Prolog

Your Shade

Malam itu dingin. Awan-awan menutupi sinar bulan, bintang pun tak tampak di langit. Tanpa semangat gadis itu menyibak tirai kamarnya. Badannya terlihat pucat di tengah kegelapan, lebih pucat dari biasanya. Matanya menelusuri jalan di depan jendela kamarnya, jarinya mengetuk jendela itu pelan namun tak beraturan. Dia mengigit bibir bawahnya saat seorang welewati jalan itu cepat, terlalu cepat untuk bisa melihatnya secara jelas.

Cukup lama gadis itu terdiam. Jarinya berhenti mengetuk dan tampak sedikit darah dibibir pucatnya, dia menggigit bibirnya terlalu kencang. Gadis itu, jung soojung, kemudia berbalik, berjalan menjauh dari jendela kamarnya. Matanya bergerak cemas, dia yakin dia melihat bayangan sama seperti malam-malam sebelumnya. Dia meremas tanganya pelan, bayangan yang sama, waktu yang sama dan tempat yang sama. Pupil mata gadis itu membesar, rasa takut menyelimuti tubuhnya. Ini bukan mimpi.

Sebulan yang lalu, saat dia pertama kali melihat bayanga itu, dia yakin bahwa itu adalah mimpi. Ibunya juga meyakinkannya saat dirinya bercerita, hanya bunga tidur, ibunya berucap sambil tersenyum lembut dan dia setuju. Lalu 2 minggu yang lalu saat dia terbangun dari tidurnya dan akhirnya berakhir menatap langit malam, dia melihat bayangan itu lagi dan saat itu dia menganggap dirinya Cuma berkhayal, matanya menipu karena terlalu lelah. Tapi semenjak seminggu lalu, dimana dia harus terjaga sampai malam untuk menyelesaikan tugas sekolahnya dia selalu melihat bayangan itu, bayanga yang sama saat dia pertama kali melihatnya. Sekarang dia yakin sepenuhnya bayangan itu nyata, bukan bagian dari bunga tidurnya ataupun tipuan mata. Bayangan itu nyata sama seperti dirinya.

Soojung berhenti di depan pintu kamarnya, tangannya memegang gagang pintu kencang saat lampu rumahnya kembali menyala. Tubuhnya kembali rileks saat cahanya menimpa tumbuhnya. Dia menghela nafasnya panjang.

“ya Tuhan,” dia bergumam saat menjatuhkan tubuhnya di Kasur. Matanya menatap ke langit kamarnya, “dia nyata.”

 

-

 

“kau tidak tidur lagi?” Bae Suji, sahabat soojung dari kecil, menatap tajam soojung, “aku tahu kau harus menjaga image gelap mu, tapi kau tak perlu sampai seperti ini! Bawah matamu hitam dan kantung matanya, astaga!” Suji berucap histeris. Dia berdiri dari bangkunya dan mencondongkan badannya ke arah soojung, “kau bisa sakit!”

Soojung meletakan sumpitnya dan tersenyum kecil, “aku tahu, aku akan tidur malam ini.” Dia berkata tanpa emosi seperti biasa dan menatap Suji tenang sampai sahabatnya itu kembali duduk, “aku akan tidur malam ini.” Sekali lagi soojung meyakinkan.

Soojung dan Suji, dua gadis yang mempunyai karakteristik berbeda. Yang satu ceria dan yang satu selalu tampak murung dan menudukan kepalanya. Yang satu selalu melempar senyum ke setiap orang yang ditemuinya dan yang satu lagi selalu menatap dingin tanpa berucap apa-apa ke orang lain. Mereka bagaikan langit dan bumi.  Bagi Soojung, Suji adalah sahabat satu-satunya, begitu juga Soojung bagi Suji. Mereka telah kenal semenjak mereka ditaman kanak-kanak. Teman-teman sekolah mereka menyebut mereka pagi dan malam. Pagi untuk Suji yang selalu tersenyum ceria seperti matahari pagi dan malam untuk soojung yang selalu terlihat murung seperti langit malam gelap.

“malam tidak buruk,” ucap Suji saat pertama kali mereka mendapat sebutan itu, “ada bintang dan bulan. Bersinar seperti kau soojunga!”

“tapi sekarang bintang jarang terlihat.” Soojung menatap kedepan menerawang, “aku jarang melihat bintang.” Tambahnya pelan.

“ey!” Suji menepuk bahunya dan terseyum lebar, “tidak selalu gelap. Malam misterius seperti dirimu.”

Soojung tersenyum kecil, “dan pagi begitu nyaman seperti dirimu, Suji.”

Malam― Soojung menggigit sumpitnya. Memikirkan kata malam membuatnya bergidik ngeri, dia teringat bayangan hitam itu. Dia tidak yakin malam ini dia bisa tidur, perasaan takut dan penasaran ini sangat mengganggunya. Dia takut bayangan suatu saat tidak hanya melewati depan rumahnya tetapi masuk ke dalam rumahnya.

Tidak, Soojung menggeleng. Selama sebulan ini bayangan itu selalu melesat ditempat yang sama, tidak mungkin bayangan itu memasuki rumahnya. Dia aman didalam kamarnya, bayangan itu tidak akan mengganggunya. Dia mengangguk yakin sampai dia melihatnya, melesat dilapangan antara anak-anak yang sedang bermain bola, melesat cepat seperti hembusan angin.

Soojung tercekat, dia tidak aman.

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
SheWentToJareds #1
Chapter 1: Can't wait to see what the update'll bring for me. :)