Final

Spirit

Tik. Tok. Tik. Tok.

Mataku mengikuti setiap jarum jam itu bergerak memutar.

Tik. Tok. Tik. Tok.

 

5…

 

 4…

 

3…

 

2…

 

 

1.

 

 

 

 

 

Awooo!

 

 

Suara aungan serigala terdengar dari kamar yang tepat bersebalahan denganku. Aku bisa merasakan bulu kudukku seperti ombak menegang dari ujung kakiku hingga tengkukku. Suara aungan itu semakin lama semakin keras memekakkan telinga, hingga saat serigala itu hendak berteriak lagi, tiba-tiba suaranya terhenti.

Hening.

Aku menghela napas lega. Akhirnya, dia bangun juga. Tidak habis pikir, kenapa Hyung harus memasang ringtone alarm yang sangat menyeramkan seperti itu? Menghela napas sekali lagi sebelum aku bangkit dari kasurku dan menuju kamar mandi. Melepas satu-persatu pakaianku dan melemparnya dengan tidak peduli dalam perjalan menuju kesana. Dan selanjutnya yang aku tau, semua berlalu dengan buram.

 

~*~

 

Rintik hujan mengetuk-ngetuk jendela kamarku membuat irama yang menenangkan. Ku sampirkan tas berwarna hitam itu kebahuku dan berjalan menuju lantai bawah.

Dan tepat ketika aku hendak menuruni tangga, Bosung dari belakangku berlari dan menuruni anak tangga, mendorongku kesamping hingga tubuhku terhempas ke dinding dan jatuh ke beberapa anak tangga. Tanpa rasa bersalah dia terus berlari.

Aku menghela napasku untuk yang kesekian kali. Anak muda seumurku tidak seharusnya mengluh terus.
Tapi hidupku memang pantas untuk dikeluhkan. Aku mencoba berdiri dengan mencoba mendorong tubuhku dengan kedua tanganku. Tapi aku segera terjatuh lagi begitu aku merasakan sakit di sekitar pergelangan tangan kananku.

Saat aku mau mencoba berdiri lagi, David hyung berjalan dengan gontai melewatiku. Tidak ada sapaan selamat pagi, tidak ada kalimat khwatir. Dia hanya berjalan lalu.

Aku ingin menangis.
 

Air mata yang berada di pelupuk mataku, siap sedia untuk runtuh kapan saja. Tapi yang kurasakan air bukan mengalir dari mataku, melainkan dari hidungku. Dengan tangan bergetar aku mengusapnya. Dan noda hitam menghiasi telapak tanganku.
 

Darah.

Darah hitam.
 

Ah… mungkin aku sedang sakit. Kuusap asal luka itu dan bangkit dari dudukku. Suara sumpit dan sendok bertemu dengan mangkuk tedengar dari arah ruang makan. Kulangkahkan kaki menuju lemari es melewati empat orang yang sedang sibuk mengisi perut mereka, tanpa melihatku, tanpa menanyakan keadaanku, dan tanpa mengingatkanku untuk sarapan.

Aku tertawa sarkas dalam pikiranku.

Bagaimana aku sarapan jika meja itu hanya menyediakan empat kursi? Bagaimana aku bisa makan jika mereka hanya menyiapkan empat porsi?

Aku dilupakan.

Sejak dua bulan yang lalu mereka menghiraukanku. Aku ingat betul saat pagi hari aku terbangun, mereka sudah melupakanku. Mereka melihatku dengan tatapan kosong. Tidak lagi menyapaku, tidak lagi menyediakan makan, hanya memberiku tatapan kosong.

Seminggu setelahnya, mereka memutuskan untuk pindah ke kota ini, Biga-si, kota hujan. Dimana setiap waktunya kota ini tertutup hujan dan embun. Perbandingan antara hujan dan tidak hujan—dimana awan tetap mendung—adalah 70 : 30. Selalu mendung seolah matahari membenci kota ini. Memberikan hanya  sedikit cahayanya dengan berat hati. Entah apa yang keluargaku pikirkan untuk berpindah kekota yang menyedihkan ini.

 Saat mereka mengemasi barang, aku harus menaikkan barang-barangku sendiri ke truk pindahan, dan menurunkannya sendiri. Aku juga mendapatkan kamar kecil di pojok lorong, yang juga mereka taruh barang-barang yang tak terpakai. Dan kini kamarku menyiratkan sebuah gudang usang. 

Mereka juga tidak mengurus surat kepindahanku, jadi terpaksa selama hampir dua bulan ini aku tidak sekolah. Hingga kemarin aku yang bosan berada dirumah mencoba berjalan-jalan mengelilingi kota yang hanya di temani sweater tipis dan payung kecil yang serba berwarna hitam menembus rintik-tintik hujan. Aku berjalan melewati beberapa sekolah yang ada di kota itu, sangat menyenagkan jika aku bisa sekolah lagi ya.

 

Aku terus berjalan hingga menemukan plang bertuliskan 'Selamat Tinggal Kota Biga'. Aku sudah berada di ujung kota. Senyuman tipis melwati bibirku sekilas, secepat angin yang berhembus lalu. Ada rasa kepuasan tersendiri dalam diriku telah mengeksplor kota ini sendiri. Seperti berpetualang.

Kuputar tubuhku dan mengambil langkah untuk menyusuri jalan yang aku lewati tadi. Tapi dari sudut mataku, sebuah bangunan tua bertuliskan 'Mediator High School' seolah memanggilku. Tanpa sadar kakiku melangkah menyebrangi jalanan yang sepi ini dan menuju bangunan itu. Aku berdiri diam di depan pagar besar, melihat suasana sekolah itu. Nampak beberapa mobil dan sepeda terparkir rapih di lapangan sekolah. Tidak ada pos satpam, tidak ada tempat parkir dan tidak nampak berpenghuni. Yang ada hanya gerbang hitam besar yang menyelimuti sekitar sekolah, lapangan besar yang digunakan untuk memarkirkan kendaraan, dan bangunan besar yang sudah kusam dimakan waktu. Bulu kudukku merespon dengan cepat. Ada yang aneh dari sekolah ini. Mungkin aku harus segera pergi dari sini.

Aku memutar tubuhku, namun terlompat kebelakang saat wajahku bertemu dengan dada bidang yang dibungkus oleh jas putih. Sejak kapan ia berdiri dibelakangku?

Dengan tubuh bergetar, kuberanikan diriku untuk menatap pria di hadapanku. Dia tersenyum hangat padaku. Dia berpakaian serba putih dari ujung kepalanya hingga ujung kaki. Hanya sebuah nametag yang ada didadanya berwarna emas bertuliskan 'Head Master Andy Lee'. Postur tubuhnya yang lebih tinggi dariku dan jarak yang terlalu dekat denganku, membuat tetesan hujan dari payungku membasahi sepatu kulit putihnya. Tapi sepertiny dia tidak mempermasalahkannya dan tetap tersenyum.

"Kenapa diam saja? Sudah waktunya pelajaran dimulai." dia berkata setelah melihat jam tangannya. 
Aku yang masih kaget hanya bisa menggelengkan kepalaku lemah. 

Seolah bisa membaca pikiranku, dia berkata lagi "Tidak apa-apa. Datang lagi besok. Pukul 07.30 pelajaran pertama akan dimulai. Pastikan kau tidak terlambat." Dia berkata tanpa menghilangkan senyum dibibirnya dan diakhiri dengan mengacak rambutku pelan sebelum berjalan memasuki area sekolah. Seolah tersadar dari sihir, aku membungkuk dalam padanya dan berseru, "Nama saya Ahn Daniel. Terimakasih, Pak Lee!"
 

~*~
 

Aku mengambil sekotak kecil susu pisang dan meninggalkan rumah tanpa lupa mencuri pandang pada keluargaku yang tidak perduli.

Kubuka payung hitamku dan mulai berjalan menuju ujung kota. Akhirnya, aku bisa bersekolah kembali!
Sekolah masih sangat sepi, ku tengok jam tangan hitam yang membelit lenganku, 07:10. Aku datang terlalu pagi.

“Hey, kau!” Seseorang berteriak dari arah belakangku. Jika sekolah ini tidak sesepi kuburan, mungkin aku akan menghiraukan panggilan itu. Karena hanya ada aku seorang disini

Aku menoleh, pria dengan senyuman cerah menghampiriku setengah berlari. Lama sekali aku tidak melihat senyum secerah ini. Dia tersenyum seakan dia tidak mempunyai masalah, seakan dunia ini penuh lollipop dan gula-gula.

"Hai, kau baru disini?"

Aku mengamininya dengan anggukan kepala. “Aku kemarin berte—“

"Keren! Ngomong-ngmong, namaku Ricky." Senyumannnya melebar memperlihatlan gigi-gigi putihnya yang berjajar. Selanjutnya yang aku tau, dia menarik tanganku dan menyeretku kesebuah ruangan kelas. Tidak kulewatkan geraman kecil giginya yang lewat sesaat sebelum meraih kenop pintu.

Pria yang lebih pendek beberapa sentimeter dariku ini membuka pintu. Di dalam sana sudah ada beberapa orang. Tiga orang pria dan satu wanita. Dan dengan kedatanganku, mereka berhenti berbicara, memberikanku sebuah pandangan yang tak bisa kubaca.

Kurasakan tenggorokkanku mengering dibawah hujanan mata mereka. Hening ini membuatku bergetar dalam takut dan canggung. Hingga suara decakkan kesal dari gadis itu memecahkan kesunyian.
Dengan sekejap dia sudah berada didepan Ricky, merengkuh kerah bajunya seiring dengan hawa dingin yang tiba-tiba menyelimuti tubuhku. Seolah dia memancarkan hawa dingin.

"Sudah kubilang," gadis itu berdesis tajam dengan suara kecil, tapi aneh, rasanya dia berbisik tepat ditelingaku. Membuatku bergidik."aku tidak butuh bantuan dari pengganggu seperti kalian! Urusi masalah kalian sendiri! Aku bersumpah jika kalian masih melakukannya aku akan menyeret kalian semua keneraka!"

Mata cokelat kosongnya sekarang berubah menjadi merah darah. Aku hanya bisa terpatung melihatnya.
Namun Ricky membalasnya dengan senyuman ramah dan memegang tangan gadis itu. "Kau akan pergi ke surga, bukan neraka."

Gertakkan gigi gadis itu semakin kencang, dan yang tak kusangka, tangan kecil wanita itu mampu mendorong tubuh Ricky hingga menabrak papan tulis dibelakangnya. Membelahnya menjadi dua.

"AKU TIDAK MAU MENINGGALKANNYA! AKU INGIN TETAP DISINI!" Gadis itu menjerit histeris. Menutup kedua telinga rapat-rapat dengan tangannya, menunjukkan betapa kesalnya dia.

Kurasakan telingaku berdengung hebat, meruntuhkan keseimbangan badanku. Jika bisikkan saja terdengar jelas ditelingaku, bisa kau bayangkan saat dia menjerit?

Tapi hanya dalam hitungan beberapa nanosecond jeritannya terhenti, begitu pula wanita yang menjerit ikut menghilang seolah tertiup hembusan angin, meninggalkan hanya dengungan hebat ditelingaku.

“Kau tidak apa-apa?” Tanya Ricky dengan suara samar-samar diantar dengungan. Aku mendongak melihatnya mengulurkan tangannya padaku, yang kuraih dengan sedikit enggan. Masih dalam shock dengan yang terjadi barusan.

Aku menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan yang sama padanya. Bagaimanapun dia yang terlempar tadi.

Dia tersenyum, “Aku baik-baik saja. Ini sudah biasa bagi—Oh!” dia berseru sembari menjetikkan jarinya, bagai dia baru menyadari sesuatu yang terlupa.  Dengan memegang kedua bahuku, Ricky memutar tubuhku hingga menghadapi tiga pria lainnya yang aku lupakan keberadaan mereka untuk beberapa saat.

“Hyung-deul, lihatlah!” Ricky mendorong sedikit tubuhku, “Apa kalian juga berpikir dia tipe-nya C.A.P hyung?”

Pria dengan kepala kecil dengan malas menyenderkan punggungnya ke kursi, “kau menyebut semua orang adalah tipenya, Ricky.”

“Tapi, Chunji,” pria yang terlihat lebih pendek dari yang lain melihat dalam-dalam pada mataku. Membuatku merasa ditelanjangi oleh matanya. “jika dilihat-lihat, dia memang seperti tipe-nya.” Dia mengangguk mantap seolah setuju pada ucapannya sendiri.

“Yah, Changjo, berhenti berkaca dan lihatlah dia. Bagaimana menurutmu?”

Changjo, pria yang sedang mengaca dan tidak hentinya membenarkan poni, akhirnya melihat padaku sesaat sebelum menenggelamkan dirinya lagi dalam kaca.

“Hmm…” gumamnya menyetujui dengan acuh tak acuh.

Aku tidak tau siapa C.A.P hyung ini. Aku tidak tau kenapa mereka terlihat sangat lega saat mereka sampai pada kesimpulan; bahwa aku benar tipe pria yang bernama aneh yang bahkan tidak aku kenal itu. Dan aku juga tidak tau, kenapa mereka mem-pairing-kan aku dengan seseorang yang memiliki alat kelamin yang sama denganku.

Ricky memelukku dari belakang dan berlompat keatas dan kebawah dengan girang.

“Apa kau mau membantu kami?” Tanya pria pendek yang ternyata bernama L. Joe.

“Uh? Membantu apa?” tanyaku ragu. Entah mengapa walupun Ricky masih berlompat senang, aku bisa merasakan suasana berubah menjadi serius. Sangat serius.

“Bisakah kau berbicara dengan C.A.P hyung? Membuatnya kembali kesini? Mungkin juga kau bisa berkenalan lebih dekat darinya?”

“Woah, tunggu dulu, kawan!” aku mengangkat kedua tanganku, mengisyaratkannya untuk berhenti dengan omong kosongnya, membuat Ricky berhenti melompat. “Pertama, aku bukan Gay. Aku sangat mengerti kemana arah pembicaraanmu itu. Kedua, aku kemari untuk belajar, bukan untuk bereksperimen dengan seksualitasku.”

Pria yang bernama Chunji tertawa sarkas padaku. “Belajar, huh? Kau disini tidak untuk belajar, tuan-aku-bukan-gay. Disini kami belajar untuk membantumu.”

Dahiku dengan instan mengerut. Bingung dan kesal.

“Untuk apa kalian membantuku? Membantuku untuk memacari seorang pria? Jika seperti itu tidak terimakasih aku akan pergi.”

“Tunggu—,“ L.Joe menahanku, tidak membiarkan aku pergi. Dia melemparkan tatapan tidak setuju pada Chunji atas apa yang dia katakana tadi. “Chunji, jangan terlalu kasar. Mungkin dia belum tau apa yang terjadi.”

Kerutan didahiku semakin mendalam. Jika sepeti ini terus aku akan mendapatkan keriput diumur 20!

Aku tanyakan lagi apa maksud dari omong kosongnya itu. Membuat semua mata tertuju padaku, bahkan Changjo melupakan cerminnya. Mereka menghujaniku dengan tatapan… aku tidak tau. Sedih? Berduka? Simpati? Tapi aku tau satu yang pasti, aku tidak menyukai tatapan itu. Dan aku tidak suka kemana arah pembicaraan ini berjalan.

Chunji menghela napasnya perlahan sebelum berkata dengan nada yang benar-benar aku tidak suka. Nada keibuan yang seolah ingin memelukku, melindungi dari kerasnya dunia, “Dengar, kami mediator. Kami membantu orang-orang yang putus asa tidak bisa kembali ketempat seharusnya mereka berada. Entah tempat itu baik, atau pun buruk.”

Apakah dia baru saja berkata bahwa mereka adalah sukarelawan yang membantu orang tersesat? Kau pikir kita ada dihutan atau sebagainya? Tapi aku tetap diam, memberi ijin untuknya menlanjutkan cerita.

Dia menhela napas lagi dan memijat asal dahinya, seolah yang akan ia katakan sangat lah berat untuk di beritahukan padaku. “Hilangkan kerut didahimu. Akan ku perjelas. Mediator adalah orang yang bisa berhubungan dengan para mahluk halus. Mahluk yang terjebak di dunia di antara neraka dan surga. Mereka yang mati dengan tidak tenang akan mendatangi kami untuk meminta bantuan. Entah itu menyampaikan pesan atau sekedar mencari tubuhnya yang hilang.”

Secara tak sadar aku berjalan mundur menyerap terlalu cepat perkataan Chunji. Bukankah mereka bilang mereka akan membantuku? Bukankah mereka hanya membantu hantu? Kenapa aku? Aku bukan hantu! Aku masih hidup.

“Maka dari itu kami disini untuk memba—“

“Membantuku? Aku manusia. Aku masih hidup!” sentakku padanya. Kurasakan keringat dingin mulai membasahiku, dan adegan beberapa menit lalu terputar di otakku. Jadi wanita itu juga hantu?

“Oh kawan…” Ricky mencoba menghampiriku tapi aku regangkan tanganku untuk menghentikannya mendekat padaku.

“Kalian sinting!”

“Apa kau pernah melihat bayanganmu di cermin?”

Aku… tidak sadar. Semua selalu berlalu dengan buram

“Apa kau bisa tidur setelah kematianmu?”

Tidak, aku insomnia.

“Apa kau merasa orang-orang tidak menghiraukan keberadaanmu?”

….

….

….

Setiap pertanyaan yang dilayangkan padaku, semakin kencang kututup telingaku. Adegan wanita tadi terputar diotakku.

“Aku bukan hantu!!” Teriakku keras sebelum aku berlari keluar dari kelas itu. Menuju kemanapun kakiku membawaku. Melewati koridor-koridor remang dengan begitu cepat dan buram, dan yang aku tau aku sudah berada di pintu besi menuju atap sekolah.

Kuhelakan napasku sebelum kuputar kenop pintu itu. Angin dingin menyapaku dengan titik tetesan gerimis. Kakiku dengan semenanya melangkahkan kakinya menuju ujung atap yang di lindungi pagar besi yang sudah berkarat. Hanya dengan satu dorongan, akan ambruk pagar itu.

Tubuku bergetar.

Mataku memuntahkan air matanya.

Tidak mungkin kalau aku sudah mati. Bagaimana mungkin aku tidak mengetahuinya? Haruskah kupercaya perkataan mereka? Karena yang dikatakannya semua memiliki jawaban ‘Ya’.

“Apa yang kau lakukan disini?” Suara berat pria itu menghasilkan desiran sesaat didalam tubuhku. Kau dengar itu? Mana mungkin seekor atau sebuah atau seorang hantu memiliki perasaan begitu bukan?

Kutengokkan kepalaku padanya. Sesosok pria dengan tinggi yang menyamaiku bersender malas pada tembok di belakangnya sembari mengepulkan asap yang ia hirup dari lintingan tembakau di antara jarinya. Otot-otot tangannya memberi kesan lebih dalam pada tato-tato yang menyelimutinya. Dia tidak melihatku, matanya tertutup menikmati bagaimana tembakau itu membakar paru-parunya.

Aku menjawab pertanyaanya dengan pertanyaan yang sama, membuatnya tertawa kecil. Dia membuka matanya tapi tetap meihat lurus kedepan, seolah merekam pemandangan kota dari atas sini. Setelah sunyi beberapa saat, suara beratnya terdengar lagi. Membuat tubuhku berdesir lagi.

“Kau tidak seharusnya disini. Kembalilah.” Katanya misterius. Entah apa maksudnya aku harus kembali. Kembali kemana? Kepada orang-orang bodoh itu? Atau kembali keasalku?

“Aku tidak mau.” Entah itu tertuju pada Ricky dan kawan-kawannya, ataupun tertuju pada ‘tempatku’. Aku tidak mau.

Dia menghela napas lelah dan menyesap tembakau itu lagi. “Apa kau tau—“ kalimatnya terhenti saat dia melihat padaku. Melihat dalam-dalam pada mataku. Terhenti sesaat sebelum ia bergerak duduk di lantai basah, masih memandangku dengan intens.

Aku terpaku saat ia mengulum senyum, mata dan bibirnya membentuk bulan sabit. Belum pernah aku terpukau dengan kecantikan lelaki sebelumnya. Terjebak dalam kesilauannya, tanpa sadar aku melangkah menuju padanya saat dia melambaikan tangannya, mengisyaratkanku untuk menghampirinya.

“Duduklah.” Suara beratnya yang kini kental oleh kelembutan, membangunkanku dari pesonanya. Ku gelengkan kepalaku dan mengatakan bahwa aku tidak mau mengotori celanaku. Dia tertawa lagi sebelum menarik tanganku hingga aku terduduk di pangkuan kakinya yang sedang bersila.

Darah-darah ditubuhku dengan cepat mengalir ke telingaku, membuatnya panas.

“Y-yah!” niatku untuk berteriak berubah menjadi bisikkan kecil yang bergetar. Napas dan bau rokoknya membuatku pusing, bukan dalam artian yang buruk. Tapi karena aku tidak pernah seintim ini dengan seorang pria. Dan entah mengapa, menurutku bau asap ini tercium sangat y.

Bukannya melepau, dia malah melingkarkan tangannya di pinggangku tanpa malu. "Jadi siapa namamu?" tanyanya santai tanpa rasa canggung memeluk orang yang baru ia temui beberapa menit yang lalu.

Tapi aku tidak bisa apa-apa. Tidak memiliki kekuatan untuk melepaskan diriku dari pelukkannya. Karena anehnya; aku menikmati pelukkan ini.

"D-daniel." jawabku berbisik dan bergetar. 

"Aku Minsoo." dia mengangguk kecil. "Jadi, apa yang membawamu kemari? Disini sangat berbahaya, kau tau."
Hanya dengan satu pertanyaan itu, kujawab dengan panjang lebar dan detail. Dari saat keluargaku mengacuhkanku, hingga pernyataan bodoh dari orang-orang bodoh itu. Yang membuatku terenyak adalah respon pertama Minsoo. Saat aku telah menyelesaikan ceritaku dia tertawa. Tawanya sangat lucu membuatku mematung dan hanya bisa memperhatikannya, mengaguminya. Mata kecil miliknya berubah menjadi bulan sabit, senyumnya merekah memperlihatkan gigi-gigi rapihnya, dan bahunya yang bergerak keatas kebawah.

"Chunji berkata seperti itu?" tanyanya dengan masih adanya sisa tawa. Aku hanya membalas dengan anggukkan. Dan mungkin memajukan bibirku, karena sehabis itu Minsoo mencolek bibirku.

"Hentikan ini sebelum aku hilang kendali." Dan dengan cepat aku mengatupkan bibirku. Namun ada rasa ingin memajukannya lagi, berharap dia benar lepas kendali. Tapi aku enyahkan pikiran aneh itu saat Minsoo berbicara kembali. 

"Dia memang tidak pernah belajar. Masuk akal kalau dia tidak pernah lulus." Ku tanyakan apa arti dari pernyataan samar itu, tapi dia menghiraukanku, mengalihkan pembicaraan.

“Daniel, apa kau benar-benar tidak ingat bagaimana malaikat mencabut nyawamu?" 

Pertanyaannya membuatku membeku dipangkuannya. Pelukkannya pun tidak lagi terasa hangat dan menenangkan.

"Jadi kau juga berpikir jika aku sudah mati?" Tanyaku dalam desisan tajam dan mengernyitkan keningku. Aku merasa tertipu dan terhianati.

Tapi amarahku seketika redam ketika kedua mata sayunya menatapku dengan lembut namun juga serius. Dan tanpa sadar, air mataku menyatu dengan tetesan gerimis yang membasahi wajahku.

"Apa aku benar-benar sudah mati?"

"Daniel...."

 

~*~

 

Setelah berjam-jam aku menangis dan mencoba mengingat bagaimana aku mati—dan gagal total—akhirnya Minsoo memutuskan untuk meminta bantuan pada para idiot itu.

Kami sudah berada di depan rumahku. Pintu itu terbuka pada ketukkan yang ke 11—ya, aku menghitungnya. Mungkin karena efek gugupku.

Eomma mempersilakan mereka masuk setelah memperkenalkan diri mereka sebagai temanku. Saat namaku disebutkan, aku bisa melihat eomma runtuh di dalam. Tapi tetap mencoba tersenyum. Dan saat itu juga aku percaya, aku sudah tiada.

Para mediator itu mulai mengarang cerita bagaimana aku selalu mendatangi mimpi mereka dan meminta bantuan mereka. Minsoo yang tidak ikut mereka kedalam sana. Dia bersikeras menemaniku beridiri di depan jendela, mengawasi mereka semua, tertawa geli. "Mereka benar-benar pemula yang sangat payah."

Setelah Eomma mencoba berpikir lama dan tak mendapat jawaban apa yang kuinginkan sebelum kematianku, akhirnya Bosung datang. Awalnya dia terlihat kaget, namun setelah mereka menceritakan kebohongan itu lagi, Bosung mulai bercerita bahwa aku pernah berkata di tengah candaan kami mengatakan jika aku mati nanti, aku ingin jasadku di kremasikan dan abuku disebar dilautan.

Dan saat itu juga aku teringat. Aku memang selalu menyukai lautan dan selalu berharap pada tuhan untuk membiarkanku mati di tengah lautannya.

Mendengar hal itu, para pemula idiot itu meyakinkan eomma untuk mengremasikan jasadku. Tapi eomma tetap bersikeras untuk menolaknya. Mengatakan betapa dia tidak tega mengambil jasadku dari bawah tanah sana dan membakarku. Hingga akhirnya eomma menendang keluar mereka semua. Namun Chunji tidak lupa meneriakkan, "Ini demi kebaikkan Daniel! Dia harus meninggal dengan tenang!" sebelum eomma menutup pintu dengan kasar.

 

~*~

 

Waktu terus berjalan. Dan seiring dengannya, hubunganku dengan Minsoo hyung—ya, dia ternyata lebih tua dariku—semakin dekat. Aku tau aku menyukainya, dan tau dia juga menyukaiku, tapi kita tetap seperti ini. Bersatu tanpa ikatan apapun. Aneh memang, tapi aku tidak mau mengikat janji apapun karena kami berbeda. Namun fakta yang mengejutkan yang keluar dari mulut Ricky tidak sengaja terengar oleh telingaku.

Aku membuka pintu atap sekolah dengan kasar, menghasilkan bunyi yang keras.

"Hey, ada apa?" Tanya Minsoo atau C.A.P hyung dengan santai sembari mengepulkan asap rokok. Disapa diriku dengan senyuman yang meradiasikan kehangatan pada tubuhku, walaupun tubuhku sedang terrguyur air hujan. 

Namun hati dan otakku tidak ingin membalas senyuman itu. Dengan rasa kesal aku menghampirinya. Senyumannya meluntur melihatku sedang kesal. Kucolek dadanya dengan kasar. "Kau berbohong Bang Minsoo!"

"Niel?"

"Aku pikir selama ini kau sama seperti mereka!" kuredam teriakkanku dan menghasilkan gertakan gigi.

"Kau selama ini membiarkanku memberi jarak diantara kita karena aku berpikir aku tidak akan pernah bisa bersamamu!" air mata bagaikan air hujan ini. Begitu lebat, satu tetesan dengan tetesn lainnya hanya berjarak beberapa milimeter.

"Tapi ternyata kau sama denganku! Kau tau betapa tersiksanya aku?" Dengan itu dia segera memelukku dengan erat, mengusap punggungku dengan lembut, dan menggumamkan bagaimana dia sangat menyesal membuatku tertekan.

"Niel, jadilah kekasihku."

 

~*~

 

Minsoo meninggal saat mendaki gunung es bersama teman-temannya dan longsor salju menguburnya hidup-hidup. Jasadnya hilang ditelan salju bersama sebuah foto. Tapi keinginannya tidak sama sepertiku. Sebelum kejadian itu terjadi, dia sudah meniatkan dan memantapkan hatinya sejak jauh hari untuk menaruh foto almarhum ibunya dia atas puncak gunung itu. Karena ibunya sangat mencitai gunung yang bersalju.

Itulah yang membutnya terjebak di dunia ini.

Minsoo mengakhiri ceritanya dengan memberikan ciuman kecil pada bibirku, menghentikkan dirinya sendiri untuk menangis. Aku yang beesandar pada bahunya, memberikan sebuah senyuman yang kuharapkan bisa membuatnya sedikit tenang. Memberi taunya bahwa aku ada disini untuknya.

Setelah beberapa menit kami menyelam dalam keheningan, menikmati adanya satu sama lain, terpecah dengan eranganku.

"Daniel! Ada apa?" Minsoo hyung segera memelukku erat. Tapi aku tidak bisa membuat diriku berbicara saat seluruh tubuhku terasa meleleh. Hawa dingin dari hujan tanpa henti ini tidak dapat meredam rasa panas yang kurasakan.

"H-hyung... Panas!" bisikku dalam isak tangis.

Rasa panasnya terasa seperti melelehkan tulang-tulangku. Hingga entah berapa lama akhirnya rasa panas itu menghilang. Namun rasa sakitnya tetap bertahan.

Aku tidak bisa mendengar apa yang Minsoo hyung katakan dan aku melihat Chunji berada disampingnya. Minsoo mengatakan seuatu tapi aku tetap tak mendengarnya. Aku yang hanya terdiam lemas membuat tangisan Minsoo hyung semakin menjadi. Walaupun aku tidak mendengar apa yang mereka katakan, tapi aku tau bahwa aku akan segera pergi dari sini. Kuraih tangaku dan menyapukan air mata Minsoo hyung. Dan mencoba untuk tersnyum.

Kenapa? Kenapa saat semua mulai menjadi baik, ini baru terjadi? 

Ku paksa mulutku untuk berbicara, menghasilkan sebuah bisikkan, "hyung, aku mencintaimu." 

Dan sebelum semuanya memudar, telingaku menangkap janji darinya.

"Tunggu aku, Niel"

 

~*~

 

Chunji P.O.V

 

Kami menyambangi rumah Niel lagi untuk kesekian kalinya untuk meyakinkan Nyonya Ahn membiarkan Daniel dikremasikan. 

Tapi untuk hari ini, rumah ini kosong. Kami ketuk pintu itu terus hingga tetangga Daniel keluar dan memberitahu jika keluarga Ahn sedang pergi untuk mengkremasikan Daniel.

Akhirnya.

L.joe, Ricky dan Changjo bersorak gembira. Sedangkan aku merasaka ada yang salah. Merasa sangat menyesal. Dan aku ingat seseorang....

C.A.P hyung!

Dengan segera aku berlari menuju sekolah usang kami saat nama itu muncul di kepalaku.  Menggunakam autopilot diotakku, kukencangkan lariku karena sudah sangat tau dimana mereka bersarang.

Hatiku terasa hancur ketika mendapati C.A.P hyung sedang memeluk Niel dengan air mata yang menghiasi wajahnya. Meneriakkan lelaki yang lemah tak berdaya itu untuk kembali padanya.

Aku terlambat.

Adegan yang menyakitkan itu ditutup dengan Daniel menyatakan perasaanya, dan C.A.P hyung yang menjanjikannya untuk tetap bersama. 

Seperti debu, arwahnya mengilang bersama tiupan angin.

Atap ini terselimutkan oleh isakkan tangis seorang pria tertangguh yang pernah aku temui. Dengan perlahan ia memutar tubuhnya dan menatapku, "Chunji bantu aku."

 

~*~

 

Minsoo P.OV

 

 

"Aku bilang, aku ingin pergi sekarang juga!" aku berteriak tepat di wajah Pak Lee.

"Hyung, permintaanmu adalah menaruh foto ibumu dia atas gunung sana. Bagaimana mungkin hanya dalam satu hari akan terselesaikan? Kau harus bersabar."

Ucapan Changjo membuat ku menggertakkan gigi dan mengepalkan tanganku. Aku ingin cepat bertemu dengan Niel. Dia meninggalkanku setelah dia menangis kesakitan didalam dekapanku. Aku tidak bisa tenang sebelum mengetahui dia baik-baik saja dengan mata kepalaku sendiri.

"Persetan dengan keinginanku itu! Aku sudah tidak menginginkannya lagi! Bakar aku seperti Daniel dan buang abuku kelaut, aku akan pergi dengan tenang."

"Hyung tapi itu tidak mungkin—“

Semua terdiam ketika tangan dingin Andy Lee menepuk pelan bahu L.Joe.

“Tidak apa-apa, biar kita coba.” Jawabnya dengan senyuman sabar. Dengan niatku yang telah disetujui, aku jatuh dalam tangisan hebat. Setelah sekian lama aku menolak para mediator untuk membantuku mencari foto itu dan menarunya di puncak gunung dengan alasan aku masih mencintai dunia ini, akhirnya aku pergi juga. Pergi menyusul Daniel.

Niel, aku akan segera menemuimu.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
jungdamy
#1
Chapter 1: diksinya keren!
blublue #2
Chapter 1: Penuh twist, dari ringtone sampek TERNYATA niel hantu, ooh~
daebak