Trapped In Your Love.

Description

Bagaimana jadinya bila Jeon Yesang (OC) dijodohkan dengan kakak angkatnya sendiri? Apa yang akan terjadi padanya? Apakah Kibum yang selama ini memendam rasa terhadap adik angkatnya itu akan menerima perjodohan tersebut? [KIM KIBUM x OC]

Foreword

                Terjebak dalam suatu masalah bukanlah sesuatu yang menyenangkan bukan? Namun, inilah siatuasi yang kini dialami oleh Yesang, seorang putri angkat di keluarga Kim. Keluarga itu sudah mengadopsi Yesang sejak gadis itu berusia 1 tahun. Bukan tanpa alasan keluarga itu mengangkat Yesang menjadi putri mereka. Sekitar 17 tahun yang lalu, Nyonya Kim yang baru saja melahirkan harus kehilangan bayi perempuannya. Bayi itu meninggal karena lahir terlalu prematur. Duka pun menyelimuti keluarga itu. Sang putra pertama keluarga Kim, Kibum, yang waktu itu baru berusia 5 tahun terus menangis karena sedih. Ya, bocah laki-laki itu sangat sedih saat ia mendapati bahwa adik perempuan yang selama ini ia idam-idamkan meninggal dunia tepat saat kelahirannya. Karena tidak tahu apa yang harus dilakukan, akhirnya keluarga itu pun memutuskan untuk mengadopsi seorang anak perempuan dari sebuah panti asuhan.

Dan Yesang adalah anak itu.

                Gadis kecil berumur 1 tahun itu kini telah menjelma menjadi seorang gadis cantik berusia 18 tahun. Yesang baru saja lulus dari SMA nya di Seoul. Ia tinggal bersama dengan ayah, ibu, dan juga kakak angkatnya. Kehidupan keluarga dan sekolahnya sangatlah membahagiakan. Keluarga Kim sangat menyayangi Yesang seperti putri mereka sendiri. Ditambah dengan prestasi gemilangnya di sekolah membuat gadis itu semakin disukai oleh teman-teman maupun guru-guru di sekolahnya.

Kehidupan Yesang sangat sempurna.

                Yesang sendiri memang sudah tahu bahwa ia bukanlah putri kandung di keluarga itu. Yesang baru mengetahuinya saat ia masih berusia 14 tahun. Sang ibulah yang memberitahunya. Yesang sempat menjadi canggung terhadap seluruh anggota keluarga di rumah itu. Terutama kakak laki-lakinya yang usianya lebih tua 4 tahun darinya. Bagaimana mungkin gadis itu bisa bersikap normal saat ia mendapati bahwa kakak yang selama ini tinggal dan hidup bersamanya selama 13 tahun ternyata bukan kakak kandungnya? Namun, sikap Kibum yang dewasa dan pengertian mampu membuat sikap Yesang yang tadinya agak menjaga jarak dengan mereka kembali menjadi normal. Yesang menghabiskan masa-masa remajanya penuh dengan kasih sayang dari keluarganya.

Namun, semua itu kini telah berubah.

Semuanya berubah tepat tiga hari yang lalu.

                Hari itu, Tuan dan Nyonya Kim memanggil kedua anaknya untuk membicarakan hal yang serius. Yesang yang baru saja pulang ke rumah bersama dengan sang kakak pun terheran. Karena tidak biasanya kedua orang tua Yesang dan Kibum memanggil mereka untuk membicarakan sesuatu.

“Kibum, Yesang, ayah ingin membicarakan sesuatu pada kalian.” Ucap Tuan Kim—sang kepala keluarga dengan tatapan yang sangat serius.

“Ada apa, ayah? Tumben sekali kau memanggil kami. Apa kami membuat kesalahan?” Ujar Kibum.

Sang ayah menggeleng pelan, “tidak. Kalian tidak membuat kesalahan apapun.”

“Lalu?” Tanya dua kakak-beradik itu kompak.

                Tuan Kim sempat menoleh kemudian menatap sang istri sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya yang sempat tertunda.

“Kami ingin menjodohkan kalian berdua.”

                Seketika, suasana di ruang keluarga itu menjadi mencekam. Tatapan tak percaya terlontar dari dua pasang iris berwarna senada itu. Yesang yang kini sudah meneteskan air matanya pun segera berlari ke arah kamarnya dan mengunci diri disana. Kibum sendiri sekarang tengah berdiri dari sofa sembari menggeram karena menahan kesal.

“Apa maksud ayah dan ibu ingin menjodohkan kami!? Kami ini saudara! Yang benar saja! Yesang itu adikku!”

“Jaga nada bicaramu saat sedang bicara dengan ayahmu!” Ujar sang ibu—membuat Kibum bungkam seribu bahasa.

                Sang ayah hanya bisa menghela nafas sembari menatap putranya.

“Maafkan ayah. Tapi, ini sudah menjadi keputusan kami. Ayah dan ibu hanya tidak ingin melihatmu bersanding dengan wanita yang tidak jelas. Kau sudah cukup dewasa untuk menikah dan meneruskan perusahaan ayah. Jadi, Yesang adalah pilihan yang terbaik menurut kami.”

“Terbaik menurut kalian, bukan berarti terbaik menurutku. Biar bagaimana pun juga, Yesang tetaplah adikku! Aku menyayanginya sebagai adik, aku tidak mungkin bisa menikahinya!”

“Tapi, kalian sama sekali tidak punya hubungan darah, Nak...” Tiba-tiba Nyonya Kim membuka suaranya—Kibum pun langsung menatap tajam ke arah ibunya.

“Aku tahu, Bu. Tapi...”

“Kau sudah 23 tahun Kibum, sudah saatnya kau meneruskan perusahaan ayahmu dan menikah.” Ujar sang ibu lagi sambil memegang tangan putranya yang kini sudah kembali duduk di sofa.

“Aku tetap tidak bisa, Bu. Yesang itu adikku...” Jawab Kibum lirih sambil menatap nanar ibunya dengan air mata yang mulai menggenagi pelupuk matanya.

“Ayah mengerti dirimu, Nak. Ayah akan memberimu dan Yesang waktu satu minggu untuk mempersiapkan mental kalian.”

                Kibum terperanjat, “mwoya? Satu minggu lagi? Kami menikah?”

                Sang ibu hanya bisa mengangguk pelan lalu mengelus bahu putranya dengan lembut, “Ibu mengerti perasaanmu, Nak. Pikirkan ini baik-baik, kau ingin membuat kami bahagia ‘kan?”

                Kibum terdiam—lidahnya terasa sangat kelu untuk membalas ucapan sang ibu sekarang. Kibum yang tidak ingin berdebat pun segera pergi dari sana—meninggalkan ayah dan ibunya.

“Apa kau yakin ini adalah pilihan yang terbaik?” Tanya Nyonya Kim pada suaminya.

“Tentu saja. Kau tidak perlu khawatir.”

                Nyonya Kim pun menghela nafas. Biar bagaimana pun juga, keputusan ini adalah keputusan yang sangat sulit bagi Kibum—apalagi Yesang.

‘Aku harap Yesang akan baik-baik saja.”

.

.

TOK TOK

“Yesangie...” Panggil Kibum—seusai pria itu mengetuk pintu kamar Yesang.

“Oppa..?” Terdengar suara Yesang dari dalam kamarnya. Gadis bersurai hitam itu pun segera membukakan pintu untuk sang kakak.

“Masuklah...” Sambungnya.

                Kibum pun masuk ke dalam kamar Yesang lalu menutup pintunya. Hati terasa sangat pilu saat ia melihat kondisi Yesang sekarang ini. Mata yang bengkak, wajah yang pucat, dan suara yang  parau akibat menangis selama berjam-jam.

“Kenapa Oppa kemari?” Tanya Yesang lirih sambil duduk di kasurnya.

                Bukannya menjawab, Kibum malah duduk di samping Yesang—lalu memeluknya erat. Sekujur tubuh pemuda itu bergetar—tak kuasa menahan kesedihan yang melanda jiwanya saat ini.

“Ayah dan ibu... akan menikahkan kita minggu depan, Yesangie...”

“Mwo!? Menikah!? Minggu depan!? Shireoyo, Oppa. Aku tidak mau...” Tangis Yesang pun kembali pecah. Ia tak kuasa untuk menahan air matanya yang kini tengah tumpah membasahi kedua pipinya.

“Aku sudah berusaha untuk menolaknya, tapi.. tetap saja tidak bisa...”

                Yesang pun mengadahkan kealanya—menatap kedua iris hitam milik Kibum, “lalu apa yang harus kita lakukan, Oppa..? Aku masih ingin kuliah, aku tidak mau menikah...”

                Kibum hanya bisa terdiam—tak mampu menjawab pertanyaan demi pertanyaan Yesang yang menyayat hati. Pria berusia 23 tahun itu lebih memilih diam sembari memeluk erat sang adik—yang sama sekali tidak memiliki hubungan darah—yang kini kembali terisak.

“Kita tidak bisa melakukan apa-apa, Yesangie. Maafkan aku...”

.

.

                Satu minggu pun telah berlalu. Semuanya terasa begitu cepat bagi kedua insan tersebut. Ya, Yesang dan Kibum. Mereka akan menikah hari ini juga, hari dimana mereka akan terikat dengan janji suci perkawinan—yang seharusnya menjadi hari yang paling membahagiakan bagi dua insan tersebut.

                Yesang kini tengah berdiri di hadapan sebuah cermin besar yang memantulkan sosok dirinya yang dibalut oleh sebuah gaun putih cantik berhiaskan mawar putih di sekitarnya. Penampilan gadis itu kini dapat membuat siapapun terpesona, termasuk sang ibu.

“Kau sangat cantik, Yesang.”

                Yesang pun menoleh ke sumber suara—ibunya baru saja memasuki ruangan riasnya. Gadis bersurai hitam itu tersenyum lirih. “Terima kasih, ibu.”

                Nyonya Kim menghampiri putri angkatnya, putri yang telah ia rawat sejak gadis itu masih berusia 1 tahun. Wanita paruh baya itu mendekap erat Yesang sambil membisikkan sesuatu.

“Ibu tahu ini pasti sangat berat untukmu, tapi percayalah.. kami melakukan ini semua demi kebaikan dan masa depan kalian berdua.”

                Yesang hanya bisa tertunduk lemas sembari membalas pelukan sang ibu yang selama 17 tahun telah membesarkannya. Gadis itu lebih memilih untuk bungkam—tidak menjawab sepatah kata pun kepada sang ibu. Air mata kembali menetes dari pelupuk matanya tatkala ia mengingat bahwa sebentar lagi ia akan menikah dengan pria yang selama ini ia anggap sebagai kakaknya.

“Jangan menangis lagi, Yesang. Kau sudah terlalu banyak menangis. Tersenyumlah, itu akan membuatmu jauh lebih baik.”

                Yesang pun melepaskan pelukan sang ibu kemudian mengangguk kecil. Tangan mungil gadis itu mengusap air mata yang masih mengalir di pipinya.

.

.

                Tampak seorang pria berpostur tegap yang kini tengah mengacak-acak rambutnya frustasi. Bagaimana tidak? Sekitar beberapa menit lagi, ia akan menikah. Pria mana yang tidak gugup jika akan dihadapkan dengan situasi seperti ini? Terlebih lagi, Kibum akan menikah dengan wanita yang selama ini ia anggap sebagai adik perempuannya. Bukannya tidak suka, Kibum sebenarnya sangat senang. Ya, pria berusia 23 tahun itu selama ini telah memendam rasa kepada Yesang, seorang anak panti asuhan yang diadposi oleh ibunya saat ia masih berusia 5 tahun. Tumbuh besar dalam sebuah keluarga bahagia—sebagai kakak dan adik telah membuat pria yang memiliki sneyuman indah itu jatuh cinta pada Yesang.

                Ya, Kibum memang mencintai Yesang.

                Tapi, bagaimana dengan gadis itu?

                Bayangkan saja, bagaimana rasanya menjadi seorang gadis berusia 18 tahun yang kini harus menikah dengan pria yang selama ini telah tumbuh besar sebagai kakaknya selama 17 tahun? Sulit dipercaya bukan? Tapi, itulah kenyataan yang harus Yesang terima saat ini. Jujur saja, ingin sekali rasanya Kibum membatalkan pernikahan ini jika ia tidak mengingat perasaan ayah dan ibunya yang telah merawat dan membesarkannya selama 23 tahun. Ia lebih baik tidak pernah menikah dengan Yesang daripada harus melihat gadis itu terus-terusan menangis dan bersedih karena menikah dengannya.

                Hati pria itu bagaikan terkoyak. Kibum tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Kibum memukul meja yang kini berada di hadapannya sembari menggeram.

“Kenapa hal seperti ini harus terjadi padaku!?”

                Hampir saja Kibum meneteskan air matanya jika sang ayah tidak segera masuk untuk melihat apa yang terjadi. Sang ayah yang bingung dengan suara dentuman barusan pun memutuskan untuk melihat keadaan Kibum. Ya, keadaan Kibum yang sebenarnya sedang kacau sekarang.

“Kim Kibum.”

                Pria pemilik nama itu pun menoleh kepada snag ayah yang kini tengah menghampirinya. Senyum lirih dan air mata mengalir dari dua manik hitam legam milik Kibum—membuat sang ayah terkejut saat melihatnya.

“Apakah ayah tahu bagaimana perasaanku saat ini?”

                Satu pertanyaan dari sang putra membuat Tuan Kim hanya bisa menundukkan kepalanya. Pria paruh baya itu tidak tahu harus menjawab apa meskipun ia melakukan ini semua demi kebaikan keluarganya.

“Ayah mengerti, Nak.” Sang ayah pun akhirnya menjawab.

“Lalu kenapa ayah melakukan hal ini padaku?”

                Tuan Kim menghela nafas panjang lalu menghampiri putranya.

“Ayah melakukan ini semua demi keluarga kita. Ayah tidak mau bila perusahaan ayah nanti akan jatuh ke tangan wanita yang tidak baik. Tapi, kalau Yesang, ayah sudah mengenalnya. Ia tumbuh bersama kita selama 17 tahun. Ia gadis yang sangat baik, dan kau mencintainya. Ayah tahu itu.”

                Kedua iris hitam legam milik Kibum terbelalak saat ia mendnegar ucapan ayahnya barusan. “Ayah tahu darimana kalau aku mencintainya?”

                Sang ayah pun tertawa lalu menepuk-nepuk bahu putranya, “tentu saja ayah tahu. Ayah ini ‘kan juga seorang laki-laki. Ayah tahu bagaimana perasaanmu yang sesungguhnya, Nak.”

                Kibum kini tertunduk malu mendengar pernyataan yang baru saja dilontarkan ayahnya. Ia pikir selama ini hanya ia sendiri yang mengetahui perasaannya. Sang ayah terkekeh pelan lalu berjalan menuju pintu keluar ruangan Kibum.

“Jika kau memang mencintai Yesang, bahagiakanlah dia.”

                Dan kini Kibum tahu apa yang harus ia lakukan.

 

To Be Continued.

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet