Plat Nomor B1A4

Liscence Number B1A4
Please Subscribe to read the full chapter

“Membosankan!” Bomi menendang udara dengan kesal. “Kenapa hidupku begitu membosankan? Tak adakah hal hebat yang bisa kualami? Aku bosan jadi orang biasa. Aku ingin sesuatu yang luar biasa dan membuatku berdebar-debar!!” Ia terus menggerutu selama perjalanan pulang sekolah.

Baro yang berjalan di sampingnya akhirnya menyerah. Ia merogoh headphone dan iPod dari ransel lalu menyalakan musik dengan volume yang cukup kencang.

Bomi yang kesal karena merasa diabaikan langsung mencegat langkah Baro dengan berdiri di hadapan cowok itu dan berkacak pinggang. “Jangan abaikan aku Baro-ya.”

Baro memutar bola matanya. Ia melepaskan headphone dan membiarkannya tergantung di leher. “Kau terus-menerus mengeluh bosan sepanjang waktu. Memangnya apa lagi yang harus kudengar... ani...,” Baro mencondongkan tubuhnnya ke arah Bomi, “maksudku... apa lagi yang bisa kudengar dari mulut manis Ham Bomi selain kata... ‘bosan’?”

Bomi mendesah, lalu berjongkok dengan lemas. “Tak ada lagi yang bisa kukeluhkan selain bosan. Karena aku memang benar-benar bosan dengan hidupku,” gumamnya.

Baro ikut berjongkok. “Aku bingung. Kenapa sih kau suka sekali mengeluh? Tak bisa ya hanya mensyukuri apa yang kau miliki dan biarkan hidup berjalan dengan sendirinya?”

Bomi mengedikkan bahu. “Aku juga bingung,” ujarnya mengalihkan pandangan pada mobil yang berlalu lalang di jalan.

Baro menarik Bomi agar kembali berdiri. “Aku akan memberimu sesuatu agar kau tak bosan. Kajja!” Ia berlari mendahului Bomi yang menatapnya bingung.

“Ya! Kau mau kemana? Jangan tinggalkan aku!” teriak Bomi menunjuk Baro yang terus berlari menjauh.

*****

Bomi menatap Baro tak percaya. “KAU PIKIR INI BISA MENGHILANGKAN RASA BOSANKU? INI JUSTRU LEBIH MEMBOSANKAN DARI HAL PALING MEMBOSANKAN DI DUNIA INI!”

Baro mundur selangkah karena kaget. “Yaa... jangan berteriak seperti itu. Nanti aku yang akan dimarahi appaku. Kecilkan suaramu atau kau tak bisa main ke rumahku lagi.”

“Nggak tahu ah. Aku tak peduli.” Bomi meraih tasnya dan bersiap pergi.

“Kajima!” Baro berdiri dengan merentangkan kedua tangannya di pintu kamar untuk mencegah kepergian Bomi. “Jangan pergi sebelum menyelesaikan PR.” Baro menangkupkan kedua tangannya. “Jebal. Kerjakan dulu PRnya ya. Ne? Ne? Ne?” mohonnya.

“Aku akan mengerjakannya di rumah,” gumam Bomi dengan malas.

“Tapi,” Baro memasang mimik memelas, “bantu kerjakan yang aku dulu,” bisiknya.

“Aduh Baro... kau ini ya!” Bomi menghentakan kakinya ke lantai. “Baiklah. Arasseo.”

Saat Bomi berbalik, Shinwoo, tetangga Baro yang setahun lebih tua muncul dengan cengiran isengnya. “Annyeong~” sapa Shinwoo dengan riang. “Kalian sedang apa?”

“Baro menyuruhku mengerjakan PR untuk menghilangkan bosan. Waeyo?” jawab Bomi.

Shinwoo menyeringai. Lalu ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya. “Lihat ini! Hebat bukan?”

Bomi dan Baro mengamati sebentuk kartu yang Shinwoo letakan di meja di hadapan mereka. “Apa ini?” tanya keduanya serempak.

“Kartu mahasiswa.” Shinwoo terkekeh. “Aku melihat kartu mahasiswa milik kakakku, lalu membuat tiruannya untuk namaku sendiri. Bagus kan? Terlihat asli kan?”

“Kau iseng sekali hyung,” komentar Baro.

“Mau kau apakan ini?” tanya Bomi.

Shinwoo bangkit dan menutup pintu agar rencananya tak terdengar orang tua Baro. “Begini,” ia mulai menjelaskan seraya menyalakan komputer Baro, “seorang teman yang kukenal di internet akan merayakan ulang tahun malam ini di sebuah klub. Aku harus datang karena ia berjanji akan memberi DVD langka musisi indie favoritku. Kami tak punya kesempatan untuk bertemu lain waktu karena dia harus kembali ke Kanada besok pagi.”

“Keuraeseo?” Baro menatap Shinwoo curiga.

“Akan kubuatkan satu untukmu,” jawab Shinwoo tanpa mengalihkan pandangannya dari layar komputer. “Kau mau kuliah di universitas mana?”

“Molla. Aku kan masih kelas dua SMA. Belum ada bayangan sama sekali di otakku,” jawab Baro. “Keundae, sebenarnya kau ingin aku menemanimu ke klub malam kan hyung?” tanyanya memastikan.

Shinwoo mengangguk. “Aku harus punya teman kalau-kalau nanti ketahuan,” kata Shinwoo. “Sungkyungkwan University saja ya. Soalnya kakakku juga kuliah di sana. Kita kan meniru kartu mahasiswa kakakku.”

“Kalau begitu kenapa kau tanya tentang universitas yang kumau?” rutuk Baro. “Keundae hyung, kenapa sih kau selalu ingin aku yang menjadi teman saat kau menderita? Memangnya aku tak pantas jadi temanmu saat kau sedang bersenang-senang?” protes Baro.

Shinwoo terkekeh. “Pertama, karena ayahmu tak segalak ayahku. Dia masih bisa membela anaknya di saat kena masalah. Kedua, kau itu setia kawan. Kau takkan meninggalkanku saat sedang kesulitan. Ketiga, siapa bilang kita tidak bersenang-senang?” Shinwoo memutar kursinya hingga menghadap Baro dan Bomi yang serius menatapnya. “Kita selalu bersenang-senang Baro-ya.”

Baro mendengus. Lalu naik ke tempat tidur dan merebahkan diri. “Tentu saja. Bagimu mencari masalah itu sama dengan bersenang-senang kan?!”

Tiba-tiba Bomi menggebrak meja. “Shinwoo oppa!” Ia mengacungkan jari telunjuk hingga sejajar dengan pipinya. “Buatkan satu untukku ya.”

Shinwoo menatap Bomi bingung. “Untuk apa?”

Baro bangun dengan tergesa. “Jangan bilang kau mau ikut dengan kami?”

Bomi meringis dan mengangguk pelan. “Jebal. Aku kan sedang bosan.” Ia mengadukan kedua ujung telunjuknya dan memasang mimik aegyo, membuat Baro maupun Shinwoo tak bisa menolak permintaan gadis itu.

*****

Ketiga anak itu memang berhasil masuk ke klub malam tanpa kecurigaan dari pihak security di pintu masuk. Tapi hal yang terjadi selanjutnya benar-benar di luar dugaan mereka.

Awalnya mereka sama sekali tak berniat minum dan akan langsung pulang setelah Shinwoo mendapatkan DVD yang dia pesan dari teman internetnya, Park Jaebom. Namun teman-teman Jaebom yang mengira anak-anak itu mahasiswa betulan memaksa mereka untuk pergi minum ronde kedua di kedai makan pinggir jalan.

Tadinya mereka sempat menolak, tapi Bomi yang terobsesi dengan tantangan malah berbalik mengiyakan ajakan itu. Hingga mau tak mau, Baro dan Shinwoo terpaksa ikut dengan hati was-was.

“Uieoyo!” Semua orang mengadukan gelas masing-masing sebelum menegak habis gelas soju mereka.

Bomi membalikan gelas kosong miliknya di atas kepala. “Aaahh... HABIS!!!” Ia berseru keras, lalu melakukan high five dengan Jaebom.

“Laghii! Tuhangkan laghiiiii!” seru Shinwoo sambil mengetuk-ngetukan gelasnya ke meja.       

Baro yang masih memiliki tiga perempat dari kesadarannya buru-buru merampas gelas Shinwoo dan Bomi sebelum mereka semakin mabuk. “Ayo pulang! Besok kita harus sekolah!” ajaknya.

Salah satu teman wanita Jaebom menunjuk Baro dengan gerakan tak stabil. “Sekolah? Kenapa sekolah?” Ia cegukan. “Kenapa harus sekolah? Kupikir mahasiswa? Kalian kan... mahasiswa kan. Iya kan? Iya kan? Iya kan?” katanya, ngaco.

Baro meringis. Karena takut ditanya lebih jauh, Baro segera berdiri dan menarik kedua temannya dengan susah payah.

“Masi mahu minhuumm.” Bomi menggapai-gapai ke arah Jaebom yang melambai-lambaikan tangannya agar mereka jangan pergi.

“Baro-ya... kita pergi? Eoddi? Ronde ketiga? Benarkah? Benarkah? Benarkah?” Shinwoo berjalan mendahului dengan semangat tapi sedikit oleng karena mengira akan minum lagi. Baro sedikit lega karena bebannya hanya tinggal Bomi yang berusaha kembali ke tempat Jaebom dan kawan-kawan.

Baro berhasil membawa Shinwoo dan Bomi hingga ke sebuah taman yang sangat sepi dan cukup gelap. Tampaknya taman itu sudah tak terurus karena satu-satunya penerangan hanya datang dari arah apartemen di dekat situ. Lampu penerangan yang ada di taman itu sudah meredup dan tak cukup kuat untuk menerangi area taman kecil itu.

“Baarrroo... akhu bosyaann.. mahu minhuum lagyiii...” Bomi berbicara dengan sangat kacau.

Akhirnya Baro habis kesabaran. “YAK!!” teriaknya seraya mendorong punggung Bomi dan menendang pantat Shinwoo. Kedua anak itu terhuyung-huyung ke arah depan, lalu ambruk ke tanah. “Sadarlah! Kalau orangtua kita tahu, kita bisa diomeli habis-habisan! Dan besok kita harus sekolah. Kalian pikir masih bisa pergi ke sekolah setelah mabuk semalaman? Kakakku saja yang jago minum selalu merasa amburadul dan tak kuat beraktivitas paska mabuk!”

Bomi menjerit kesal. “Akhu tak mabbbukk Barrrhoo...!!” kilah Bomi.

“Ya!” Shinwoo menunjuk Baro sambil berusaha bangkit. “Kau bilang... ronde ketiga... eoddi? Akhu mahu ronde tiga. Ppalli. Minhum laghi!”

Baro mengacak-acak rambutnya putus asa. “Terserah. Aku tak peduli lagi. Aku pulang. Urus saja diri kalian sendiri dan jangan minta bantuanku saat orangtua kalian ngamuk!” jerit Baro sebelum beranjak pergi meninggalkan Bomi dan Shinwoo.

“Kajjjjima!! Barrroo... kajjiiimaaa....” teriak Bomi. Ia berusaha bangkit dengan susah payah.

Shinwoo yang tak menyangka Baro benar-benar akan meninggalkannya langsung mendapatkan kembali setengah dari kesadarannya. Ia berlari mengejar Baro dengan langkah yang masih limbung. Merasa takkan bisa mengejar Baro, Shinwoo meraih ranting pohon di dekatnya dan melemparkan ke arah Baro dengan serampangan. Karena meleset, ia mengulanginya lagi sampai berkali-kali.

Tanpa sadar, Bomi berjalan melewati Shinwoo dengan dua buah batu seukuran genggaman tangan. Setelah cukup dekat dengan Baro, ia berteriak memanggil anak itu dengan suara lirih. “Kumohon menoleh lah sekaliiii saja Baro-yaaa. Kupinta kau menoleh sekaliiii sajaaa. Ayolaaahh. Atau... saat ini juga... kuanggap persahabatan kita... TAK PERNAH ADA!!”

Baro menoleh dengan mata melotot kesal. “MAU APA LAGI SIH?” Ia balas berteriak.

Bomi tersenyum. “TANGKAP INI!” Ia melemparkan batu di genggamannya ke arah Baro, lalu tertawa. “TANDA PERSAHABATAN!” Bomi merentangkan kedua tangannya dengan riang.

Baro yang rajin berolahraga dan cukup gesit spontan mengelak ke samping. Dan yang terjadi berikutnya benar-benar mampu mengembalikan kesadaran Bomi maupun Shinwoo. Batu lainnya yang masih ada di tangan Bomi langsung terlepas dan jatuh mengenai kaki Bomi. Tapi rasa sakitnya tak sebanding dengan kekagetannya saat menyadari batu yang ia lemparkan malah mengenai kaca belakang mobil yang terparkir di situ.

Kaki Baro mendadak lemas. Ia jatuh terduduk dengan mata melotot menatap mobil itu. Syok. “Mwo haneunggoya HAM BOMI-YA???” teriak Baro.

Shinwoo dan Bomi segera berlari menghampiri Baro. “Jangan berteriak. Neo babojji!” desis Shinwoo berlutut di sebelah Baro.

Bomi menggigiti kukunya cemas. “Eottohkae? Uri Eottohkae?” gumamnya.

Baro berdiri dan langsung berkacak pinggang di depan Bomi. “Babo aniya? Kenapa kau melempar batu ke arahku? Mau membunuhku? Kau pikir itu bantal, hah? Sekarang lihat kan hasilnya? Lihat! Kita akan dituntut dan dibawa ke kantor polisi. Orangtua kita akan tahu kita menyelinap keluar kamar dan pergi ke klub malam. Kita akan dihukum seumur hidup!”

Shinwoo mendekati mobil itu dengan gemetar. Shinwoo merasa heran dengan alarm mobil yang tak berbunyi. Ia khawatir kerusakan yang ditimbulkan Bomi benar-benar parah.

“Ya! Nuguseyo? Apa yang terjadi?”

Shinwoo, Bomi, dan Baro makin panik saat seseorang muncul karena mendengar suara pecahan kaca. Ketiganya mondar-mandir di tempat, saling bertabrakan, lalu jatuh bersamaan saat orang itu benar-benar muncul.

Bomi menjerit pelan saat melihat wajah orang itu dengan jelas. Sebelum mereka ketahuan, Shinwoo dan Baro buru-buru menarik Bomi bersembunyi ke balik semak-semak.

“Bukankah itu Choi Siwon? Hallyu star yang baru saja debut di Hollywood?” bisik Shinwoo.

Baro yang tak tahu banyak tentang dunia selebritas langsung membelalakan matanya tak percaya. Ternyata mereka benar-benar terlibat dalam masalah yang sangat besar.

“O? Andwe andwe! Kenapa dia mengeluarkan ponselnya?” Shinwoo berdecit panik. Ketiga anak itu menunggu dengan hati makin ketar-ketir.

“Yobseyo? Hyung, aku dalam masalah. Seseorang memecahkan kaca belakang mobilku. Sepertinya sih dilempar dengan batu. Datanglah kemari dan cepat periksa.” Siwon diam untuk mendengarkan lawan bicaranya. “Lebih baik jangan dulu lapor polisi hyung. Aku tak mau hal ini diketahui wartawan.”

Ketiga anak itu serempak mendesah lega. Setidaknya polisi tak dilibatkan walaupun untuk sementara.

“Tapi...”

Tiga anak itu kembali menegakkan tubuhnya dengan waspada saat Siwon mengatakan ‘tapi’.

“Sebelum ke sini tolong periksa rekaman CCTV di perusahaan security ya. Kurasa wajah pelakunya tertangkap kamera CCTV,” ujar Siwon sambil menatap kamera CCTV yang letaknya tersembunyi entah di mana.

Bomi, Baro, dan Shinwoo menutup mulut dengan tangan masing-masing agar tak menjerit.

“Aniya. Bukan mobil hadiah dari sutradara Steven Spielberg kok. Tenang saja. Ini mobil lamaku. Mobil yang pertama kali kubeli dengan uang sendiri.” Siwon mengelus-elus mobil itu. “Ne. Porsche berplat nomor B1A4. Pokoknya hyung, kau harus temukan pelakunya sebelum hal ini terendus wartawan. Mobil ini langka sekali di Korea. Setidaknya aku harus tahu orang gila yang merusaknya.”

Baro, Shinwoo dan Bomi saling pandang. Mendadak mereka bisa saling membaca pikiran masing-masing. Ketiganya mengangguk pada saat yang bersamaan, lalu spontan melarikan diri dari tempat itu saat Siwon masih fokus berbicara di telpon.

“YA! SIAPA ITU? KEMBALI!!” teriak Siwon sambil berusaha mengejar mereka. “KEMBALI KEMARI ANAK NAKAL! KEMBALI!”

Lama-lama Siwon sadar ia berlari hanya mengenakan sandal rumah, akhirnya ia berhenti karena kesakitan. Ia kembali bicara pada manajernya di telpon.

“Hyung beritahu polisi. Aku ingin mereka ditangkap. HARUS DITANGKAP!” kata Siwon.

*****

Baro dan Bomi menatap gamang lapangan olahraga tempat teman-temannya bermain sepak bola untuk mengisi waktu senggang. Keduanya duduk bertopang dagu dengan lemas. Terutama Bomi yang badannya terasa remuk redam paska mabuk semalam. Mereka sama sekali enggan makan siang di jam istirahat ini.

“Ya! Ya! Ya!” Shinwoo berlari dengan panik ke arah Bomi dan Baro. Lalu ia mengambil tempat di antara kedua anak itu. “Coba lihat ini!” Shinwoo menunjukkan ponselnya.

“Apa?” tanya Baro bingung.

“Choi Siwon tak konsisten. Dia membiarkan media mengtahui kejadian semalam,” ujar Shinwoo.

“Tak mau lihat!” Bomi membuang muka ke arah lain. “Aku tak mau tahu apapun yang dikatakan media tentang masalah Choi Siwon. Pokoknya jangan beritahu. Jangan pernah.”

Shinwoo menatap Bomi kesal. “Tapi di sini dikatakan bahwa pelakunya sudah ditangkap Bomi-ya. Dan itu bukan kita,” gumam Shinwoo.

Bomi menoleh dengan kilat. “Jeongmalyo?”

Baro yang sedang serius membaca artikel yang ditunjukan Shinwoo langsung manggut-manggut lega. “Walaupun tak mengerti bagaimana mereka bisa menemukan tersangkanya, tapi aku bersyukur karena itu bukan kita. Kuharap mereka tetap salah seperti ini.”

“Tapi jujur saja,” Shinwoo bersandar pada pohon di belakangnya, “aku merasa agak bersalah pada orang yang menjadi kambing hitam itu.”

“Tenang saja. Di artikel ini dikatakan bahwa tersangkanya orang dewasa kan? Dia pasti bisa menyelesaikannya dengan bantuan pengacara yang hebat,” ujar Baro meyakinkan.

Bomi mendesah. “Ini memang luar biasa dan membuatku berdebar-debar, tapi bukan ini yang kuinginkan,” gumam Bomi penuh penyesalan.

“Makanya, sudah kubilang, syukuri hidupmu dan biarkan takdir berjalan sesuka hatinya. Tak perlu kau cari pun masalah pasti akan datang dengan sendirinya,” omel Baro.

Bomi mengangguk lemah. “Iya. Aku tahu.” Bomi memijit pelipisnya yang mendadak terasa pusing. “Ah kepalaku!” Ia mendelik pada Baro. “Kau bilang jika minum kopi hitam super pahit semuanya akan baik-baik saja. Tapi kenapa sekarang kepalaku malah pusing lagi?” protesnya.

“Aku tidak bilang begitu. Kopi hitam hanya akan membuat kesadaranmu pulih. Masalah kondisi tubuh sih aku tidak tahu. Soalnya kakakku sering minum kopi hitam di pagi hari setelah mabuk. Tapi dia tak pernah pergi kemana-mana setelahnya. Hanya diam di tempat tidur dan banyak minum air putih. Itu saja. Mungkin seharunya kau juga tidak usah pergi sekolah dan berdiam diri di rumah,” kata Baro.

“Kalau aku bilang pada orangtuaku bahwa aku sakit, mereka pasti akan masuk ke kamarku untuk memeriksa keadaanku. Dan jika mereka masuk, mereka akan tahu aku mabuk tadi malam. Aku sudah menyemprot kamarku dengan pewangi ruangan, tapi aroma alkoholnya tetap tercium. Aku bahkan harus menyikat gigiku berkali-kali. Benar-benar menyebalkan!” Bomi menjelaskan dengan kesal.

“Andwe!” Shinwoo tiba-tiba bangkit dan menatap ke arah parkiran. “Katakan bahwa aku salah lihat!”

“Mwohae?” tanya Baro ikut menatap parkiran. Ia langsung melotot saat matanya melihat Porsche warna biru safir terparkir dengan anggun di pelataran parkir sekolah. Baro berdiri dengan gamang. “Apa aku melihat apa yang kau lihat hyung?” bisik Ba

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet