On Rainy Days

On a Rainy Days

Tittle     : On Rainy Day

Cast       :

  • Park Chanyeol
  • Ahn Ha Young    (OC)
  • Kim Min Ji            (OC)
  • Oh Ha Na             (OC)
  • Nam Ah Ra          (OC)
  • Kim Han Bin
  • Yang Yoseob
  • Jung Hee Bin      (OC)
  • Kim Junmyeon
  • Jun Hoe iKON

Genre   : Romantic, School Life, Marriage-life, Angst

Park Chanyeol Pov.

Sampai sekarang masih hujan, dan aku benar-benar membenci itu. harus berlari sampai kelas dengan rintihan langit itu, bahkan aku tak sudi. seperti aku akan menantang kematian saja.

"Kau mau berbagi payung?" seseorang menawari payung pada temannya yang ada di depanku. sedihnya, aku menengok. merasa aku yang terpanggil, padahal tidak.

Heol! bahkan aku si 'bintang' menjadi tak terlihat saat hujan datang. Sedari tadi tak ada yang menawariku untuk berbagi payung. Aigoo, andaikan matahari ada disini, akan banyak payung yang mengantri untukku.

"Butuh payung?" seseorang menawariku dari balik payung itu. tubuhnya kecil mungil tertutup oleh payungnya yang benar-benar besar.

Aku tidak menengok, aku tak mau menahan malu lagi. aku tidak menghiraukannya.

"Yak! Park Chanyeol!"

seseorang memanggilku. aku begitu senang. sumringah, senyumku benar-benar mengembang.

"Ye?" aku menjawabnya dengan nada manis.

"Park Chanyeol! dari kelas XI F, butuh payung atau tidak?" ulangnya dengan tatapannya yang tajam. begitu muak karena di-acuhkan.

"Oke!"

Aku menyahut gagang payungnya. dia terlalu kecil untuk memegangi payungnya.

"Gumawo! Oh Ha na-ssi." kataku singkat saat tangga menuju kelasku sudah didepan mata. Aku melihat sekilas name-tag-nya.

Ya, aku melihatnya pagi ini. Masih dengan senyumnya yang luar biasa. Ingin kujaga selalu senyumnya. sebenarnya. namun nyatanya, bahkan sebelum aku mengatakannya dia benar-benar menolakku.

Flashback ON

Di dalam kelas XI F. Yeoja penuh senyum itu berkutat pada sebuah handphone dan Chanyeol ada di bangku paling belakang.

"Truth Or Dare!"

"Aaah..." Keluh sebagian penghuni kelas. mayoritas perempuan. Game yang berjudul 'truth or dare' itu benar-benar akan mengungkap semua masa kelam para perempuan.

"Yak! Seo In-ah! apa kau operasi plastik bulan lalu?" teriak salah seorang murid lelaki.
"Anni!" bantahnya lantang.

"Apa mungkin kau punya rencana untuk operasi plastik?"
"Anniya!" bantah Seo In lagi.

"Gotjimal!" teriak seisi kelas. terkecuali Park Chanyeol, yang masih memandang Yeoja penuh senyum itu.

"Ha Young-ah!" belum sempat menyelesaikan tawanya, nama Ha Young sudah dipanggil.

"Truth or Dare?"

“Ye?”
“Truth or dare?”

"Aku akan pilih truth. aku yakin 'dare' yang kau miliki lebih dari sekedar 'dare' dan aku tahu itu dengan baik."

"Heeooolll... Ha Young memilih Truth...." waktu yang sakral jika truth or dare itu sampai di Ha Young.

"Oke! mari kuberikan pertanyaan yang simple. Jika kau berkesempatan menjadi yeoja-chingku dari Park Chanyeol..." Chanyeol langsung membelalakkan mata, "Apa kau mau?"

"Pertanyaan simple macam apa itu?" Ha Young mencoba mencairkan suasana. puluhan pasang mata telah tertuju padanya.

"Anni! begini... aku dan Chanyeol hanya berteman. jika memang aku memiliki kesempatan untuk menjadi yeoja-chingku-nya, aku pikir aku akan menjawab tidak mau. Jika Chanyeol yang kau maksud sama seperti Chanyeol yang sekarang."

"Chanyeol-ah... kau ditolak!" komentar salah seorang siswa lelaki.

"Bagaimana denganku Ha Young-ah?"
"Dengan-ku?"

"Yak! Chanyeol saja ditolak... apa kalian masih mau menawarkan diri kalian?" timpal salah seorang siswi yang sedang membawa sebuah kaca kecil di salah satu tangannya.

"Geumanhae... " Ha Young mengatakannya dengan senyum manisnya lagi.

Chanyeol terlalu sakit. dia menutup matanya dan menyandarkan kepalanya di atas meja. tidur dalam keperihannya.

Flashback OFF

"Eo... Heol! tidak basah Chanyeol?" teriak Ha Young saat terlihat Chanyeol berdiri di ambang pintu.

"Tidak."
"Ottokhae?"

"Aku berbagi payung..."
"Eooo, kau sudah berani berbagi payung, Chanyeol-ah! kau sudah dewasa rupanya.."

--

Han Bin Pov.

“Bisakah kau pergi malam ini?”
“Wae? Apa ada acara penting?”

“Penting katamu?”
 

“Memang kita bertemu disaat penting saja?”
“Lalu disaat apa saja?” aku hanya menjawab dengan santainya. Banyak yang harus aku lakukan di dalam sebuah studio band pengap ini.

“Han Bin-ah!” suara seorang perempuan terdengar semakin jelas dan mendekat. Nafas-nya kini terasa. Dia mengalungkan tangannya ke leherku. Menggendongnya di punggung-ku itu sudah biasa.

“Han Bin-ah...” ulangnya.

“Wae?” pandanganku masih terpatri pada senar gitar yang sedang kuatur.

“Han Bin... Kim Han Bin!”
“Mwo?” kebiasaannya memang. Mengulang namaku selalu sebelum aku benar-benar fokus pada arah pembicaraan kami.

“Kim Han Bin! Kita berhenti saja.” Ucapnya pelan di dekat telingaku. Sedikit terdengar isakan yang mendalam. Namun, ia langsung melepas lengannya dan pergi begitu saja, tanpa berbalik badan sama sekali.

Dia tipikal perempuan yang tidak suka dikejar. Apa gunanya handphone kalau kamu masih mengejar, dia selalu berpikir seperti itu. Memang kami pernah putus lalu menyambung kembali. Tapi masa itu kuharap hanya sekali. Tapi terulang hari ini, yang kedua kalinya.

Aku menekan tombol nomer 4. Tersimpan nomernya di sana.

“Aku tidak akan bisa menyaingi Eomma, Appa dan Eonni. Jadi aku akan menyimpan nomerku di nomer 4.” Katanya saat pertama kali aku meminta nomer barunya. Setelah kami memiliki hubungan lebih dari Sunbae dan Hunbae.

“Eodi?”
“Aku di rumah.”

“Kau yakin benar-benar sudah sampai di rumah? Kenapa aku mendengar berbagai macam suara?”
“Aku di pinggir jalan, kau benar! Aku belum sampai di rumah.” Ungkapnya jujur.

“Mau kuantar pulang?”
“Tidak perlu. Aku masih bisa jalan sendiri.” Tolaknya.

“Arrasseo.” Tapi aku tetap mengambil jaket-ku dan menyusulnya. Sudah biasa, dan dia selalu berdiri di halte bus dengan kaki kanannya ada di depan. Tangan kanannya menengadah, seperti sedang menangkap hujan. Dia selalu melakukannya, mau hujan atau terik panas matahari sekalipun.

Tapi hari ini, aku tidak melihatnya. Tidak melihat tangannya yang menengadah. Tak kulihat lagi bunyi hak tinggi yang selalu diketuk-nya di lantai halte. Tak kulihat lagi ketenangan yang terpaut nyata pada wajahnya.

Dia ada dimana?

Author Pov.

Entah apa yang sedang Chanyeol pikirkan. Mungkin efek dari air hujan dua hari yang lalu. Lelaki itu mengajak Ha Young ke tempat parkir motor. Suasana sepi menyelimuti kami.

“Kamu mau bilang apa?” Ha Young bertanya saat langkah lelaki didepannya terhenti.

“Ha Young...” dia membuka mulutnya. Perempuan yang merasa dipanggil menengadahkan kepalanya.

“Mungkin aku memang sayang padamu...”
“Nde?” Ha Young terkejut.

“Anni, kau tidak perlu menjawabnya. Kau bisa mengatakannya besok. Atau lusa? Atau minggu depan? Tak masalah. Aku pergi!”

Chanyeol meninggalkan Ha Young sendiri. Di tempat sepi tanpa kamera tersembunyi itu. Tak heran bila Ha Young benar-benar berantakan saat kembali ke dalam kelas.

“Hayoung-ah... Wae?” perempuan yang menjadi teman sebangkunya hari ini benar-benar terkejut. Luka lebam dan rambut berantakan ditambah lututnya yang tergores disana-sini.

Chanyeol, yang tadinya memejamkan mata, membuka matanya dan melihat lekat ke arah mata Ha Young. Ya, Chanyeol melihat sendiri keadaan Ha Young yang lebam.

“Ha Young-ah, gwenchana?”
Hanya anggukan kepalanya yang terlihat. Ha Young merapikan mejanya. Lalu mengaitkan tasnya di bahunya.

Kim Sesangnim datang dan Ha Young langsung memberikan salam dengan membungkukkan punggungnya.

“Ha Young... kau mau ijin?”

Ha Young memberikan surat ijin pada Kim Sesangnim dan memberikan anggukan kembali lalu pergi keluar kelas.

“Ada apa dengannya?” Kim Sesangnim bertanya pada siswa yang tersisa di dalam kelas.

“Terakhir dia bersama...”

“Chanyeol...” semua mata mengarah pada Chanyeol.
“K-Kau apakan dia?”

“Aku tidak melakukan apa-apa... Cheongmal-yo..” jawab Chanyeol singkat. Dia memang tidak melakukan apa-apa.

Flashback ON

Han Bin Pov.

“Bersihkan dulu wajahmu...” aku memberikannya tisu basah.

“Ayo makan!”

“Makan?”
“Eoh! Yak! Aku punya uang hari ini.”

“Kau selalu seperti ini setelah membawakan acara kuis.”
“Tentu saja! Beruntung sekali dirimu, Kim Han Bin!”

“Beruntung seperti apa yang kau maksud?”
“Beruntung aku bersama Kim Han Bin.”

Sebenarnya, aku merasa lebih beruntung bersama dengannya.

“Han Bin kau mau kemana?”
“Aku mau pergi ke gereja, Noona.”

“Gereja?”
“Aku mau berdoa. Doa-ku benar-benar panjang.”

“Pagi sekali.”
“Aku pergi bersama Ah Ra, Noona.” Aku menjelaskan secara jelas pada Noona.

“Eoh, aku beruntung punya adik ipar seperti dia.”
“Adik Ipar? Heol!”

“Wae? Kau tak ingin menikahinya?”

Aku pergi menjauh setelah kuambil kunci mobil diatas meja makan.

“Yak! Pastikan Ah Ra menjadi adik ipar-ku eoh? Yak! Hanbin-ah!”

--

“Kau sudah sarapan?” tanyanya. Kami berjalan beriringan di gang kecil ini. Mobil tidak bisa masuk ke gang kecil itu. Ya, Ah Ra tinggal di sebuah apartemen di dalam gang kecil itu.

“Belum.”
“Kenapa belum?” tanyanya lagi tanpa melihat kearahku. Pandangannya fokus ke jalanan yang kami lewati.

“Entah, hanya belum sarapan saja.”

Aku membukakan pintu mobil untuknya. Aku duduk di belakang kemudi, disampingnya.

“Kibimbap hangat.”

Aku menerimanya.

“Gumawo.”
“Selamat makan.” Dia melahap sarapannya bersamaku. Aku tersenyum.

“Ayo berangkat!” timpalku penuh semangat. Dia tertawa lebar disampingku.

Kami duduk di bangku paling belakang. Walaupun Noona mengatakan bahwa ini masih pagi, nyatanya Kami benar-benar duduk di bangku belakang.

Kami duduk bersebelahan. Aku melepas mantelku dan menaruhnya diatas paha yeoja yang masih sibuk dengan doanya disampingku.

“Gumawo.” Bisiknya padaku.

Aku sedikit mengantuk. Tak jarang aku memejamkan mata lalu membuka mata kembali. Sekitar dua menit lamanya. Dia menepuk telapak tanganku yang mengatup lemas didepan dadaku. Berakting kalau aku sedang berdoa.

“Yak!” teiakannya tetap lembut dan pelan. Tak ada nada tinggi pada kalimatnya.

“Arrasseo, aku akan membuka mataku.” Dia kembali tersenyum

“Ayo berdoa.” Yeoja disampingku membiarkan waktu sakral ini untuk menyatakan semua harapan juga doanya pada Tuhan.

“Tuhan, biarkan aku menikah dengannya.” Aku mengucapkannya dalam hati.

Kami selesai. Gereja telah sepi.

“Kajja, ayo pulang.” Dia berdiri lalu berjalan didepanku. Aku menarik lengannya.

“Ah Ra-ya, biarkan aku mencoba altar-nya.”
“Kau mau mencobanya bersamaku?”

Aku menganggukkan kepalaku.

“Geureom.” Dia mengaitkan lengannya pada lenganku. Aku berjalan perlahan, mengimbangi langkahnya yang mungil.

“Bukankah ini sedikit sulit?”

“Wae?” aku sedikit bertanya dengan pernyataan yang baru saja ia keluarkan.

Ia tiba-tiba mengganti topik pembicaraan kami.

“Kau mau menemaniku ke rumah sakit?”
“Rumah sakit?”

Langkah kami terhenti.

--

“Neomu Gyeopta...”

“Dia mirip dengan ayah-nya.” Komentar Hee Bin sembari menggoyangkan lengannya lagi agar bayinya kembali terlelap.

“Kau puas Junmyeon-ssi?” komentar Ah Ra. Hanya tawa lepas yang terdengar dari Junmyeon.

“Aaah, Eonni... aku membawakanmu bunga. Apa tak apa bila aku menaruhnya didalam vas?”
“Boleh.”

Ah Ra mulai menata buket bunga-nya kedalam vas secara perlahan.

“Kapan kalian menyusul? Kapan kalian mau menikah?” tanya Junmyeon tiba-tiba. Membuat Ah Ra dan Han Bin kaget.

“Han Bin, kau dengar?” goda Ah Ra.

“Hyung...” timpal Han Bin.

“Wae? Aku hanya bertanya.”

“Kau mau menikah denganku, Ah Ra?” tanya Han Bin tiba-tiba.

“Heol! Cepat jawab Ah Ra!” goda Hee Bin.

“Kami masih sibuk dengan kegiatan kami masing-masing.” Jawabnya singkat.

“Eeey...” Hanya tawa kecut dari Hee Bin dan Junmyeon yang menanggapi.

--

“Han Bin... Kim Han Bin!”
“Mwo?” kebiasaannya memang. Mengulang namaku selalu sebelum aku benar-benar fokus pada arah pembicaraan kami.

“Kim Han Bin! Kita berhenti saja.” Ucapnya pelan di dekat telingaku. Sedikit terdengar isakan yang mendalam. Namun, ia langsung melepas lengannya dan pergi begitu saja, tanpa berbalik badan sama sekali.

Tak ada kabar darinya. Sudah dua minggu lamanya setelah dia mengatakan itu. Mengatakan untuk tidak berhubungan lagi denganku. Walau memang dia tetap menajwab semua pesanku bila aku mengirimnya pesan.

Kau sedang apa?

Dia hanya menjawab.

Aku sedang membaca buku.

Atau mungkin mengatakan sedang dimana aku sekarang.

Aku sedang di Gangnam, apa kau sedang disini juga?

Mian aku sedang dirumah, Han Bin-ssi.

Kami sering bertemu di Gereja. Tapi sekarang Yeoja itu tidak duduk disebelahku. Yeoja itu tak mau membangunkanku saat aku setengah sadar. Terkadang, kami sarapan bersama. Satu meja bersama, dengan menu yang sama. Semangkuk sup jagung hangat mengepul mengisi kekosongan udara diantara kami. Kami hanya memiliki dialog singkat, walau sekitar setengah jam kami berhadapan untuk menyantap sup jagung itu. Dia hanya menanggapi dengan jawaban singkat. ‘ya’ atau ‘benarkah’ mungkin kata yang paling panjang dikatakannya padaku adalah saat dia mengatakan ‘Han Bin-ssi, aku sudah selesai makan. Maaf aku tidak bisa menemanimu sampai sup-mu habis. Aku harus pergi.’

--

Flashback ON

Author Pov.

“Kau... di depan?” Ah Ra bangkit dari posisi telungkupnya, Han Bin ada di depan apartemennya, sekarang.

“Eoh, cepat bukakan pintunya.”

“Baiklah, tunggu sebentar.”

Ah Ra membukakan pintunya. Han Bin tersenyum dan langsung melangkahkan kaki masuk ke rumah Ah Ra.

“Kenapa malam-malam kemari?”
“Aigoo, aku lapar. Bisa kau masak ini?” Han Bin melemparkan kantong belanja yang baru saja ia beli.

“Heol! Kau hanya membeli ramen. Kau bisa memasaknya sendiri. Aku menyewakan komporku untukmu setulusnya.”

“Aigoo... Arrasseo. Aku akan buat sendiri.”
“Geureom, pastikan kau buat dua. Aku akan meneruskan kegiatan-ku.”

“Memang kau sedang apa?” Tanya Han Bin sembari membuka-tutup lemari dapur.

“Perlukah kau tahu?”
“Pelit sekali kau...”

“Aku sedang membaca buku.” Ah Ra kembali dengan sebuah buku tebal digenggamannya. Dia duduk di Sofa dekat dapur. Mengamati betapa repotnya Han Bin.

“Yak! Dimana kau taruh panci-nya?” teriak Han Bin.
“Aku taruh di lemari bawah.” Jawab Ah Ra santai. Masih dengan halaman penuh kata itu.

“Dimana?”
“Kau tidak melihatnya?”

“Aku tidak menemukannya.”

“Jjinja...” Ah Ra membanting bukunya di sofa dan membantu Han Bin mencari panci.

“Kau tidak melihat panci yang sebesar ini?” Ah Ra menaruh panci yang baru ia temukan tepat di depan wajah Han Bin.

“Mian.”

“Isi ini dengan air.”

“Geureom.” Han Bin menggapai panci yang dipegang Ah Ra.

Ah Ra mengambil berbagai bahan tambahan. Daun bawang, sedikit bawang, tidak lupa dua butir telur yang langsung dipecah Ah Ra saat air sudah mendidih.

“Matang.” Ah Ra berteriak. Han Bin malah sedang santai-santai diatas sofa dan membolak-balikkan buku yang tadi dibaca Ah Ra.

“assa, sudah matang.”

Mereka berdua menikmati ramen hangat dihadapan mereka. Dengan dua pasang sumpit yang beradu didalam lautan kuah panas. Juga telur yang masih mengepul.

“Aku selesai.”

“Tidak mau menghabiskan?”
“Anni...”

“kau tidak mau berebutan denganku?”                                                             
“Anni.” Ah Ra kembali duduk di atas sofa dan membuka kembali bukunya.

“Jangan lupa cuci semuanya.”
“Arrasseo.” Ucap Han Bin girang.

Setelah mencuci, Han Bin duduk disamping Ah Ra. Melihat Ah Ra dengan pandangan yang lekat dan dalam.

“Wae, Han Bin?”
“Anni, gwenchana.”

“Yak! Cepat pulang sebelum tengah malam.”
“Aku tidur disini saja.” Han Bin menidurkan tubuhnya di atas sofa.

“Mwoya?”
“Bosan di rumah.”

“Aigoo, tidur saja disini eoh, Ahjussi? Aku mau masuk kamar dulu.”
“Eoh.”

Jendela apartemennya yang sedikit besar, dibiarkan terbuka. Terlihat lampu jalan dan lampu rumah yang berpendar ditengah gelapnya malam. Menjadi suatu pemandangan indah untuk Han Bin, yang harus tidur diluar dengan lampu ruangan yang sudah dimatikan. Gelap dan sunyi, mungkin Ah Ra sudah tertidur. Teringat kebiasaanya sangat mudah tertidur dimana saja.

“Han Bin-ah...” suara Ah Ra muncul dibalik pintu kamarnya yang sedikit terbuka.
“Wae?” Han Bin menjawabnya dengan santai. Masih menidurkn tubuhnya di sofa bersama buku Ah Ra yang terbuka.

“Kau butuh selimut?”
“Mungkin. Kau bisa memberikannya padaku.”

Ah Ra keluar dari kamarnya. Dengan sebuah bantal dan selimut tebal diatas tangannya.

“Ini.”
“Gumawo.” Posisi Han Bin kini terduduk.

“Bisakah kau geser sedikit?” Ah Ra menarik kaki Han Bin hingga terjatuh, lalu menidurkan tubuhnya di atas sofa.

“Mwoya?”
“Ini sangat nyaman.”

“Heol...” Han Bin menidurkan tubuhnya di lantai. Singgasananya telah direbut.

“Han Bin-ah... Gumawo.” Ah Ra menaikkan kepalanya hingga terlihat ekspresi wajah Han Bin yang setengah mengantuk itu.

Han Bin terduduk. Wajah mereka bertautan. Dekat, sangat dekat.

“Gumawo...” Han Bin mengecup dahi Ah Ra. Ah Ra membelalakkan matanya.

“Saranghae...” Han Bin mengecup pelan bibir Ah Ra dan langsung menarik wajahnya yang mulai memerah. Kaget.

“Han Bin, sebaiknya aku tidur di kamar saja. Selamat tidur.” Ah Ra tergagap, langsung berlari ke kamarnya.

Flashback OFF

Han Bin Pov.

Aku tidak sengaja bertemu dengannya. Dia seorang penata acara musik. Dan Aku, masih tetap jadi Kim Han Bin, namja yang masih senang menyetem gitar listrik di ruangan butut.

“Bisa kau periksa microphone yang akan digunakan? Aku ada urusan sebentar.”
“Ah Ra...”

“Han Bin-ssi, kau sedang apa disini?”
“Aku sedang mencoba mencari inspirasi.”

“Inspirasi?” tanya Ah Ra dengan nada penuh selidik.

“Akan banyak idol yang tampil. Aku hanya ingin melihat cara mereka bermusik.”
“Geureom, kau bisa melihatnya. Aku harus pergi, anak-anakku sedang menunggu.”

“Anak-anak?”
“Eoh, aku pergi.”

Mungkin yang ia maksud adalah para idol.

“Ah Ra... ada yang mau aku katakan.”
“Katakan saja.” Dia masih berdiri dihadapanku.

“Apa mungkin kita masih bisa kembali?” matanya sedikit berkaca-kaca.

“Han Bin-ssi, mungkin bukan untuk sekarang, bukan hari ini. Maaf.” Ah Ra langsung pergi.
“Ah Ra, jjakkaman.”

“Ada apa lagi?”
“Tapi bisakah aku mengejarmu untuk kali ini saja?”
“Entahlah. Tapi sepertinya kita tidak akan kembali Han Bin-ssi.”

“Ah Ra!” seseorang yang dinamakan idol itu memanggilnya dari atas panggung.
“Maaf aku harus pergi. Sudah kubilang, anak-anakku sedang menunggu. Semangat Han Bin. Kau harus menerima tawaran agensi itu.”

Ah Ra dan idol itu tampak romantis dari kejauhan.

“Jun Hoe-ssi, tapi bisakah kau geser sedikit? Sudah kubilang ini bukan sekedar konser tanpa kamera, ini acara musik. Kamera tidak bisa menangkap gambarmu.”
“Arrasseo...”

“Oke kita ulang!” teriak Ah Ra.
“Noona!”

“Wae?”
“Haruskah kita menari bersama?”
“Apa kau sudah menguasai panggung ini?”

“Noona! Rasakan beat dari laguku ini. Memang laguku sangat bagus sekali.”

“Kau masih sama Jun Hoe, sebelum dan setelah debut. Kau masih tetap sombong. Kenapa kadar kesombonganmu tidak bisa dikurangi sedikit saja?”
“Noona! Ayo menari..”

Mereka berdua benar-benar asyik diatas panggung.

“Sudahlah, kau harus mengingat dimana kau harus berdiri, eoh?”
“Arrasseo.”

“Oke kau bisa turun dari panggung. Selanjutnya!”

“Annyeong haseyo...” sapanya santun.

“Annyeong, kau Chanyeol-ssi, matja?” Ah Ra membolak-balikkan daftar bintang tamu yang akan mengisi acara musiknya.

“Nde.”
“Eooo, kau masih muda sekali. Masih SMA. Beruntung sekali kau masuk setelah Jun Hoe. Kau baru debut?”

“Nde.”
“Dan lagumu langsung masuk ke daftar chart kami? Daebak!!”
“Kamsahamida.”

“Mungkin kau baru sekali naik ke panggung ini. Tapi, kalau kau sudah terbiasa kau akan menemukan sensasi diatas panggung yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Tapi itu kata mereka, bintang tamu-ku sebelumnya. Aku belum pernah merasakannya. Jadi santai saja.”

“Nde, PD-nim.”

“Panggil saja Noona. Aku tidak masalah. Semua memanggilku Noona. Kecuali rekan setim-ku, Mereka sudah cukup berumur.”

Mereka tertawa bahagia sekali.

“Selanjutnya!”

Agensi? Ah Ra tau darimana aku ditawari kontrak itu? Kontrak bermusik tanpa skandal dengan perempuan dibelakangku.

--

Langit sudah begitu gelap. Ah Ra masih sibuk berjalan dengan kelelahan kakinya. Kadang ia harus berhenti. Dia sudah terlalu biasa dengan itu. Seorang pekerja dibalik layar memang sangat sulit.

Kini keadaan Ah Ra makin runyam.

“Hujan!”

Ah Ra sebenarnya ingin berlari. Tapi ia harus repot-repot melepas sepatuhnya yang tinggi itu. Tapi, sebuah payung menutupinya dari ancaman demam nanti malam.

“Han Bin, kenapa disini? Kukira kau sudah pulang.”
“Ah Ra...”

“Baiklah, antarkan aku sampai gedung apartemenku.” Jawab Ah Ra.

“Ah Ra-ssi...” Han Bin mencoba untuk mengajak berbicara Yeoja yang ada didepannya. Mereka tidak berjalan beriringan.

“Wae-yo?”
“Kau tahu tentang kontrak itu?”
“Kontrak? Apa maksudmu?”

“Kontrak dengan agensi itu. Apa itu penyebab hubungan kita berhenti.”
“Kontrak? Sepertinya aku pernah dengar. Jun Hoe pernah menceritakannya.”

“Ini bukan kontrak anak-anakmu. Ini kontrakku.” Han Bin menarik bahu Ah Ra hingga tas Ah Ra terjatuh dan talinya putus.

“Mwoya!” Ah Ra memungut tasnya tanpa perlindungan payung Han Bin.

“Ah Ra...”
“Wae?” jawabnya kasar.

“Ah Ra...” Han Bin mengulanginya lagi.

“Geureom, aku tau tentang kontrak itu. Sebenarnya aku sudah tahu itu sejak lama. Tapi, aku tidak melanjutkan hubungan ini karena memang aku ingin berhenti. Kau puas?” Ah Ra mengatakannya dengan nada kasar. Sudah cukup.

“Ah Ra-ssi!” tak ada jawaban dari Ah Ra yang mulai memasuki gedung apartemennya.

--

“Oke, selanjutnya!” Ah Ra kini tidak bisa berteriak. Hanya isyarat tanggannya saja.

“Heol! Noona! Kau tidak tau style? Bagaimana bisa mantel di atas mantel, sweater di atas sweater. Apa kau kehabiisan baju?”

“Yak! Pikirkan saja bagaimana kau manggung nanti. Bisa-bisanya dua hari berturut-turut kau jadi bintang tamu-ku. Cepatlah kalah, eoh? Biar kau bisa ke panggung lain.”

“Ah, aku tahu. Noona, kau hujan-hujanan tadi malam? Apa kau sedang syuting sebuah drama? Seperti anak kecil saja.”
“Geumanhae, atau papan ini akan meluncur ke wajahmu.”

“Arrasseo, aku akan mulai.” Ah Ra kembali memberikan isyarat tangan pada kameramen. Tapi tunggu, ada ide tiba-tiba masuk ke dalam pikiran Ah Ra.

“Sebentar, aku ada ide!”

“Noona, Wae?”

“Panggilkan Chanyeol!” teriak Ah Ra pada rekan setim-nya.

“Noona, apa yang akan kau lakukan?”
“Aku akan buat panggung duet. Bukankah kemarin kalian punya score yang seimbang?”
“Ya, itu benar.”

“Annyeong haseyo...”
“Chanyeol, kau bisa satu panggung dengan Jun Hoe.”

“Annyeong...” Jun Hoe mengangkat tangannya. Sebagai salam perkenalan.

“Ah, nde Noona!”

“Kau baru debut ya?”
“Nde?”

“Biasanya idol disini kalau sudah terbiasa di atas panggung ini, kami pasti menggunakan banmal pada Noona.”

“Berhenti bicara yang aneh Jun Hoe-ssi! Ini microphone-nya.”

“Lalu apa yang harus kita nyanyikan?”

“emmm, ah, aku tahu. Pertama kau nyanyikan lagumu Junhoe. Beberapa part saja. Setelah berhenti, Chanyeol, kau masuk. Oke?”

“lalu kita duet sebelah mananya?” Jun Hoe berkomentar.

“Kalian akan membawakan lagu lawas. Semacam remake? Apa lagu yang kalian berdua tahu?”

“Bagaimana kalau...” Jun Hoe mencoba untuk mengusulkan sebuah judul lagu.

“Jangan terlalu tua, Chanyeol tidak hidup di era-mu.”

Chanyeol sedikit tertawa.

“Candy, otte?”
“Sepertinya, aku bisa.” Chanyeol mencoba mengingat kembali daftar lagu didalam otaknya.

“Geureom. Aku akan membawa Kim PD untuk melakukan briefing ke kalian. Selamat berlatih.”

“Eoh.” Jawab Jun Hoe.

--

“Hee Bin Eonni, kenapa menelepon? Aku sedang bekerja.”
“Yak! Apa kau tau kenapa Han Bin aneh?”

“Aneh?”

“Ya, aku sudah tahu tentang hubungan kalian yang kandas. Tapi kenapa tiba-tiba Han Bin mau terikat dengan sebuah agensi?”

“Entahlah Eonni!”
“Apa kau menyuruhnya?”

“Ah Ra-ssi!”
“Eonni mian, aku harus menata anak-anakku dulu. Sampai jumpa.”

“Yak! Jun Hoe, hentikan minum air dingin, eoh? Yak! Kau masih harus bernyanyi, Yak!!”
“Arrasseo, Noona!”

--

Suatu malam, Ah Ra masih tetap berjalan sendiri. Merasakan dinginnya angin malam. Ada sebuah mobil van hitam misterius. Tiba-tiba saja, seseorang keluar dan berjalan tanpa menyadari ada Ah Ra yang sedang menatap was-was.

“Noona!” Dia akhirnya sadar. Junhoe, lelaki dengan suara gemuruh itu akhirnya sadar. Pandangan matanya kini berbeda dari biasanya. Seperti sebuah gelegar yang membuat wajahnya tenggelam, muram.

“Wajahmu berbeda ya. Atau mungkin karena topi yang kau pakai?” Ah Ra mencoba memancing Junhoe. Lelaki itu hanya diam.

“Junhoe, wae?” Ah Ra refleks menepuk pundak Junhoe.
“Noona!” lelaki itu tertunduk. Kakinya lemas, entah kenapa sehingga membuatnya terduduk di depannya. Membuat Ah Ra harus merelakan lututnya menempel di tanah. Bisa membuat lututnya terluka.

“Noona, ayahku masuk rumah sakit.” Ah Ra tidak membalas. Hanyaa tepukan lembut melayang di pundaknya.

“Haruskah kita ke rumah sakit?” tawar Ah Ra.
“Dia selalu berlaku kasar.” Ah Ra terperanjat.

“Seharusnya dia melihat ibu-ku selalu disampingnya walau saat sakit sekalipun. Ibuku selalu menolak saat aku mengajaknya pergi ke Seoul. Tinggal bersamaku. Semua yang ia tolak semata-mata hanya untuk menemaninya.”

“Jun Hoe...” Ah Ra menenangkan Junhoe.

“dan dia meninggalkan luka. Appo, sakit sekali.” Junhoe merintih sembari memegang dadanya. Entah kenapa, Ah Ra memeluk Junhoe dari samping.

“Junhoe, kau pasti bisa melewati semuanya. Buktinya kau bisa bersabar sampai sekarang. Bahkan kau membalas perlakuan ayahmu dengan kesuksesanmu sekarang. Jadi, aku yakin luka yang ada akan cepat terobati seiring dengan berjalannya waktu juga usaha-mu untuk mengikhlaskan semua. Maka luka itu akan menghilang. Hilang.” Diakhir perkataannya, Ah Ra menambahkan gerakan tangan seperti sedang melakukan sulap.

“Noona...”
“Wae?”

“Noona, sepertinya aku menyukaimu.”

Pukulan keras ke lengan Junhoe.

“Yak! Lebih baik pergi ke rumah sakit sekarang. Selain menjenguk ayahmu, aku pikir kepalamu butuh diperiksa.” Ah Ra berdiri dari posisi duduknya.

“Bisakah aku menumpang ke dalam van-mu?” canda Ah Ra yang langsung masuk ke dalam mobil van.

--

Matahari hari ini cerah. Setelah Ah Ra selesai dengan pekerjaannya, dia berniat untuk mampir ke restoran yang baru saja dibuka, diresmikan. Restoran milik teman sekaligus sahabatnya, Min Ji. Nuansa baru terlihat, restoran dengan gaya ala Eropa. Makanan yang disediakan juga makanan barat. Tapi dengan rasa Asia. Ah Ra melangkahkan kakinya, bau lezat dan kepulan asap sudah menyambutnya.

“Min Ji-ah... Min Ji-ah...”
“Omo, Ah Ra. Kau datang? Kukira kau sedang sibuk.”

“Anni, aku tau temanku punya acara spesial. Mana mungkin aku tidak datang. Aku pulang lebih dulu.”
“Jjang! Untuk temanku yang terkasih, aku berikan pelayanan spesial.”

“Jangan berlebihan, jeball!” canda Ah Ra.
“Kalau seperti itu, aku akan membawakanmu caramel machiatto. Otte?”
“Kedengarannya bagus. Aku mau satu. Ah, bawakan aku makanan juga.”
“Ah, nde.” Jawab Min Ji dengan bahasa formal.

“Dia terlihat lucu dengan bahasa formal-nya.” Ah Ra tertawa kecil.

Handphone-nya menyala sesekali. Ada pesan masuk. Ah Ra mengambil handphone yang ada di saku mantelnya. Matanya membesar, kaget, saat ia lihat nama siapa yang terpampang di layar Handphone-nya.

“Jun Hoe?” entah dari mana lelaki itu mendapatkan nomernya. Seingatnya, ia tak pernah memberikan nomernya pada Jun Hoe.

“Noona! Aku mendapatkan nomermu. Temui aku kalau kau kesal.”

Ah Ra hanya bergeming. Enggan untuk menjawabnya. Sebuah pesan kembali masuk, dari orang yang sama.

“Noona! Kau sudah pulang? Aku kira kau sedang tidur di mejamu.”

Ah Ra menjawabnya.

“Eoh. Aku sudah pulang. Ada yang harus kuurus.”

Tidak ada jawaban dari Jun Hoe.

“Apa seorang namja? Apa itu Han Bin?”
“Kenapa Han Bin?”

“Ah, kau sudah putus dengannya.”
“Kau mengingatnya?”
“Tentu saja. Siapa yang meneleponku siang-siang karena kejadian itu. ‘Min Ji-ya! Jemput aku di halte. Aku benar-benar lelah. Aku tidak menemukan stasiun kereta bawah tanah.’” Min Ji menirukan perkataan Ah Ra sambil menambahkan suara isakan.

“Entah kenapa, saat itu aku tidak menemukan stasiun kereta bawah tanah. Maafkan aku karena merepotkanmu saat itu, eoh?”
“Aku yakin kalau kau ke jalan yang salah.”
“Benarkah?”

“Biasanya kau memang seperti itu.” Min Ji bangun dari duduknya. Mempersilahkan sekumpulan mahasiswa untuk masuk.

“Tapi Ah Ra, bisakah kau bantu aku untuk hari ini saja?”
“Mwoya? Aku bukan pelanggan hari ini?”

“Maaf, tapi tiba-tiba pekerja part-time-ku tidak datang hari ini. Jadi bisa kau bantu aku?”
“Eoh. Aku tidak akan tega menolakmu.” Ah Ra membuka mantelnya dan menaruhnya di punggung kursi yang tadi ia tempati. Lengan kaos panjangnya sudah ia tekuk sampai ke atas siku.

“Kamsahamida.” Tunduk Ah Ra.

Seorang pelanggan baru mulai memesan.

“Apa kau punya ice americano?”
Ice americano? Ada. Kau mau pesan berapa?”

Mata Ah Ra dan pelanggan itu bertemu. Ah Ra langsung mengalihkan pandangan ke mesin pembuat kopi. Mata pelanggan itu seperti menantangnya.

“Aku pesan satu.” Jawab pelanggan itu singkat.

“Baik. Nanti benda ini akan bergetar jika pesanan sudah siap.” Menjulurkan benda berbentuk lingkaran itu.
“Oke. Terima kasih.”

Setelah menunggu sebentar, pesanan satu ice americano siap. Benda lingkaran itu bergetar. Sang pelanggan mendekat pada Ah Ra untuk mengambil pesanannya.

“Kau kerja disini?”
“Bukan, aku teman pemilik restoran ini.”
“Kalian teman baik?” tanya pelanggan itu lagi.

“Apa kau menyukai Min Ji?”
“Anni, aku hanya menyukai ice americano saja.” Pelanggan itu menyeruput ice americano-nya.

Apa dia sedang bercanda atau bagaimana.

“Ah nde. Kamsahamida.” Ah Ra berterima kasih setelah uang diberikan.

Seorang pelanggan lain mulai memesan.

“Annyeong haseyo, apa yang mau Anda pesan?”

Pelanggan Ice Americano Pov.

Aku masih tetap berjalan dengan koper besar yang selalu mengikutiku. Akhirnya aku sampai di Korea, setelah menyelesaikan jadwal penerbangan kesana kemari. Aku butuh kencan dengan wanita. Bukan kencan dengan pesawat. Seperti yang biasanya aku lakukan. Terbang bersama, dan mendarat bersama. Mengarungi langit, di atas awan, dan tersenyum bersama saat sudah sampai tujuan dengan selamat. Ya,  kalau dipikir-pikir, liburanku benar-benar berbeda dengan orang kebanyakan. Aku libur, disaat mereka semua bekerja, puncak dari kelelahan mereka. Aku melewati sebuah restoran baru. Bergaya Eropa tapi aku mencium bau kimchi dari dalam. Aku merindukan ice Americano.

Seorang Yeoja berada di depan etalase mungil di dekat meja kasir. Menunggu untuk sebuah pesanan. Mungkin pelayan di Restoran ini.

“Apa kau punya ice americano?”
Ice americano? Ada. Kau mau pesan berapa?”

“Aku pesan satu.”Aku memang merindukan Ice Americano. Tapi aku tak perlu untuk memesan lima sekaligus.

Sumpah, matanya benar-benar bulat dan lebar. Itu, cukup indah.

“Apa kau menyukai Min Ji?” jawabnya saat Ice Americano-ku sudah sampai di tanganku.

Aku merasakan wajahku sudah menunjukkan mimik wajah terendah-ku. Min Ji siapa? Seorang penumpang? Apa kau kira aku hapal semua penumpang di dalam pesawatku? Aku hanya bertanya apa dia teman baik pemilik restoran itu, dan langsung menanyakan apa aku suka Min Ji? Aku bahkan baru mendengar namanya. Dia perempuan yang terlalu defensif. Tertutup, atau mungkin seorang yeoja yang terluka? Lalu menjaga jarak dengan namja manapun.

“Anni, aku hanya menyukai ice americano saja.” Aku menjawabnya singkat, dan menerima kembalian.
“Ah nde. Kamsahamida.”

Ice Americano-nya lumayan enak. Bukan sekedar biji kopinya saja yang bagus. Tapi Yeoja itu memberikan sirup dalam gelasku, pas. Tidak kelebihan ataupun terlalu sedikit. Lalu kenapa aku harus terharu dengan sirup.

Pelanggan Ice Americano Pov. END

Kim Han Bin sudah menjadi penyanyi. Lagunya terdengar hebat, mengisi ruang udara yang ada. Bahkan di ruangan Ah Ra sekalipun. Tapi Yeoja itu merasa biasa saja. Masih terpaku dengan gambaran singkat untuk acara musik kali ini. Sesekali Ah Ra mengetuk lantai dengan sepatunya, mencoba merasakan beat dari lagu Han Bin.

“Dia bagus saat rap.” Gumamnya sendiri. Seperti sedang mengajak handphone-nya yang amti berbicara.

Nam Ah Ra dan Jun Hoe selalu dekat. Sebenarnya, hanya Jun Hoe yang selalu mendekati Ah Ra. Mungkin Jun Hoe menganggap Ah Ra sebagai Noona-nya. Benar-benar Noona-nya. Dia langsung menarik bangku beroda itu untuk bisa duduk disamping Ah Ra yang masih terpaku dengan lembaran-lembaran kertas didepan wajahnya.

“Noona, aku membawakanmu soda.”
“Gumawo.” Ah Ra mengambil kaleng minuman itu dari genggaman Jun Hoe. Tanpa mengalihkan pandangan sedikit-pun.

“Noona, kau ternyata benar-benar sibuk hari ini.”
“Ah, Jun Hoe, bagaimana dengan drama musikal-mu? Bagaimana kabar Chanyeol?”

“Gara-gara kau Noona, menyuruh kami untuk berduet. Aku harus satu drama musikal dengannya.” Jawab Jun Hoe.

“Wae? Bukankah kedengarannya memang bagus?”
“Bagus? Hanya itu komentarmu?”

“Lalu aku harus berkomentar seperti apa?” Ah Ra mulai menambahkan beberapa kalimat dalam lembaran kertasnya.

“Apa kau mau menonton kami? Malam ini, kami tampil di gedung dekat sini. Kenapa tidak coba luangkan waktu untuk menonton?”
“Bagaimana ya...”

“kau tidak bisa malam ini? Lusa kau masih bisa menonton, itu hari terakhir. Jadi jangan melewatkannya. Kau masih punya uang-kan untuk membeli tiket-nya?”

“Aku sudah menonton kalian.”
“Heh?” Jun Hoe memupus keinginan untuk meminum soda di genggamannya. Mencoba mencerna apa yang barusan Ah Ra katakan.

“Nam PD-nim, kau sudah menonton?” Ah Ra hanya mengangguk santai.

“Noona sudah mencocokkan judul drama musikal-nya, siapa tau kau salah menonton.”
“Aku sudah menonton kalian berdua bertarung dengan pedang.”

“Mwo? Kapan kau menontonnya?”
“hari pertama.”

“hari pertama? Kenapa aku tidak melihatmu.”
“Bagaimana kau bisa melihatku diantara puluhan penggemarmu. Chanyeol datang kesini, sehari sebelum kalian bermain dalam drama musikal. Lalu dia memberiku tiket. Aku tidak bisa menolaknya, apalagi aku punya waktu luang. Jadi aku bisa melihat kalian.”

“Chanyeol? Memberimu tiket?” Ah Ra hanya mengangguk lagi.

“Akan kuberi pelajaran pada Chanyeol. Dia tidak memberitahuku, bisa-bisanya dia jahat sekali padaku?” rutuk Jun Hoe yang mulai menjauh dari Ah Ra yang masih tetap sibuk melihat lembaran putih yang bertumpuk, berantakan.

--

“Kenapa dia datang?”
“Dugu?” tanya Ah Ra setelah membuka halaman majalah berikutnya.

“Itu, lelaki yang ada di sana. Dia akan memesan Ice Americano lagi?”
“Kenapa tanya aku Min Ji?” Ah Ra kembali memfokuskan pandangan pada majalah-nya.

“Dia datang tiga bulan sekali. Dia selalu datang disaat kau ada disini. Bagaimana waktunya bisa tepat? Apa kau mengenalnya? Apa kalian kencan buta?”
“Mwo? Anniya!” jawab Ah Ra yang lagi-lagi tetap fokus pada majalahnya.

“Lalu kenapa dia disini?”
“Memesan sesuatu.”
“Anni, selain itu.”
“Mungkin dia menyukaimu, Min Ji.” Jawab Ah Ra dengan santai. Masih dengan halaman majalahnya.

“Jjinja? Sepertinya bukan itu. Kalau dilihat-lihat, dia berpakaian seperti seorang pilot.”
“Ah, benarkah?”

“Yak! Ah Ra, lihat sebentar saja.” Paksa Min Ji. Ah Ra menengadahkan kepala, ya namja itu pernah memesan ice americano dan sekarang dengan penampilan yang berbeda. Pakaian yang formal, dan terlihat seperti seragam seorang pilot.

“Ya, kalau dilihat dia memang pilot. Dengan koper besarnya.” Ah Ra kembali melihat majalahnya. Untuk apa melihat namja ‘ice americano’ itu.

“Kenapa tidak kau layani dia, Min Ji?”
“Dia sudah mendapat pesanannya. Aku sudah punya pekerja part-time sekarang. Kau tidak perlu khawatir.”

“Ah, memang terlihat seperti itu. Sudah tidak ada keringat yang membasahi wajahmu.” Memperhatikan wajah Min Ji.

Min Ji tersipu, lalu meninggalkan Ah Ra yang amsih termangu pada majalah yang menampilkan berbagai model baju.

“Yang Yoseob.” Seseorang mendekatinya, dan sebuah gelas plastik berisi ice americano mendarat dimejanya. Disamping croissant dan segelas Caramel Machiatto-nya.

Ya, mungkin kepakan kupu-kupu di dalam dirinya akan bertambah keras saat namja ‘ice americano’ itu mulai mengatakan sesuatu lagi.

“Apa aku boleh duduk?”

Hanya anggukan kepala yang terlihat.

 

 

 

 

 

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet