Ending

Shadow

Nan neoreul ttaraga ne dwitmoseubman barabon chaero

Aku mengikutimu, melihat punggungmu

Eodum sogeseo neoreul ttaraga

Aku mengikutimu di dalam kegelapan

Balgeoreumeun ppallajyeo wae nal pihaneun geonji?

Langkah kakimu semakin cepat, mengapa kamu menghindariku?

Naneun neol saranghaneun geosil ppuninde

Aku hanya jatuh cinta padamu


 

Langit perlahan meredupkan sinarnya. Matahari telah lengser ke peraduan lima belas menit yang lalu namun aku masih setia berjalan perlahan menggesek aspal dengan sol sepatuku yang jika bisa berbicara akan berteriak memprotes. Sejak meninggalkan sekolah beberapa jam yang lalu, kedua kakiku benar-benar tak bisa berhenti. Aku tak mampu menghapus jejaknya.

Di depan sana, lima meter dari tempatku yang dikerumuni keremangan, tampak sosok berpostur tinggi-sedang tengah berhenti untuk sekedar membeli es krim bersama seorang temannya. Di bawah tiang lampu jelas sekali wajah tersenyumnya yang kudambakan itu bersinar tertimpa cahaya.

“Minhwan-ah, kau mau?”

“Tidak, Jae. Kau saja.”

Terdengar keduanya bercakap-cakap sementara aku kembali menghela nafas.

Kapan aku bisa berhadapan dengannya? Aku selalu membuntutinya seperti ini, hanya dapat melihat punggungnya dari kejauhan. Bahkan diriku tak berani muncul, terus bersembunyi di kegelapan yang menyamarkan keberadaanku—seperti saat ini.

Lee Jaejin. Pemuda berotak cerdas itu, sudah cukup lama aku mengamatinya. Ya, aku mengaguminya, atau bahkan menyukainya. Sangat. Namun aku terlalu pengecut untuk menemuinya secara langsung. Jujur saja, di sekolah aku tidak punya banyak teman—meski pun aku anak orang berada, sedang Lee Jaejin begitu terkenal bersama bandnya yang beranggotakan lima pemuda keren nan tampan. Aku payah karena tidak pandai bergaul, kuakui saja.

Aku berhenti melamun dan kembali mengintip Jaejin dan salah satu bandmatenya—Choi Minhwan. Aih, hampir kecolongan karena ternyata mereka sudah cukup jauh sekarang. Aku bergegas maju agar tak kehilangan sosok keduanya.

Aku berlari melewati toko 7-eleven yang tadi menjadi persinggahan Jaejin, lalu tidak seberapa jauh, kulihat ia telah sendirian. Rupanya mereka berpisah di persimpangan. Sekitar dua meter dari punggungnya, aku memperlambat laju langkahku. Memujinya tanpa henti—tanpa suara tentu saja.

“Jaejin-Ssi, kau tahu? Tidak mudah bagiku seperti ini..” Aku bergumam lirih namun tetap tersenyum. Sampai lama kelamaan kusadari bahwa perjejakannya semakin cepat. Jaejin menambah kecepatan pada langkah kakinya, seakan ia ingin menghindar dari sesuatu.

“Jaejin-Ssi, apa kau tahu aku sedang mengikutimu huh?” Masih pada intonasi dan volume yang sama, aku bertanya seorang diri di belakangnya. Pemuda itu kini nyaris berlari, langkahnya lebar-lebar hingga aku hampir tidak bisa menyamainya. Aku tidak mengerti kenapa, apakah aku membuatnya ketakutan?

“Jaejin-Ssi! Kau membuatku kesulitan!”

Aku berhenti di tempat, membiarkannya pergi dan menghilang di ujung sana. Mendadak semangatku surut, melihatnya seperti tadi seolah aku baru saja menerima penolakan secara tak langsung. Aku tak sakit hati, sama sekali tidak. Hanya sedikit kecewa.

Aku pulang ke rumah yang sepi. Kedua orangtuaku memang tak berada di Seoul, mereka tinggal di luar negeri untuk urusan pekerjaan dalam waktu yang lama. Itu juga merupakan salah satu alasan mengapa aku lebih senang berkeliaran sepulang sekolah ketimbang mengurung diri di rumah yang sudah seperti kuburan. Aku kesepian selama ini.

Tanpa mengganti seragam sekolahku dengan pakaian harian, kurebahkan tubuh begitu saja di atas kasur. Singgah ke dapur pun enggan, rasanya perutku tidak lapar. Apa orang jatuh cinta selalu begini? Lupa akan kebutuhannya dan hanya memikirkan orang yang disukainya? Tanyaku pada langit-langit kamar yang berwarna putih. Detik berikutnya aku tertawa geli.

“Shin Jimin! Kau sudah gila!”

Aku berteriak pada diriku sendiri dan membekap wajahku menggunakan bantal. Aku berlaku bak orang tidak waras hingga kelelahan dan terlelap bersama bayangan wajah Jaejin yang tersenyum. Ia mengantarku ke alam tidur. Akhir-akhir ini tidurku terasa nyaman sekali dan lebih nyenyak. Pasti karena Jaejin...

*

Domang chiryeo hajima

Berhenti mencoba untuk berlari menjauh

Neon idaero isseojumyeon dwae

Hanya tinggallah seperti ini

Nan keujeo neowa hamkke igo sipeun geol

Aku hanya ingin bersamamu


 

Pagi-pagi sekali sebelum siswa lain berkeliaran di koridor, aku mengendap-endap menuju jejeran loker kelas dua. Sengaja datang lebih awal demi menyelesaikan urusan penting ini. Setelah memastikan tak ada seorang pun yang memergoki kegiatanku, aku berhenti di depan loker Lee Jaejin yang pada pintunya dipenuhi stiker bertuliskan Red Hot Chili-Pepper serta aksesoris-aksesoris berbau seni lainnya.

Kukeluarkan sebuah amplop berisi surat dari dalam kantong tas kemudian kupandangi sejenak sebelum berusaha menyelipkannya melalui celah bawah pintu loker. Surat yang kutulis sejak pukul empat pagi tadi itu nangkring di sana dengan sebagian kecil ujungnya menyembul keluar.

“Bantu aku, ok? Tolong pastikan kau dibaca olehnya.” Selanjutnya aku berbalik sembari memanjatkan sebuah doa dalam hati semoga surat yang kubuat dengan susah payah itu sampai ke tangan Jaejin secara utuh dan ia akan segera tahu bagaimana perasaanku yang sebenarnya.

Aku tersenyum girang sambil melintas tak acuh di samping seorang siswi yang baru datang dari arah berlawan dan tergopoh-gopoh menghampiri lokernya. Sayang hatiku terlalu tidak sabar, sehingga baru sekitar sembilan langkah aku sudah menoleh lagi ke arah loker Jaejin di mana ternyata pemuda itu sudah tiba. Ia bersiap membuka kunci loker ketika di waktu bersamaan datang seorang teman bandnya yang lain—seingatku namanya Lee Hongki—lalu mengalihkan perhatian Jaejin.

Pemuda itu tidak jadi menaruh ransel yang dipanggulnya ke dalam loker karena harus meladeni obrolan temannya itu. Tak lama Lee Hongki itu menarik tangan Jaejin dan membawanya ke suatu tempat. Aku menunduk ketika mereka lewat di depanku.

Aku menghela nafas, pupus lagi. Yah, setidaknya Jaejin tak berusaha menjauh seperti tempo hari. Ia masih akan ke sana dan pasti nanti surat itu akan diketemukan.

Sungguh, aku tidak ingin apa-apa. Aku tak menginginkan apapun di dunia ini kecuali bersamamu. Jadi, Tuhan tolong izinkan aku bersamanya ketika Kau tak berikan kesempatan padaku untuk berkumpul bersama kedua orangtuaku. Aku butuh seseorang di dekatku.


 

Oh oh oh

Oh oh oh

I want now naegeseo domangchyeodo

Aku ingin sekarang, meski pun kamu berlari menjauh

You always in my eyes

Kamu selalu di mataku


 

“...Domang chiryeo hajima

Neon idaero isseojumyeon dwae

Nan keujeo neowa hamkke igo sipeun geol...”


 

Dia keren sekali! Pekikku dalam hati. Tubuhku nyaris melompat tatkala menyaksikan Jaejin menyanyikan bagiannya sembari memetik gitar bass yang tergantung di bahunya. Ia dan empat orang temannya itu sedang latihan di studio musik sewaan langganan mereka. Dan ini merupakan kali ke-lima bagiku menonton penampilan mereka dari luar jendela kaca studio.

Aku tak bisa mendengar suaranya dari sini—karena ruangan itu kedap bunyi, tetapi gerakan bibirnya yang bernyanyi penuh semangat itu tak terhalang oleh apapun. Harusnya aku bisa bergabung di dalam sana dan mendengar merdu suaranya. Uh, impian yang mustahil.

Rasanya aku tak rela melepaskan pandangan darinya yang kini begitu antusias memainkan jemarinya di atas empat senar di dalam sana, lihatlah mereka bertepuk tangan sama-sama kemudian si gitaris bernama Choi Jonghun itu mengacungkan jempolnya pada Jaejin. Senyum pemuda itu mengisyaratkan bahwa ia teramat puas akan permainan Jaejin.

Aku tergeragap saat satu persatu dari mereka mulai melepaskan instrumennya. Lee Hongki meninggalkan standmic-nya dan berjalan ke arah pintu. Sesi latihan mereka telah usai dan lima pemuda itu akan keluar. Aku berusaha bersembunyi di sebuah sudut ketika mereka bergerombol meninggalkan studio.

Kususul kelimanya yang berhenti di sebuah mesin minuman otomatis—masih dalam lingkungan studio—sembari merapatkan tubuh ke tembok. Jaejin tampak berbicara pada si jangkung yang juga memainkan gitar tadi.

“Seunghyun-ah, kau yakin salah satu dari gadis-gadismu tidak sedang mengintil kita?”

“Gadis-gadis apa? Sialan kau, Jaejin! Aku ‘kan tidak punya pacar, sok tahu!” Seunghyun mendengus. Jaejin tidak menanggapi meski Seunghyun meninju bahunya. Ia menoleh ke tempatku, beruntung aku sigap dan berhasil menarik kepalaku pada waktu yang tepat. Jaejin tidak sampai melihatku.

“Aneh saja. Akhir-akhir ini aku sering merasa diawasi dan diamati.” Itu suara Jaejin, ia mengeluh. Kemudian tawa cekikikan dari teman-temannya segera menyusul sambil mengatainya tidak masuk akal. Mereka anggap Jaejin terlalu percaya diri sehingga mengira ada sasaeng fans yang selalu mengikuti ke mana pun ia pergi.

“Tapi mereka benar, Lee Jaejin. Akulah orang yang selalu memperhatikanmu dari kejauhan...” Kubenarkan perkataan temannya itu. Jaejin hanya tidak tahu dan entah kapan kah ia akan tahu.

*

Nae mam I just wanna feel you feel you

Hatiku, aku hanya ingin merasakanmu, merasakanmu

Neol nae gyeote I just wanna feel you feel you

Tinggallah di sisiku, aku hanya ingin merasakanmu, merasakanmu

Neoreul namanui saejang soge yeongwonhi gadwodugo

Aku ingin menempatkanmu di sangkarku selamanya

Jikyeoman jugo sipeo

Dan melindungimu

Then finally I save you

Kemudian akhirnya aku akan menjagamu


 

Suara bariton pak guru di depan kelas tak begitu menarik minatku kali ini. Sejak tadi lelaki itu berusaha menjabarkan rumus-rumus jurnal akuntansi yang menurutku akan lebih mudah jika diaplikasikan langsung ke soal saja. Di samping itu, kepalaku agak pusing sehingga sulit berkonsentrasi terhadap pelajaran.

Namun Tuhan Maha Baik, Ia mengabulkan harapanku saat ujung spidol menggores licinnya whiteboard dan dalam sekejap deretan soal sudah mengantri untuk dipecahkan. Pak guru mengetuk papan tulis menggunakan tutup spidol dan meminta salah satu siswa untuk mengerjakannya secara bergantian.

Kali ini aku tak mau tinggal diam. Tentu aku tahu jawabannya dan segera unjuk tangan. Akan tetapi pak guru malah menunjuk teman sebelahku. Kuturunkan tangan kembali, sembari berpikir Yuna—yang duduk di bangku kananku—gesit sekali angkat tangan sampai-sampai mampu mendahuluiku.

“Seharusnya tadi aku berseru sekalian. Biar pak guru dengar,” sesalku kemudian berhenti memperhatikan soal yang akan diselesaikan oleh Yuna. Aku membolak-balik lembaran buku dan berhenti di halaman terakhir. Iseng, aku mulai menggambar dua orang manusia yang masing-masing diberi nama Jimin – Jaejin. Setelah itu, kuambil stabilo dan membuat sketsa mirip sangkar burung persegi di sekeliling gambar manusia yang bertuliskan nama Jaejin.

Senyumku mengembang begitu ‘sangkar’ tersebut selesai. Tak lupa aku menambahkan gambar hati yang besar di atas kepalaku dan kepala Jaejin sebagai pelengkap. Kupandangi gambar-gambar itu secara lekat.

“Lee Jaejin, debaran ini tertuju untukmu. Datanglah ke sisiku, maka aku berjanji akan melindungi serta menjagamu layaknya sangkar burung ini.”


 

Neon nareul pihajiman naneun neol wonhaneun geol

Kamu menghindariku, tapi aku menginginkanmu

Neomaneun dachige hago sipjineun anha

Aku tidak berniat untuk melukaimu


 

Aku meninggalkan sketsa yang kubuat sepanjang jam pelajaran tadi di loker. Saat istirahat ini aku menghambur menuju lapangan terbuka sekolah untuk menyaksikan kelas olahraga Jaejin. Dari yang kudengar, pemuda itu akan melakukan pertandingan sepakbola bersama teman-temannya. Tak buang waktu aku bergegas ke bangku penonton, mengambil posisi paling depan agar bisa melihat Jaejin dengan jelas.

Ternyata pertandingan sudah dimulai sepuluh menitan. Di atas rumput hijau itu, Jaejin menggiring bola di ujung kakinya dan bergerak lincah menyalip lawan satu persatu. Tak perlu waktu lama, ia sudah mendekati mulut gawang dan melakukan tendangan. Namun seruan kecewa terlahir dari mulut para supporter—termasuk aku—karena bola yang seharusnya menjebol net justru menghantam tiang gawang.

“Aah! Nyaris saja!” pekikku gemas. Dengan semangat membara aku meneriakkan nama Jaejin berulang kali. Sekuat tenaga, berharap usahaku dapat membantu pemuda itu mencetak gol pertama.

“LEE JAEJIN! LEE JAEJIN! LEE JAEJIN! Woooo... Semangat!!”

Jaejin tertegun seketika. Matanya menatap nanar ke bangku penonton, bergerak liar seakan mencari-cari sesuatu. Aku semakin kalap berteriak, tak peduli suaraku mungkin akan parau. Gerakan Jaejin melambat, ia tampak seperti orang linglung. Bola yang Jonghun overkan padanya ia abaikan sehingga rekan-rekannya yang lain berseru marah.

“Ada apa dengannya?” aku bertanya dan keheranan. Namun situasi itu tak bertahan lama karena segera saja sesuatu menimpa Jaejin. Ia tersandung lawan hingga harus tersungkur. Permainan tiba-tiba dihentikan dan penonton berlompatan menghampirinya. Aku turut melakukan hal yang sama, bangkit dari bangku kemudian bergabung mengerumuninya di tengah lapangan.

“Lee Jaejin!” Aku berseru panik ketika melihat pemuda itu tidak berhenti meringis kesakitan meski sudah ditandu menuju UKS. Tangan Jaejin cidera! Hatiku bergejolak, memberontak liar.

Aku berlari ke UKS dan rombongan yang tadi mengantarnya sudah bubar, kembali ke kelas masing-masing sebab bel masuk baru saja dibunyikan. Kudorong pelan pintu UKS ke arah dalam dan masuk ke sana. Kusingkap kain penyekat yang tergantung di tengah ruangan kemudian kutemukan Jaejin terbaring di ranjang menghadap tembok. Ia tak bergerak.

“Jaejin-Ssi, gwaenchana-yo?”

Tak ada sahutan. Begitu kuperiksa, ternyata ia tertidur dengan perban karet warna cokelat yang melilit pergelangan tangan sebelah kirinya. Bila melihat itu, tangan Jaejin pasti terkilir.

Kuhampiri kursi yang ada di sebelah lemari besi samping ranjang kemudian menempatinya. Aku duduk di sana tanpa melakukan apa-apa. Hanya memandangi punggung yang masih berbalut pakaian olahraga tersebut. Ia tampak kelelahan.

Beberapa detik kemudian Jaejin menggeliat, tubuhnya bergeser menjadi telentang. Aku terkejut namun belum berani bersuara sebab matanya masih terpejam rapat. Yang berbeda adalah keringat di keningnya. Betapa banyak ia berkeringat sekarang.

Omo! Apa dia demam?” Sedikit lancang kutaruh telapak tangan di dahinya, sekedar memastikan suhu tubuhnya. Memang sedikit hangat, tapi aku tidak bisa menduga-duga saja.

Begitu kuusap keringatnya menggunakan ujung lengan seragamku, bibir Jaejin bergerak kecil seakan menggumamkan sesuatu yang tidak dapat kudengar. Ia tampak seperti orang yang bermimpi buruk dan mengigau.

“Ini tidak bisa didiamkan!” Aku berlari menuju pintu, bermaksud mencari petugas UKS yang sejak aku masuk tadi tidak tampak satu pun batang hidungnya. Namun orang-orang itu benar-benar tidak ada. Kutengok koridor, sepi. Ruang jaga UKS juga kosong. Lalu apa yang harus kulakukan?!

Separuh putus asa, aku kembali ke ruangan di mana Jaejin seharusnya berada. Tetapi begitu aku tiba di sana, ranjangnya sudah tak berpenghuni. Pemuda itu menghilang dengan cepat. Pasti ia pergi saat aku berusaha menemukan petugas UKS di lorong tadi.

Aku terduduk lemas di lantai. Pemuda itu menghilang bahkan ketika aku berniat baik. Aku hanya ingin menolongnya, bukan melukainya!

“Jaejin-Ssi... Apa kau juga harus menghindar saat aku ingin merawatmu?”

*

Museoun pyojeong jitji ma,

Jangan memasang wajah ketakutan,

Nan neol haechiryeoneun ge anya

Aku tidak mencoba untuk menyakitimu

Nan keujeo neowa hamkke igo sipeun geol

Aku hanya ingin bersamamu


 

Dengan tekad pantang menyerah aku pergi mencarinya. Mencari keberadaan Jaejin dan merasa beruntung sebab aku sempat melihat bayangannya meninggalkan pagar sekolah. Entah ke mana satpam yang seharusnya berjaga sehingga pemuda itu berhasil meloloskan diri ke luar lingkungan sekolah pada saat jam pelajaran berlangsung.

“Mau ke mana memangnya kau, Lee Jaejin? Kau bolos dan itu buruk! Aku jadi ikut-ikutan membolos karena mengkhawatirkanmu, huh!” Aku bersungut-sungut sembari terus membuntutinya dari belakang.

Jaejin tampak terburu-buru pergi ke suatu tempat. Setelah naik subway sekali, ia turun dan berhenti di depan jejeran pertokoan daerah Shinsa-dong. Aku pikir ia mau membuat janji bersama seorang teman di sana, tapi yang pemuda itu lakukan hanyalah diam terpekur di trotoar di balik pagar menghadap jalan raya. Bergeser sedikit ke kiri dari tempat itu, ada garis hitam-putih zebra-cross penyeberangan. Itulah yang dipandangi Jaejin saat ini.

“Apa yang sedang ia pikirkan?” Aku tak berniat menghampirinya, mematung diam tiga meter darinya.

Cukup lama kami saling diam dan bermain bersama pikiran masing-masing, sampai kemudian ada seorang bocah laki-laki menyapa Jaejin. Aku menoleh dan pemuda itu merespon. Dari yang kutangkap, bocah itu bertanya apa yang sedang Jaejin lakukan di sana. Lalu ia menjawab, ‘tidak ada’ sambil mengacak rambut si bocah.

Tak tahu hal apa lagi yang mereka berdua bicarakan, aku tak terlalu memperhatikan. Yang jelas, bocah itu tiba-tiba saja menunjuk padaku. Sebelum aku sempat bersembunyi Jaejin sudah lebih dulu menoleh kemudian tersenyum kaku. Ia berbicara lagi dengan bocah itu, kali ini wajahnya memucat. Gesturnya pun seperti orang ketakutan.

Itu menyakitkan. Aku sedih melihat ekspresi Jaejin yang demikian. Apakah aku penjahat? Aku bahkan tidak mencoba untuk menyakitinya. Aku hanya ingin terus bersamanya, di sisinya, memberitahunya tentang perhatianku. Hajima.. Mohon jangan memasang wajah seperti tadi lagi...

*

Oh oh oh

Oh oh oh

I want now eonjena hamkke halke

Aku ingin sekarang, aku akan selalu bersamamu

You always in my eyes

Kamu selalu di mataku


 

Hari minggu yang meriah namun hatiku sepi. Sudah nyaris sebulan tak ada telepon dari ibu maupun ayah ke ponselku. Aku menunggu panggilan itu, namun tak kunjung masuk. Mencoba interlokal pun sia-sia, mereka tak menjawabnya. Apa pekerjaan mereka sangat menyita waktu?

Demi mengalihkan kegalauan hati, aku sengaja ke luar untuk berjalan-jalan. Tak ada destinasi khusus, aku hanya mengikuti ke mana kaki ini membawaku. Sadar-sadar, aku justru tiba di tempat yang kemarin lusa Jaejin datangi. Akhir pekan di Shinsa-dong cukup ramai, setidaknya banyak pejalan kaki berlalu-lalang di trotoar sambil sesekali melirik ke dalam pertokoan.

Aku berhenti tepat di ujung zebra-cross sebelah sini, memicingkan mata pada garis-garis tersebut. Mencari sesuatu yang membuat Jaejin terpaku menatapnya tempo hari. Apakah ada yang sangat menarik di sana? Lima menit sudah, aku tak menemukan apa-apa. Justru mataku perih karena tak berkedip cukup lama.

“Aku jadi seperti orang bodoh saja,” desahku, mengakhiri kegiatan konyol tersebut. Baru saja aku akan angkat kaki berpindah tempat, mataku tertumbuk pada sosok tampan yang berdiri di seberang. Tepat segaris lurus dengan tempatku sekarang.

Itu Lee Jaejin! Itu benar di—

“Aah!!”

—mendadak saja kepalaku sakit bagai dilempar menggunakan kerikil namun dalam jumlah setengah ton. Rasanya pusing dan berdenyut-denyut. Aku melawannya dan berusaha tetap menatap Jaejin yang masih bergeming di seberang sana.

Sorot matanya redup, tercenung seakan ia tengah bersedih atas sesuatu. Aku hanya tersenyum tak mengerti, memaknai semua ini dengan hati lapang. Paling tidak, aku senang karena akhir-akhir ini Tuhan mempertemukanku lebih sering dengan pemuda itu. Bahkan sekarang, ini bukan sekolahan dan aku tidak sedang bermaksud menguntilnya seperti biasa tetapi kami masih dipersuakan. Ia berada dalam jangkauan penglihatanku. Selalu.

Ini sebuah pertanda atau apa?

*

You run away You run away right now

Kamu berlari menjauh, Kamu berlari menjauh

You run away You run away right now

Kamu berlari menjauh, Kamu berlari menjauh

You run away You run away right now

Kamu berlari menjauh, Kamu berlari menjauh

But I’ll get ya

Tapi aku akan mendapatkannya


 

Sudah berkali-kali aku mendial nomor telepon ibu dan ayah, hasilnya tetap sama. Tak ada jawaban sama sekali. Mereka seakan mengabaikanku dan enggan memberi kabar. Aku tak punya keberanian untuk menghubungi kantor ayah karena takut mengganggu pekerjaannya. Yang bisa kulakukan sekarang adalah menunggu sampai keduanya yang melakukan panggilan padaku.

Hanya saja, sampai kapan aku harus begitu? Tak ada seorang pun yang dapat kujadikan tempat berbagi saat ini dan itu mengerikan. Aku memang tipe introvert sejak dulu dan menjadi semakin parah sejak kepergian sahabatku satu-satunya, Choa. Gadis itu meninggalkan Korea dan menetap di salah satu negara Eropa satu tahun yang lalu. Tak heran ketika sekarang aku merasa sangat kesepian.

Tumpuan ingatanku berhenti pada satu orang. Lee Jaejin. Ya, Jaejin! Siapa lagi yang kukenal dengan baik selain dia?—meski mungkin itu pendapat sepihak dariku saja. Bagusnya lagi, aku sudah sejak lama menyimpan nomor ponsel pemuda itu di kontak sehingga harapanku terbit kembali.

“Jaejin-Ssi, aku mohon sekali saja..”

Aku terus menempelkan ponsel ke daun telinga, bunyi ‘tuut tuut’ tak kunjung berubah menjadi sahutan yang berarti.

“Jaejin-Ssi! Kenapa kau juga?!” raungku sambil melotot geram pada layar ponsel. Pemuda itu juga mengabaikan panggilan dariku.

Aku mencari cara lain, yaitu mengiriminya text dan pesan suara. Berharap kali ini Jaejin mau merespon. Kutolehkan wajah pada jam yang berdetak di dinding kamar, sudah pukul tujuh malam. Seharian ini terasa sangat cepat, aku melupakan semua kejadian yang kulalui sepanjang hari di sekolah. Mungkin karena aku terlalu memikirkan tentang ibu dan ayah, juga... Jaejin!

Pikiran-pikiran aneh itu menguasaiku, aku khawatir Jaejin akan berlaku sama seperti kedua orangtuaku. Aku membayangkan dia pergi menjauh sejauh-jauhnya, berlari sekuat tenaga meninggalkanku tanpa mau menoleh lagi.

Tidak! Jangan sampai itu terjadi! TIDAK, JIMIN! Kau tak boleh membiarkan ini!

“Belum terlalu malam. Aku akan ke sana.” Kusambar jaket hitam dari kapstok di belakang pintu kemudian keluar.

Rambut panjangku berhamburan diterpa angin ketika aku sampai di tempat itu. Pedestrian di sekitarku berjalan cepat-cepat, coba menghalau hembusan angin yang lumayan kencang. Aku datang ke Shinsa-dong malam ini tanpa persetujuan. Hanya mengikuti insting yang entah kenapa menuntunku ke mari.

Aku sendiri tidak tahu apa istimewanya tempat ini, sama halnya dengan ketidakpahamanku mengenai tingkah Jaejin beberapa hari yang lalu. Ia berdiri di sini, kemudian di seberang sana, sambil menatap zebra-cross yang membisu.

Aku memeriksa nama setiap toko yang berjajar rapi di sepanjang tempat ini, barangkali ada toko milik saudaranya atau teman Jaejin. Namun kuyakin tidak ada yang seperti itu. Lalu apa maksud tatapannya?

“Jaejin-Ssi, apa ada sesuatu yang ingin kau beli di salah satu toko sekitar sini?” Aku mengerjap menatap barisan pertokoan kemudian tersenyum saat memikirkan andai Jaejin berniat membelikan barang apa saja yang ada di sana untukku. Pasti menyenangkan sekali.

Kepalaku turun menunduk melihat layar ponsel yang gelap dalam genggamanku. Senyum tadi menyusut begitu tahu Jaejin tak membalas satu pun pesan dariku. Apa ini tidak keterlaluan?

“Jaejin-Ssi? Kau sungguh ingin berlari dariku?”

*

Nae mam I just wanna feel you feel you

Hatiku, aku hanya ingin merasakanmu, merasakanmu

Neol nae gyeote I just wanna feel you feel you

Tinggallah di sisiku, aku hanya ingin merasakanmu, merasakanmu

Neoreul namanui saejang soge yeongwonhi gadwodugo

Aku ingin menempatkanmu di sangkarku selamanya

Jikyeoman jugo sipeo

Dan melindungimu

Then finally I save you

Kemudian akhirnya aku akan menjagamu


 

Tak pernah ada kata bosan bagiku. Baik hari ini atau yang sudah-sudah. Kesekian kalinya menyusuri Shinsa-dong karena merasa semakin kesepian. Ayah dan ibu benar-benar mengabaikanku, dan Jaejin bahkan tak tampak di sekolah hari ini. Sejak pagi ia tak di sekolah, aku juga tak menanyakan apa-apa kepada teman-temannya. Maka tempat pelarian terakhirku adalah di sini.

Kakiku berhenti di tempat Jaejin membisu hari itu. Di seberang sana, adalah lokasi di mana aku tertangkap basah mengikutinya bolos akibat ulah seorang bocah lelaki yang membongkar keberadaanku dengan telunjuknya. Aku menyeringai, harusnya waktu itu aku abaikan saja tatapannya dan nekad menghampirinya. Mungkin semua akan jelas.

Aku segera menepis rasa sesal itu tatkala seseorang yang gesturnya sudah sangat kuhafal di luar kepala tampak terburu-buru datang dari arah kanan di seberang jalan sana. Itu Lee Jaejin! Dia berlari-lari kecil di depan pertokoan menuju perhentiannya ketika membolos tempo hari.

Hatiku merasakannya. Ya, jantungku menghentak heboh di balik rusuk hanya dengan melihatnya. Segala gundah yang sedari tadi menggantung di hatiku seketika pudar dan berganti menjadi hasrat yang menggebu. Aku begitu menginginkannya di sisiku, agar aku tidak lebih gila lagi karena perasaan ini.

“Lee Jaejin-Ssi!” Kupanggil namanya sembari melirik lampu bergambar orang-orangan yang sedetik kemudian berubah menjadi hijau. Aku berjalan cepat-cepat—nyaris berlari—di atas garis hitam-putih hingga tiba di seberang.

“Jaejin-Ssi, sudah kuduga kau akan kembali ke mari. Aku.. Aku.. Ingin mengaku..” Sedikit terbata-bata kupaksakan lidah untuk berucap sesuatu. Aku akan mengakui semuanya, tentang aksiku yang selalu membuntutinya belakangan ini, juga tentang hatiku. Aku mau jujur sehingga bisa menjaganya tanpa harus sembunyi-sembunyi lagi.

“Aku..—”

Suaraku tersendat di tenggorokan. Dalam keremangan senja yang mulai diliputi gelap, Jaejin yang masih tersengal nafasnya perlahan mengangsurkan seikat bunga tulip putih dari dalam ranselnya. Ia membungkuk dan meletakkan bunga tersebut di tepi jalan.

“Jaejin-Ssi, apa yang kau lakukan dengan tulip itu?”

Ia mengabaikan tanyaku meski keberadaanku tak jauh darinya. Justru aku berada di depannya kini. Pemuda itu seolah tuli dan mulai berbicara sambil menatap aspal.

“Shin Jimin-Ssi, jeongmal mianhamnida! Harusnya aku tahu jika hari itu adalah hari yang berat bagimu, tapi aku justru tak acuh. Aku benar-benar minta maaf, jadi tolong tenanglah di sana.”

Aku semakin tak mengerti. Untuk apa Jaejin meminta maaf padaku dan kapan hari yang berat itu? Lalu apa maksudnya tenang di sana? ‘di sana’ itu di mana? Secara bergantian aku menatap Jaejin yang setengah meratap kemudian bunga tulip putih terbungkus plastik transparan itu. Simpul-simpul syarafku bekerja dengan keras hingga menimbulkan efek sakit berdenyut dan pusing yang tiba-tiba.

Aku terhuyung sambil memegangi kepalaku. Kini telingaku mendengar kalimat-kalimat panjang dari mulut Jaejin tentang sesuatu yang sulit kupercaya sekaligus menjawab segala tanya yang berputar.

“Jaejin-Ssi! Katakan kau mendengarku! Katakan kau bisa melihatku sekarang!” Aku meraung sia-sia. Sekeras apapun suara yang kukerahkan, Jaejin tetap tak menghiraukan. Ia tetap bersimpuh di sana sehingga menarik perhatian orang-orang. Ya, mereka hanya memperdulikan Jaejin, namun tidak denganku. Mereka melewatiku, bahkan menembus tubuhku!


 

Nae mam I just wanna feel you feel you

Hatiku, aku hanya ingin merasakanmu, merasakanmu

Neol nae gyeote I just wanna feel you feel you

Tinggallah di sisiku, aku hanya ingin merasakanmu, merasakanmu

Neoreul namanui saejang soge yeongwonhi gadwodugo

Aku ingin menempatkanmu di sangkarku selamanya

Jikyeoman jugo sipeo

Dan melindungimu

Then finally I save you

Kemudian akhirnya aku akan menjagamu


 

-Author POV-


 

Jimin menggeleng lebih keras, berusaha menyadarkan dirinya jika memang ini hanyalah mimpi. Mimpi buruk. Namun yang jauh lebih buruk adalah kenyataan, kenyataan yang gadis itu tidak menyadarinya.

“Jaejin-Ssi... Hiks, hiks.. A-apa aku.. ada apa.. ada apa denganku..?” Jimin mengamati telapak tangannya sambil berurai air mata. Ia tak bisa percaya jika baru saja seorang perempuan bertubuh besar menembus tubuhnya dengan enteng. Jimin bahkan tidak bisa menyentuh sosok Jaejin lagi sekarang.

“Jimin-Ssi.. Maafkan aku!”

Jimin terduduk di samping Jaejin yang melipat kedua tangannya di depan dada untuk berdoa. Mengirimkannya untuk arwah Jimin. Perlahan ingatannya keluar dan terputar seperti film dokumenter dengan alur mundur. Dimulai dari sepucuk surat yang ia tinggalkan di loker Jaejin, pemuda itu bukan tidak mau membacanya, melainkan memang tidak pernah menerimanya dari Jimin. Surat itu semu.

Selanjutnya, pak guru yang melewatkan Jimin untuk menjawab soal di papan tulis. Itu bukan karena Yuna yang lebih gesit darinya, tetapi memang tak ada yang mengangkat tangan selain Yuna di kelas tersebut. Bangku Jimin kosong. Ia hanya mengkhayal belajar di kelas.

Berikutnya lagi, alasan Jaejin ceroboh di lapangan bola sampai-sampai tersandung lawan adalah karena telinganya tanpa sengaja mendengar seseorang meneriakkan namanya dan ia tahu suara siapa itu. Suara Jimin, namun gadis itu tidak ada di lapangan. Hal tersebut lantas membuat Jaejin ketakutan.

Begitu pula dengan bocah yang bicara pada Jaejin hari itu. Hanya ia yang melihat sosok Jimin, sedang Jaejin tidak. Bagi pemuda itu, si bocah sedang menunjuk udara kosong dan tak ada seorang pun di sana selain mereka berdua. Tidak aneh ekspresi Jaejin seperti melihat hantu.

Jimin ingat, kurang lebih sebulan yang lalu ia membuntuti Jaejin yang baru saja mengganti senar gitar bassnya di salah satu toko alat musik di Shinsa-dong. Mereka sempat bertubrukan dan Jaejin tersenyum maklum tanpa curiga sedikit pun padanya. Begitu pemuda itu meninggalkan toko, Jimin pun turut keluar hendak memastikan ke mana perginya Jaejin setelah itu. Sayang, ponselnya lebih dulu berbunyi yang suka tidak suka harus diangkat. Jimin sumringah, karena nama kontak yang tertera di sana adalah ‘eomma’. Sudah lama orangtuanya belum memberi kabar.

Ia langsung menyahuti suara pria yang terlantun di saluran seberang. Itu bukan suara ibu maupun ayahnya, melainkan seorang polisi yang mengabarkan sebuah berita duka. Sesuatu yang buruk telah menimpa si pemilik ponsel beserta suaminya.

Bibir Jimin gemetar, tulang-tulang di tubuhnya serasa dicopot dari tempatnya. Ia seperti mendengar bunyi petir menyambar di siang hari yang cerah. Tangannya yang menggenggam ponsel lunglai, tak peduli pada lantunan suara di speaker yang masih menyala.

“Eomma, appa.. Andhwe!” Jimin menggeleng sekuat tenaga kemudian menghapus butiran air yang sudah merebak dari kedua belah matanya.

Jaejin yang tadinya telah sampai di seberang jalan sana, kini terpaksa berbalik lagi karena melupakan sesuatu dan bermaksud kembali ke toko musik. Saat itu pula ia menyadari gadis yang bertabrakan dengannya tadi masih berada di depan toko alat musik dan tampak seperti orang kebingungan.

Jaejin tak kunjung menyeberang karena lampu lalu lintas bergambar orang-orangan itu masih menyala merah. Namun Jimin tidak begitu, dengan tidak sabarnya ia berlari di atas zebra-cross ketika lampu hijau untuk pejalan kaki bahkan belum saatnya berganti.

Jaejin melihat itu dan berusaha memperingatinya. “Shin Jimin-Ssi, AWAASS!!” Tangan Jaejin terjulur ke depan saat dengan cepatnya sebuah mobil menyambar tubuh Jimin yang sedang kalap berlari hingga terguling dan menabrak pagar pembatas. Terkulai tak berdaya seketika dengan darah yang mengucur dari mana-mana.

Mata Jaejin membulat saat ia menyela kerumunan orang-orang yang sudah berjubel di sekitar jasad Jimin. Gadis itu menderita banyak luka di sekujur tubuhnya. Meski gemetar Jaejin merogoh ponselnya dan menelepon ambulans, tidak memperdulikan umpatan yang para saksi lontarkan pada si pengendara mobil.

“Ak..aku tidak kabur, a-aku akan ber..bertanggung jawab. A-mari lekas ki..kita bawa di..dia ke rumah sa..sakit..”

Jaejin turut mengantar ke rumah sakit bersama si penabrak dan menunggu hasil dari ruang ICU. Setelah sekitar satu jam, barulah dokter keluar yang justru membawa kabar buruk. Gadis itu telah kehilangan banyak darah dalam perjalanan menuju rumah sakit dan benturan di kepalanya amat fatal. Pihak rumah sakit bahkan tak bisa mengontak anggota keluarganya karena setelah diselidiki, kedua orangtua Jimin meninggal hari itu dalam sebuah kecelakaan di Dubai.

Jaejin masih tersedu penuh penyesalan menghadap pagar yang dihiasi bunga tulip sementara Jimin mengulas sebuah senyum kerelaan. Ia bukan lagi makhluk fisik sekarang, keberadaannya tak dapat disadari oleh Jaejin sekeras apapun ia berusaha.

“Ma-maafkan aku, sungguh maafkan aku, Shin Jimin..”

“Kau tak perlu meminta maaf, Jaejin. Ini memang sudah menjadi takdirku dan bukan merupakan kesalahanmu. Aku seharusnya melepaskan urusan dunia ini sejak hari itu.” Jimin mengusap matanya yang berair. Ia tak lagi keberatan membiarkan Jaejin tetap tinggal sementara dirinya harus pergi ke tempat yang jauh.

Hari ini Jimin sudah bisa pergi. Tepat setelah mendapat kabar dari rumah sakit sore ini mengenai kondisi Jimin yang menyerah untuk bertahan, Jaejin segera berlari ke lokasi kecelakaan hari itu dan berdoa agar arwah Jimin dapat pergi dengan tenang. Selama gadis itu koma ia bahkan tak sempat menjenguk walau mereka satu angkatan di sekolah yang sama. Kini semuanya sudah berakhir.

Jimin merasakan kehadiran dua orang di balik punggungnya. Ia berbalik dan menemukan sosok kedua orangtuanya melambaikan tangan, mengajaknya agar ikut bersama mereka. Jimin tersenyum, setelah sekian lama akhirnya mereka kembali bersatu.

Sebelum benar-benar meninggalkan Jaejin sendirian di sana, Jimin sempat menoleh pada pemuda yang selama ini selalu ia ikuti bagai bayangan itu. Ia sangat dekat, dan Jimin selalu merasakannya. Namun layaknya bayangan, meski amat dekat namun tak pernah tersentuh. Tidak pernah bisa.

Jalga-yo. Aku akan mengawasimu dari sana, Lee Jaejin.”

Sosok Jimin memudar bersama kedua orangtuanya. Mereka lenyap terbawa angin yang berhembus, menemani Jaejin yang masih tertunduk tak tahu menahu pada sekelilingnya.


 

END


 

Songfic teraneh yang pernah kubuat -____-“ ada ya songfic jadi deathfic? Hahaha *ketawa garing* ngawur bener deh akh!

For double JJ (Jaejin-Jimin) em sori bingits atas taan dalam kisah ini >/\< jangan aduin aku ke fnc ceo yak!


 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet