Secret Part 3

Secret

Wangi pengharum ruangan, letak perabot, hiasan dinding, dan segala macam hal yang berada di ruang tamu keluarga Xi, Sehun rasakan dan lihat dengan seksama. Tidak ada satu halpun yang tidak Sehun perhatikan seolah tujuannya kemari memang untuk ini.

Senyumnya tersungging tidak ada yang berubah sama sekali, batinnya yakin.

Rangkulan erat tangan Lyan kembali menyadarkan Sehun. Sebentar Sehun menoleh pada Lyan yang berada di sisi kanannya, sebentar kemudian Sehun menoleh pada Hana yang berada di sisi kirinya. Kembali mereka berdua tersenyum, mengangguk satu sama lain seolah baru saja setuju akan sesuatu yang hanya mereka berdua seorang pendengar dan pembicaranya.

“Kau tidak memiliki apapun?” Pertanyaan Tuan Xi langsung menohok Sehun. Bahkan setelah belasan tahun terlewati kau sama sekali tidak berubah.

“Jika pekerjaan dan uang yang anda maksud, ya. Aku tidak memilikinya.” Sehun mengucapkannya dengan mantap, tanpa keraguan sama sekali dimana keraguan itu sudah memeluk lawan bicaranya.

Senyum Sehun makin lebar, wajah tegang Tuan Xi yang akan menjadi dan bertambah hingga 2 minggu kedepan sangat Sehun nikmati. Ini adalah pertemuan pertama kita dan kau sudah menunjukkan wajah kebingungan seperti itu? Bagaimana setelah aku melakukan semuanya? Lalu, apa ini juga yang dulu kau katakan? Atau kau tidak mengatakan apapun dan langsung pergi?

 

Tuan Xi mengepalkan kedua tangannya erat, diliriknya Sehun yang entah sedang tersenyum untuk apa. Helaan nafas kasarnya terdengar, dilihatnya bergantian Luhan dan juga istrinya yang duduk di samping kanan dan kirinya.

Sama seperti Sehun yang di apit oleh Hana dan Lyan, Tuan Xi juga di apit oleh Luhan dan Nyonya Xi hingga dirinya yang berada di tengah tentu saja berhadapan langsung dengan Sehun.

Meja panjang berwarna hitam yang berbahan dasarkan kayu seakan menggambarkan bagaimana gelap dan panjangnya sakit yang akan segera Sehun berikan pada Tuan Xi.

Menjijikkan, melebihi ketika dirinya berdekatan dengan Lyan. Itu adalah perasaan Sehun ketika masih berhadapan dengan pasangan paruh baya di depannya. Belum lagi ketika melihat Luhan di samping Tuan Xi, yang duduk dengan santai dan tenangnya tanpa tahu bahwa hidup sempurnanya adalah palsu.

 

Aku berjanji akan membawamu hyung, dalam 2 minggu ini aku berjanji kau akan mengetahui semuanya tanpa terkecuali.

 

 

-oo—ooooooo-

 

 

Lampu jalanan kota Seoul menemani perjalan pulang Sehun dan Hana dari rumah keluarga Xi. Di dalam mobil mini kepunyaan Lyan, mereka menghembuskan nafas selega-leganya.

Sehun adalah yang tampak begitu senang tentu saja. Saat yang ditunggunya tiba, akhirnya dirinya akan berada pada titik yang sudah di inginkannya semenjak dulu. “Kau benar-benar sesenang itu?” Hana memiringkan tubuhnya menghadap Sehun, pria yang sudah menjadi pengisi hatinya selama hampir 10 tahun itu mengangguk segera.

Tatapannya memang tertuju pada jalanan lengang di depannya, tapi Hana juga tahu bahwa pancaran mata kebahagiaan yang Sehun tunjukkan saat ini adalah karena kejadian tadi.

“Dia menolakku dengan alasan uang, persis seperti yang aku inginkan. Ini akan semakin menyamai cerita yang pernah terjadi.”

“Kau berjanji untuk berhenti saat dia telah kehilangan semuanya.”

“Ya, aku berjanji.” Sehun menjawab cepat, ditolehnya Hana menghela nafas panjang dan kembali meluruskan posisinya. Sehun tersenyum, dengan alasan berbeda kali ini. Apa?

Alasannya adalah ketika matanya melihat tangan istrinya yang sedang membelai perutnya perlahan. “Semua akan baik-baik saja.” Yakin Sehun. Mengetahui Hana yang selalu membelai perutnya dengan tarikan nafas dalam ketika khawatir akan sesuatu semenjak mengetahui ada janin di dalam sana.

Uluran sebelah tangan Sehun sampai pada tangan Hana, menggenggamnya lembut dan beralih ikut membelai perut Hana. “Setelah ini kita akan bahagia, aku jamin itu.” Kembali Sehun meyakinkan Hana, takut-takut jika istrinya kembali khawatir berlebih.

“Aku tidak terima dengan semua yang telah kau alami, tapi balas dendam juga bukan cara yang benar untuk ini.” Kini Hana mengungkapkan pendapatnya, merutuki dirinya beberapa kali karena terlambat mengungkapkan ini semua. Namun, jikapun dirinya mengatakan ini semua sebelum dirinya dan Sehun menginjak tanah Seoul, itu tidak akan berdampak apapun. Sehun akan tetap melakukan semuanya dan akan lebih baik dirinya seperti ini, berada di samping suaminya meskipun salah.

“Aku tidak bisa berhenti setelah apa yang terjadi pada eomma.” Suara berat Sehun terdengar. Kalimat tercekat dan nafas tidak teratur Sehun dapat Hana dengar, membuatnya menoleh. Memandang wajah suaminya yang sudah berubah menakutkan dan tidak selembut ataupun sehangat setengah menit lalu.

Hana mengerutkan keningnya, adalah kewajibannya untuk mengalihkan Sehun pada pembicaraan lain hingga sakit yang hati suaminya derita tidak makin menjadi. “Kau ingat saat 5 tahun lalu aku pergi?” Tanya Hana, menemukan pembicaraan yang dapat mengalihkan perhatian Sehun.

“Aku hampir mati saat itu.” Kenang Sehun, kepalanya yang menoleh pada Hana membuat mata mereka saling bertemu sesaat. “Jangan pernah pergi lagi.” Ucap Sehun dengan kepala menggeleng. Di acaknya pelan rambut halus Hana, membuat Hana tersenyum dengan perlakuannya itu dan kemudian mengambil tangan Sehun di kepalanya. Mengecupnya beberapa kali sebelum Sehun menarik balik tangan Hana dan mengecupnya juga, seperti yang Hana lakukan.

“Aku akan mengurus Luhan-ssi, dan kau mengurus mereka.”

Hana mengulang pembicaraan yang sebelumnya sudah mereka bicarakan di Amerika, pembicaraan dan keputusan yang sejak pagi tadi melihat kedekatan antara istrinya dan Luhan membuatnya tidak suka.

“Tck!” Sehun mendecak, pegangan dan ciumannya pada tangan Hana menghilang saat itu juga. Dia lepaskan begitu saja tangan Hana, dan kedua alis hitamnya yang menyatu menjadi bahan tertawaan Hana.

“Kau benar-benar cemburu padanya?” Hana menebak dengan ekspresi tidak percaya. Bagaimana bisa suaminya ini cemburu pada Luhan?

“Tentu saja, siapapun akan aku cemburui jika dekat denganmu.”

“Anak kita?”

“Apalagi anak kita, kau pasti akan mencintainya lebih dari kau mencintaiku. Karena itu kenapa selama ini aku bilang tidak mau memiliki anak.”

“Ohho......” Hana membelai pipi Sehun dengan bibir yang tidak berhenti menertawakannya. “Kau benar-benar bayi besar ternyata.”

“Bayi besar yang kau cintai.” Ledek Sehun dengan mata melirik Hana. “Cium aku.” Mintanya ketus.

“Aku sedang malas menciummu.”

“Apa?!”

“Hahahahaha.....baiklah-baiklah.” Hana bergerak sedikit meraih tubuh Sehun kemudian mengecup pipinya.

“Kenapa hanya pipi?”

“Karena kau yang harusnya melakukan lebih.” Sehun kembali melirik Hana yang sudah tersenyum lebar kemudian fokus kembali pada jalanan di depannya.

“Aku akan mengabisimu di rumah orang tuamu sendiri nanti.” Ucapnya yang sengaja dikencangkan.

“Hahahahaha.” Hana kembali tertawa, begitupun Sehun yang akhirnya juga mengikuti tawa keras istrinya. Mengingat pembicaraan mereka benar-benar konyol dan memalukan. Tatapan hangat dan tawa mengisi perjalan mereka, seolah tidak membutuhkan lagu ataupun musik romantis apapun untuk menghangatkan suasana mobil.

Sehun kembali meraih tangan Hana, menggenggamnya erat sepanjang perjalan hingga akhirnya mereka sampai di depan gerbang rumah yang begitu tinggi dan kokoh seolah tidak tertembus.

Baru saja Sehun akan keluar untuk memencet bel di samping gerbang itu, tiba-tiba saja gerbangnya terbuka. Menampakkan seorang security berpakaian hitam yang langsung membukuk hormat padanya.

“Sepertinya mereka memang sudah menunggu kita.” Hana hanya tersenyum menanggapi Sehun yang kemudian membawa mobil mereka untuk masuk ke halaman luas rumahnya.

Rumah mewah bergaya klasik modern sudah terpampang di hadapan mereka. Taman dan kolam buatan yang menghiasi halaman depan rumah itu benar-benar mempercantik keindahannya. Hana tersenyum masih dengan dirinya yang berada di dalam mobil. Diturunkannya kaca mobil sampingnya, menghirup udara rumah yang sudah sangat dirindukannya.

“Kau benar-benar merindukan rumahmu?” Tebak Sehun melihat istrinya yang memejamkan mata dan menghirup udara sebanyak-banyaknya.

“Ya, aku sangat merindukan rumah, eomma terutama.”

Sehun menghentikan jalan mobilnya, segera dia turun dan berputar ke sisi mobil yang lain, membukakan pintu mobil untuk Hana. “Awas hati-hati.” Ucapnya ketika Hana berjalan di pinggiran kolam. “Sudah sering aku katakan untuk menghilangkan kolam ini kan? Jika sampai ada apa-apa denganmu bagaimana?” Gerutunya yang hanya di balas kernyitan heran oleh Hana.

“Harusnya kau jangan memarkirkan mobil disini jika begitu.”

“Aku suka disini, jika aku memarkirkannya di tempat lain maka mobilku akan kepanasan.”

“Astaga.” Hana menepuk keningnya. “Kau tidak lihat ini malam hari dan tidak akan ada matahari yang membuat mobilmu kepanasan? Lagipula ini bukan mobilmu, ini adalah mobil yang Lyan-ssi pinjamkan padamu.”

 

“Kalian masih saja suka bertengkar seperti dulu ternyata.” Hana dan Sehun langsung menoleh, mendapati pria bermata sipit yang makin tidak terlihat matanya ketika tersenyum seperti saat ini.

“Jinki oppa.” Pekik Hana kencang, jelas terlihat kesenangan di wajahnya begitu melihat Jinki yang sudah berdiri dengan pakaian rapinya seperti biasa.

Baru saja Hana akan melangkahkan kakinya mendekati Jinki, sekedar menyapa lebih dekat bahkan memeluknya, Sehun sudah memegang tangannya. Menghentikannya untuk tidak makin dekat dengan Jinki. “Dia oppaku. Oh Sehun.” Hana menekan kalimatnya dengan mata memelotot. Tidak percaya jika Sehun masih akan bersikap seperti saat ini.

“Dia itu pria berkedok sepupumu.”

“Kau benar-benar masih tidak berubah.” Jinki memandang Sehun tidak percaya seperti Hana. Mengabaikan ucapan iparnya itu, dan segera menarik Hana untuk kemudian dipeluknya.

“Benar-benar.” Gumam Sehun kesal dengan kedua tangan yang sudah terlipat kedepan.

 

“Bagaimana kabarmu?” Tanya Jinki sambil melepas pelukan eratnya pada Hana, mengacak rambut Hana seperti biasa dan makin menambah ekspresi kesal Sehun yang berada di sampingnya.

“Aku baik opppa.” Hana menjawab cepat, kembali dipeluknya Jinki dan semakin melebarkan tawanya ketika mendengar makian kesal Sehun di dekatnya.

“Kalian benar-benar tidak akan berhenti berpelukan?” Sehun sudah tidak tahan tentunya, bagaimana bisa mereka berpelukan dengan erat di depannya? Baiklah mereka adalah saudara sepupu, tapi bahkan saudara sepupu ada yang saling jatuh cinta.. “Ini alasannya kenapa aku tidak suka jika kau ingin ke Korea. Aku akan mengadu pada eomoni. Eomoni...................”

“Dasar gila.” Umpat Hana memandang suaminya yang sudah berlari cepat menaiki anak tangga rumahnya kemudian masuk ke dalam rumahnya. “Dia benar-benar konyol.” Lanjut Hana yang kemudian menjadikannya bahan tertawaan Jinki. “Oppa menertawakanku?” Tanya Hana.

“Dia itu pria pilihanmu, apa kau sekarang  menyesal?”

“Tidak, kenapa aku harus menyesal.”

“Kau benar-benar masih menggemaskan seperti dulu.”

“Ah oppa.” Hana segera berjalan mundur menghalangi tangan Jinki yang beberapa detik kemudian bisa dipastikan akan mencubit pipinya. “Berhenti mencubit pipiku, aku akan menjadi seorang eomma sebentar lagi.”

“Kau benar, bagaimana bayimu disini.” Jinki membungkukkan badannya dengan wajah tepat di depan perut Hana. “Kau jangan nakal di dalam sana ya, juga jangan tiru sikap kekanakan appamu.”

“Oppa tenang saja, aku akan membuatnya sepertiku.” Jinki segera meluruskan tubuhnya kemudian merangkul Hana.

“Ayo masuk,disini terlalu dingin untukmu.” Hana mengangguk dan mengikuti langkah kaki Jinki sebelum akhirnya tiba-tiba berhenti. “Ada apa? Apa ada yang tertinggal di mobil?”

“Tidak.” Hana menggeleng kemudian melepas rangkulan tangan Jinki dan mundur perlahan.

“Apa? Kenapa?” Tanya Jinki merasa Hana memperhatikannya dari atas hingga bawah.

“Sejak kapan rambut oppa berwarna seperti itu?” Tanyanya heran. Memperhatikan rambut Jinki yang biasanya selalu berwarna hitam namun kini malah berwarna pirang seperti milik Taemin.

“Ah, ini?” Jinki tersenyum lebar seperti ciri khasnya sambil memegang rambutnya malu-malu. “Aku kalah saat bermain game bersama Taemin, kemudian dia menghukumku dengan ini.”

“Ada-ada saja.” Hana menggeleng, kembali merangkul Jinki tanpa tahu bahwa di depannya Sehun sudah berdiri dengan wajah yang benar-benar masam.

“Apa benar-benar menyenangkan?.” Suara Sehun langsung terdengar begitu mereka sampai pada tangga terakhir rumah itu. Tampang kesal Sehun masih mendominasi layaknya anak kecil yang tidak diberi permen. Hana akan mendekat, sekedar mengejek atau menggoda Sehun. Namun sosok wanita paruh baya yang muncul kemudian membuatnya mengurungkan niat itu.

“Eomma.” Hana tersenyum lega, dipandanginya wanita yang telah melahirkannya itu dan adegan berpelukan adalah yang terjadi kemudian.

“Bagaimana bisa kau kemari tapi tidak mengatakannya pada eomma? Jika Taemin tidak sengaja melihat kalian di bandara maka eomma tidak akan tahu, tinggal dimana kalian kemarin?” Nyonya Choi melepaskan segera pelukannya sambil menunggu jawaban putrinya akan pertanyaan yang baru saja dia lontarkan. Jawaban yang sulit untuk Sehun dan Hana jawab tentunya mengingat bagaiman perjalan mereka ke Korea, tujuan, dan segala halnya yang tidak mungkin sama sekali diceritakan pada siapapun.

“Kami kemari untuk urusan bisnis eomoni.” Sehun mengambil alih posisi Hana untuk menjawab pertanyaan eommanya. “Kami hanya 2 minggu disini, karena itu kami takut mengecewakan eomoni jika hanya bisa singgah sebentar.”

“Singgah sebentarpun tidak masalah.” Nyonya Choi beralih memandang menantu satu-satunya itu. “Seharipun tidak masalah asal kalian pulang ke rumah.”

“Ne, maafkan kami.” Ucap Sehun lagi, memamerkan senyum tulus yang tidak mungkin ditunjukkannya pada keluarga Xi.

 

Ada yang aneh, Jinki membatin.

 

 

-oo—ooooooo-

 

 

Perbincangan antara Sehun dan keluarga Hana hanya berlangsung sebentar. Waktu mereka datang tidaklah tepat untuk kemudian dilanjutkan dengan mengobrol jika hanya perbincangan tidak jelas. Malam sudah terlalu larut ketika mereka datang.

Kehamilan Hana menjadikan Nyonya Choi meminta keduanya untuk segera beristirahat. Begitupun pada keponakannya, Lee Jinki. Masih banyak waktu untuk berbicara kesana-kemari esok, begitu kata Nyonya Choi.

 

Knock—knock—knock

 

Ketukan pintu terdengar, mengusik ketenangan penghuni kamar yang tampak sedang terlelap. Mata sipitnya yang sudah terpejam sejak beberapa jam lalu terbuka perlahan. Jinki. Pria itu bukanlah orang yang mudah untuk dibangunkan. Perlu beberapa macam usaha dan kesabaran untuk membangunkannya dari tidur nyenyak. Semua orang tahu itu, bagaimana sulitnya membangunkan seorang Lee Jinki. Oleh karenanya, ketukan pintu di pintu kamar Jinki seolah tidak akan berakhir begitupun sosoknya yang tidak ingin menyerah.

 

Knock—knock—knock

 

Jika saja tangan manusia bukanlah buatan Tuhan, maka sudah dipastikan bahwa tangan itu akan rusak karena terlalu lama mengetuk pintu di depannya.

 

Knock—knock—knock

 

Kembali ketukan itu terdengar, Jinki mengusap wajahnya kasar sambil menghidupkan lampu di kamarnya kemudian melihat jam di samping tempat tidurnya. “Jam 02:00? Siapa sih?” Ucapnya kesal.

 

Knoc—knock—knock

 

“Siapa?”

“Oppa, ini aku Hana.”

“Hana?” Gumam Jinki heran, dilihatnya sekali lagi jamnya dan rasa heran mulai memenuhi dirinya. Untuk apa Hana menemuinya pada pukul 02:00 pagi?

“Oppa?”

“Ya, sebentar.” Jinki mengucek matanya yang masih memerah karena ngantuk, selesai itu dirinya segera turun dari ranjang dan membukakan pintu kamarnya untuk Hana. “Ada ap—.”

“Shtttttt....” Hana menyumpal mulut Jinki sebelum kalimatnya selesai, mendorong pria yang masih kebingungan itu masuk kedalam kamarnya lagi bersama dirinya. Belum hilang rasa terkejut dan kaget Jinki, Hana yang baru saja melepas sumpalan tangannya kembali berbalik untuk sekedar mengunci rapat pintu kamar dari dalam.

 

“Ada apa?” Jinki menarik tubuh kurus Hana untuk menghadapnya, menelisik sesuatu aneh disana yang memang sudah dirasanya bahkan ketika Sehun dan Hana datang, ketika mereka berdua saling melempar senyum sinis menakutkan dan mencurigakan. “Kau ada masalah kan?” Hana mengangguk segera, helaan nafasnya Jinki ikuti dan tebakannya tadi akan pandangan mata Sehun pada sepupunya ini adalah benar, bahwa ada sesuatu yang tidak beres.

“Oppa ingat janji oppa padaku saat aku berhasil membantu oppa memenangkan olimpiade?”

“Ya aku ingat.” Jinki mengangguk.

“Aku ingin menagih janji itu sekarang, aku ingin oppa melakukan sesuatu untukku.” Kerutan pada kening Jinki langsung tampak. Ucapan Hana yang begitu menggebu terdengar sangat aneh dan menakutkan bahkan sebelum permintaannya tersampaikan.

“Apa yang kau inginkan dariku?”

“Biarkan aku menduduki kursimu saat ini untuk satu minggu.”

“A—apa?” Jinki menatap Hana lebih serius dari sebelumnya dengan keterkejutan yang bertambah tiap detiknya. Jinki tahu apa yang Hana maksud kursi. Kedudukan tertinggi di perusahaan, itu yang Hana maksud.

Kursi dan kedudukan perusahaan, semuanya memanglah milik Hana. Dirinya tidak memiliki apapun bahkan tempatnya saat ini bernaung adalah milik Hana, bukan miliknya pribadi. Bukan maksud Jinki untuk menolak, bukan maksud Jinki untuk tetap menguasi semuanya, tapi melihat bagaimana kacaunya Hana ketika meminta, salahkah Jinki jika berpikiran bahwa ada maksud buruk di baliknya?

“Aku menyerahkan semuanya padamu oppa, bisakah aku mendapatkannya lagi? Hanya satu minggu kedepan.”

“Kenapa?”

“Jangan tanyakan alasannya.”

“Tapi kenapa?”

“Aku juga ingin meminjam Chen darimu.” Permintaan Hana bertambah bahkan sebelum Jinki mengucapkan kesetujuannya akan permintaan pertamanya.

 

Jinki tidak tahu apa yang sedang terjadi, masalah apa yang sedang terjadi, atau apa yang sedang sepupunya ini alami. Tapi jika sudah membawa Chen, bodyguard wanita yang sangat di andalkan oleh keluarganya itu maka sepupunya ini tengah mengalami masalah yang sangat besar hingga membutuhkan perlindungan dari wanita bertubuh besar dan berkemampuan di atas rata-rata itu.

“Hana-ya.” Jinki memegang kedua bahu Hana. “Kau tidak melakukan sesuatu yang membahayakan bukan?”

“Aku hanya ingin Sehun sembuh, dia tidak pernah tidur dengan tenang selama ini. Aku ingin memiliki suami seperti wanita lain, lebih dari itu—.” Hana menghentikan sejenak ucapannya karena tenggorokannya yang tercekat. “Aku sedang hamil dan ingin anakku memiliki appa seperti anak-anak lainnya.”

Jinki diam, masih bertahan dengan kening berkerutnya. Semua yang Hana katakan cukup membingungkan untuknya. Tidak ada satupun alasan bagus yang Hana sampaikan padanya, semua seperti pernyataan bahwa dirinya memang membutuhkan jawaban iya akan segala permintaannya.

 

 

-oo—ooooooo-

 

Luhan mengerjapkan matanya beberapa kali. Keramaian di luar kamarnya telah menganggu tidur nyenyak yang harusnya masih tetap berlanjut hingga satu jam ke depan. “Astaga.” Ucap Luhan lelah dengan suara serak bangun tidurnya.

Suara kencang di luar sana sudah ada semenjak semalam, semenjak Sehun pergi dari rumahnya, appanya dan Lyan tidak berhenti bertengkar sama sekali. Luhan mengacak rambutnya dan berakhir dengan remasan kesal, suara appanya terdengar makin kencang, begitupun dengan tangis Lyan yang seperti tidak akan pernah berhenti. “Bagaimana caranya agar mereka berhenti bertengkar?” Tanyanya yang berakhir dengan keputusan keluar dari kamar, melakukan apapun di luar sana yang sekiranya akan menghentikan keramaian tanpa niat selesai itu.

“OPPA...........OPPA TOLONG AKU...” Lyan langsung berteriak kencang memanggil Luhan ketika melihat oppanya itu keluar dari kamar, meminta pertolongan seolah Luhan mampu membantunya lepas dari tuan Xi yang kini membawanya masuk kedalam kamar secara paksa.

“DIAM!” Bentaka tuan Xi mendahului niatan membantu Luhan, membuat nyonya Xi yang berada di belakang hanya bisa tertunduk sambil mengusap air matanya.

 

Apa yang appanya lakukan tidak salah, Luhan tahu bagaimana appanya sangat menyayangi Lyan dan begitu menjaganya. Tidak ingin sesuatu apapun menyakiti ataupun membuat putrinya menderita.

Jawaban Sehun semalam, sungguh Luhan sangat kecewa.

 

*flashback

“Jika pekerjaan dan uang yang anda maksud, ya. Aku tidak memilikinya.”

“Bagaimana bisa kau berkata selugas itu?”

“Lalu? Apakah aku harus mengatakan pada anda bahwa aku memiliki uang sementara aku tidak memilikinya?”

Tuan Xi mengeratkan tangannya dengan alis tersambung. “Aku sangat ingin menikahi Lyan, tapi jika anda tidak mengijinkannya, bukan aku yang akan menderita Tuan Xi, tapi putri anda.”

*flashback end

 

Luhan tahu bahwa adiknyalah yang akan sangat menderita seperti hari ini, bagaimana tangisannya tidak pernah berhenti sejak semalam appanya mengusir Sehun. Namun, jawaban Sehun sungguh sangat mengecewakannya. Bagaimana bisa Sehun berkata begitu? Seolah dirinya tidak akan menderita jika berpisah dengan Lyan. Seolah hanya Lyan seorang yang memiliki cinta disini.

“Luhan-ah.”

“Ne eomma.” Jawab Luhan cepat menyadari bahwa wanita yang dipanggilnya eomma mendekat. Luhan menoleh, pada eommanya yang sudah berurai air mata kemudian segera memeluknya.

“Bagaimana ini? Lyan sangat mencintainya sementara appamu sangat keras menolaknya.”

“Eomma tenang saja, salah satu dari mereka pasti akan segera mengalah. Jikapun appa yang mengalah, memberikan bagia Lyan pada Sehun, itu bukan masalah eomma.” Luhan mendorong tubuh nyonya Xi agar berhadapan dengannya. “Aku tahu Sehun adalah pengusaha muda yang sangat bisa di andalkan, karirnya sangat cemerlang dan ini hanya masalah waktu untuknya kembali berada di puncak.”

“Appamu hanya ingin yang terbaik untuk Lyan.”

“Iya eomma, aku tahu itu. Akupun memikirkan bagaimana jika Lyan menikah sementara suaminya pengangguran kaya.” Canda Luhan yang pada akhirnya mampu membuat Nyonya Xi sedikit menarik bibirnya untuk tersenyum. “Ini hanya masalah restu, aku tahu Sehun akan kembali pada hidupnya yang dulu dan appa tidak perlu khawatir. Toh sebenarnya Lyan memang tidak akan pernah hidup susah meskipun menikah dengan Sehun yang pengangguran karena kita tidak akan membiarkannya miskin kan?”

“Kau benar.” Angguk Nyonya Xi setuju, apa yang Luhan katakan memang ada benarnya.

 

Jauh dari pikiran Luhan dan nyonya Xi yang berpikir bahwa ini hanyalah masalah Sehun tidak memiliki penghasilan, hati tuan Xi bergolak. Sesaat dirinya merasa bahwa Sehun adalah orang asing, tapi sesaat kemudian merasa bahwa Sehun begitu dekat dengannya. Pandangan mengejek Sehun semalam, juga tiap kata yang di ucapkannya entah mengapa begitu membuatnya merinding karena mengingat kejadian yang sama bertahun-tahun lalu.

 

Klek

 

Tuan Xi bernafas lega saat berhasil memasukkan Lyan kedalam kamar dan menguncinya dari luar. “Apa appa benar-benar tidak bisa menerimanya?”

“Bagaimana appa bisa menyerahkan putri appa pada orang yang bahkan tidak bisa mengurus dirinya sendiri?”

“Dia terbuang karena kita.”

 

Sekali lagi tubuh tuan Xi merinding, mendengar kata terbuang dari bibir putranya dan itu ditujukan untuk Sehun, entah kenapa sekali lagi membuat hati tuan Xi tidak nyaman.

“Permisi.” Suara lain yang masuk di antara percakapan Luhan dan appanya terdengar. Salah satu staff rumah mereka datang dengan selembar amplop besar di tangannya. “Ada kiriman untuk anda tuan muda.” Staff wanita itu segera menjulurkannya pada Luhan.

“Terimakasih.” Ucap Luhan kemudian mengambilnya dan kembali memandang appanya. “Pikirkanlah kebahagiaan Lyan, appa. Lagipula Sehun bukanlah pria gelandangan, dia hanya sedang keluar dari rumahnya dan pasti akan segera kembali. Bukankah orang tua manapun tidak akan membiarkan anaknya kesusahan?” Tuan Xi menoleh dengan wajah pias, sementara Luhan sudah membalikkan badannya kembali ke dalam kamar, meninggalkan tuan Xi yang berpandangan dengan istrinya tanpa bisa mengatakan pemikiran yang mulai menghantuinya bersama mimpi-mimpi aneh dan menakutkan yang selalu datang dalam tidurnya.

 

Apakah akan terjadi sesuatu yang buruk padaku? pada keluarga kami?

 

 

-oo—ooooooo-

 

 

Luhan melemparkan tubuhnya ke ranjang dengan mata terpejam, pagi ini dirinya benar-benar penat dan tidak berniat untuk mengunjungi restorannya. “Jika aku memasak dengan hati seperti ini, semua pelangganku akan pergi.” Gumamnya kemudian mengangkat sebelah tangannya yang masih memegang amplop coklat tadi. “Ini apa? Dari siapa? Kenapa tidak ada nama pengirimnya?.” Kembali Luhan bergumam dan bangun dari tidurnya, membuka amplop itu dan mengeluarkan isinya.

“Apa ini?” Luhan mengernyit dengan tiga lembar foto yang sudah berada di tangannya, ketiganya menunjukkan satu foto wanita namun dengan keadaan yang berbeda-beda. “Aku seperti pernah mengenalnya.” Luhan bahkan mendekatkan wajahnya, memperhatikan dengan seksama wajah dari wanita yang berada pada foto tua itu. “Hm?” Kerutan di dahi Luhan makin banyak ketika membalik foto itu dan ketiganya memiliki catatan di belakangnya.

 

Ini sudah satu minggu aku bersamanya dan ini benar-benar membahagiakan

Kami berada di sebuah desa kecil di China, di tempat tinggalnya

Aku hanya ingin hidup bersamanya

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet