Gwaenchana

Please


 

Please (gwaenchana)


 

Song Seunghyun (FT Island) | Choi Junhee (Juniel) | FT Island member


 

Fluff | Comedy | Romance


 

Teen/General


 

Asuka © 29/04/2015

---

Keseriusan Junhee ketika menulis penjabaran rumus limit fungsi yang tercetak di papan tulis terhenti sejenak untuk menoleh ke samping kanannya di mana ada seorang pemuda dengan diamnya hanya menatap tulisan-tulisan di papan tanpa minat. Tangannya sama sekali tak bergerak mencoret lembaran buku barang sedikit.

Junhee mencondongkan sedikit tubuhnya kemudian mengibaskan ujung pulpennya beberapa kali ke arah pemuda tadi. Setelahnya ia berbisik, “Seunghyun! Kau sedang apa? Tidak mencatat, huh?”

Seunghyun mendengarnya dan menoleh. Ia hanya menjawab dengan gelengan. Gadis itu mendengus kemudian kembali ke posisi tubuhnya semula namun masih mengerling kesal. Sadar mendapat tatapan tidak enak, Seunghyun merogoh saku celananya dan diam-diam mengetik sebuah pesan. Ia melirik Junhee yang masih berwajah kecut, hingga getaran ponsel mengubah ekspresi gadis itu.

“Iish.. berani-beraninya!” Junhee mendesis setelah membaca pesan dari Seunghyun. Gadis itu tak menghiraukan si pelaku yang berada di samping itu sudah tersenyum tiga jari sambil mengacungkan simbol peace dengan kedua jarinya. Susah juga punya pacar teman sekelas!

Hingga bel istirahat berbunyi, Junhee tak melihat satu pun angka atau huruf tertulis di buku catatan matematika Seunghyun. Kertas itu putih bersih. Ada apa dengan pemuda ini? Junhee bertanya dalam hati.

“Berhenti memelototi buku catatan itu. Ayo kita ke kantin, aku sudah lapar,” rengek Seunghyun seolah dia adalah bocah umur lima tahun. Junhee menghela nafas keras, otot-otot di wajahnya masih setegang jam pelajaran tadi. Seunghyun yang sudah berdiri hanya menatapnya datar.

“Masih bisa kau memikirkan perutmu ketika bukumu kosong? Aku tak ingin kau gagal lagi di ujian tengah semester kali ini, Seunghyun!”

Giliran Seunghyun yang membuang nafas. Gadisnya ini memang perhatian, tetapi kadang suka berlebihan juga. “Ayolah, jangan berlebihan. Tadi itu aku sedang tidak bisa konsentrasi saja. Aku bisa meminjam catatanmu nanti dan menyalinnya di rumah.”

Junhee menekuk wajahnya saat Seunghyun berlalu menuju pintu kelas setelah mengajaknya pergi ke kantin sekali lagi. Lihat, bahkan pemuda itu tak menunggunya untuk jalan beriringan. Dengan setengah kesal, Junhee menyusul punggung lebar di depannya.

Kini keduanya berada di koridor yang banyak dilalu-lalangi para siswa. Ada yang berlarian, ada juga yang sekedar mengobrol, sebagian sibuk berdiskusi masalah pelajaran. Seunghyun berjalan di depannya, dan Junhee hanya bisa membuntutinya di belakang karena lorong itu benar-benar padat sekarang. Salah satu siswa sukses menyenggol bahu Junhee yang membuat gadis itu harus jatuh terduduk. Ia meringis dan melihat Seunghyun berhenti.

“Astaga, hoobae-hoobae itu! Mereka seharusnya mendaftar pada perlombaan marathon,” gerutu Seunghyun kemudian mendekat pada Junhee, “kau tidak apa-apa?”

“A-aku baik-baik saja.” Junhee terbata dan bangun sendiri. Seunghyun memang mengumpati hoobae-hoobae tadi, namun ia tak bergerak membantu Junhee. Mengulurkan tangan pun tidak. Kedua tangannya tersimpan di kedua saku celananya. Begitu gadis itu sudah berdiri, Seunghyun tersenyum lalu merajut langkah kembali.

Junhee bergeming. Sikap Seunghyun hari ini aneh. Ia terlampau cuek dan tak acuh. Seperti bukan Seunghyun saja. Begitu pikir Junhee.

*

Sepulang sekolah, Seunghyun tampak buru-buru memasukkan semua bukunya ke dalam tas dan hendak beranjak ketika Junhee menahan lengan kirinya.

“Kau mau latihan?”

Pemuda itu mengangguk kecil sebelum mengaitkan tali ransel ke pundaknya. Junhee berkata lagi, “aku ikut. Sudah lama tidak melihat kalian latihan band.”

Muncul kerutan di kening Seunghyun. Ia mendadak risau dan mencari-cari alasan untuk menolak permintaan Junhee dengan cara yang halus. Ia tak ingin gadis itu tahu tentang sesuatu.

“Ngg.. Biar kuantar kau pulang saja. Latihan hari ini sepertinya akan lama, aku tidak mau kau kelelahan hanya untuk menunggui kami.”

“Itu tidak melelahkan, kok. Lagipula, jika aku bosan aku bisa sambil menyalinkan catatan tadi ke bukumu. Di rumah sedang tidak ada orang, sepi sendirian saja.” Junhee memaksa bahkan kini ia bergelayut di lengan Seunghyun sebagai bentuk permohonan. Pemuda itu kehabisan cara, ia tak ingin gadis ini mati kebosanan sendiri di rumahnya, namun Seunghyun juga tidak setuju bila Junhee mengikutinya sampai ke studio. Setidaknya jangan dalam waktu dekat.

“Aku akan mengabari Jonghun kalau kita akan datang berdua.” Junhee tersenyum sembari menempelkan ponsel ke daun telinganya, menelepon sepupu laki-lakinya yang juga teman band Seunghyun. Tidak memperdulikan wajah pias pemuda jangkung di sampingnya itu. Jika sudah begini, maka Seunghyun lah yang harus berhati-hati agar tidak ketahuan.

Sesampainya di studio, Junhee disambut gembira oleh anggota band yang lain. Mereka datang dari sekolah yang berbeda. Ada Choi Jonghun—tentu saja—yang memegang kendali utama gitar, Lee Jaejin yang setia pada bass-nya. Choi Minhwan melambai dari belakang drum set-nya, dan Lee Hongki si vokalis mereka yang belum apa-apa sudah menubruk Junhee sambil memekik. Melihat itu Seunghyun segera menyela Hongki hingga pemuda itu terpapar.

“Kau ini protektif sekali, sih?! Aku cuma mau memeriksa Junhee,” Hongki berkata dan mendekat lagi. Kali ini ia mengintip ransel di punggung Junhee, mencari-cari sesuatu.

“Kau tidak membawa yang biasa?” Hongki bertanya dengan nada kecewa karena biasanya Junhee selalu menyertakan makanan ekstra untuk mereka berlima ketika bertandang ke studio latihan band mereka. Itulah alasan mengapa gadis ini tak pernah ditolak untuk bergabung.

Junhee terkekeh, “aku tidak membungkus kue-kue untuk kalian karena datang tanpa direncanakan. Tadi saja Seunghyun hampir melarangku ikut ke mari...” kalimat bernada aduan itu membulatkan mata Seunghyun. Sementara yang lain sudah memberinya tatapan mematikan karena menutup peluang dapat camilan gratis.

“Hongki memang Mister Gratisan, Junhee-ya! Hahaha.” Jonghun terbahak karena kelakuan teman band-nya itu. Si tampan berhidung mancung itu sudah memasang kabel gitarnya ke soundsystem bersama Jaejin yang juga mulai mengetes bass-nya. Junhee mengambil tempat di sudut ruangan dan duduk di kursi kecil. Seunghyun menghampiri gitarnya yang berada tak jauh dari perangkat drum Minhwan. Si tegap penabuh drum itu bangkit lalu melompat ke arah Seunghyun. Berkata sesuatu,

“Eh, bagaimana dengan ta—hhffttt...”

Junhee dan yang lain menoleh nyaris bersamaan dan tampak oleh mereka Seunghyun membekap mulut Minhwan. Kening Junhee mengernyit, ia melempar tatapan bertanya pada setiap orang. Lebih-lebih Seunghyun.

“Kalian ini kenapa?” Jaejin angkat bicara, merasa keheranan. Seunghyun hanya menyeringai kering sembari mencubit pinggang Minhwan—yang tidak seorang pun menyadari hal itu—bermaksud agar pemuda itu diam. Yang jadi korban mendengus tak suka sambil menyingkirkan tangan kiri Seunghyun dari wajahnya.

“Kurasa dia akan mengatakan hal-hal yang tidak penting. Ayo, kita latihan sekarang saja!” Seunghyun mengomando agar rekan-rekannya segera memulai latihan mereka. Junhee menatapnya curiga namun gadis itu tidak ingin berpikiran yang macam-macam. Ia hanya harus percaya pada Seunghyun.

*

Sudah dua hari Junhee menangkap gelagat aneh pada perilaku Seunghyun. Pemuda itu semakin menjadi-jadi malasnya, ia tak mencatat apa yang dibacakan oleh guru di depan kelas. Ia juga tak mengerjakan tugas rumah yang diberikan salah seorang guru kesenian. Maka, selepas belajar di perpustakaan hari ini, Junhee berniat menanyakannya pada Seunghyun.

“Seunghyun, tunggu aku!”

Junhee meraih tangan Seunghyun yang serta merta ditampik olehnya. Pemuda itu menarik kembali tangannya dari genggaman Junhee seakan tidak ingin gadis itu menyentuhnya.

“Ada apa denganmu? Kenapa dengan sikapmu barusan?” Junhee terkejut.

“Memang ada apa? Aku tak melakukan hal yang salah.” Seunghyun membuang muka, menghindar bersitatap dengan Junhee. Hal itu semakin memperkuat dugaan Junhee. Ia menatap sengit Seunghyun yang sudah berjalan kembali, berbelok ke arah taman samping sekolah. Gadis itu mengikuti ke mana perginya.

“Kau mengabaikanku. Dan akhir-akhir ini kemalasanmu meningkat. Haruskah aku menyeretmu ke ruang BP?” Junhee berdiri sementara Seunghyun telah duduk di bangku panjang menghadap bonsai mini yang tumbuh dua meter di depannya.

“Bicara apa kau ini, Junhee? Aku baik-baik saja. Itu hanya perasaanmu.”

Junhee tidak percaya. Ia turut menjatuhkan bokongnya di samping Seunghyun dan bicara menghadap pemuda itu. “Jika ada masalah atau suatu hal, terus terang padaku. Aku tidak suka kau menyembunyikan sesuatu, Seung.”

Seunghyun diam saja. Ia tetap mengarahkan wajahnya secara lurus ke depan sana. Tak ditanggapi bukan membuat Junhee patah arang, gadis itu justru lebih bertekad membuat Seunghyun buka mulut apapun caranya. Dengan mengesampingkan segala gengsinya, Junhee beralih ke hadapan Seunghyun kemudian meraih kedua tangan yang dibiarkan bertumpuk di atas paha tersebut.

“Seunghyun-ah, jebal...” Junhee meremas dua tangan besar itu sehingga membuat Seunghyun meringis kesakitan. Pemuda itu menarik tangannya seperti yang tadi ia lakukan sembari mengibas-ngibaskannya di udara. Junhee melongo melihat reaksi berlebihan yang ditunjukkan kekasihnya itu.

“Seunghyun, apa yang terjadi dengan tanganmu?” Junhee berusaha mendapatkan kembali tangan kanan Seunghyun meski pemuda itu berkelit sebisanya. Berkat kegigihannya, Junhee berhasil menarik pergelangan tangan Seunghyun dan memeriksanya. Betapa terkejutnya ia begitu mendapati bercak-bercak kemerahan pada bagian sisi tangan Seunghyun. Itu tampak seperti luka lecet karena terlalu sering bergesekan dengan sesuatu yang kasar.

“Apa kau seorang kuli, huh? Kenapa bisa begini?” Junhee panik dan hendak mengajak Seunghyun lekas-lekas ke UKS agar ia bisa mengobati luka tersebut namun pemuda itu menahannya. Memberikan sebuah gelengan tegas.

“Sekarang kau sudah tahu, kan? Jadi berhentilah cerewet.” Seunghyun meniupi lecetnya yang terasa perih setelah Junhee menekannya cukup kencang tadi. Gadis itu menampakkan raut penyesalan.

“Maafkan aku. Aku menyakitimu, ya? Aku ‘kan tidak tahu ada luka di sana.”

Seunghyun mengangguk dan tersenyum. “Gwaenchana-yo. Salahku juga tidak mengatakannya padamu. Harusnya sudah sejak seminggu yang lalu.”

Junhee berang lagi mendengar sudah satu minggu tangan Seunghyun menderita. Rasa kesalnya mencuat kembali, Seunghyun memperlakukannya seolah ia tidak berguna dan membiarkan tangan kekasihnya sendiri dirundung rasa sakit.

“Kau jahat sekali! Apa itu akibat terlalu sering memainkan gitar?” Tebaknya. Seunghyun hanya menyeringai sebelum sebuah pukulan mendarat di bahunya.

“Habisnya, kalau aku katakan tentang lecet ini, kau pasti akan melarangku latihan bersama FTISLAND. Aku tak bisa begitu, kompetisi band sudah dekat jadi—”

Junhee memberikannya sebuah pukulan lagi, “jadi latihan band lebih penting ketimbang tubuhmu sendiri? Kalian mungkin tidak akan menang dengan kondisimu yang sekarang, Seunghyun!”

Junhee hendak melayangkan tinju ketiganya saat dengan sigap Seunghyun menangkap pergelangan tangan gadis itu. Ia tak membiarkan Junhee menganiayanya lagi. Gadis itu berontak namun tenaga Seunghyun lebih kuat darinya.

“Kau masih mau menyiksaku bahkan saat aku sedang terluka? Nappeun yeoja-ya!” Seunghyun tersenyum menggodanya. Lalu senyum itu luntur ketika Seunghyun melihat ujung-ujung jari tangan Junhee yang nyaris melepuh. Seperti habis terkena benda panas.

“Apa yang kau lakukan pada jari-jarimu ini, huh?” Keadaan berbalik. Kini giliran Junhee yang diinterogasi perihal kondisi jari telunjuk, jari tengah dan jari manisnya. Dibanding jempol dan kelingking, ketiga jari itu lebih merah penampakannya.

“Jawab aku, Choi Junhee!” Desak Seunghyun membuat Junhee semakin gugup. Ia malu mengatakan penyebab yang sebenarnya.

“Itu.. karena aku terlalu keras belajar memetik gitar. Kupikir keren saja jika bisa duet denganmu suatu hari nanti,” Junhee mendengar Seunghyun mengerang lalu berkata tak perlu melakukan hal-hal seperti itu. Seunghyun menyayangkan Junhee yang tak meminta bantuannya jika memang ingin diajari gitar.

“Cukup aku saja. Kau tak perlu menjadi musisi agar mendapatkan hatiku. Aku mengharapkan istri yang mengurus rumah tangga, bukan istri yang mengikuti jejak suami.” Seunghyun mengomel sembari mengeluarkan gumpalan plester luka yang tampak kusut dari dalam kantong jas sekolahnya. Pemuda itu kemudian membuka tiga buah plester lalu membalutnya pada jari-jari Junhee yang melepuh tadi. Gadis itu menatap Seunghyun tak berkedip, ia malu mengakui jikalau dirinya tersentuh pada perhatian pemuda itu sekarang.

“Nah, sudah selesai. Untuk sementara jangan menekan senar gitar dulu, biarkan jari-jarimu ini sembuh,” pesan pemuda itu segera setelah ia menyelesaikan ‘pelayanan’ untuk Junhee.

“Seunghyun, aku..—”

Kalimatnya tak sempurna tatkala dengan anggunnya (?) Seunghyun menciumi satu persatu jemari Junhee yang ia pasangi plester luka tadi. Gadis itu menelan ludahnya, Seunghyun membuat otaknya berhenti bekerja. Pemuda itu selalu bertingkah mengejutkan dan tak terduga sama seperti sekarang.

“Seu-seunghyun-ah...” Junhee tergagap memanggil namanya. Pemuda itu mengangkat wajahnya yang dipenuhi senyuman tulus sambil bertanya ‘ada apa?’.

“Ka-kau tak perlu berlebihan begitu...” Junhee menarik tangannya dari genggaman Seunghyun. Tubuhnya gemetar seiring degup jantungnya yang semakin tidak karu-karuan. Tindakan Seunghyun tadi membuatnya panas-dingin dan kulit wajah yang serasa beruap.

Seunghyun memanyunkan mulutnya, “berlebihan apanya? Aku hanya ingin memperlakukan calon istriku dengan baik,” ujarnya sok merajuk.

Junhee terkesiap mendengar kalimat ‘calon istri’. Ingin rasanya ia menimpuk Seunghyun menggunakan batu bata dari tembok sekolah yang terkelupas. “Mwo? Calon istri katamu? Kita masih sekolah, Tuan Song Seunghyun!”

Arra-yo. Tapi beberapa tahun lagi kita sudah bisa menikah dan kau akan jadi Ny. Song.”

Junhee geli mendengarnya. Maka ia putuskan untuk segera menyeret Seunghyun pergi dari sana. “Sesukamu sajalah. Sekarang mari ke UKS, akan kuobati lukamu. Aku tidak mau berhutang budi pada seseorang sepertimu.”

Seunghyun tersenyum jahil saat Junhee berangkat menarik tangannya. Gadis itu berusaha menyembunyikan rona wajahnya yang sudah merah jambu. Kata-kataku tadi berhasil menggoda Junhee, begitu sangkaan Seunghyun.


 

END~


 

Mau lagi? Mau aja deh *puppyeyes*


 

*Bonus*


 

“Junhee-ya, sebenarnya tanganku lecet bukan karena terlalu sering latihan bersama FTISLAND,” ujar Seunghyun memecah keheningan di ruang UKS. Junhee yang sedang mengoleskan salep ke atas lecet di tangannya hanya berdehem pertanda mendengarkan.

“Lantas kenapa?”

“Karena kau.”

Junhee menjingkat salah satu alisnya, tak paham maksud Seunghyun. “Kenapa gara-gara aku?”

“Belakangan aku bekerja keras membuat sebuah lagu untukmu. Aku mengaransemennya sendiri hingga berkali-kali harus memetik gitar yang menyebabkan permukaan kulit tanganku ini lecet.”

Junhee berhenti mengobati Seunghyun, “benarkah itu?”

Seunghyun mengangguk yakin. Ia merogoh kantong celananya, mengambil ponsel dan menyerahkan benda itu pada Junhee.

“Lagu itu ada di dalam sana. Aku merekamnya agar kau bisa mendengar reviewnya terlebih dahulu.”

Junhee menerima ponsel itu dan membuka galerinya. Ada sebuah folder baru bernama aneh: MCMXCIII. Sebelum Junhee bertanya, Seunghyun segera menjelaskan.

“MCMXCIII itu artinya 1993 dalam angka Romawi. Itu tahun kelahiranmu, bukan?”

Junhee mengulum senyum. Takjub pada kejutan-kejutan yang Seunghyun berikan padanya. Pemuda ini tahu betul bagaimana menjungkirbalikkan perasaannya.

“Baiklah. Aku akan mendengarkannya nanti. Oh ya, aku juga punya pengakuan,” Junhee kembali meneruskan kegiatannya mengobati Seunghyun. Kini ia meraih perban putih dan bersiap melilitkan kain itu ke telapak tangan Seunghyun.

“Jari-jariku melepuh bukan karena berusaha belajar gitar, tapi...” Junhee menggantungkan kalimatnya. Masih ragu untuk mengutarakan kebenarannya.

“Tapi apa?” Seunghyun tak mau menunggu.

“Mereka melepuh terkena pinggiran loyang sewaktu aku mengeluarkan kue-kue dari panggangan.”

“Kenapa bisa?”

“Entah kenapa, berkali-kali aku menyentuh pinggiran loyang yang masih panas dengan kulit terbuka. Tidak sabar ingin mengetahui hasil kue buatanku. Tapi sialnya kue-kue itu selalu gagal,” Junhee berkata sambil menunduk.

“Memang kau membuat kue apa? Dan berapa banyak sehingga gagal terus?” Seunghyun menggoyangkan tangannya yang sedang diperban agar Junhee segera menjawab.

Junhee mengigit bibirnya, “aku belajar membuat kastengel keju dan kue kentang keju panggang. Aku ingin membuatnya untukmu, untuk FTISLAND juga.”

Seunghyun terpana mendengar kegigihan Junhee. Ia tak menyangka gadis ini berniat memberinya kue buatan tangan sendiri. Selama ini kue-kue kering yang Junhee bawa untuk mereka adalah olahan Ibu gadis itu.

Aigo, gadisku ini baik sekali.” Seunghyun mengacak-acak rambut Junhee menggunakan tangan kirinya yang bebas.

Gadis itu bergumam sambil terus memerban, “tapi aku maluu...”

“Junhee-ya...”

“Apa? Jangan menggodaku terus.”

“Junhee-yaa...”

“Song Seunghyun! Berhenti mengolok-olokku!”

“Choi Junhee! Apa kau berniat membuatku jadi mumi?”

Junhee mengangkat kepalanya yang sejak tadi tertunduk. Ia terkejut melihat tangan kanan Seunghyun membesar ukurannya karena gulungan perban yang terlalu banyak ia lilitkan. Pemuda itu sudah seperti mengenakan sarung tinju berwarna putih. Akibat melamun dan mengkhayal, Junhee malah membungkus tangan Seunghyun terus menerus. Pemuda itu kini menatap horor padanya.

Mianhae-yo!”


 

FIN!


 

Yg kali ini ga ada bonus lagi -_-


 

A/N: FF ini terinspirasi dari twitternya Seunghyun yang ngeposting foto tangan dia di mana tangannya lecet dan merah-merah karena main gitar. Poor Ecung, kesian doi -__- terus kalau yg MCMXCIII ya karena tato baru Seunghyun -_________-“ (yg ini gue males ngomongnya) FTISLAND pokoknyaa aje gile sekarang howaaaahhhhh!


 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet