Final..

On Rainy Day

On Rainy Day

By:

DeerLuvian

.

Mendung menggantung di atas sana. Sedikit gelap menggantikan sinar mentari yang sempat berkuasa. Tahu hari akan hujan, Myungsoo menyudahi percakapan dengan Sungkyu; kakak kandungnya. Di sebuah kafe yang dikelola oleh Sungkyu, Myungsoo cukup menghabiskan hari dengan mengobrol seputar pekerjaan di kantor. Dan saat ini tibanya ia pulang mengingat mendung sudah memanggilnya.

Myungsoo merogoh sebuah payung dari dalam tas. Ia sengaja mengambilnya sekarang demi mengantisipasi tiba-tiba hujan di jalan. Sebelum tubuhnya benar-benar pergi dari kafe, lambaian tangan dan seruan perpisahan Myungsoo terima. Adalah Sunjong, salah satu pegawai yang dipercaya Sungkyu menyapanya dengan lambaian tangan.

“Aku akan pulang sekarang!!” Seru Myungsoo menyahut sapaan yang diberikan Sunjong.

Sunjong mengangguk antusias dengan tangan masih mengelap kaca kafe. Setelahnya Myungsoo mulai menggerakkan kaki ke tengah jalan.

Jalanan yang ia tempuh cukup ramai; mendung memaksa si pejalan berjalan cepat-cepat. Ia mendongak sejenak, sepertinya tak ada satu menit akan hujan. Dan benar dugaan Myungsoo, setetes air jatuh di hidung Myungsoo. Segera Myungsoo membuka payung dan mulai menghalau air hujan yang akan membasahi tubuhnya.

Ia terdiam sebentar. Tak tahu apa alasannya, Myungsoo menghentikan langkah. Arah pandang ia bawa ke langit yang ada di jauh sana. Butiran air itu cukup menariknya untuk memaku pandangan. Hingga pada detik entah ke berapa sesuatu memaksa kedua mata Myungsoo membelalak terkejut.

“Soo-Soojung!!” Bibirnya mengucap sebuah nama. Walau ada rasa keterkejutan yang membalut tubuhnya, Myungsoo masih bisa membiarkan sebuah nama yang tak tahu sejak kapan menciptakan luka di hati terucap.

Tubuhnya membeku manakala tatapan mata lembut itu mengarah pada kedua mata elangnya yang tampak meredup.

Sang gadis –pemilik nama- juga menampilkan ekspresi yang sama; terkejut dan nyaris menjatuhkan payungnya. Mungkin sama seperti Myungsoo, ia tak menyangka dan berharap akan saling bertemu di tempat ini dalam keadaan seperti ini.

.

.

.

.

Pada akhirnya, Myungsoo dan Soojung duduk saling berhadapa di kafe Sungkyu. Keheningan jelas menyelimuti keduanya. Tak ada sepatah kata yang terucap setelah mereka menempatkan diri di kursi masing-masing. Masih ada sisa atau bahkan rasa canggung yang berlebih di antara keduanya.Sehingga menyebabkan gaduh rintik air yang beradu dengan jazz klasik terdengar menguasai mereka.

Yang dilakukan Myungsoo sedari tadi adalah mengeratkan pegangan pada cangkir kopi. Sesekali ada desah berat yang memburu di bibirnya. Selain itu, arah pandang mata elang miliknya hanya tertuju pada meja. Tak tahu apakah Myungsoo akan mencoba mendongak atau tidak, yang jelas ia masih menata hati dan keberanian untuk mengungkapkan kata.

Sama seperti Myungsoo, Soojung pun demikian. Ia merasa bingung dalam situasi seperti ini. Siapa yang bermula mengajak duduk di dalam kafe dan berakhir dengan demikian? Apakah ia atau Myungsoo? Ia tak ingat seolah ia lupa ingatan pada saat itu juga. Soojung mendesah pelan, ia melirik kilat pada Myungsoo yang masih setia dalam kediaman. Sepertinya ia bosan dengan keadaan ini.

“Kau apa kabar oppa?”

Suara lembut Soojung menarik kepala Myungsoo untuk terangkat. Kedua mata elang Myungsoo tak sengaja bertabrakan dengan manikan cantik Soojung.

Myungsoo tersenyum kikuk. “A-aku.. Baik!” Jawabnya canggung. “Kau?”

“Aku baik-baik saja.”

Hening. Kembali hening lagi. Kutuklah Myungsoo yang tak memiliki keberanian untuk berkata-kata.

Emm....” Myungsoo menggumam pelan sebelum ia berdeham. Ia menarik nafas dalam. Kali ini harus ada percakapan yang terjadi. “Kau.. Apa kau.. Benar-benar menikah?” Pertanyaan ini memang menyesakkan dadanya saat itu juga. Tapi entah mengapa bibirnya sanggup mengucapkannya.

Soojung tersenyum hangat. Ada raut yang tak bisa dibaca Myungsoo; entah ia tengah senang atau sedih.

“Kau bisa melihatnya di jariku.” Myungsoo mengerutkan keningnya bingung. Mengikuti apa yang dikatakan Soojung, ia menggulirkan bola mata pada jari-jari Soojung yang menangkup cangkir.

Myungsoo menatap Soojung kemudian. “Kau? Kau tidak jadi menikah?” Tanya Myungsoo reflek.

Eh?” Soojung membiarkan sekejap waktu berputar dengan sepi. Ia menunduk, menghindari tatapan penuh tanya dari Myungsoo. Sedetik kemudian, ia mengangguk kecil.

Myungsoo masih belum sanggup mencerna dengan baik maksud dari gerakan Soojung. Ia menajamkan matanya untuk menuntut penjelasan lebih dari Soojung.

“Pernikahan itu dibatalkan.” Soojung berucap seolah ia paham dengan maksud tatapan dari Myungsoo.

“Dibatalkan? Kenapa?”

Soojung mendesah pelan. Di dalam dada ada getir sendiri manakala pertanyaan itu terdengar dari bibir Myungsoo.

“Jongin bukan lelaki yang baik! Appa baru sadar bulan lalu!!”

Myungsoo menjauhkan belah bibirnya mengerti. Ia terdiam sejenak. Ada bungah aneh yang menggelitik ruang hatinya yang sempat kelabu. Apakah ini sebuah pertanda yang baik? Myungsoo tak tahu, yang jelas ia berharap semua ini memang jalan untuknya. Sebuah penantian tidak akan menghianatinya kan?

Setelahnya hanya ada percakapan biasa yang diberikan; meski ada rasa canggung yang mengiringi. Keduanya larut dalam bahasan-bahasan kecil. Dari sana Myungsoo bisa mendengar alasan yang lebih dalam tentang kelanjutan rencana Tuan Jung –ayah Soojung-. Myungsoo tahu bagaimana ia bersikap selanjutnya untuk menarik kembali perhatian sang pujaan hati.

Ada kesempatan jangan dibuang begitu saja bukan?

.

.

.

.

.

“Kesempatan bukan? Masih sendiri loh!!” Sungkyu sedikit menekankan kata sendiri saat mengucapkan kalimatnya seraya meletakkan sepiring kue untuk Myungsoo.

Myungsoo mendesah; mata elangnya melirik Sungkyu sedikit tak suka. Memang yang dikatakan Sungkyu benar, Soojung masih sendiri selepas gagalnya perjodohan itu. Tapi tidak semudah yang dibayangkan. Tak semudah membalikkan telapak tangan. Semua butuh proses. Salah satunya adalah persiapan diri. Apa Myungsoo dalam tahap siap? Tidak, Myungsoo masih sedikit belum siap.

Ada lembaran luka yang seakan enggan menghilang saat itu juga.

Sungkyu menatap datar Myungsoo lalu menjumut satu kue. “Terus? Kau ingin Soojung lepas lagi? Kau tidak ingat bagaimana dirimu masuk dalam kategori gila saat itu?” Ucapnya santai seraya mengunyah makanan itu. Pikiran Sungkyu sejenak melayang, menguliti kepingan memori tentang Myungsoo dan Soojung.

Tak jauh berbeda dari Sungkyu, otak Myungsoo juga berkelana pada masa lalu. Ada sekelebat bahkan berkelebat bayangan tentang mereka berdua; Myungsoo dan Soojung. Saat dulu dimana masih terikat dalam satu ikatan cinta. Saat keduanya masih menjadi sepasang kekasih yang harmonis. Saat sebelum belenggu membuat Myungsoo harus mundur dan kalah dalam sebuah peperangan.

Siapa yang sanggup melawan sebuah kuasa?

“Apa aku harus mendekatinya lagi?” Tanya Myungsoo pasrah.

Sungkyu tertawa remeh. “Kenapa tidak? Kau lebih baik bersama dia daripada sendiri. Tapi!” Sungkyu mencondongkan tubuhnya pada Myungsoo. “Apa appa-nya akan meloloskanmu?”

Huftt..” Saat itu juga sebuah desahan berat menguar dari bibir Myungsoo. “Melangkahi appa Soojung bagaikan melompat di sungai penuh buaya.”

“Kau berlebihan!!”

“Tapi memang seperti itu.”

Jika harus kembali membaca ingatan yang tertulis di otak, Myungsoo akan menitikkan air mata. Terjadi akibat rasa perih dan sesak yang bersatu di dalam hati. Perih dan sesak itu ditorehkan oleh Soojung beberapa bulan yang lalu. Tepat hari jadi mereka yang kedua. Menyedihkan. Kenapa itu harus terjadi? Kenapa di saat Myungsoo sangat menginginkan Soojung sebagai pendamping hidupnya harus berakhir secara tragis? Kenapa Myungsoo harus berpisah dengan Soojung.

Kekejaman itu dimulai sejak Soojung mengetahui bahwa perusahaan sang ayah tidak dalam keadaan yang sehat. Keadaan itu jelas digunakan sang ayah untuk memanfaatkan kecantikan sang anak. Perjodohan untuk menyelamatkan perusahaan. Alasan klasik. Myungsoo sangat membenci itu. Sangat. Karena itu telah membuatnya harus terpaksa berpisah dengan Soojung.

Sakit, pasti. Jelas rasanya sangat menyakitkan. Tapi Myungsoo juga tak mau harga dirinya jatuh bukan? Ia mencoba untuk menerima tanpa memprotes apapun. Mungkin ini memang terbaik untuk mereka. Bahkan Myungsoo menyugesti dirinya dengan ucapan mungkin mereka tidak berjodoh.

Yah, berusahalah!! Jika dari kacamataku..” Sungkyu menggantungkan ucapannya setelah ia bangkit dari duduk. “Dia masih memiliki rasa untukmu!”

Kedua alis Myungsoo menyatu. “Begitu?”

“Menurutmu?”

“Semoga!!”

Sungkyu tersenyum lebih tulus kali ini. Ia sempatkan menepuk pundak Myungsoo sebelum pergi. Sungkyu memberikan waktu bagi Myungsoo untuk merenungkan segalanya. Bila Sungkyu tak salah ingat, ini kali pertama mereka bertemu setelah insiden pertunangan dilakukan Soojung. Sungkyu cukup mengerti bagaimana rasa sakit yang diderita Myungsoo selama ini.

.

.

.

.

.

Hari hujan yang lain. Setelah masuk dalam musim gugur, hujan lebih sering turun. Dan hari ini Myungsoo menghabiskan waktu istirahatnya dengan memandang rintikan hujan itu. Ada yang mengganjal dirinya sejak hujan turun di bulan ini. Rasanya memang ada yang berbeda. Myungsoo tak sepenuhnya mengerti itu.

Ah, setelah lama merenung memandang bulir-bulir air mata langit itu, Myungsoo sadar. Hal yang mengganjal adalah kebetulan yang entah bagaimana menyebutnya. Apa benar suatu kebetulan atau memang takdir.

Pertama kali dulu, saat hujan turun dan Myungsoo tengah memeluk erat Soojung, pelukan itu terlepas paksa. Soojung memutar tubuhnya dan menatap Myungsoo dengan tatapan bersalah, Myungsoo tak tahu dengan tatapan itu. Setelah cukup lama, ternyata Soojung ingin memutuskan hubungan mereka. Ia telah dijodohkan dengan anak dari rekan kerja sang ayah.

Kedua kali, kemarin saat ia lepas dari kafe Sungkyu. Secara tidak sengaja Myungsoo bertatap muka dengan Soojung setelah beberapa bulan berlalu. Dan berakhir di kafe Sungkyu dengan kabar yang mengejutkan. Myungsoo sempat merutuki diri yang tak mencari tahu keadaan Soojung setelah mereka putus.

Bibir Myungsoo dipaksa mengembang kecil mengingat hal itu. Apa ini takdir atau kebetulan?

“Sebentar lagi rapat Manajer Kim. Kau masih tetap disini?” Sehun menepuk pundak Myungsoo. Mendapati sang bos hanya melamun membuatnya sedikit bersalah. Jika nanti ada direktur yang sewaktu-waktu datang dan memergokinya melamun Sehun harus apa?

Myungsoo menggumam kecil; menyahut pertanyaan Sehun. Ia bangkit dan beralih pada kursi kerja. Cukup lama melamun membuatnya pegal. Lekas ia meraih gelas kopi dan menyeruputnya cepat.

“Sehun!” Panggil Myungsoo selepas ia membahasi tenggorokannya.

Sehun menaikkan sebelah alisnya dan mendekat pada Myungsoo.

“Apa yang kau lakukan jika mantan kekasihmu yang sangat kau cintai ternyata tak lagi bersama dengan orang lain. Apakah kau akan mendekatinya lagi?”

“Jelas!” Tanpa berpikir panjang, Sehun menjawab pertanyaan Myungsoo. “Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan langka itu.” Ia tersenyum pada Myungsoo. “Kalau kita memang masih ada rasa dan kesempatan dalam waktu yang sama, kenapa tidak? Belum tentu itu akan datang kedua kalinya.”

Lelaki yang lebih tua merenung seketika. Ia meresapi setiap kata yang diucapkan oleh Sehun. Sepertinya memang benar, harus kembali direbut. Apalagi ia menghilang bukan karena keinginannya sendiri.

“Apa kau sedang membicarakan seseorang? Siapa?” Sehun menaikkan sebelah alisnya; menggoda.

Myungsoo tersenyum kecil. “Ada. Lalu, apa kau akan bersikap berbeda atau tetap seperti dulu? Seolah tidak ada apa-apa?” Tanya Myungsoo lagi.

“Maksudmu?”

“Tidak. Bukankah akan terasa canggung jika tiba-tiba kita meminta ia kembali?”

Sehun mendelik sejenak sebelum sebuah tawa menggelegar terdengar. “Canggung? Itu pasti!! Tapi kita bisa mengendalikannya. Ada ada denganmu hyung? Kemana dirimu yang selalu berani dan tidak mudah bimbang seperti ini?” Walaupun Sehun tidak tahu duduk permasalahannya, ia cukup pandai membaca raut muka yang ditunjukan oleh Myungsoo.

Tak menanggapi langsung pertanyaan Sehun, Myungsoo kembali ke dekat jendela. Sebelum ia membuang pandangan pada jalanan, lebih dulu melirik jam di dinding. Masih ada waktu untuk sedikit melamun.

“Aku akan bertanya padamu lagi nanti. Sekarang keluar lah!! Rapat masih sekitar lima belas menit lagi.”

Sehun menurut, ia memberi hormat lalu keluar sesuai perintah Myungsoo. Sedang lelaki yang tersisa itu kembali mengarahkan pandangan pada luar kantor. Satu titik mencuri perhatiannya. Sebuah kafe di seberang yang merupakan tempat milik Sungkyu.

Dan titik yang menjadi pusat perhatian Myungsoo adalah...

Drrtt...drrttt...

Myungsoo segera mengangkat telepon itu; Sungkyu pihak yang menelpon.

“Soojung baru saja ke kafeku, sepertinya ia mencarimu!”

Senyum itu tampak lebar di wajah Myungsoo. “Aku tahu! Aku juga melihatnya!!”

Jelas, dari atas sana kedua mata elang Myungsoo mampu menangkap sosok Soojung yang baru saja keluar kafe dan memonitorinya sampai hilang di balik rerimbunan pohon. Senyum Myungsoo mengembang begitu luas. Apakah ini sebuah pertanda bahwa ia memang harus kembali berjuang?

.

.

.

.

.

“Kita bertemu lagi disini.”

Mungkin untuk kali ini, pertemuan keduanya memang disengaja. Ah, bukan berarti Myungsoo mengajak Soojung bertemu, bukan. Myungsoo datang ke kafe Sungkyu setelah mendengar kabar bahwa Soojung sedang ada disana selepas si gadis memesan minuman. Sengaja memang, karena sejak seminggu yang lalau, Soojung sering datang ke kafe ini. Entah karena apa, Myungsoo tak tahu.

Soojung sedikit berjengit kaget manakala pernyataan itu terdengar dan beradu dengan suara yang timbul dari gesekan kursi; Myungsoo duduk di depannya. Soojung hanya tersenyum kecil sebelum menyamankan duduknya. Ada rasa gugup yang entah sejak kapan mengejarnya.

Myungsoo berdehem sejenak. “Kau tidak sedang sibuk? Akhir-akhir ini sering datang kemari  bukan?” Tanya Myungsoo dengan tenang. Semua orang akan beranggapan bahwa lelaki itu begitu tenang dan kalem. Namun dalam hati gejolak dari degup jantung terus saja mengusiknya.

Eh, ah..” Soojung menggeleng kecil. Sedikit saja ia menyembunyikan rasa malu dan canggung yang ada. “A-aku tidak bekerja.”

“Kau menetap di Korea lagi?” Myungsoo meraih ganggang cangkir kopi miliknya.

“Ya! Aku kembali ke Korea lagi.”

Satu partikel yang menempel di dinding hati milik Myungsoo terlepas dan menyebabkan kupu-kupu dalam perut saling berterbangan. Ini pertanda bagus bukan? Soojung kembali ke Korea setelah ia memutuskan tinggal di Jepang beberapa bulan yang lalu karena perjodohan itu. Tiba-tiba saja keberanian Myungsoo merangkak naik dan menyentuh indera pengecapnya.

“Kau merindukanku?” Terkutuklah bibir Myungsoo yang tanpa malu mengucapkan itu. Sempat ada rasa menyesal ketika ia sadar dengan ucapannya.

Soojung membulatkan mata cantiknya; terkejut dengan pertanyaan Myungsoo. Ia mengerjab berulang kali demi meminimalisir jantungnya yang seolah tak mendengar sang tuan. Ia berdeham sebentar sebelum menjawabnya.

“Sepertinya iya.”

Myungsoo tertawa canggung. Ia membuang pandangan pada hal lain. “Lupakan saja apa yang aku tanyakan. Lalu, kau sekarang tidak meneruskan hobimu?” Myungsoo menaikkan sebelah alisnya.

Soojung tersenyum tulus. Seketika rasa hangat menyerbak di laju darahnya. Ia senang, Myungsoo ternyata masih mengingat hal yang ia gemari sebelum keduanya berpisah.

“Aku ingin melanjutkannya.” Soojung menjeda ucapannya. “Nanti setelah aku kembali terbiasa dengan Korea.”

“Hey!!” Myungsoo berdecak pelan. “Kau pergi baru beberapa bulan yang lalu.” Celetuknya kemudian.

Soojung tak menjawab, hanya tertawa sipu. Semburat merah jelas mewarnai pipinya.

Untuk sesaat Myungsoo menghentikan keinginannya untuk berucap, memberikan tawa yang pecah dari Soojung terdengar nyaring di telinga. Menghantarkan segala macam kebahagiaan dalam diri. Jujur, Myungsoo merindukan momen-momen seperti ini. Jika ditilik lebih lagi, kapan terakhir kali ia merasakan suasana ini? Setengah tahun yang lalu? Mungkin saja.

Keduanya berada dalam keheningan sementara. Myungsoo mempelajari lekuk wajah Soojung yang ia rasa bertambah cantik; bagaikan seorang malaikat. Sedangkan Soojung, gadis itu tak sanggup menyembunyikan segala macam rasa malu dan rasa senang yang tumpah ruah. Bagaimanapun yang dirasakan Soojung saat ini tak berbeda jauh dari Myungsoo.

Tak lama kemudian, Sungkyu datang dengan nampan di tangan. Ia meletakkan dua piring kue potong. Baik Soojung maupun Myungsoo tampak terbelalak.

“Hadiah spesial untuk pelanggan spesial.” Tukas Sungkyu seakan ia bisa membaca arti tatapan itu. Sungkyu mengerlingkan sebelah mata pada Myungsoo; ia tengah memberikan sinyal padanya.

Myungsoo dan Soojung mengangguk kecil. “Terima kasih!” Ucap keduanya nyaris berbarengan.

“Makanlah! Ini enak.” Myungsoo menyodorkan kue potong cokelat kesukaan Soojung.

Soojung tersenyum lalu mengangguk. “Eum,aku sering memakannya saat kemari.” Sahutnya sebelum menempatkan piring kue di depannya.

“Kau tidak sibuk?” Tanya Soojung setelah ia menyuapkan sesendok kue. Dari mata indahnya, ia melihat Myungsoo sedikit gelisah; sesekali melirik pada jam tangan.

Myungsoo mengangguk. “Aku kelupaan rapat yang harus aku hadiri. Sepertinya mereka sedang menungguku.” Lelaki itu berdiri dan mengecek ponselnya sekali lagi.

Oh, pergilah! Kau memang manajer yang tidak bisa ditinggal.”

Myungsoo tersenyum hangat. Pujian itu membuatnya senang. Detik selanjutnya, ia menyodorkan ponselnya pada Soojung. Si gadis menatap tak paham pada Myungsoo.

“Nomer ponselmu?”

Ah.” Dengan senyum malu, ia meraih ponsel itu dan mulai mengetikkan beberapa digit nomor lalu menyimpannya.

Myungsoo menerima kembali uluran ponselnya. “Terima kasih. Hari minggu kau sibuk?” Tanyanya seraya memasukkan ponsel.”

Eh? Tidak.”

“Kita berkencan, kau mau?”

Soojung menggerakkan kelopak matanya terkejut. Yang ia dengar tak salah? Sungguh kah ini? Tanpa sadar, kepalanya mengangguk hingga membuat Myungsoo tersenyum sebagai balasanya. Setelah itu Myungsoo pamit lalu pergi dengan cepat. Panggilan dari Sehun tidak bisa diabaikan lebih lama lagi.

Sedangkan Soojung? Gadis itu mengerti maksud dari ini semua. Apa mungkin dugaannya memang benar? Ataukah rencananya akan berjalan tanpa hambatan? Seulas senyum mengembang dari bibirnya.

.

.

.

.

.

Asa Myungsoo untuk mendapatkan kembali Soojung membumbung tinggi kembali. Hipotesanya tentang ketidakbahagiaan Soojung dengan pilihan sang ayah ternyata memang benar. Jelas hal ini memotivasi Myungsoo agar meraih kembali rentangan tangan Soojung. Toh, sepertinya sang gadis memang masih menyimpan rasa untuknya.

Jika saja Soojung dulu tidak patuh pada kedua orang tua mungkin Myungsoo tak harus menghadapi hal ini. Ia bisa mengajak Soojung lari meninggalkan rumah. Namun, Soojung lebih memilih patuh dan meninggalkan Myungsoo meski dengan konsekuensi ia tak bisa bahagia.

Beruntung, saat ini Tuhan mendengarkan salah satu do’anya. Soojung dikembalikan pada hadapannya. Myungsoo tak ingin melepas kesempatan yang datang ini dengan sia-sia. Ia harus memperjuangkan Soojung. Meski nanti ayah Soojung kembali –mungkin- tidak setuju.

Ini mungkin terlalu cepat. Tapi tak masalah ‘kan?

“Sudah siap berkencan? Kenapa kau tidak menjemputnya saja?” Sungkyu menggoda sang adik yang tampak tampan hari ini.

Myungsoo tersenyum lebih atau mungkin jauh lebih cerah. “Dia yang meminta.” Jawabnya.

“Ah, baiklah!!” Sungkyu menoleh pada pintu yang baru saja berdenting, sepertinya sosok yang ditunggu Myungsoo telah tiba.

Sontak hal itu memaksa Myungsoo untuk berdiri dan menyambutnya. Dari jauh, sang gadis tampak tersenyum. Myungsoo nyaris tak sanggup melepaskan pandangannya pada Soojung. Gadis itu begitu sempurna hanya dengan balutan dress sederhana dan sepatu kets yang menghias kakinya. Kapan terakhir kali ia terpesona dengan kecantikan Soojung?

“Hay!! Menunggu lama?”

Myungsoo menggeleng cepat. “Tidak! Kita berangkat sekarang?” Tanya Myungsoo.

“Boleh.”

Dan Sungkyu hanya melihat kepergian dua sejoli yang tengah merajut kembali rasa yang pernah ada dulu.Ia tersenyum, ada harapan bahwa dirinya dapat mengakui Soojung sebagai adik ipar. Harapan ini pernah ada dulu, sebelum Myungsoo kecewa dengan keputusan ayah Soojung.

.

.

.

.

Mungkin hal yang biasa ketika mengajak seseorang berkencan di sebuah taman. Sama sekali tak ada istimewanya. Namun Soojung menyukai ini. Ia lebih suka menghabiskan waktu di taman daripada berkeliling tak jelas di pusat perbelanjaan. Dan untungnya, Myungsoo masih mengingat baik itu.

Di tempat ini -taman yang di kelilingi oleh sungai itu- menjadi saksi tempat berkencan Myungsoo dan Soojung setelah sekian lama berpisah. Mereka berdua duduk di salah satu kursi dengan dengan sungai. Alasan mereka memilih kursi itu sederhana; Soojung menyukainya.

Seperti sebelumnya, rasa canggung jelas mewarnai suasana mereka. Myungsoo harus berulang kali membersihkan tenggorokannya manakala ia ingin berbicara. Serasa sang tenggorokan tertutup ribuan kotoran. Soojung pun sama, ia gugup berada di dekat dengan sosok yang ia cintai dengan jarak sedekat ini. Walaupun ini bukan hal baru bagi mereka tapi tetap saja.

Ingat, mereka baru bertemu setelah beberapa bulan berpisah.

“Apa yang membuatmu kembali ke Korea?” Pertanyaan ini sempat mengganjal di hati Myungsoo beberapa hari. Ia lupa menanyakan pada Soojung ketika mereka bertemu.

Soojung menoleh bingung. Rasanya sedikit aneh membuka percakapan dengan pertanyaan itu.

“Aku tidak nyaman berada di Jepang.” Soojung menunduk. “Apalagi Jepang terlalu kejam untukku.”

“Kejam?”

Hmmm.”

“Kenapa?”

Soojung mengamati perubahan pupil di kedua mata elang Myungsoo. Hal itu menuntunnya untuk melengkungkan bibir. Rasanya memang menyenangkan ketika sosok yang disukai ingin tahu tentang apapun dari diri sendiri.

“Kau tidak ingat jika aku dipaksa pergi ke Jepang untuk lebih dekat dengan Jongin?” Myungsoo mengerutkan kening seraya menajamkan pendengarannya. Sang gadis mendesah pelan sebelum meneruskan apa yang seharusnya ia teruskan. “Dan disana aku tahu jika Jongin tak membutuhkan kami. Ia bahkan dengan terang-terangan membawa wanita lain di hadapanku dan keluarga.”

Entah mengapa cerita Soojung menyebabkan sesuatu terasa perih di hati Myungsoo. Mungkin ia prihatin dengan keadaan yang menimpa Soojung saat itu.

“Sejak saat itu, appa memutuskan agar aku kembali ke Korea dan melupakan perjodohan itu.”

“Lalu? Kau?”

“Aku?” Salah satu alis Soojung terangkat.

“Yaa maksudku, apa kau sekarang tidak dijodohkan lagi dengan orangtuamu?”

“Oh itu!! A-. Ah...”

Belum sempat Soojung menjawab pertanyaan Myungsoo, hujan telah turun dengan tiba-tiba. Cukup deras dan itu membuat Soojung maupun Myungsoo kalang kabut. Keduanya sempat bingung, namun pada akhirnya Soojung teringat jika ia membawa payung.

Keadaan memang tidak begitu baik saat keduanya memutuskan berjalan-jalan di taman. Mendung tampak menyebar di atas sana. Dan hawa akan hujan jelas terasa. Tetapi hal itu tak mengurungkan niat keduanya untuk menghabiskan waktu bersama di taman. Hingga pada akhirnya, keadaan ini tak dapat mereka tolak.

“Kita harus mencari tempat yang teduh!!” Myungsoo menarik tangan kiri Soojung; tangan kanan sang gadis tengah memegang payung.

Soojung tak melawan kemana Myungsoo mengajak. Keduanya berhenti pada satu tempat teduh yang lumayan aman dari guyuran hujan. Tak ada siapapun disana, hanya mereka berdua.

“Seharusnya hujan turun setelah kita pulang.” Celetuk Myungsoo seraya menepuk celananya yang sedikit basah.

Soojung tersenyum dengan gemas melihat bagaimana Myungsoo merajuk. Lelaki ini masih sama seperti dulu ketika ia kesal dengan sesuatu.

“Sepertinya kita ditakdirkan bersama hujan.” Soojung bersuara membuat Myungsoo menoleh padanya. Kedua alis Myungsoo mengerut bingung.

Seulas senyum diberikan Soojung. “Kita bertemu karena hujan. Sekarang kita bersama karena hujan.” Jelasnya.

“Hujan!!” Sejenak Myungsoo meloloskan pandangan pada rintikan hujan yang turun semakin lama semakin deras. Ia merenungi ucapan Soojung. Jika hujan yang mempertemukan keduanya, hujan jugalah yang memisahkan keduanya dulu. Ia menunduk, apa mungkin semua akan berakhir pada hujan? Atau..

Ia menoleh pada Soojung yang bermain dengan perahu kertas. Sejak kapan gadis itu membuat perahu kertas dan memainkannya? Apa ia terlalu lama melamun?

Oppa!!”

Eum?”

“Kau tahu, perahu kertas ini adalah perahu yang rela berkorban. Kau tahu? Perahu kertas ini adalah perantara yang akan mengantarkan sebuah harapan meskipun pada akhirnya ia kalah dengan air.”

Myungsoo tak paham dengan ucapan Soojung.

“Dan hujan!!”

“Hujan?”

“Hujan adalah hal yang paling kejam bagi perahu kertas. Di tengah perjuangannya membawa mimpi, hujan merusak segalanya.” Soojung berhenti sejenak dan mengangkat perahu kertas itu.

Myungsoo memonitori tangan Soojung yang masih berkutat dengan perahu kertas itu. Entah mengapa rasanya memang ada yang aneh ketika melihat perahu itu. Apa ada maksud lain di balik perahu itu? Myungsoo menarik nafas dalam sebelum ia kembali mengamati Soojung. Ia tak mau berpikir yang tidak-tidak. Mungkin semua itu hanya sebuah kebetulan saja.

Saat Soojung melepas perahu itu agar terbawa arus, Myungsoo teringat sesuatu.

Ah, Soojung!!”

Eum?” Soojung menoleh seketika.

“Kau belum menjawab pertanyaanku!!”

Kening Soojung mengerut heran. Pertanyaan apa?

“Dirimu, apa kau dijodohkan dengan seseorang lain?” Myungsoo tersenyum begitu menyadari bahwa Soojung bingung dengan pertanyaannya.

Soojung menjauhkan belah bibirnya. “Ah.. itu.” Ia mengulas senyum yang membuat Myungsoo memicingkan mata; heran dan penasaran. “Appa tidak lagi memaksaku atas kehendaknya. Nilai saham yang menyebabkan perusahaannya turun telah kembali stabil.” Soojung menunduk malu. Rasanya ada yang menggelitik aneh di dalam hati ketika mengatakan hal ini. Mengingat bagaimana hubungan keduanya tak begitu baik semenjak keputusan Soojung untuk memilih kuasa sang ayah.

Apakah ini tanda semua akan kembali dimulai?

Seulas senyum tampak malu-malu muncul di wajah tampan Myungsoo. Semua rencana yang akan ia bangun telah mendapatkan pintunya. Myungsoo lantas menarik tangan Soojung untuk memperhatikan dirinya lebih.

“Kau bilang semua karena hujan  bukan?”

Soojung menaikkan sebelah alisnya.

“Bagaimana kalau kita memulai semua hari ini? Tepat saat hujan turun?” Tanya Myungsoo seraya menggenggam erat tangan Soojung.

Kedua kelopak mata Soojung mengerjab berulang. Sang otak tengah memproses kata-kata Myungsoo. Apa maksud dari ini semua? Apakah ini berarti...

“Apa kau bersedia?” Myungsoo menajamkan pandangan pada kedua kristal Soojung yang tampak tak fokus. Sepertinya si gadis masih belum sanggup mencerna ucapan Myungsoo.

Myungsoo mengusap pipi Soojung dan membuat si gadis tersentak. Ia tersenyum kikuk.

“Bagaimana?”

“A-aku tidak paham!!” Sahut Soojung. Sebenarnya ia mengerti hanya saja...

Myungsoo mengecup pipi Soojung. “Kita mulai semuanya seperti dulu. Apa kau bersedia mengikat dirimu denganku? Aku ingin menjadikanmu milikku lagi!!” Ucap Myungsoo pelan namun jelas.

Reflek kepala Soojung mengangguk dengan sendirinya. Myungsoo yang tahu maksud dari tanggapan Soojung langsung mengecup bibir Soojung kilat.

“Sungguh?” Myungsoo menarik tubuh Soojung agar berdiri. “Kau mau menerimaku lagi?”

Meski Soojung terkejut, ia mengangguk dengan senyum terulas. Lekas ia memeluk tubuh Myungsoo dan menggumam sebuah kalimat. “Aku mau dan aku mencintaimu!!”

“Aku juga!! Aku juga mencintaimu!!”

Setelahnya Myungsoo menarik tangan Soojung dan berlari di bawah hujan. Hal ini dilakukan seolah Myungsoo ingin mengatakan bahwa Soojung telah menjadi miliknya. Di bawah hujan ini semua akan dimulai lagi. Di bawah hujan ini hal terindah akan segera ditempuh bersama. Dan di bawah hujan ini...

Myungsoo menangkup wajah basah Soojung. Memperhatikan sejenak pahatan Tuhan itu. Perlahan namun pasti Myungsoo mulai menggerakkan kepala demi mengikis jarak di antara mereka. Pada akhirnya kedua bibir itu bertemu dan menari bersama di bawah hujan.

“Aku mencintaimu!!” Bisik Myungsoo melawan suara derai hujan.

Soojung mengeratkan pelukannya. “Aku juga mencintaimu!!”

.

.

.

.

End


Bagaimana? Semoga puas yaa, maaf kalo ceritanya maksa gimana gituu....

Oke, boleh dong yaa minta komennya? Terima kasih~

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
pcy_chanyeolgf
#1
Chapter 1: Ceritanya gak maksa, Myungstalnya manis, unyu-unyu, malu-malu gimana gituh ❤️❤️❤️
potatoria
#2
Chapter 1: Udah lama banget ga baca myungstaaal. Mereka unyuuu °w°) ff nya ga maksa kook. Untungnya pas tau pernikahannya di batalin, Myungsoo buru2 pdkt yah hahaa. Happy ending jadinya! :3
lee-jungjung #3
Chapter 1: gak maksa.. ini manis.. serius.... ^^