Keep Silent

Chocolate in First Love

Jihoon bukanlah orang yang munafik, meksipun dia harus menekan perasaannya terlalu dalam di dalam hatinya. Karena sangking tidak munafiknya, dia tidak akan mencoba melakukan apapun itu.

Yang selalu dilakukannya hanyalah diam dan memendam apapun itu yang dianggap menganggu olehnya. Contoh kecilnya, perasaan pedulinya kepada seorang Choi Seungcheol. Pria bermata bulat yang menjadi pujaannya itu menjadi belenggu besar di hatinya. Dia tidak dapat melihat orang di sekitarnya yang bahkan sangat memujanya. Pikiran dan hatinya hanya terfokus kepada Seungcheol.

Jihoon tau kalau dia bodoh, sangat bodoh. Mengingat bahwa Seungcheol adalah seorang pria yang cuek dengan perasaan orang lain, egois, keras kepala dan tidak segan untuk menyakitimu. Namun dia akan bersikap manis terhadap Jihoon jika dia memerlukan bantuan pria mungil itu. Dengan bodohnya dia memberikan bantuan ke Seungcheol.

Orang bodoh.

Itu menjadi pelajaran hidup untuk seorang Lee Jihoon. Karena untuk pertama kalinya di masa sekolah menengah atasnya dia dibawa terbang tinggi dan dijatuhkan dengan mudahnya juga. Jihoon jatuh cinta kepada Seungcheol saat tahun pertama. Tipikal seorang Jihoon, dia memendam perasaannya dan hanya diam. Ditahun kedua, Seungcheol menyatakan perasaannya dan disaat itulah Jihoon mengungkapkannya lalu menerimanya. Hubungan yang terkesan manis dan dapat membuat siapapun itu iri mendengarnya memanjakan seorang Jihoon. Dimana perlakuan manis dan ungkapan sayang diungkapkan mereka satu sama lain.

Itu hanyalah fiksi belaka.

Setengah tahun setelah itu, Seungcheol jenuh. Kejenuhan itu tanpa ampun menyakiti makhluk mungil seperti Jihoon. Dia yang polos dan memiliki ketidaktahuan pun hanya menerima luka yang sulit disembuhkan atau tidak akan pernah disembuhkan. Jihoon pernah berpikir dia tidak akan dapat hidup lagi ketika Seungcheol meninggalkannya secara sepihak, tanpa kata putus atau ucapan “Ayo kita berpisah.”.

Cerita sedih cinta pertama Jihoon. Di hari ketika hujan sedang turun dengan derasnya, Jihoon berlari pulang dengan tubuhnya yang terkena banyak rintik air. Dia tidak peduli dan menangisi pria itu. Yang meninggalkannya dan menyatakan cinta didepan seorang Yoon Jeonghan, pria berhati angel itu. Semuanya menyoraki mereka dan Jihoon hanya tersenyum mengucapkan kata selamat yang diucapkannya setelah sebuah jarum menusuk jantungnya. Kecil namun menyakitkan.

Di hari pertama, dia terlihat sedih meskipun ekspresi wajahnya tetap datar. Mencoba diam saat mereka mengumbar kemesraan satu sama lain di sekolah.

Di hari kedua, Jihoon beusaha berbicara dengan yang lainnya, mengabaikan pertanyaan lain tentang hubungan mereka berdua yang banyak menimbulkan pertanyaan yang lebih sulit dijawab jika dibandingkan dengan pertanyaan matematika.

Di hari ketiga, Seungcheol bertanya kepada Jihoon, tentang tugas yang diberikan oleh guru mereka ataupun pertanyaan kecil tentang mereka satu sama lain.

Di hari keempat, mereka mulai berbicara seperti teman biasa.

Di hari kelima, Seungcheol mulai kembali mengerjai Jihoon dan pria mungil itu berteriak ke sosok pria itu.

Di hari keenam, Jeonghan memutuskan berpisah dengannya. Terlalu cepat mungkin jika orang berpikir namun itulah yang terjadi. Tipikal seorang Choi Seungcheol sangat sulit untuk dimengerti oleh siapapun. Dan pria cantik itu menyerah.

Di hari ketujuh, Jihoon mencoba memperbaiki hubungan mereka namun itu terlalu terlambat untuk diperbaiki.

Di hari kedelapan, Jihoon memutuskan untuk menjauhi Seungcheol. Tidak bertanya ataupun sepenting apapun itu. Tidak mencoba melakukan apapun dengan pria itu. Dia mencoba melangkah dan berlari menjauhinya.

 

Musim gugur di Korea membuat daun pepohonan itu bervariasi warna. Mulai dari cokelat, kuning dan jingga. Sekolah itu tetap ribut seperti biasanya karena jam menunjukkan waktu mereka istirahat. Kedua pria itu duduk ditepi jendela yang terbuka dan angin musim gugur itu dengan senang hati masuk melalui jendela itu. Oleh karena itu mereka memutuskan untuk meminum sup hangat yang sudah disediakan di kantin itu.

 

“Masih ada banyak pria di dunia ini,” gumam Chan kepada sahabatnya itu.

Jihoon mengangguk pelan dan menatap keluar jendela dengan tatapan sayu, “Aku tau itu. Tetapi aku terjatuh terlalu dalam.”

“Jadi bagaimana? Kau mau menunggunya terus-menerus?” tanya sahabatnya.

“Entahlah. Dari semua hal yang kupikirkan aku hanya ingin menjaganya dari kejauhan.”

“Kau lebih bodoh daripada yang kukira, Lee Jihoon,” balas Chan dengan kesal.

“Mungkin iya.”

 

Awalnya Jihoon berpikir begitu, memilih menjadi teman Seungcheol. Namun otaknya berkata lain dan terjadilah pertikaian diantara hati dan otak. Seperti kata orang, lebih baik kau mengikuti isi otakmu daripada isi hatimu. Dan Jihoon setuju mendengarnya.

Hubungan mereka tetap seperti teman biasa namun apa yang dirasakan mereka berbeda. Kadang Jihoon merasa kalau Seungcheol sangat peduli dengannya, layaknya seperti teman biasa atau lebih. Kadang juga mereka kurang lebih seperti orang asing yang tidak pernah mengenal satu sama lain.

Namun Jihoon tau itu, sangat tau itu dan dia mencoba menerima kenyataannya bahwa

Seungcheol tidak pernah peduli dengannya.

Dia menerima fakta itu namun seiring waktu berjalan dia sangat marah mengingatnya dan pada akhirnya dia memutuskan mengakhirinya. Meninggalkan sosok itu yang menjadi belenggunya meskipun sulit dilepas.

 

Musim dingin membuat siapapun tidak ingin pergi meninggalkan rumah, namun Jihoon berinisiatif untuk pergi keluar dan memilih menghabiskan waktu di luar. Tersisa tiga bulan lagi hingga kenaikan kelas mereka.

 

“Chan-ah”

“Ya Jihoon?”

“Habiskan waktu dengan ku besok”

“Kenapa?”

“Aku akan meninggalkan Korea besok…”

“Apa?!”

“Besok akan kuceritakan oke?” dan Jihoon menutup teleponnya.

Pria mungil itu menggengam sepucuk surat yang dikirimkan dari negeri Paman Sam itu, Amerika. Dia pasti ingat betul saat ibunya mengabarinya bahwa dia mendapatkan beasiswa di sekolah kejuruan musik disana untuk setahun. Dan Jihoon dengan cepat menyetujuinya, menjadi produser ataupun penyanyi adalah cita-citanya.

Dia menutup matanya sekilas dan setitik air matanya meluncur turun. Mengingat apa yang sudah pernah dialaminya di sekolahnya saat ini. Pertemuan biasa itu yang membuat hidup Jihoon menjadi lebih manis dari yang pernah dia pikirkan dan pahitnya cinta pertama itu. Hidupnya seperti cokelat, ada manis dan pahit. Namun dia tetap memakannya hingga habis.

“Seungcheol-ah, semoga kita dapat bertemu suatu saat…”

“Lagi”

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
FrainZL #1
Chapter 1: Kenapa....... ;_; sedih, Seungcheol tega.... ;_;
sseundalkhom
#2
Chapter 1: apa ini....kenapa......argh jihoooon jangan pergi