A Time With You

Description

Kita tidak tahu kapan umur seseorang berakhir. Namun apakah Mingyu dan Wonwoo menghargai waktu kebersamaan mereka?

Foreword

 “Cepatlah kemari. Perutku sudah berbunyi daritadi.”

“Sabar hyung. Sedikit lagi aku akan sampai.”

“Dasar lamban. Kau tidak kasihan denganku yang sudah begitu kelaparan disini, huh?”

“Yak! Kau sendiri meminta makanan di toko yang ja…”

“MANFAATKAN KAKI PANJANGMU ITU!”

*pip*

“Aish.. dasar tidak sabaran. Kau bahkan tidak kasihan denganku yang jauh-jauh berjalan membawa tumpukan makanan yang berat ini. Lihat saja kau.”

Mingyu mulai berlari menuju ke rumah sakit karena isyarat “manfaatkan kaki panjang” dari Wonwoo. Selama perjalanan ia terus merenggut. Keringatnya pun membasahi seluruh wajah beserta kaus abu-abunya. Walaupun begitu, ia tetap bersabar karena begitu lah sifat hyung tersayangnya itu. Sesampainya di rumah sakit Mingyu segera masuk ke dalam lift karena kebetulan pintu liftnya sedang terbuka. Ia mengatur nafasnya yang tersenggal-senggal di dalam lift itu. Setelah semua orang di dalam lift itu keluar ke lantai tujuan mereka masing-masing dan tinggal Mingyu yang ada di dalam sana, ia merasa ada sesuatu yang aneh.

Lift nya tidak berjalan.

Mingyu kebingungan. Ia melihat tombol-tombol lift dan…

“Bahkan aku lupa menekan tombol lift nya. Dasar ceroboh,” kesalnya sambil memukul pelan kepalanya.

Mingyu kembali bersandar ke dinding lift. Selama lift berjalan ia memejamkan matanya, merilekskan badannya sebelum bertemu Wonwoo nanti. Lift pun sampai ke lantai tujuannya. Ketika pintu lift terbuka…

“WOOOOOAAAAAHH…”

“HYAAAAAAAAAAKKKKKK”

Mereka berdua kaget bersamaan ketika Mingyu melihat Wonwoo tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu lift. Tampangnya seperti Sadako versi pria dengan pakaian rumah sakit menurut Mingyu.

“Kenapa kau ada disini?”

“HARUSNYA AKU YANG BERTANYA, HYUNG.”

“Tidak sopan kau!” jawab Wonwoo sambil melotot ke arah mata Mingyu.

“Ma…maafkan aku, hehehe. Ha…harusnya aku yang bertanya seperti itu. Kenapa kau tiba-tiba berdiri disitu?”

“Aku sudah lapar sekali. Tadinya aku ingin ke kantin rumah sakit. Malah bertemu kau dengan kondisi memalukan seperti ini. Untung tidak ada yang melihat.”

“Kau tidak lihat ini?” tanya Mingyu sambil menunjukkan bungkus plastik berisi dua kotak makanan dan berbagai macam cemilan. “Ini semua pesananmu, kecuali satu kotak makanan punyaku. Aku berjalan jauh ke rumah sakit ini sambil membawa barang seberat ini. Lihat ini. Bahkan bajuku sampai basah,” omel Mingyu sembari menunjukkan kausnya yang basah di bagian dada, ketiak, dan punggung. Wonwoo hanya terdiam dengan pose poker face-nya. Mingyu semakin merinding melihatnya.

Telunjuk Mingyu mengarah ke wajah Wonwoo, “Kau pantas menjadi hantu rumah sakit ini. Lihat tampangmu.”

“Apa kau bilang?” jawab Wonwoo masih dengan poker face-nya.

“Hahahahaha. Ayo kita kembali ke kamarmu dan segera melahap harta karun di tanganku ini,” ujar Mingyu yang kemudian merangkul Wonwoo dan berjalan kembali ke kamar rawat Wonwoo.

Sedari kecil Wonwoo didiagnosa mengidap penyakit lemah jantung. Sekali ia kelelahan ia langsung merasa sakit yang hebat di dadanya. Setiap saat ia harus bolak-balik ke rumah sakit untuk pengobatan. Semenjak orang tuanya meninggal Wonwoo hidup berdua dengan sahabat kecilnya, Mingyu. Mingyu sendiri dulunya hidup bersama neneknya. Semenjak neneknya meninggal barulah ia tinggal bersama Wonwoo. Sudah lebih dari 8 tahun mereka merasakan suka duka bersama. Mereka pun juga saling menyayangi layaknya saudara kandung. Mingyu ingin sekali Wonwoo lekas sembuh sehingga membuatnya menjadi pekerja keras sebagai tukang angkut barang. Di sisi lain Wonwoo tidak suka dengan pekerjaan Mingyu yang sangat melelahkan. Bahkan gajinya pun tidak seberapa. Obat penenang bagi Wonwoo adalah melihat wajah bahagia dan tawa lepasnya Mingyu. Begitu pula dengan Mingyu.

***

“Bagaimana dok? Apakah Wonwoo hyung diperbolehkan pulang?” tanya Mingyu dengan penuh harap kepada dokter rawat Wonwoo, dr. Jun.

Dr. Jun ingin mengatakan sesuatu. Namun ia tampak ragu untuk mengatakannya.

“Dok? Apakah Wonwoo hyung sudah diperbolehkan pulang?”

“Ah… I-iya. Dia bisa pulang sekarang,” jawab dr. Jun gugup. “Setiap minggu ia harus menjalani rawat jalan disini karena ia masih harus aku awasi. Kau ingatkan dia untuk rutin cek setiap minggu kepadaku, mengerti?”

“Mengerti, dok. Terima kasih sudah merawat Wonwoo hyung,” ucap Mingyu sambil tersenyum lega. Ia pun berpamitan dan segera pergi ke kamar Wonwoo untuk mengangkut barang-barang Wonwoo.

“Wonwoo hyung tidak boleh lelah. Ini tugasku sebagai pelindungnya,” gumam Mingyu.

Sesaimpainya di rumah, mereka berdua berganti pakaian dan makan malam bersama. Tak lupa Mingyu sampaikan pesan dr. Jun untuk Wonwoo. Malam itu ia lewatkan bersama dengan canda tawa. Mingyu sangat senang jika Wonwoo kembali ke rumah, seakan-akan rumah petak yang terletak di pedalaman kota itu kembali berwarna.

Disaat mereka berdua sedang menonton TV bersama, tiba-tiba ada telepon masuk dari HP Mingyu. Ia pun berdiri dan keluar rumah untuk menjawab teleponnya. Wonwoo memandangnya sebentar, lalu beralih lagi ke TV. Beberapa menit kemudian Mingyu kembali lagi ke dalam rumah. Ia tidak langsung duduk di samping Wonwoo. Ia terlihat bergegas ke kamar dan keluar dengan mengenakan baju kerjanya.

“Mau kemana kau malam-malam begini?”

“Bosku tadi menelpon. Katanya ada barang yang harus diangkut malam ini.”

“Malam ini? Kenapa ia memberikan pekerjaan di jam seperti ini?”

“Entahlah. Katanya ia akan memberikan uang lembur. Kuharap uangnya cukup untuk tabungan biaya pengobatanmu.”

“Apa kau tidak kelelahan?” tanya Wonwoo dengan nada khawatir. Mingyu hanya menjawab dengan menggelengkan kepalanya.

“Aku bahkan bersemangat. Aku pergi dulu, ya,” ujar Mingyu kemudian keluar dan menutup pintu rumah.

Wonwoo ditinggal sendiri lagi. Sebenarnya ia tidak mau Mingyu meninggalkannya. Namun ia mengerti karena pekerjaan Mingyu yang tak menentu waktunya. Ia tidak menunggu kepulangan Mingyu. Setelah puas menonton TV ia langsung beranjak ke kamar dan tidur.

***

Mingyu semakin rutin membawa Wonwoo untuk cek ke rumah sakit. Bahkan ia membuat jadwal check up hyung-nya itu di kalender. Ia bahkan rela menerima job malam demi uang tambahan. Uang itu ia gunakan sebagai tambahan tabungan untuk biaya berobat Wonwoo. Wonwoo tidak mengetahui kerja keras Mingyu. Ya, karena Mingyu menyembunyikannya.

Suatu hari ketika Mingyu sedang beristirahat…

“Barang yang kita angkut hari ini lumayan sedikit ya hyung.”

“Wajar saja. Barang yang kita angkut hanyalah kardus buah-buahan untuk kios buah,” jawab Hoshi sambil mengelap keringatnya dengan handuk kecil yang melingkar di lehernya.

“Aku haus sekali. Kau bawa minum?”

“Tentu saja,” ujar Hoshi sambil mengambil botol minuman di belakangnya. “Habiskan saja.”

“Loh? Untukmu?”

“Sudahlah, tidak apa-apa,” ucapnya sambil tersenyum. Mingyu hanya mengangguk dan meneguk air mineral dari Hoshi.

“Hahaha, kau terlihat haus se… Loh? Wonwoo?”

“PPPPFFFTTTTT… Uhuk uhuk..”

Mingyu langsung memuncratkan isi air di dalam mulutnya. Ia kaget sekali mendengar Hoshi menyebut nama seseorang yang sekarang sudah berdiri di depan mereka.

“H-HYUNG? Kenapa kau disini?”

Wonwoo tersenyum. “Tidak apa-apa. Aku ingin merasakan pekerjaanmu,” ujar Wonwoo sembari menunjuk ke arah barang-barang angkutan Mingyu. Sisa barang-barang yang tadi ada di mobil kini sudah diturunkan semua. Mingyu tercengang.

“Kau mengangkut barang-barangku?” Wonwoo hanya menjawab dengan senyuman. Mingyu langsung berdiri dan menarik Wonwoo ke tempat yang sepi.

“Ayo, ikut aku.”

“Ada apa?”

Mingyu berhenti, menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. Ia berusaha menahan amarahnya. “Kenapa kau lakukan pekerjaanku?”

“Memangnya kenapa? Aku hanya ingin membantumu. Kau terlihat lelah sekali ketika sedang beristirahat.”

“Itu sudah menjadi pekerjaanku, hyung.”

“Tapi aku merasa segan denganmu, Mingyu-ah. Setiap hari kau bekerja, bahkan aku selalu melihat kau tidur dengan wajah yang kelelahan. Sedangkan aku hanya beristirahat di rumah, pergi check up denganmu, dan istirahat lagi. Aku bosan. Aku ingin sekali membantumu bekerja.”

Hyung, kau tidak boleh kelelahan.”

“Kelelahan? Memangnya kenapa kalau aku kelelahan?”

Mingyu terdiam. Seketika ia mengingat obrolannya bersama dr. Jun.

.

.

Saat itu ketika check up ke-7.

“Bagaimana dok? Apakah ada perkembangan?”

Dr. Jun terdiam.

“Dok? Ada apa?”

“Mingyu-ssi.”

“Ya?”

“Sebenarnya, saya berat untuk mengatakan hal ini?”

“Kenapa dok? Apakah ada obat yang harus di tambah? Atau biaya pengobatan yang bertambah? Tenang saja dok. Aku pasti bisa menyanggupinya.”

“Mingyu-ssi, dari diagnosa rutin yang telah saya lakukan, mmm… saudara Wonwoo mengidap penyakit Kardiomiopati. Kondisi otot jantung pasien semakin melemah sehingga gerakan otot jantungnya tidak teratur. Satu-satunya jalan untuk memperpanjang usia pasien adalah dengan operasi cangkok jantung. Jantung pasien harus diganti.”

Tangan Mingyu bergetar. Keringat dingin mengucur dari pelipisnya. “Apa?”

“Jika jantung pasien tidak diganti, maka pasien akan mengalami gagal jantung yang menyebabkan kematian. Untuk sementara, umur pasien yang saya diagnosa tidak mencapai satu tahun.”

Seketika air mata Mingyu turun perlahan.

“Aku tahu pasti berat rasanya untukmu. Namun inilah jalan satu-satunya yang disarankan oleh kami, tim medis. Untuk saat ini kau harus menjaga pasien agar tidak kelelahan. Hal itu tidak boleh terjadi karena itu akan membahayakan pasien.”

Mingyu tidak bisa menjawab apa-apa lagi. Ia hanya menangis. Tangisannya pun semakin kencang ketika ia sudah keluar dari ruang kerja dr. Jun.

.

.

Mingyu kembali tersadar, kemudian tersenyum. “Tidak apa-apa. Terima kasih hyung telah membantuku,” ujarnya sambil memeluk Wonwoo. Setelah itu Mingyu merangkul Wonwoo dan mereka pun berjalan pulang bersama-sama.

Beberapa minggu kemudian Wonwoo kembali check-up ditemani Mingyu. Hari itu sudah ke 14 kali Wonwoo check-up, namun kali ini Wonwoo merasa heran lantaran ekspresi dr. Jun yang menunjukkan suatu kekecewaan setelah selesai memeriksanya. Apa jangan-jangan penyakitku semakin memburuk, gumamnya.

Sepulang dari rumah sakit, Wonwoo memperhatikan Mingyu yang terdiam dengan kepala tertunduk. Selama di perjalanan mereka hanya terdiam. Tak satupun yang memulai obrolan. Suasana terasa canggung entah kenapa. Kondisi inilah yang membuat Wonwoo curiga. Tak hanya hari itu juga. Hari-hari berikutnya Wonwoo pernah melihat Mingyu menangis sendiri di depan pintu masuk. Ingin sekali ia datang menghampiri Mingyu dan menenangkannya. Namun ia urungkan niatnya karena mungkin Mingyu membutuhkan waktu utnuk sendiri.

Suatu hari sesampainya  mereka di rumah dari rumah sakit, Wonwoo melihat Mingyu terduduk lemas di depan jendela. Tatapannya kosong. Wonwoo yang melihatnya iba langsung menghampiri Mingyu dan memeluk dongsaeng tersayangnya itu. Ia mengelus lembut rambut hitam Mingyu sambil berkata “Kau makin hari makin aneh saja. Kau seperti menyembunyikan masalahmu dariku. Ceritakanlah. Aku akan menjadi pendengar yang baik untukmu.”

“Tidak ada yang aku sembunyikan, hyung,” jawab Mingyu sambil mengusap air matanya yang hamper jatuh.

“Tidak mungkin. Kau terlihat berbeda dari yang dulu. Kau sekarang menjadi tertutup kepadaku. Apa yang membuatmu menjadi seperti ini?”

“Berbeda? Apa maksudmu? Lagipula tidak ada yang aku tutupi darimu.”

Wonwoo melepas pelukannya dan membalik badan Mingyu agar ia dapat melihat wajahnya. “Entah mengapa belakangan ini kita terasa canggung. Kau yang sekarang berbeda dari yang dulu. Kau merasakan perbedan itu. Dulu apapun permasalahanmu selalu kau curahkan kepadaku tapi sekarang? Ada apa denganmu?”

“Tidak ada, hyung.”

“Apa maksudmu?” Wonwoo mulai kesal. “Apa jangan-jangan kau bermasalah dengan dr. Jun?”

Mingyu terdiam. Ia langsung menatap Wonwoo.

“Apa jangan-jangan ada sesuatu dibalik semua ini? Katakan padaku, Mingyu-ah. Apa yang terjadi kepadaku?”

“Tidak ada yang terjadi, hyung.”

“BOHONG!” Wonwoo mulai emosi. “AKU MELIHAT ADA SESUATU DIANTARA KALIAN. KAU PIKIR AKU INI BODOH, HUH?”

Hyung…”

“Ah sudahlah. Aku jadi malas berbicara denganmu.”

Wonwoo berdiri. Mingyu menahan tangan Wonwoo namun denngan cepat ditepis oleh Wonwoo.

“Menjauh dariku. Aku tidak suka diperbodoh seperti ini,” ucapnya sambil berjalan ke kamar dan membanting pintu kamar.

Keesokan harinya Wonwoo terlihat masih kesal dengan Mingyu. Tak ada canda tawa di rumah itu. Seharian Wonwoo mendiamkan Mingyu. Suasana sangat canggung saat itu. Mingyu pun menjadi malu untuk membuka percakapan dengan Wonwoo. Ia merasa bersalah, namun di sisi lain ia tidak mau membuat Wonwoo  larut dalam kesedihan. Ucapan dr. Jun mengenai sisa umur Wonwoo selalu terngiang di dalam kepalanya. Tak terbayang betapa sedihnya Wonwoo jika ia mengetahui hal itu.

Malam harinya, Mingyu bergegas ke supermarket untuk membeli bahan makanan mengingat bahan makanan mereka di lemari dan kulkas sudah mau habis. Tak lupa ia berpamitan kepada Wonwoo yang saat itu sedang membaca komik.

Hyung, aku pergi ke supermarket dulu ya. Persediaan makanan kita sudah mulai habis.”

Wonwoo terdiam, fokus dengan komik yang sedang ia baca.

Hyung?”

“…….”

“Sepertinya aku mengganggu waktu santaimu. Maafkan aku. Aku pergi dulu ya,” ucap Mingyu yang kemudian keluar dan menutup pintu rumah. Setelah suara langkah Mingyu menghilang, perlahan Wonwoo menutup komiknya dan menatap pintu rumah yang sudah tertutup. Lalu lanjut membaca komik.

Satu jam terlewati. Wonwoo masih asyik dengan komik-komiknya. Ia tidak menunggu Mingyu pulang. Hingga dua jam terlewati ketika ia merasa sangat lapar. Ia menyudahi membaca komik dan beranjak k earah dapur. Ia membuka lemari satu-persatu, kemudian membuka kulkas. Tidak ada makanan instan yang ia temui. Bahkan bahan makanan untuk memasak pun sangat kurang. Terlintas di pikirannya perkataan Mingyu yang hendak ke supermarket membeli makanan. Saat itulah Wonwoo baru menyadari bahwa Mingyu belum pulang sedari tadi. Karena ia sangat lapar ia pun bergegas ke kamar, berganti pakaian, dan berjalan keluar mencari makan.

Selama berjalan mencari makan, ia berpikir mungkin salah jika ia terus mendiamkan Mingyu. Ia mulai merasa menyesal, tapi di sisi lain ia tetap merasa kesal dengan sikap Mingyu. Ia memijit dahinya, kemudian menatap jalanan yang saat itu mulai sepi. Ia melihat bus yang isi penumpangnya sudah mulai sedikit, motor yang melaju sangat cepat dari arah Wonwoo berjalan, beberapa orang yang baru pulang kerja, bahkan pemuda yang membawa kotak-kotak nasi di dalam bungkus plastik melewatinya dari arah berlawanan. Seketika Wonwoo mengingat kejadian konyol setiap Mingyu membawakannya nasi kotak saat Wonwoo dirawat dulu setelah ia melihat pemuda tadi. Sesaimpainya di kedai ramen ia pun langsung memesan semangkuk ramen dan sebotol chamisul. Ia menikmati makanannya sambil memandang jalanan.

“Hmmm sudah mulai sepi,” ujarnya pelan sembari menatap jam tangannya. Jam setengah 12 malam. Pantas saja jalanan mulai sepi, gumamnya.

Semangkuk ramen yang ia pesan sudah dilahap habis. Ia pun menghabiskan chamisul-nya yang saat itu tinggal satu tegukan. Ia segera beranjak pulang ketika ia melihat jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Mungkin Mingyu sudah sampai di rumah, gumamnya. Ia berjalan santai sambil menikmati udara malam hari kota Seoul. Ia pun memandang kondisi di sekitarnya. Masih terdapat beberapa orang yang berjalan di trotoar yang Wonwoo lewati. Bahkan masih ada kendaraan yang lewat di jalan sekitar situ. Ia melihat mobil patroli polisi yang lewat, bus terakhir menurunkan penumpangnya, mobil ambulan yang melesat cepat, beberapa mobil pribadi melintas, dan pengendara sepeda yang melintas di jalur sepeda. Wonwoo mempercepat langkahnya karena ia mulai merasa ngantuk.

Ia pun sampai di rumah.

 

 

***

Suatu hari di suatu tempat yang rindang.

“Ah indahnya,” ujar Wonwoo senang melihat pemandangan siang hari yang cerah di awal musim panas.

“Aroma ini, Mingyu. Hmmmm… aroma musim panas. Aku jadi teringat setiap liburan kita disaat musim panas,” ucapnya sambil menoleh ke kanannya, lalu kembali memandang ke depan.

“Jika saja kau memperbolehkanku bekerja, kita pasti bisa mengumpulkan uang untuk pengobatanku dengan cepat. Bahkan kita bisa menabung untuk liburan kita. Pekerjaan sepertimu juga tidak apa-apa. Tapi kau melarangku agar tidak kelelahan. Kau bahkan tidak mau memberitahuku alasannya.” Wonwoo memanyunkan bibirnya, kemudian kembali tersenyum.

“Kau tahu? Sebenarnya aku menyesal telah mendiamkanmu. Sifatku terlalu kekanak-kanakan saat itu. Entahlah, mungkin karena aku terlalu emosi sampai bingung bagaimana cara mengendalikannya. Tapi kau selalu sabar menghadapiku. Kau pandai mengendalikan emosimu. Aku ingin belajar sepertimu,” ucapnya lagi sambil tetap tersenyum. Kemudian ia tertunduk.

“Aku tak mengharapkan maaf darimu, Mingyu-ah. Sikapmu kepadaku menunjukkan bahwa kau begitu tulus menyayangiku sebagai sahabat. Aku senang ketika kau mengatakan bahwa aku adalah hyung terbaikmu. Aku merasa seperti orang yang spesial untukmu.”

Wonwoo terdiam sejenak. Ia kembali memandang langit yang mulai dihiasi layang-layang. Tak lama kemudian ia mendengar suara Hoshi berteriak memanggilnya.

“Yak! Sampai kapan kau duduk disana? Yaaakkk Wonwoo-ya, kemarilah. Bantu aku sebentar.”

“Aish anak ini mengganggu waktu curhatku. Mingyu-ah, ketahuilah bahwa kau selalu menjadi orang yang spesial di hidupku. Aku pamit dulu, ya. Temanmu yang bodoh terus-terusan memanggilku. Selamat tinggal, Mingyu-ah.” Wonwoo pun berdiri  dan meninggalkan batu nisan bertuliskan “Kim Mingyu”.

.

.

"Maafkan aku, Kim Mingyu. Aku tidak menghargai waktu bersamamu. Betapa bodohnya aku membiarkanmu keluar malam-malam hingga kau mengalami kecelakaan malam itu juga. Terima kasih telah menjadi bagian dari hidupku. Aku menyayangimu, Kim Mingyu."

Hingga saat itu Wonwoo belum mengetahui penyakitnya, entah sampai kapan.

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet