas di benakku tadi.

“Bahwa kau sangat bisa diandalkan sedangkan aku kebalikannya. Bahwa kau selalu melindungiku sedangkan selama ini aku mempercayi sebaliknya. Bahwa kau selalu mengerti aku saat aku tidak. Aku sudah jelas lebih banyak menerima daripada memberi. Dan aku terlalu bodoh untuk menyadarinya. Maafkan aku..”

Itu dia sudah keluar. Aku takjub mengingat aku mengatakannya dengan lancar tanpa sela. Aku mungkin akan kagum pada diriku sendiri jika konteksnya bukan seperti sekarang.

“Don’t say that. You’re the best girlfriend everyone could ever dreamed of!”

Kulihat dahi Wendy merengut. Kedua alisnya hampir tak berjarak, keheranan seolah-olah aku baru saja mengatakan hal yang paling absurd yang pernah dia dengar sepanjang hidupnya. Lebih dari itu, nada bicaranya yang meninggi menunjukkan ketidaksepakatan pendapat denganku. Dia sepertinya sedikit kesal.

“Aku bukan…”

“Yes! Yes you are, Kang Seulgi! Dan jangan kau coba untuk mengatakan hal yang sebaliknya. Responnya instan, memotong jawabanku.

“Benarkah?”

Damn right you are! Do I need to break it down to you? Okay first, you’re cute. You maybe a little bit stupid, but you’re cute.”

Aku tahu Wendy sedang mengetest permukaan air, memperhatikan setiap perubahan garis wajahku. Aku menerima pujiannya, walaupun itu dibalut dengan ejekan. Aku tersenyum padanya dan dia juga tersenyum dengan kebanggaan karena telah berhasil membuat moodku membaik.

“You’re funny sometimes, enough to brighten my day. You always listening to my worries when nobody doesn’t. You ease my doubts and you always, always care about me. You give your whole heart into our relationship and put it before anything else. And I’m always happy everytime we spending time together. Apa perlu kulanjutkan listnya?”

“Kau berlebihan. Aku tahu kau mengatakannya hanya untuk membuatku merasa lebih baik.”

“Dengar, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Iya benar aku memang mengatakannya untuk membuatmu merasa lebih baik. Tapi tidak lantas menutupi fakta bahwa yang kukatakan barusan itu sebuah kebenaran. Kau tidak perlu melakukan apapun. Selalu berada di sampingku saja sudah cukup.”

 “Terima kasih.”

Aku berbohong jika mengatakan kalimat-kalimat Wendy membuatku merasa lebih baik. Itu sebuah anggapan yang terlalu merendahkan. Karena sebenarnya aku merasa gembira. Aku senang karena hal-hal sepele dan bahkan hal-hal yang tidak kurencanakan ternyata berarti bagi Wendy. Persetan dengan gengsi dan prinsip. Itu menjadi prioritas kesekian ketika harus dihadapkan dengan kebahagian orang-orang yang kita sayangi. Jika ada hal yang aku pelajari dari semua ini adalah bahwa hal paling pokok saat menjalani komitmen adalah saling pengertian dan selalu berkompromi.

Wendy memegang erat kedua tanganku. Aku membayangkan dia akan mengatakan sesuatu seperti “it’s all okay, everything is gonna be alright.” Aku salah, tebakanku meleset. Alih-alih dia berkata, “being true to yourself, is more important than anything.”

Secara implisit dia mencoba meyakinkanku bahwa aku tidak perlu merasa bertanggungjawab untuk terus melindunginya, jika dengan melakukannya justru membuatku melupakan bagaimana cara menjadi diri sendiri. Sedikit demi sedikit persepsiku tentang konsep peran menjadi kabur. Mungkin malah dari awal akarnya memang sudah salah. Mungkin cinta tidak mengenal itu semua.

“Son Seungwan, jika ada sesuatu yang kau inginkan, katakanlah padaku. Karena aku mungkin tidak peka dan kurang berusaha untuk lebih mengerti apa yang ada dalam kepalamu. Kamu tahu aku akan memberikan semuanya kalau aku punya dan melakukan apapun untukmu kalau aku mampu.”

Aku tahu aku tidak perlu mengatakannya, karena dia selalu mengerti. Tetap saja aku merasa punya hutang klarifikasi, dan apapun yang seharusnya kuberikan tapi tidak kuberikan.

“Is that so? Well, it would be great if you got a half a million.”

“Ayolah, aku tidak punya sebanyak itu,” ujarku memelas. Dari semua hal yang aku punya, dia meminta uang. Yang benar saja.

“I’m always welcome for a kiss or two, though.”

Dan sekarang dia mencoba flirting denganku. Sialan wanita ini. Dia tahu aku lemah dengan godaannya. Dia tahu aku lintang pukang untuknya.

“I’m willing to give you more than that.”

Wendy sepertinya terkejut, tidak mengantisipasi aku akan menjawabnya dengan bahasa Inggris juga. Tapi sebelum dia berkata apapun, bibirnya sudah ku kunci dengan bibirku.

 

 

END

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet