Kyun

A Boy and A Girl

Ia duduk berjongkok di atas kursi makan dengan tubuhnya yang tertutup selimut. Semuanya gelap. Hanya ruang makan yang temaram karena cahaya dari lampu kuning yang menyala. Terdengar suara dentang jam berbunyi sebanyak 12 kali.

Ayah, Ibu, hari ini tanggal 1 September. Apakah kalian tahu kalau akhir bulan ini adalah ulang tahunku?’

Minggu, 01 September 2015 –

Sebagai seorang murid yang malas, aneh rasanya memiliki hobi membaca buku. Kenyataannya, itulah hobiku. Setiap hari Minggu, aku pergi ke perpustakaan umum untuk membaca beberapa buku yang menurutku menarik.

Dan sepertinya kesialanku dimulai hari ini.

Cuaca pagi ini cerah dengan angin yang berhembus lembut. Jalan raya dan trotoar tetap sepi. Perpustakaan tetap ada di seberang jalan. Biasanya, aku berdiri sendirian di tepi jalan sambil menunggu lampu lalu lintas berganti warna. Tapi, hari ini berbeda.

Ada sosok bocah laki-laki yang membawa tumpukan buku hingga menutupi wajahnya sedang berdiri di sampingku. Buku-buku itu terlihat cukup berat. Kami saling menutup mulut sampai akhirnya lampu berganti warna. Ia berjalan lebih dulu. Tepat di tengah jalan, bocah itu terjatuh bersamaan dengan buku-bukunya yang berceceran.

Jalan raya itu tetap sepi tanpa ada kendaraan yang lewat.

Trotoar juga sepi tanpa ada pejalan kaki yang lewat.

Hanya ada aku.

Karena sebuah alasan “terpaksa”, aku membantunya mengambil beberapa buku yang tercecer. Wajahnya terlihat bingung atas kecerobohannya sendiri. Berkali-kali ia berkata maaf dan terima kasih. Pada akhirnya, kami membawa masing-masing 7 tumpukan buku.

Dan dugaanku benar. Tujuan kami sama.

Perpustakaan.

“Terima kasih.” Ucapnya sekali lagi saat kami sudah ada di dalam perpustakaan.

Senyumnya sangat lebar. Bibirnya membentuk sebuah hati sempurna dan tulang pipinya terangkat. Pipinya mengembung seperti bakpao. Kedua mata besar bocah laki-laki itu untuk sesaat menghilang karena senyum lebarnya.

Aku hanya bisa menanggapinya dengan sebuah anggukan dan senyum kecil yang mungkin tak dilihatnya. Urusanku dengannya sudah selesai. Aku segera berjalan menuju rak untuk mencari buku.

‘Ayah,  Ibu, bocah itu namanya adalah Kyungsoo.

Kamis, 05 September 2015 –

“Namaku Doh Kyungsoo. Salam kenal semuanya!”

Aku pernah melihat senyum selebar itu sebelumnya. Murid baru ini, murid yang duduk tepat di depanku ini, empat hari yang lalu menyatakan perasaannya padaku.

‘Ayah, Ibu, kesialanku masih berlanjut.’

Sabtu, 07 September 2015 –

Sore ini mendung. Kakiku berhenti tepat di seberang perpustakaan umum yang kucintai. Aku berjongkok untuk meletakkan setangkai bunga matahari. Seiring tetes air hujan yang turun, air mataku juga menetes. Semakin deras hingga tubuh dan pipiku basah kuyup. Payung berwarna biru tua muncul bersamaan dengan seorang bocah bertubuh setinggi 173 cm. Ia ikut berjongkok memayungiku.

“Dua tahun yang lalu, aku melihat sebuah kecelakaan antara mobil dan bus. Tidak seperti biasanya, jalan ini sangat ramai waktu itu. Banyak orang berkumpul untuk melihat kecelakaan itu secara langsung. Diantara kerumunan itu, aku melihat seorang gadis memakai seragam SMP. Ia hanya berdiri dengan tatapan mata yang kosong. Aku tidak tahu perasaannya. Entah itu sedih, senang, takut atau marah. Satu tahun berlalu. Aku melihatnya lagi di trotoar ini. Waktu itu, ia memakai seragam SMA dan membawa setangkai bunga matahari. Dari balik kaca jendela perpustakaan, aku melihatnya menangis. Bukankah gadis itu setiap hari Minggu pergi ke perpustakaan juga? Aku tertawa mengingat kegiatannya di perpustakaan hanya tidur. Menjaganya ketika tertidur lelap di perpustakaan rasanya sangat menyenangkan. Dan hari Minggu lalu ia menolongku. Saat itu, aku melihat sebuah senyum kecil. Sepertinya aku menyukai gadis ini.”

Ia menutup payungnya lalu berdiri. Hujan belum reda saat ia meraih tanganku dan memaksaku untuk berdiri.

“Kisah kita sangat romantis kan?.... Eh? Kamu masih menangis? Mau kupeluk?”

'Ayah, Ibu, waktu itu apa kalian sedang bertengkar?'

Selasa, 10 September 2015 –

“Kenapa guru itu menyuruhku membawa buku-buku ini?”

Mungkin karena tadi aku ketahuan tidur di kelas. Seharusnya waktu istirahat ini kugunakan untuk tidur. Aku lelah sekali gara-gara bocah itu. Sejak kemarin, setiap pagi aku harus tersiksa melihat senyum lebarnya. Darimana ia tahu alamat rumahku?

Aku sangat jarang keluar kelas saat istirahat. Lebih baik kugunakan waktu luangku untuk tidur. Kalau merasa lapar, aku terpaksa pergi ke kantin untuk membeli roti. Aku tidak begitu peduli dengan jalan yang kulewati saat itu. Tapi saat ini, aku baru sadar kalau koridor serta tangga dipenuhi oleh banyak murid. Aku berjalan pelan berharap buku-buku ini tidak jatuh saat menuruni tangga. Dan tiba-tiba saja muncul segerombolan murid laki-laki yang berlari saling mengejar. Salah satu dari mereka menabrak bahuku. Keseimbanganku hilang. Untuk beberapa detik, aku membayangkan tubuhku jatuh bersamaan dengan buku-buku yang kubawa. Tapi, ada sebuah tangan yang meraihku. Ada tubuh yang kemudian memelukku.

“Hei! Apa kalian bodoh? Jangan berlarian di tangga!” Bentak Kyungsoo pada segerombolan murid laki-laki itu.

“Maaf.”

Hanya sebuah kata dan mereka pergi begitu saja.

Kyungsoo melepaskan pelukannya. Bertanya apa aku baik-baik saja. Aku mengangguk. Saat ia melepas kedua tangannya dari pergelangan tanganku, bukannya berdiri tegak, aku malah duduk berjongkok sambil mengaduh kesakitan.

“Apa kakimu terkilir?”

Aku melihat ada yang berbeda dengan wajahnya. Tidak ada senyum lebar tapi keningnya mengerut. Tanpa menunggu jawabanku, ia berjongkok memunggungiku dan menyuruhku untuk cepat naik ke atas punggungnya.

Ia ingin menggendongku.

“Jangan keras kepala! Sekarang kamu tidak bisa lari. Mau kugendong di belakang atau di depan?”

Baru kali ini aku merasa aneh karena dilihat oleh banyak pasang mata. Selama perjalanan kami ke UKS, aku bisa merasakan begitu lebarnya punggung bocah ini. Aku baru sadar betapa lebarnya punggung bocah ini.

“Nanti buku-bukunya biar aku yang urus. Itu semua harus dibawa ke ruang guru, kan? Ke mejanya pak Oh.”

“Hei.”

“Apa?”

“Kamu tadi menguntitku?”

“Mungkin.”

“Kenapa tadi tidak membantuku membawakan buku?’

“Kenapa, ya?”

'Ayah, Ibu, ia mengkhawatirkanku.'

Rabu, 11 September 2015 –

Sepasang sepatu itu lagi. Ia menunggu di depan gerbang rumahku lagi. Senyumnya tampak lebar seperti biasa. Aku berjalan melewatinya.

“Pagi, Hani!”

Aku menoleh mendengar panggilan itu. Sedikit terkejut tapi aku berusaha menampakkan wajah datar.

“Bae Hana. Boleh kupanggil Hani saja? Terdengar manis. Boleh ya?”

“Hani darimana? Namaku Hana.”

“Tenang dulu Hani. Bukankah Bae dan Hani terdengar mirip?”

“Tch. Terserah.”

Aku kembali berjalan secepat mungkin. Ia berlari kecil mengejarku lalu berjalan di sampingku.

“Apa kakimu sudah sembuh? Kamu berjalan cepat sekali. Mau kugendong lagi?”

“…”

“Hei, Hani. Apa kamu ada keturunan Jepang? Hana artinya bunga dalam bahasa Jepang, kan?”

“Bisa diam dan percepat jalanmu? Kita sudah terlambat.”

Bocah itu tersenyum lebar lagi. Seperti biasa. “Siap!”

'Ayah, Ibu, selamat malam.'

Sabtu, 14 September 2015 –

“Tidurnya nyenyak sekali. Apa ia akan bangun kalau kucium pipinya?”

“Jangan coba-coba.”

Hana membuka matanya. Ia menguap kecil sambil menegakkan tubuhnya. Ia melihat Kyungsoo duduk di kursinya tapi tubuhnya menghadap ke belakang.

Ya. Perlu kuingatkan lagi kalau bocah cerewet itu duduk di depanku.

“Kali ini apa?”

“Mau cokelat? Pagi ini secara misterius ada coklat di laci mejaku. Sepertinya dari salah satu penggemarku. Menjadi seorang yang tampan itu memang sedikit merepotkan. Karena aku tidak suka manis, ini untukmu.”

“Jangan mengganggu tidurku lagi hanya untuk hal sepele seperti ini.”

“Eh? Tunggu! Jangan tidur lagi!”

“Kali ini apa?”

“Malam ini ada waktu? Mau kencan denganku?”

“Tidak.”

“Jadi kamu tidak mau cokelat ini?”

“Aku tidak suka cokelat.”

'Ayah, Ibu, apa ia tampan?'

Selasa, 17 September 2015 –

Butuh waktu sekitar sepuluh menit bagiku untuk kembali ke kelas. Membeli roti di kantin seperti sebuah perjuangan hidup dan mati saja. Semua murid berdesakan di dalam ruang lebar bernama kantin yang terletak di gedung 2. Kantin di sekolah kami cukup lebar tapi tetap saja tidak muat menampung ratusan murid kelas 2 di sini. Di sekolah ini terdapat tiga gedung yang membedakan tingkatan muridnya. Aku yang masih duduk di kelas dua tentu saja menjadi salah satu penghuni gedung 2. Gedung yang berada di tengah.

Tinggal beberapa langkah lagi aku bisa memasuki kelas. Tapi, tubuhku tiba-tiba membeku.

Kedua mata itu sebelumnya hanya melihatku. Senyum itu sebelumnya hanya bisa dilihat olehku. Siapa? Siapa gadis itu?

'Ayah, Ibu, rasanya sakit. Sangat sakit.'

Minggu, 07 September 2013 –

Aku dan ibu pergi untuk makan malam di luar tanpa ayah. Ibu tidak sempat membuat makan malam karena pekerjaannya. Sedang ayah tidak bisa ikut makan malam karena ada rapat.

Rapat pribadi dengan seorang wanita di rumah makan yang juga kami kunjungi.

Saat itu aku baru sadar. Ayah jarang pulang dua bulan ini. Tapi aku tidak curiga karena ibu terlihat baik-baik saja.

Malam itu kami langsung pulang tanpa mengisi perut.

Keesokan harinya, aku mendengar mereka bertengkar hebat. Ayah semakin jarang pulang.

Lebih baik ayah tidak pernah pulang.

'Ayah, apa ia juga berkhianat sepertimu?'

Rabu, 18 September 2015 –

Ia masih datang menungguku setelah kejadian kemarin. Sikapku pagi ini mungkin sedikit aneh. Tidak membalas sepatah katapun ocehannya. Biasanya aku sempatkan membalas entah itu hanya anggukan. Ia bertanya apa aku marah padanya. Aku sendiri juga bingung. Kenapa aku peduli dengannya? Apa aku mulai melihatnya sebagai seorang laki-laki?

'Ayah, Ibu, apa yang terjadi denganku?'

Sabtu, 21 September 2015 –

Setiap jam istirahat, gadis itu tetap datang ke kelas kami. Mereka mengobrol sambil tertawa di depan pintu kelas. Aku tidak bermaksud mengintip. Tapi, sejak hari itu, aku tidak bisa tidur di kelas. Yang kulakukan hanya meletakkan kepala di atas meja. Membayangkan entah apa yang mereka bicarakan.

Melihat Kyungsoo berjalan kembali ke kursinya, aku sesegera mungkin menutup mata berpura-pura tertidur lelap. Tak lama, aku bisa merasakan Kyungsoo duduk di kursinya.

“Apa kamu cemburu?”

Aku membuka mataku lalu kutegakkan tubuhku untuk melihatnya.

“Setiap hari kamu berpura-pura tidur dan mengintip kami. Tanpa alasan kamu selalu marah kalau aku mendekatimu. Kamu cemburu, kan?”

“Kenapa aku harus cemburu?”

“Gadis itu menyatakan perasaannya padaku. Ia lumayan manis. Sama seperti cokelat yang setiap hari ia taruh di laci mejaku.”

"Lalu?”

“Karena kamu mulai menyukaiku. Itu sebabnya kamu cemburu. Bagaimana kalau malam ini kita kencan? Nanti aku belikan es krim. Kamu suka rasa apa?”

“Aku membencimu.”

Sebuah kalimat yang langsung membuat Kyungsoo menutup mulutnya. Ia meyakinkan dirinya kalau yang didengarnya itu salah.

“Hani?”

“Aku membencimu.”

“Apa kamu marah karena aku bersama gadis lain?”

“AKU MEMBENCIMU! AKU MEMBENCIMU SEJAK AWAL!”

Suasana kelas mendadak hening. Kyungsoo kehilangan kata-kata. Baru kali ini ada orang yang secara tegas berteriak membencinya. Terlebih orang itu adalah orang yang disukainya.

Tidak. Gadis ini. Gadis di depanku ini. Aku mencintainya.

“Aku membencimu. Aku benci caramu tersenyum. Aku benci orang yang ceroboh. Aku benci setiap melihatmu. Seharusnya waktu itu aku tidak menolongmu. Kenapa sekarang aku baru sadar? Tidak ada orang di dunia ini yang benar-benar menyayangiku. Tidak ayahku. Tidak ibuku. Apalagi bibiku yang gila harta itu. Lalu kamu? Kamu bilang kalau kamu menyukaiku? Tapi aku membencimu.”

Air mata Hana menetes begitu saja. Ia sendiri juga tidak percaya dengan apa yang dikatakannya.

'Aku salah. Apa aku salah?'

Kamis, 26 September 2015 –

Perlahan ia mundur. Ia tidak lagi mengoceh. Ia berhenti mengganggu tidurku. Bahkan, aku kehilangan sepasang sepatu itu. Tapi sikapnya tak berubah. Ia tetap ceria. Ia tetap ceria bersama gadis itu. Ia hanya menjauh dariku. Rasanya saat ini lebih sakit daripada waktu itu. Sebelum aku berteriak membencinya.

'Ayah, Ibu, apa ini yang namanya rindu?'

Jum’at, 27 September 2015 –

Sore ini aku pergi ke mini market untuk membeli sikat gigi. Jarak mini market dengan rumahku hanya 5 menit jika aku berjalan kaki. Lingkungan tempat tinggalku yang sepi menjadi salah satu faktor kenapa mini market ini sepi. Hampir tidak ada pengunjung.

“Kamu dari SMA Ivy, kan?”

Itu SMA-ku.

Aku yang saat itu sedang memilih-milih es krim, saat tepat wajah kami saling bertemu, rasanya aku ingin lenyap dari tempat itu.

“Kamu dari kelas 2–B, kan?”

Aku mengangguk saja.

“Ternyata benar. Aku tidak salah orang. Namaku Sora. Byun Sora. Aku dari kelas 2–D.”

“Hana. Bae Hana.”

“Hana-ssi..... Nama yang bagus."

Hana tersenyum kecil dan mengangguk sekenanya. Ia berniat ingin kembali memilih es krim tapi gadis bernama Sora ini mulai mengoceh lagi.

"Sudah lama aku ingin ngobrol denganmu. Tapi, setiap kali aku ke kelasmu, kamu malah tidur. Kata Kyungsoo, percuma membangunkanmu. Ternyata kita malah ketemu di sini. Kamu mau beli es krim? Aku juga suka es krim. Terutama rasa coklat....”

Ada apa dengan gadis ini? Kenapa ia terus mengoceh? Pantas saja mereka sangat akrab. Mereka berdua ternyata mirip.

“Kalau dilihat dari dekat, kamu ternyata manis. Pantas saja ia menolakku.”

Apa? Siapa yang ditolak siapa?

“Aku pernah menyatakan perasaanku pada Kyungsoo. Ia laki-laki yang baik. Pertama kali kami bertemu, ia menolongku...”

Pertama kali kami bertemu, aku menolongnya. Tunggu. Kenapa gadis ini malah menceritakan kisah cintanya padaku?

“Waktu itu ia merenung sebentar. Lalu ia tersenyum dan bilang maaf padaku. Ada gadis lain yang ia sukai. Tapi ia tak mau memberitahuku. Ia tetap baik padaku meskipun ia tahu perasaanku. Cinta tak harus memiliki, kan?”

Gadis ini bicara apa?

“Aku pernah memergoki Kyungsoo duduk menghadap ke belakang. Waktu itu, murid yang seharusnya duduk di belakangnya tidak masuk. Tangannya bergerak seperti membelai sesuatu. Ia lalu berdiri dan duduk di kursi belakangnya. Ia meletakkan kepalanya di atas meja lalu menutup kedua matanya. Waktu itu, aku bingung dan tidak mengerti dengan sikapnya. Tapi, aku segera sadar ketika aku melihat kebiasaanmu tidur seperti itu. Gadis yang disukai Kyungsoo adalah Hana.”

'Ayah, Ibu, rasa sakitku hilang.'

Sabtu, 25 September 2015 –

“Aku tahu kalau kamu membenciku. Seminggu ini aku mencoba menjauhimu. Tapi, tetap saja hari ini aku harus menanyakan ini.’

“Baiklah.”

"Apa kamu mau – Apa? Tadi kamu bilang apa?”

“Aku mau kencan denganmu malam ini.”

Sabtu, 28 September 2015 – Pukul 08.19 PM di taman

Kami duduk di sebuah bangku di bawah pohon.

“Maaf.”

“Untuk apa?”

“Seminggu ini aku sudah merenung. Tapi, aku tetap tidak tahu kesalahanku apa sampai kamu sangat marah padaku. Untuk itu, aku minta maaf.”

Ternyata bocah ini punya sisi lain lagi. Kenapa aku marah? Apa kau ingin tahu?

Aku mengangguk. Ia terlihat sangat bahagia. Aku juga harus mengatakan sesuatu padanya. Mulutku tertutup lagi karena ia mulai mengoceh.

“Ini adalah sebuah fakta unik. Jika seorang gadis bisa membuat seorang laki-laki tersenyum, artinya laki-laki itu menyukainya. Tapi, jika seorang gadis bisa membuat seorang laki-laki menangis, artinya laki-laki itu mencintainya.”

“Kamu hanya menyukaiku?”

“Tentu saja tidak! Aku mencintaimu! Sangat mencintaimu! Apa kamu lupa saat kamu berteriak membenciku?”

“Waktu itu kamu menangis?”

Kyungsoo sadar kalau kalimatnya tadi sangat memalukan. Ia tidak bisa menjawab lalu melahap es krimnya. Gigi sensitifnya tak tahan dengan sentuhan dingin yang tiba-tiba. Ia menahan rasa nyeri membuat Hana tertawa saat melihat ekspresi wajahnya. Tiba-tiba saja Kyungsoo mendekatkan wajah mereka lalu mengambil foto dengan kamera yang dibawanya.

'Ayah, Ibu, aku lupa mengatakan padanya kalau aku juga...'

Minggu, 29 September 2015 –

Hana duduk di lantai kamarnya dengan memasang wajah penuh penasaran. Pagi ini ada sebuah kotak kardus ukuran sedang di depan pintu rumahnya. Ia membuka kardus itu. Isinya lembaran foto. Ada ratusan mungkin. Semua foto itu mengambil obyek antara Kyungsoo dan Hana. Kyungsoo selalu memperlihatkan senyumnya pada kamera. Sedang Hana nampak tak sadar bahwa ia sedang dipotret.

Kapan ia mengambuil semua foto ini?

Kedua mata Hana tertuju pada satu foto yang semalam diambil oleh Kyungsoo. Satu-satunya foto yang memperlihatkan Kyungsoo dan Hana tersenyum bersama. Dibalik foto itu ada tulisan tangan Kyungsoo.

Hani-ku semakin cantik saat menarik bibir merahnya. Selamat ulang tahun, Hani!

Senin, 30 September 2013 –

“Pagi, Hani!”

Seperti biasa, Kyungsoo sudah menunggu Hana di depan gerbang rumahnya. Mereka lalu berjalan bersama menuju ke sekolah.

“Darimana kamu tahu tanggal ulang tahunku?”

“Kartu pelajar.”

“...”

“Pernah saat kamu tidur di perpustakaan, aku penasaran dengan namamu. Maaf.”

“Membuka barang pribadi seorang gadis itu tidak baik.”

“Kan aku sudah minta maaf.”

"Hana tersenyum kecil. Semoga saja Kyungsoo tidak melihatnya. “Kamu tahu fakta tentang seorang gadis?”

Kyungsoo menggeleng penuh antusias. Baru kali ini Hana terdengar ingin berbicara dengannya. Selama ini Hana selalu bersikap tak acuh setiap kali Kyungsoo mencoba memulai suatu percakapan.

“Jika seorang laki-laki berhasil membuat seorang gadis tersenyum, artinya gadis itu mencintainya.”

“Kalau gadis itu menangis karena seorang laki-laki?”

Kyungsoo ingat saat Hana menangis dan berteriak membencinya. Senyum yang awalnya menghiasi Kyungsoo menghilang untuk sesaat. Pipinya tiba-tiba merasakan sesuatu yang hangat. Ada sesuatu yang lembut yang menyentuh pipi kirinya. Tidak percaya dengan apa yang dialaminya, Kyungsoo melihat ke arah Hana yang tersenyum senang. Kedua pipi Hana juga merona merah. Apakah karena malu?

“Artinya, gadis itu sangat mencintainya. Sangat.”

'Ayah, Ibu, Aku mencintainya. Sangat mencintainya.'

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet