Final

Because You are my Sister

Soojung membuka pintu kamarnya dengan mata setengah terpejam. Sepertinya ia masih belum sadar sepenuhnya setelah terbangun dari mimpi bertemu dengan Robert Pattinson—aktor favoritnya. Tetapi ia harus segera menguburkan keinginannya untuk melanjutkan mimpi indahnya karena ia harus menjalankan rutinitas bangun pagi di setiap hari senin hingga jumat itu, ya apalagi kalau bukan untuk pergi ke sekolah.

Soojung pun berjalan dengan langkah gontai menuju kamar mandi yang berada di samping kamar tidurnya. Ketika ia ingin memutar kenop pintu kamar mandi, tiba-tiba sudah ada sebuah tangan yang menggapai kenop itu terlebih dahulu. Soojung langsung menoleh ke sampingnya dengan alis yang terangkat.

Lelaki itu.

Lelaki yang juga sedang menatapnya dengan alis terangkat. Rambutnya masih terlihat kusut dan matanya pun masih sungkan untuk terbuka lebar. Soojung menggaruk kepalanya kaku akibat situasi canggung ini, lelaki itu juga melakukan hal yang sama. Seperti lagu Justin Timberlake, lelaki itu tampak bagaikan Mirrors—atau kaca—bagi Soojung. Bukan hanya karena mereka sedang memiliki ekspresi dan keadaan yang sama, tetapi juga karena wajah mereka yang hampir serupa.

Jung Daehyun—lelaki itu—mengalihkan pandangannya dari Soojung dan menatap sesuatu yang sedang digenggam gadis itu di tangan kirinya. Matanya langsung membulat. Menyadari kebodohan ekspresinya, setelah itu ia berdeham. “Kau dahulu,” ucapnya sambil melepas genggamannya di kenop pintu, mempersilahkan Soojung agar masuk ke kamar mandi.

Soojung yang sedikut bingung mengikuti arah pandang Daehyun, sedetik kemudian ia terbelak kaget dan langsung menyembunyikan benda di tangan kirinya itu dibalik punggungnya. Ia menggaruk rambutnya malu. Sangat malu.

Bagaimana tidak? Daehyun sudah jelas-jelas melihat barang kewanitaannya itu, sebuah plastik putih kecil yang berisi kain yang tampak seperti roti, atau biasa kita sebut… pembalut. Pantas saja ia mempersilahkan Soojung masuk ke kamar mandi terlebih dahulu. Ia tahu kalau Soojung harus segera menyelesaikan urusan wanitanya itu di pagi hari.

Daehyun hanya mengangguk singkat dan kembali ke kamarnya yang terletak di depan kamar Soojung sendiri, meninggalkan Soojung yang mengumpat pada dirinya sendiri supaya tidak mengekspos benda rahasianya lagi walau di depan lelaki itu, Jung Daehyun. Atau, ia bisa saja menyebutnya dengan… adiknya.

Adik yang tak pernah dipanggilnya ‘adik’. Adik yang tak pernah memanggilnya ‘kakak’.

Adik yang masih diperlakukannya dengan sangat kaku. Adik yang masih memperlakukannya dengan kaku juga.

****

“Soojung, Daehyun, kalian sarapan saja dulu. Ibu sedang membantu Ayah kalian mencari dokumennya yang hilang!” teriak seorang wanita berumur 40-an dari dalam kamar tidur sekitar 5 meter dari ruang makan itu.

Soojung mengangguk, walau ia tahu Ibunya tak bisa melihatnya dari dalam kamar milik orang tuanya itu. Tapi Soojung tak peduli karena Daehyun yang duduk di hadapannya—di meja makan—itu sudah mengiyakan perkataan Ibu.

Mereka pun menikmati masakan Ibunya itu dalam diam. Hanya terdengar suara dentingan sendok dan sumpit terhadap piring dan mangkuk di hadapan mereka masing-masing. Sesekali mereka saling bertatapan sebentar dan langsung mengalihkan tatapannya setelah berhasil tertangkap basah oleh lawan tatapnya.

Tahu-tahu mata Soojung berbinar ketika melihat satu-satunya sisa egg roll di piring kecil yang berada di dekatnya. Soojung pun segera menyumpitnya dengan semangat, namun di detik yang sama juga ada sepasang sumpit yang mengapit makanan itu. Soojung segera menatap Daehyun, siapa lagi pemilik sumpit itu selain lelaki itu?

Mereka bertatapan, kali ini lebih lama dari sebelumnya.

“Umm, untukmu saja,” Soojung yang pertama sadar segera mengangkat egg roll itu dengan sumpitnya dan meletakkannya di atas mangkuk nasi milik Daehyun.

Daehyun hanya bisa terdiam selama beberapa saat. Soojung pun sadar kalau apa yang barusan dilakukannya itu terlalu aneh. Lalu ia menunduk sambil melanjutkan makanannya sendiri, walau tanpa minat.

“Te-terima kasih.” Terdengar ucapan Daehyun yang tampak ragu itu tak berapa lama kemudian. Soojung hanya mengangguk tanpa sekalipun menaikkan kepalanya.

Lagi-lagi suasana canggung itu datang, suasana yang sudah seperti makanan sehari-hari bagi mereka berdua selama tiga tahun belakangan.

****

Soojung menguap lebar setelah Guru Han keluar dari dalam kelas diikuti sorakan murid-murid kelas 2-3 karena telah melewatkan dua jam pelajaran Matematika dengan guru tersadis di SMA Kyunghee. Akhirnya, jam istirahat pun tiba. Soojung yang baru ingin melipat kedua tangannya di atas meja untuk tidur tiba-tiba terhalang oleh pekikan seseorang gadis yang duduk di depannya.

“Soojung-ah, sudah selesai PR Fisika?!” tanya gadis itu dengan suara melengking.

Soojung dengan malas mengeluarkan sebuah buku tulis dari dalam lacinya dan memberikannya pada gadis itu, “Aku tahu apa yang kau mau, Choi Jinri,”

Gadis yang bernama Jinri itu hanya menyengir lebar, “Kau sendiri kan tahu kalau—”

“Kalau kau tidak pandai dalam pelajaran Fisika,” lanjut Soojung malas karena ia sudah mendengar alasan itu berkali-kali jika Jinri meminjam PR Fisikanya, sampai ia hapal benar. “Lalu kau pikir aku ini salah satu murid olimpiade Fisika di sekolah ini?”

“Setidaknya… kau tahu cara mengerjakannya. Walaupun belum tentu benar?” kata Jinri sambil mengambil buku tulis Fisika itu dari tangan Soojung. Namun Soojung segera menahan bukunya.

“Masih bisa meledekku? Kalau begitu pinjam saja dengan orang lain,” ancam Soojung.

“Ah, maaf Soojung-ah. Sebenarnya aku tadi ingin mengatakan kalau kau itu pintar sekali, hanya saja bakatmu itu terpendam karena kau sangat malu untuk menunjukkannya pada orang-orang. Kau ini… sudah pintar, cantik lagi,” puji Jinri sambil mencubit pipi Soojung geram.

“Dasar!” Soojung menyingkirkan tangan Jinri dan benar-benar menyerahkan buku tulisnya pada gadis itu. Tanpa peduli dengan apa yang akan dilakukan teman seperjuangannya selama 2 tahun di SMA ini ia pun mengalihkan pandangannya ke suatu arah yang lebih baik dari gadis yang masih saja menyengir tidak karuan itu. Dan pandangannya terhenti pada lelaki yang duduk di barisan nomor dua dekat jendela pada sisi paling kiri kelas. Dari bangku Soojung yang berada di sisi paling kanan kelas barisan nomor tiga, Soojung bisa melihat lelaki itu sedang mengobrol sambil tertawa dengan teman-temannya. Ia tampak bahagia sekali. Soojung sendiri tak pernah merasakan hal seperti itu ketika bersama lelaki itu, baik di sekolah maupun… di rumah mereka.

“Baiklah, Jung Soojung. Mungkin ini juga sudah untuk keberapa kalinya aku bertanya ‘kenapa kau suka sekali memperhatikannya?’, benar kan?”

Soojung segera tersadar dan menatap Jinri—orang yang menanyakan pertanyaan tidak penting itu—dengan datar. “Sudah kubilang—”

“‘Sudah kubilang aku tidak melihatnya’. Kau akan membalas itu, kan?” potong Jinri seakan ia tahu segala sesuatu yang ada di kepala Soojung.

Soojung menghela napasnya kesal, “Terserahmu.”

“Hei,” Jinri mencondongkan badannya ke arah Soojung dan menaikkan alis matanya jahil, “Jangan-jangan… kau suka padanya, ya?”

“Apa?!”

Soojung menganga tak percaya. Ia tak tahu harus menjawab apa atas pertanyaan gila Jinri tadi selain meneriakkan satu kata itu.

“Ayolah, jujur saja. Aku ini temanmu. Masa kau tidak ingin bercerita? Hei, dengar-dengar ia setahun lebih muda dari kita. Aku tak tahu seleramu ternyata yang seperti itu,” ungkap Jinri.

Perlu waktu sepuluh detik bagi Soojung untuk mencerna seluruh perkataan tak waras temannya itu. Sampai akhirnya Soojung sadar akan suatu hal, ia pun menghela napasnya dan menatap Jinri dengan mata yang melotot. “Dengar baik-baik, Choi Jinri. Aku. Tidak. Suka. Padanya. Karena. Itu. Tidak. Mungkin!” jelasnya dengan penuh penekanan dan intonasi yang tinggi.

Jinri pun memundurkan kepalanya karena sepertinya temannya yang sedang PMS itu tidak bisa digoda lagi.

“Dan satu lagi, selesaikan saja PR-mu itu. Jangan berisik!” Soojung mendorong kening Jinri dengan telunjuknya, menyebabkan gadis itu semakin memundurkan kepalanya.

Tanpa banyak omong Jinri pun segera memutar balik posisi duduknya dan menyalin PR Fisika yang diabaikannya selama beberapa menit itu. Tampak ekspresi aku-akan-benar-benar-diam di wajahnya.

Soojung menggelengkan kepalanya setelah memastikan kalau Jinri telah tersibukkan oleh PR Fisika. Ya, memang benar sekali yang dikatakannya tadi. Benar-benar tidak mungkin ia menyukai lelaki itu.

Pikirkan saja, mana mungkin ia menyukai adiknya sendiri?

Ya, lelaki itu adalah adiknya. Adik yang setahun lebih muda darinya. Adik yang masih berhubungan kaku dengannya. Jung Daehyun.

Dan, guess what? Tidak ada satupun murid SMA Kyunghee yang tahu kalau seorang Jung Soojung dan Jung Daehyun itu adalah saudara kandung. Termasuk Jinri sendiri, teman terdekat Soojung saat ini. Termasuk juga kedua teman dekat Daehyun—si kulit gelap Kim Jongin dan si kulit mulus Lee Sungjong—yang sampai sekarang masih mengobrol asyik dengannya di ujung sana.

Bagaimana bisa identitas mereka itu tidak diketahui? Oke, cerita itu cukup panjang dan memusingkan.

Ingatan Soojung pun kembali ke masa-masa itu.

Pada saat itu, saat Soojung masih kecil, hanya Ibunyalah anggota keluarga yang dimiliknya. Hingga sehari setelah masuk taman kanak-kanak Soojung yang bingung bertanya pada Ibunya mengapa ia tak punya seorang Ayah. Ibu yang sudah mengira akan datang hari dimama Soojung akan menanyakan hal itu pun menjawab, “Ayahmu berada jauh sekali dari sini. Kau harus menyebrang samudera yang luas kalau ingin melihatnya,”

Setelah itu Ibu mengatakan kalau suatu saat Soojung akan bertemu dengan Ayahnya. Entah kapan itu. Maka dari itu Soojung terus saja menunggu kapan saat itu tiba, tak peduli seberapa lama. Ia pun tak pernah menanyakan pada Ibunya lagi mengenai hal itu hingga hari itu datang.

Musim dingin empat tahun yang lalu, saat Soojung masih berada di bangku kelas 2 SMP, tiba-tiba saja Ibunya mengucapkan satu kalimat yang membuat jantung Soojung berdetak lebih cepat.

Ibu bertemu lagi dengan Ayahmu,” air mata ibu tumpah begitu saja setelah mengatakan kalimat itu. Ibu pun melanjutkan, “Ibu pun bertemu dengan Jung Daehyun. Ibu rindu sekali padanya, Soojung-ah…”

Awalnya Soojung mengira kalau nama yang disebut ibunya itu adalah nama Ayahnya karena kemungkinan itu besar. Tetapi…

Jung Daehyun, anakku… Jung Daehyun, adikmu…”

Detak jantung Soojung pun semakin berderu cepat dari sebelumnya ketika mendengar pernyataan Ibu itu. Badannya terasa begitu tak bertenaga. Soojung tak tahu kalau terlalu terkejut bisa membuatnya bagai kehilangan energi seperti itu. Ternyata Ayahnya yang ia tidak tahu siapa itu benar masih ada. Dan yang lebih tidak dipercayanya lagi… ia memiliki seorang adik? Mengapa Ibu tidak pernah memberitahunya kalau ia memiliki seorang saudara kandung di luar sana?

Tapi, ada satu hal yang ingin Soojung ketahui.

Ibu… sebenarnya apa yang terjadi?!

Ibu pun menjelaskan semuanya.

Saat itu keluarga Jung masih hidup bahagia layaknya keluarga normal, apalagi setelah kehadiran putri pertama mereka, Jung Soojung. Setelah empat bulan sejak kelahiran Soojung, tahu-tahu Nyonya Jung mendapati kalau dirinya hamil lagi. Tentu saja hal itu membuat Ayah dan Ibu Soojung bahagia karena sebentar lagi Soojung akan memiliki seorang adik.

Mungkin mereka mengira akan seperti itu. Tetapi satu tahun kemudian, sejak tiga bulan kelahiran adik Soojung, Tuan dan Nyonya Jung menjadi lebih sering bertengkar. Tuan Jung bekerja, begitu juga Nyonya Jung yang seorang wanita karir. Mereka terlalu frustasi karena harus membagi waktu antara bekerja di kantor hingga malam sampai mengurus anak-anak dan rumah. Dan empat bulan kemudian mereka pun merasa tak cocok lagi, lalu memutuskan untuk bercerai. Ayah membawa adiknya, Jung Daehyun, meninggalkan negara ini dan memulai kehidupan baru mereka di Texas, Amerika Serikat. Setelah itu tak ada lagi kabar dari mereka yang diketahui oleh Ibu.

Bercerai. Betapa Soojung membenci kata itu.

Hingga suatu hari di musim dingin itu tiba, ketika Ibu sedang berbelanja untuk mempersiapkan makan malam di supermarket dekat kantornya. Ia bertemu dengan sosok orang yang pernah melengkapi keluarganya dahulu. Orang yang sudah 13 tahun tak dijumpainya.

Jung Ilsung, mantan suaminya. Pandangan mereka yang bertemu membuat Ibu Soojung semakin tak mempercayai pemandangan yang ada di depan matanya. Belum lagi Jung Ilsung sedang bergandengan tangan dengan seorang remaja lelaki tampan yang sedang menatap kedua orang itu bingung. Saat itu juga Ibu Soojung langsung meyakini kalau ia adalah Jung Daehyun, anak laki-lakinya.

Sebenarnya… sampai sekarang ibu masih sangat cinta dengan Ayahmu, nak.

Kalau Ibu masih cinta dengannya kenapa harus ada perceraian?!”

Ibu tak tahan lagi dengan sifatnya yang egois saat itu, Soojung-ah!

Hening.

Soojung, apa kau setuju kalau Ibu dan Ayah rujuk kembali?

Soojung langsung membelakkan matanya.

Setelah kejadian di supermarket itu Ibu dan Ayahmu memutuskan untuk bertukar nomor ponsel. Ia bercerita kalau ia kembali dipindahkan ke Korea Selatan empat bulan yang lalu setelah sebelumnya bekerja di Texas. Dan kemarin… tiba-tiba saja Ayahmu mengatakan kalau ia masih cinta dengan Ibu dan ia sangat merindukanmu. Ia ingin keluarga kita kembali lagi seperti dahulu, 13 tahun yang lalu.

Ibu dan Ayahnya rujuk kembali? Mengetahui kenyataan kalau Ayahnya masih ada saja membuatnya tak percaya. Belum lagi kenyataan kalau ternyata ia memiliki adik kandung dan Ayah dan Ibunya telah bercerai. Jelas saja ia memang pernah mengalami rasanya memiliki Ayah dan adik, tetapi saat itu ia bahkan belum berumur dua tahun. Ingatannya tak sekuat itu. Seakan semua itu belum cukup, Ibu pun membuat dirinya semakin dibingungkan oleh kenyataan yang baru.

Seharusnya hal itu membuatnya bahagia. Bukankah ia sangat ingin bertemu dengan Ayahnya? Bukankah ia penasaran dengan sosok Jung Daehyun itu? Sungguh, hal itu membuat Soojung semakin bimbang.

Tetapi ini mungkin demi kebahagiaan Ibunya dan mungkin juga kebahagiaan dirinya, Ayahnya, serta adiknya. Dan pada akhirnya Soojung pun menyetujui permintaan Ibu setelah berminggu-minggu menggantung jawaban itu.

Jelas saja Ibu sangat bahagia. Lalu, keesokan harinya akhirnya keluarga yang telah pecah itu pun kembali dipertemukan di sebuah restoran favorit Soojung. Soojung bisa melihat sosok tinggi Ayahnya. Soojung bisa melihat sosok tampan Jung Daehyun yang ternyata sangat mirip dengannya. Suasana itu sangat canggung. Hanya ada tatap-tatapan rindu dan menilai. Setelah keheningan itu berlangsung cukup lama, tiba-tiba tangisan Ibu Soojung pecah. Setelah itu sosok Jung Ilsung segera bergerak untuk memeluk istrinya dan kedua anaknya.

Ayah ingin kita bersatu kembali.

Ayah dan Ibu pun benar-benar rujuk kembali dan mereka kembali tiggal bersama sebulan kemudian. Soojung merasa sangat canggung dengan kehidupan barunya—oh, tidak, tetapi kehidupan lamanya yang kembali dijalaninya. Hal itu membuat Soojung jarang sekali berbicara dengan Ayah dan adiknya. Daehyun pun jarang sekali berbicara dengannya dan Ibu. Tetapi Ayah dan Ibu selalu berusaha agar mereka dapat berkomunikasi. Akhirnya, Soojung pun menjadi tak begitu canggung dengan Ayahnya dan Daehyun menjadi lebih sering berbicara dengan Ibunya.

Tetapi tidak untuk Soojung dan Daehyun. Hubungan di antara keduanya tidak begitu baik. Namun, bukan berarti mereka membenci satu sama lain, melainkan mereka hanya masih belum bisa menjadi lebih akrab. Belum lagi saat itu sekolah mereka berbeda.

Saat itu Soojung menduduki bangku kelas 3 SMP, begitu juga Daehyun. Soojung sedikit kaget sangat mengetahui adik yang setahun lebih muda darinya itu ternyata seangkatan dengannya. Lalu, Ayah berkata kalau perbedaan sistem pendidikan di Korea Selatan dan Amerika Serikatlah yang membuatnya menjadi seperti itu.

Soojung tidak memberitahu teman-temannya mengenai masalah keluarganya ini sejak setahun belakangan. Maka dari itu ia tidak pernah mengajak temannya bermain lagi ke rumah. Ia hanya belum bisa menerima bagaimana reaksi teman-temannya nanti. Ia tidak tahu bagaimana dengan Daehyun, tetapi setahunya adiknya itu juga tidak pernah membawa temannya ke rumah.

Masa-masa SMP pun berakhir. Soojung sudah memilih SMA mana yang dipilihnya. Dan betapa terkejutnya ia ketika Ayah memasukkannya ke SMA yang sama dengan Daehyun. Belum lagi ternyata mereka satu kelas.

Apa yang terjadi jika teman-teman sekelasnya tahu? Apa mereka akan mengejek mereka yang ternyata saudara sedarah? Membayangkannya saja sudah membuat Soojung berpikiran kalau dirinya akan banyak dipermalukan. Berbagai cara dipikirkannya. Ia pun mendapatkan sebuah ide yang membuatnya harus berbicara langsung dengan adiknya.

Malam itu, Soojung berdiri di depan kamar Daehyun dengan ragu. Jarang sekali ia berbicara dengan adiknya. Bahkan mereka tak pernah berbicara lebih dari 10 menit.

Daehyun, apa menurutmu kita tidak perlu membuka identitas asli kita di sekolah?

Anggukan Daehyun yang menyatakan persetujuan itu membuat Soojung tak percaya. Daehyun pun menyatakan alasan yang sama seperti yang dipikirkan Soojung, kalau ia tak mau melihat reaksi teman-temannya bagaimana kalau tahu akan hal itu. Mereka pun bersepakat tanpa diketahui orang tua mereka. Keesokannya Soojung pergi ke kantor guru agar mereka dapat menutup identitas mereka yang sebenarnya. Guru-guru yang bingung tak bisa berkata apa-apa lagi setelah Soojung berkata, “Ini alasan pribadiku dan Daehyun.

Maka dari itu semuanya menjadi seperti ini. Mereka—kedua kakak adik itu—pergi dan pulang sekolah bersama namun mereka tidak pernah berjalan secara berdampingan, sehingga orang-orang tidak mudah curiga. Mereka juga menimba ilmu di dalam kelas yang sama selama kurang dari dua tahun ini. Tentu saja mereka menjalani semuanya tanpa tahu murid-murid SMA Kyunghee bahwa mereka itu bersuadara.

Maka dari itu juga Soojung selalu mencari beribu alasan untuk menolak jika Jinri ingin bermain ke rumahnya.

Entah sampai kapan hal ini akan terjadi. Namun Soojung hanya berharap semoga tak akan ada terjadi hal-hal buruk karenanya.

****

“Kalian sudah menyelesaikan PR, kan?”

Soojung dan Daehyun mengangguk. Mereka tahu maksud Ayah menanyakan hal itu. Pasti setelah makan malam ini Ayah akan mengajak mereka sekeluarga menonton acara televisi bersama, layaknya setiap keluarga pada umumnya.

Mereka pun menikmati hidangan makan malam buatan Nyonya Jung sambil mengobrol santai mengenai keadaan sekolah Soojung dan Daehyun. Sesekali juga terdengar candaan Ayah maupun Ibu. Hal ini memang sudah berlangsung baik selama beberapa tahun terakhir.

Namun tetap saja kedua kakak adik yang sedang duduk berhadapan itu masih tak banyak mengobrol. Seperti saat ini.

Daehyun tampak kesulitan untuk menggapai piring berisi Kimchi yang berada di dekat Soojung. Soojung tahu benar maksud dari gerak-gerik adiknya itu. Ada keinginan untuk membantu yang timbul dari dalam hatinya, tetapi tetap saja sebagian dari dirinya masih ragu untuk melakukannya atau tidak. Alhasil, Soojung hanya tetap terfokus pada makanannya, tapi tetap saja matanya tak bisa berhenti sesekali melirik adiknya yang masih saja kesusahan itu.

“Daehyun-ah, kenapa kau tidak minta tolong Soojung saja untuk memberikan Kimchi itu padamu, nak?” tanya Ibunya tiba-tiba.

Soojung menelan nasinya susah payah. Tiba-tiba ia merasa menyesal kenapa tidak membantu Daehyun sedari tadi. Ia melirik Daehyun yang ternyata juga sedang menatapnya dengan pandangan canggung, seperti biasa.

“Ayo, tunggu apa lagi?” sambung Ayah yang ternyata juga mengetahui keadaan yang terjadi.

“Y-ya,” ucap Daehyun sambil mengangguk pada Ayahnya. “Soojung, tolong ambilkan… Kimchi itu untukku,” pinta Daehyun dengan nada yang kaku.

“Ah… iya,” jawab Soojung tak kala canggungnya. Ia pun menyumpit Kimchi itu. Daehyun dengan segera menawarkan mangkuk nasinya dengan kedua tangannya sebelum Soojung meletakkan Kimchi di atasnya.

“Terima kasih, Soojung.”

Soojung mengangguk dan kembali melanjutkan makanannya dalam diam, tanpa melihat ke arah adiknya yang juga tak ingin menatapnya kembali. Sementara Ayah dan Ibu hanya memandang kedua anaknya kecewa.

Entah sampai kapan mereka terus bersikap seperti itu. Seakan-akan mereka bukanlah saudara kandung, melainkan orang asing.

****

Perpustakaan sekolah adalah salah satu tempat yang tepat untuk para murid yang menginginkan ketenangan. Baik untuk membaca, belajar, maupun hanya berpura-pura serius pada buku di tangan mereka padahal dibalik buku itu sendiri ia tertidur pulas. Bukan hanya itu, tempat ini juga bisa digunakan untuk mengerjakan tugas kelompok, seperti yang tengah dijalani ketiga orang murid kelas 2-3 di meja pojok dalam ruangan ini.

Ya, Jung Soojung, Jung Daehyun, fokuslah pada ringkasan yang sedang kalian kerjakan. Aku tahu jam tangan kalian itu mahal, tapi kalian juga tidak perlu meliriknya di setiap menit!” gerutu Jinri dengan volume suara yang sengaja dikecilkan.

Lima jam yang lalu, Guru Kim membagi kelompok untuk tugas mata pelajarannya—Biologi—dengan acak, tanpa memberikan kesempatan pada muridnya untuk memilih kelompok sendiri. Maka dari itulah Soojung, Jinri dan Daehyun berada disini untuk mengerjakan tugas itu bersama. Jinri duduk di samping Soojung dan Daehyun duduk di depan mereka.

Padahal Soojung sangat bahagia ketika tahu kalau Jinri berada di kelompok yang sama dengannya, hitung-hitung Jinri sangat pandai dalam bidang ini jadi ia bisa diandalkan. Tetapi ia langsung menelan kesenangannya bulat-bulat ketika Guru Kim juga menyebut nama Daehyun. Soojung tahu Guru Kim melakukannya bukan dengan tidak sengaja, karena beliau sendiri sudah tahu kalau mereka berdua bersaudara.

Kembali ke masalah jam tangan. Sekarang sudah pukul 17:47. Sedangkan pada pukul 6 sore nanti akan tayang acara televisi favorit Soojung, yang belakangan ini ia tahu kalau ternyata Daehyun juga menyukainya. Maka dari itu mereka seperti berperang dengan waktu untuk menyelesaikan tugas yang harus dikumpul esok pagi ini.

“Kalau ada sesuatu yang akan kalian kejar, kusarankan sebaiknya kalian tinggalkan saja kalau hal itu lebih baik daripada deretan kalimat-kalimat mutiara Guru Kim, atau kita sebut saja ceramah panjangnya,” ujar Jinri lagi sambil tetap menggerakkan bolpoinnya untuk menulis.

“Ah, sudahlah. Kurasa kita tidak akan keburu lagi, Daehyun-ah,” keluh Soojung tanpa sadar.

Akibat ucapan itu, Daehyun langsung menatap Soojung dengan pandangan apa-yang-barusan-kau-katakan sedangkan Jinri menatap Soojung sambil menaikkan alisnya.

“Kalian ada merancanakan sesuatu bersama? Apa itu?” tanya Jinri sambil tersenyum jahil pada Soojung dan Daehyun, “Date?”

Soojung pun sadar kalau ia hampir saja keceplosan, ia mengibaskan tangannya di udara sambil tertawa canggung, “Jelas saja bukan!

Jinri malah berdecak untuk menyangkal kata-kata Soojung, “Hei, aku sering melihat kalian masuk ke kelas bersama jika kalian baru datang. Aku juga sering melihat kalian pulang di waktu yang sama. Bus kalian sama juga. Semua serba sama. Jangan-jangan…” Jinri menatap Soojung dan Daehyun penuh selidik.

“Bukan begitu, Jinri!” sangkal Soojung cepat sebelum temannya mengatakan hal yang lebih mengerikan lagi. “Yang tadi itu maksudnya… hanya mengingatkan Daehyun kalau melewatkan ceramah Guru Kim mungkin akan lebih baik daripada melewatkan rencana kami yang mungkin tidak seberapa itu. Umm, rencanamu tidak terlalu penting, kan?” Soojung menatap Daehyun seakan mengatakan tolong-jawab-ya.

Daehyun mengangguk kaku, “Sepertinya… begitu,”

“Benarkah?” tanya Jinri yang masih tak percaya. Ia tersenyum jahil sambil mencolek dagu Soojung.

“Hei, giant baby, sebaiknya kau diam saja dan lanjutkan pekerjaanmu!” keluh Soojung dan untungnya Jinri segera kewalahan. Mereka pun kembali ke pekerjaannya masing-masing.

Mana mungkin aku kencan dengan adikku sendiri. Dasar Jinri gila. Oh, dia tidak gila. Dia hanya tidak tahu yang sebenarnya. batin Soojung.

“Jinah-ya, kau sudah selesai?”

Sontak mereka bertiga langsung menoleh pada suara itu. Tampak seorang lelaki yang bernama Baek Jinyoung—berdasarkan name tag-nya—sedang menghampiri seorang gadis yang duduk tak jauh dari mereka. Sepertinya gadis yang bernama Jinah itu juga seumuran dengan mereka bertiga. Soojung lumayan sering melihatnya di koridor kelas 2.

Oppa? Sudah selesai latihan sepak bola?” tanya Jinah sambil merapikan buku serta alat tulis di hadapannya. Ternyata lelaki yang tadi memanggilnya itu adalah senior mereka.

“Iya, kalau belum untuk apa aku berdiri disini?” canda Jinyoung sambil mengacak rambut Jinah.

Aren’t they a couple? They look cute and match together. batin Soojung.

Oppa tidak tahu basa-basi?!” gerutu Jinah sambil merengut dan memasukkan seluruh barang-barangnya ke dalam tas.

Aigoo… aku hanya bercanda. Ngomong-ngomong kau ini rajin sekali mengerjakan PR di sekolah. Adikku jadi semakin imut saja!” Jinyoung mencubit pipi Jinah geram.

Soojung menelan ludahnya. Ternyata mereka hanyalah kakak adik, bukanlah pasangan seperti yang diperkirakannya tadi.

Jinah dan Jinyoung segera beranjak dari tempat itu. Jinyoung membantu membawakan sebagian buku-buku milik Jinah yang tidak dimasukkannya ke dalam tas. Mereka pun berjalan dan Soojung bisa mendengar tawa mereka disela-sela obrolannya. Jinyoung merangkul pundak Jinah dan Jinah kelihatan manja sekali dengan kakaknya.

Berbicara soal kakak adik…

“Soojung, kau tahu? Aku harap aku dan kakakku juga seperti mereka,” kata Jinri tiba-tiba yang membuat Soojung maupun Daehyun menatapnya. “Tapi kenyatannya… Minho Oppa sering sekali beradu mulut denganku dan berakhir dengan pertengkaran,”

Yang dikatakan Jinri memang benar. Pernah sekali Soojung bermain di rumah Jinri dan mendapati ia dan Choi Minho–kakakknya–sedang kejar-kejaran untuk berebut sisa susu pisang di kulkas. Mereka seperti anak kecil saja. Padahal Jinri sudah SMA, dan Minho sendiri sudah kuliah.

Daehyun menghela napasnya, tahu-tahu ia berkata, “Walau di luar terlihat seperti duri tetapi hatinya bagaikan kapas, kan? Setidaknya yang seperti itu juga bisa dikatakan akrab. Dari pada tidak sama sekali?”

Soojung langsung menatap Daehyun dengan mata terbelak. Dari pada tidak sama sekali. Entah mengapa kata-kata itu seperti tertuju padanya. Mendengarnya membuat Soojung seakan tertampar. Sungguh tepat sasaran dan… menyakitkan. Soojung tak tahu hal seperti itu bisa membuat perasaannya seeperti ini. Daehyun pun tampak terkejut dengan ucapannya sendiri. Ia menggaruk tengkuknya sambil menatap Soojung bersalah.

“Hmm, benar juga,” Jinri mengangguk. “Minho Oppa… walaupun terkadang tak berperasaan tetapi nyatanya ia… baik sekali. Well, aku sedikit geli mengatakannya.”

Daehyun mengangguk untuk menanggapi ucapan Jinri. Padangan Daehyun kembali pada Soojung yang sepertinya tidak sekaget sebelumnya.

Soojung memang sudah kembali mengendalikan dirinya, maka dari itu ia segera kembali membaca buku di hadapannya walaupun tidak begitu serius. Kalaupun kata-kata Daehyun benar untuk hubungan persaudaraan mereka, Soojung tak bisa mengelak karena itu memang kenyataan.

Jinri berdeham, “Apakah kalian… berharap kalian memiliki saudara yang akrab dengan kalian?” tanya Jinri yang membuat Soojung dan Daehyun kembali bertatapan. Mereka terpaku. Jelas-jelas mereka tak tahu harus menjawab apa.

Tapi sesungguhnya… dari lubuk hati Soojung yang terdalam Soojung ingin sekali hubungannya dengan Daehyun bisa berjalan normal layaknya kakak-adik. Seperti Jinyoung dan Jinah, manis dan tidak sungkan untuk menunjukkan rasa saling perhatian mereka di depan semua orang. Atau seperti Jinri dan Minho, walaupun mereka saling bertengkar tetapi Soojung tahu kalau mereka saling menyayangi. Buktinya Minho pernah berlari hujan-hujanan di malam hari saking paniknya ketika mengetahui kalau Jinri terjebak di halte bus tanpa memegang uang sepeser pun setelah pergi menonton konser TVXQ. Belum lagi daerah itu begitu rawan penculikan.

Ia juga ingin menjadi seorang kakak yang setidaknya membuat Daehyun merasa… terlindungi.

“Hei? Ada apa dengan kalian?”

Lambaian tangan Jinri tiba-tiba menggantikan pemikirannya. Soojung pun segera terperanjat. Daehyun juga melakukan hal yang sama.

Pikiran macam apa tadi itu? batin Soojung.

“Kalian saling bertatapan dan seperti tenggelam dalam pemikiran masing-masing. Sebenarnya ada apa di antara kalian berdua?” tanya Jinri bingung. Ia sepertinya sangsi, seperti yang dialaminya beberapa menit yang lalu, saat menebak kalau Soojung dan Daehyun akan melakukan kencan.

Soojung dan Daehyun saling melirik dan segera menggeleng serempak. “Tidak ada apa-apa.” Jawab mereka bersamaan. Lalu, mereka kembali terfokus pada buku mereka dan membalik-balikan halamannya, juga secara bersamaan. Pemandangan aneh itu malah membuat Jinri menjadi semakin bingung. Namun tiba-tiba raut wajahnya berubah menjadi penasaran.

“Oh, ya, Soojung-ah, ngomong-ngomong aku sangat penasaran mengenai hal ini. Kau punya saudara, tidak, sih?” tanya Jinri.

Soojung terpaku di tempatnya. Pandangannya memang masih terpaku pada buku, tetapi pikirannya benar-benar tak mengarah ke sana. Diam-diam ia melirik Daehyun dan menemukan adiknya dalam keadaan yang sama sepertinya, tampak terdiam dan tak tahu harus bagaimana. Untuk pertama kalinya Jinri menanyakan hal yang tidak pernah diharapkan Soojung keluar dari mulut temannya itu. Soojung pun memutar otaknya untuk mencari alasan.

Akhirnya setelah beberapa detik berpikir ia pun menemukan jawaban yang tepat. Soojung mengangkat kepalanya untuk menatap Jinri dan menatap gadis itu sangar, “Kenapa kau malah mengajak ngobrol? Tidak sadar kalau hari sudah mulai gelap? Cepat selesaikan tugas ini!”

“Astaga!” Jinri menepuk keningnya, ”Kau benar! Aduh, tadi aku menulis sampai mana?” ujar Jinri panik sambil membolak-balik halaman bukunya, tanpa memedulikan jawaban Soojung yang masih menggantung.

Soojung mengehela napasnya dan kembali melirik Daehyun. Daehyun pun tampak lega karena Soojung telah berhasil mengalihkan pembicaraan.

Memang seharusnya aku mengalihkan pembicaraan. batin Soojung.

****

Sudah lima menit Daehyun berdiri di depan kamar Soojung. Sudah lima menit juga ia berperang dengan dirinya sendiri untuk melakukan ini atau tidak setelah ia memutuskan untuk melakukannya sepuluh menit yang lalu. Ah, ia memang benar-benar labil.

Kalau bukan karena laptop sialan itu, aku tidak akan melakukan ini. batin Daehyun.

Daehyun pun dengan yakin mengetuk pintu kamar Soojung.

“Masuk saja,” terdengar suara Soojung dari dalam kamarnya.

Daehyun membuka kenop pintu dan langsung disambut oleh harum kamar Soojung yang sudah dikenalnya itu. Ia memang sudah beberapa kali memasuki ruangan ini, tetapi tidak terlalu sering. Hanya jika ada beberapa keperluan yang mendesak saja. Contohnya seperti sekarang ini.

“Daehyun?” Soojung yang sedang bersantai dengan ponselnya di atas tempat tidur terlihat sedikit kaget karena yang ternyata dilihatnya adalah Daehyun. “Ada apa?”

Daehyun menggaruk tengkuknya, “Laptopku rusak. Umm, bolehkah aku pinjam komputermu? PR Bahasa Inggrisku belum selesai,” pinta Daehyun sambil menunjukkan buku Bahasa Inggris di tangannya.

“Oh,” Soojung mengangguk, “Tentu saja kau boleh memakainya. Silahkan.” Soojung menunjuk meja komputernya yang berada di depan tempat tidurnya.

Daehyun mengangguk singkat dan segera menyalakan komputer itu. Tidak ada yang perlu dicanggungkan disini. Ia hanya perlu menyelesaikan PR Bahasa Inggrisnya, berterima kasih pada Soojung dan segera beranjak dari tempat ini.

Ketika menunggu proses booting komputer selesai, Daehyun tak sengaja melirik sebuah bingkai foto yang berada di atas meja komputer. Foto itu menampilkan Ibunya dan Soojung ketika Soojung masih kecil. Masa dimana Ayah dan Daehyun telah berpisah dengan mereka, masa sebelum mereka kembali lagi seperti sekarang.

Daehyun tidak akan pernah melupakan betapa terkejutnya ia ketika Ayah mengajaknya kembali ke Korea setelah menetap cukup lama di Texas, bahkan ia sendiri sudah merasa kalau Amerika Serikat adalah negaranya, bukan Korea Selatan. Lalu, ia lebih dikejutkan lagi ketika mereka bertemu dengan Ibunya di supermarket itu setelah beberapa bulan kembali ke Korea. Ditambah lagi kenyataan bahwa ternyata ia memiliki seorang kakak. Ayah tak pernah memberitahunya tentang ini sebelumnya. Bahkan Ayah hanya diam saja jika Daehyun bertanya mengenai Ibunya saat masih di Texas.

Dan akhirnya Ayah rujuk kembali dengan Ibu. Ia pun bertemu dengan Ibu dan kakaknya, Jung Soojung. Ia tak tahu kalau ia memiliki kakak yang secantik Soojung, yang mirip dengannya. Kehidupannya benar-benar berubah setelah semua hal itu terjadi. Daehyun yang masih merasa asing tidak pernah memberitahu teman-teman SMP-nya mengenai keluarganya. Lalu kebimbangan mendatanginya saat ia beranjak SMA, ketika ia ditempatkan di SMA yang sama dengan Soojung. Dan ternyata mereka berada di kelas yang sama. Tanpa disangkanya, ternyata Soojung juga satu pemikiran dengannya. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk tidak membiarkan identitas asli mereka diketahui murid-murid SMA Kyunghee.

Tapi, apakah hal itu akan tetap tertutup rapat hingga mereka tamat SMA nanti?

“Soojung-ah, sampai kapan identitas asli kita ini ditutupi?”

Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Daehyun tanpa dipikirkannya terlebih dahulu. Daehyun pun menyesal. Mau tak mau ia menoleh ke belakang dan mendapati Soojung tengah menatapnya dengan tatapan kosong.

“Aku tidak tahu,” jawabnya datar. “Menurutmu?”

Daehyun menghela napasnya, “Aku juga tidak tahu.”

Dengan itu ia merapikan posisi duduknya kembali dan segera menyibukkan diri dengan tugas Bahasa Inggrisnya di komputer.

****

From: Ibu

“Soojung-ah, beritahu Daehyun kalau ia lupa membawa ponsel dan dompetnya. Ia juga belum sarapan tadi pagi. Kau bisa mengatasi semuanya, kan?

Soojung menghela napasnya setelah membaca pesan dari Ibu.

Tadi pagi Daehyun berangkat lebih awal karena ia ada sedikit urusan di sekolah, entah apa itu. Maka dari itu ia pergi terburu-buru hingga melupakan segala benda-benda penting yang seharusnya dibawa. Bahkan ia sampai lupa untuk sarapan.

Sebuah kotak bekal dikeluarkan Soojung dari dalam laci mejanya. Kotak itu berisi Kimbap buatan Ibunya saat sarapan tadi. Setelah mengetahui Daehyun pergi terlebih dahulu tanpa menyentuh Kimbap itu, Soojung segera mengambil kotak bekal dan meletakkan beberapa potong Kimbap itu ke dalamnya. Bukan untuk dirinya, melainkan untuk adiknya yang belum sarapan itu. Ia sendiri bingung mengapa tiba-tiba saja ia menjadi perhatian seperti ini. Tapi setelah dipikir-pikir ini bukan tindakan ubnormal, kan?

Soojung melirik Daehyun yang sedang tertidur di mejanya. Soojung tahu ia hanya pura-pura tidur karena sedari tadi ia tampak memegangi perutnya, sepertinya ia kelaparan. Belum lagi semua teman-temannya—termasuk Jinri—sudah berpergian keluar disaat jam istirahat seperti ini sehingga kelas tak menyisakan seorang pun kecuali Soojung dan Daehyun.

Karena tak tega lagi melihat Daehyun yang seperti itu, Soojung pun mengambil termos minumnya dan berjalan menuju meja Daehyun. Ketika ia duduk di bangku yang berada di depan meja adiknya—bangku milik Sungjong—ia meletakkan kotak bekal beserta termos di atas meja Daehyun.

Daehyun segera terbangun dan tampak kaget dengan kehadiran Soojung yang tiba-tiba itu. Ia mengucek matanya, “Apa yang kau lakukan, Soojung?” tanyanya bingung sambil menatap ke seluruh penjuru kela. Ia pun menghela napasnya lega setelah menyadari tak ada seorang pun di dalam kelas selain mereka berdua.

“Itu,” jawab Soojung santai sambil melirik kotak bekal dan termosnya.

Daehyun mengikuti arah mata Soojung, ia menaikkan alisnya, “Apa ini?”

“Kau lupa membawa ponsel dan dompetmu. Kau juga belum sarapan,” jelas Soojung mencoba untuk bersikap tak peduli.

Daehyun hanya bisa terpaku manatap Soojung, “Tapi… kau tidak perlu serepot ini. Aku… jadi tidak enak denganmu,” ucapnya dengan nada minta maaf.

Soojung tertawa canggung, “Ah, tidak apa-apa. Ini gratis, kau tidak perlu membayarnya.”

Tiba-tiba terdengar suara aneh yang berasal dari perut Daehyun. Soojung dan Daehyun saling bertatapan tanpa mengucapkan sepatah katapun. Sedetik kemudian Daehyun langsung tertunduk malu sambil mengelus perutnya.

Dengan susah payah Soojung menahan tawanya, maka dari itu ia pun berdecak, “Jadi kau menolak kebaikan orang lain?”

Daehyun mengangkat wajahnya dan menatap Soojung serta kotak bekal dan termos itu secara bergantian. “Aku…,” Daehyun mendekatkan kedua barang itu padanya dan membuka kotak bekal dengan hati-hati. Sebelum mengampit potongan Kimbap itu dengan sumpit yang juga telah tersedia, ia melirik Soojung sebentar, “Aku akan makan makanan ini dengan baik,” dengan itu ia memasukkan satu persatu potongan-potongan Kimbap itu ke dalam mulutnya. Ia mengunyah dan menelannya begitu cepat dan langsung memasukkan potongan lain seakan tak mau berhenti. Seperti orang yang sudah tak makan selama tiga hari saja.

Soojung terpaku melihat pemandangan itu. Adiknya memang banyak makan, tapi tak pernah sebelumnya ia melihat Daehyun serakus ini. Kalau sedang lapar, paling-paling ia hanya makan dengan lahap, tidak seperti cacing kepanasan seperti ini. Mungkin kadar kepalaran Daehyun saat ini sudah melebihi batasnya.

Tiba-tiba Daehyun tersedak. Soojung langsung membuka tutup termos dan memberikan termos itu padanya. Daehyun segera meneguk isi termos. Setelah itu ia kembali melanjutkan makannya dengan tetap terburu-buru seperti sebelumnya.

Sudut bibir Soojung terangkat. Lama kelamaan senyumannya itupun melebar. Melihat Daehyun seperti itu entah mengapa ikut membuatnya bahagia. Ia sendiri tidak tahu mengapa bisa.

“Makanlah dengan perlahan. Jangan terburu-buru, nanti kau tersedak lagi baru tahu.”

Daehyun yang mendengar suara lembut Soojung langsung menatapnya kaget. Tapi entah  kenapa Soojung tak ada merasakan rasa canggung yang biasa timbul ketika bersama Daehyun, jadi ia tetap tersenyum padanya. Daehyun masih terlihat kebingungan, namun sedetik kemudian sudut bibirnya pun ikut terangkat. Ia membalas senyuman Soojung walaupun sedikit canggung. Daehyun mengangguk dengan semangat dan melanjutkan makannya dengan perlahan.

Dasar, Jung Daehyun yang rakus.

****

Soojung berjalan ke meja komputer untuk mencari alat tulisnya. Lalu matanya tak sengaja menemukan selembar kertas asing yang terletak di samping mouse. Soojung mengambilnya dan membaca isi kertas itu.

“Formulir pendaftaran klub basket?”

Soojung mengernyitkan dahinya. Sejak kapan ia tertarik pada basket? Jelas ini bukan miliknya.

“Milik Daehyun?” gumamnya, teringat kalau kemarin adiknya itu meminjam komputernya lagi untuk mengerjakan tugas sekolah karena laptopnya masih diperbaiki. Mungkin saja ini miliknya.

Soojung mengangkat bahunya dan berjalan keluar dari kamarnya. Ia berdiri di depan pintu kamar Daehyun, ternyata pintunya sudah terbuka. Tanpa permisi terlebih dahulu, Soojung pun masuk ke kamar itu sesuka hatinya.

Daehyun ternyata sedang duduk membelakangi Soojung di ujung tempat tidur. Ia sedang berkutat dengan kamera DSLR Canon-nya. Daehyun memang tertarik dengan Fotografi.

Mengingat hal itu, Soojung pun menyapu pandangannya pada puluhan bingkai-bingkai berisi foto-foto pemandangan alam maupun buatan yang telah di abadikan oleh Daehyun di Canon-nya. Mulai dari patung Liberty yang diambilnya ketika ia masih di Amerika hingga Namsan Tower yang berada di Korea sendiri.

Dari dulu, jika memasuki kamar adiknya, Soojung memang sering terperangah atas karya-karyanya itu. Tetapi kesempatan itu tak sering datang karena ia jarang memasuki ruangan ini dan tak pernah menjamur begitu lama di dalamnya.

Omo!!”

Soojung terhentak ketika mendengar jeritan Daehyun yang disertai suara ‘buk!’. Mata Soojung membulat ketika dilihatnya Daehyun sudah terjatuh di lantai sambil mengelus bokongnya.

“Ya ampun, kenapa kau bisa terjatuh seperti ini?” tanya Soojung sambil menghampiri Daehyun dan mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri. Untung saja Canon-nya tidak kenapa-kenapa karena benda itu masih berada utuh di tangan Daehyun.

Daehyun menyambut tangan Soojung dan segera berdiri, “Aku kaget saat melihatmu tiba-tiba sudah berdiri disana. Tak ada tanda-tanda orang datang maka dari itu kukira kau ini… makhluk halus,” jelas Daehyun sambil menggaruk kepalanya.

“Umm, maaf…” Soojung yang malu hanya bisa tertawa miris, “Oh, iya. Ini punyamu, kan? Kurasa kau meninggalkannya di kamarku,” Soojung yang teringat dengan tujuannya datang kesini pun akhirnya menyerahkan kertas formulir dari tangannya.

Daehyun menatap kertas itu selidik, “Oh, iya. Ini milikku. Terima kasih.” Ia menerima kertas itu dan memukul kepalanya sendiri, “Masa yang seperti ini saja bisa tertinggal!” gumamnya pada diri sendiri.

“Kau… ingin masuk klub basket?” tanya Soojung dengan alis terangkat. Oh, ya, ngomong-ngomong ia penasaran juga dengan yang satu ini.

Daehyun tersenyum malu, “Begitulah,” jawabnya lalu ia menatap kertas itu lagi, entah apa maksudnya.

Soojung mengangguk paham. Setelah itu ia berpamitan dan segera meninggalkan ruangan itu.

****

Soojung duduk dengan tampang bosan di bangku kayu penonton di pinggir lapangan basket. Tadi Ibunya memberi pesan untuk mengunjungi rumah Paman Oh yang kaya raya di daerah Gangnam-do bersama Daehyun. Sepupunya yang merupakan anak Paman Oh baru saja pulang dari Inggris setelah menamatkan kuliahnya disana. Maka dari itu Soojung dan Daehyun diharapkan datang ke rumah mereka setelah pulang sekolah. Lagi pula Ayah dan Ibu memang  sudah terlebih dahulu berada disana.

Tetapi Daehyun meminta Soojung untuk menunggunya sebentar karena ia ada sedikit urusan. Katanya ia diminta menemui ketua klub basket usai pulang sekolah setelah menyerahkan formulir pendaftarannya saat istirahat tadi. Dan disinilah ia sekarang, menunggu urusan adiknya selesai.

Sekarang Daehyun sedang berbicara dengan ketua klub basket yang bernama Park Chanyeol itu di pinggir lapangan. Di sekitar mereka juga ada segerombolan senior klub basket lainnya. Soojung masih bisa mendengar percakapan mereka karena tak begitu jauh darinya.

“Oh, iya. Sebenarnya… aku memanggilmu hanya ingin melihat kemampuanmu saja,” ucap Chanyeol.

Daehyun menaikkan alisnya, “Bukankah aku sudah mengatakan pada Sunbae kalau aku tidak tahu apa-apa mengenai basket?”

“Ya. Tapi aku hanya ingin melihat apa yang kau ketahui saja,” Chanyeol menaikkan bahunya, “Katanya kau sempat tinggal di Amerika selama 13 tahun, kan? Masa kau tak tahu sedikitpun tentang basket? Kalau begitu, untuk apa kau ingin bergabung di klub ini?”

“Aku…” Daehyun menggigit bibir bawahnya, “Aku ingin belajar bermain basket, dan aku memulainya dari sini. Itu… itu alasanku.”

Chanyeol berdecak dan tersenyum mengejek, “Ya sudah. Yang jelas, kau harus menunjukkan apa yang kau tahu,” Chanyeol menunjuk ring yang berada di atas kepalanya. “Setidaknya kau bisa memasukkan bola ke dalam ring itu dari posisimu sekarang berdiri.”

Daehyun mendongak untuk menatap tiang itu, lalu pandangannya beralih ke tempatnya berdiri sekarang. Kira-kira jarak antara tiang dan posisinya sekitar 2,5 meter.

Chanyeol memungut bola basket yang berada dekat di kakinya dan menyerahkannya pada Daehyun. “Ini, coba kau masukkan.”

Daehyun menerima bola itu dengan tangan bergetar, “Ya, Sunbae,” ucapnya tak kalah ragu dari pandangannya sendiri pada bola itu.

Soojung memperhatikan gerak-gerik Daehyun. Ia tampak bingung dengan alis matanya yang berkerut itu.

“Ayo cepat, tunggu apalagi?” ucap Chanyeol dengan nada tak sabar.

Dasar senior tak berhati lembut. batin Soojung. Ia juga sudah menilai lelaki itu sejak tadi.

Daehyun pun segera melempar bola itu dengan gerak yang sengat kaku. Dan hasilnya… gagal. Bola malah menyundul bagian luar ring.

Daehyun belum menyerah. Ia pun melakukannya lagi. Tapi ia masih saja gagal. Lagi. Tetap gagal. Coba lagi. Gagal lagi. Begitu terus hingga sekarang adalah lemparannya yang ke dua puluh. Keringat bercucuran dari dahinya. Melihat itu Soojung tiba-tiba merasa kasihan padanya. Para senior-senior basket itu memang tak ada berkomentar, tetapi dari decakan, desahan, dengusan, senyuman mengejek, bahkan suara tawa yang ditahan mereka membuat Soojung tahu kalau mereka meremehkan Daehyun.

Sementara itu Daehyun tidak menyadari kalau dirinya sedang diremehkan. Ia tampak lelah setelah lemparannya yang ke-19. Ia pun menghela napasnya untuk menguatkan diri. Setelah itu ia melempar bola itu dengan raut wajah pasrah, mungkin ia benar-benar kehilangan tenaga. Dan… bola itu berputar di sekitar ring selama beberapa saat. Lalu, bola pun... terjatuh ke bawah. Daehyun mendesah berat sambil menunduk dalam. Memang terjatuh, tapi ke bagian luar ring, bukan bagian dalamnya.

Ya!” seru Chanyeol, yang membuat Daehyun mendongak kembali menatapnya dengan napas yang terengah-engah. “Sudah dua puluh kali kau melakukannya tapi tak ada satupun yang berhasil. Yang seperti ini saja kau tidak bisa. Payah sekali!”

Soojung membulatkan matanya ketika mendengar Chanyeol mengatai Daehyun seperti itu. Apakah seperti itu seharusnya tingkah senior kepada juniornya?

“M-maaf, Sunbae. A-aku sudah melakukan yang terbaik,” jawab Daehyun terbata.

Chanyeol tertawa mengejek dan beralih menatap para senior-senior klub basket lainnya yang berada di dekatnya. “Menurut kalian apakah yang seperti ini cocok masuk klub kita?” Chanyeol menatap Daehyun dari ujung kepala sampai ujung kaki, “Aku sampai tak percaya ia pernah tinggal lama di Amerika. Gayanya biasa saja, dan ia tak pandai bermain basket.”

Soojung menggepalkan jari-jarinya. Ia tak tega melihat Daehyun menggigit bibirnya sambil menunduk mendengar perkataan Chanyeol. Amarahnya naik ke ubun-ubun. Entah mengapa Soojung merasa sangat marah. Ingin sekali ia melempari Chanyeol dengan pot bunga atau apapun itu. Tetapi mengingat Chanyeol adalah seniornya di sekolah ini, ia mengubur niat itu lagi.

Tiba-tiba Chanyeol menjentikkan tangannya, seperti mendapatkan sebuah ide.

“Kalau kau benar-benar ingin, kau bisa saja diterima di klub ini, asal…” Chanyeol tersenyum jahil sambil menunjuk Daehyun dengan telunjuknya, “Asal kau mau menuruti apa yang kami—para senior-seniormu ini—perintahkan.”

Mata Daehyun membulat, “A-apa maksudnya, Sunbae?”

“Membawakan tas, membelikan minuman dan makanan, mengangkat perlengkapan untuk persiapan latihan basket, memijat badan kami yang pegal-pegal, membersihkan sampah-sampah yang kami biarkan di lapangan, memungut—“

“Diam kau!”

Daehyun menoleh cepat ke sumber suara itu dan betapa terkejutnya ia ketika mendapati Soojung sudah berdiri tak jauh dari tempat mereka berada.

“Siapa kau? Berani-beraninya menyuruhku diam?!” bentak Chanyeol. Ia menatap Soojung marah.

Soojung tersenyum sinis, “Sekarang aku tak peduli lagi kenapa aku bersikap seperti ini walau aku ini hanya adik kelasmu. Bahkan jika kau seorang Presiden sekalipun!”

“Apa? Jadi kau ini adik kelas? Kenapa berani sekali membentakku?!” papar Chanyeol lalu menggertakkan giginya.

Daehyun tak percaya dengan pemandangan di depannya. Ia tampak kebingungan sampai tak tahu harus berbuat apa. Ia semakin panik ketika melihat wajah Chanyeol yang memerah dan tatapan sinis senior-senior basket lainnya yang seakan menunjukkan bahwa mereka ingin menampar Soojung saat itu juga.

“Kau tanya kenapa?” Soojung mendengus, “Karena orang sepertimu, mau kedudukannya seperti apapun, sama sekali tak pantas untuk dihormati jika kelakuannya tak beradab seperti itu! Dia…” Soojung menunjuk Daehyun tanpa menoleh padanya, “Dia tidak bisa melakukannya makanya ia masuk klub ini untuk belajar. Tapi kau malah memperlakukannya seperti itu?!”

Ya!” bentak Chanyeol. Tapi Soojung masih menatapnya berani.

Chanyeol menggepalkan jari-jarinya hingga buku-buku jarinya memutih. Rahangnya pun tampak semakin mengeras. Soojung rasanya puas sekali melihat reaksi seniornya itu. Kini jelas-jelas Chanyeol sudah tidak bisa berkomentar lagi.

Soojung yang belum sempat melihat reaksi Daehyun pun segera menatapnya, “Kau masih ingin masuk ke klub ini?”

Daehyun melirik Chanyeol hati-hati. Chanyeol masih menatap Soojung dengan geram. Sebenarnya ia ingin sekali mengatakan ‘tidak’. Tapi ia tak jadi melakukannya mengingat bisa saja Chanyeol memukulnya setelah itu. Jadi, ia diam saja.

“Aku tahu jawabanmu apa. Jadi, ayo kita pergi dari sini.” Kata Soojung sambil menarik tangan Daehyun dan pergi meninggalkan gerombolan tim basket itu.

Tiba-tiba langkahnya terhenti, ia menoleh ke belakang untuk menatap Chanyeol yang masih diam menahan amarahnya di ujung sana, “Aku masih berbaik hati untuk tidak melaporkan hal ini pada Kepala Sekolah, asal kau…” Soojung melirik Daehyun sebentar sebelum mengatakan, “Asal kau meminta maaf padanya dan tidak mengganggunya lagi.”

Soojung tersenyum sinis dan benar-benar pergi meninggalkan tempat itu, tak lupa juga sambil menarik Daehyun dengan paksa.

Ia merasa yang dilakukannya ini benar. Ia juga merasa kalau inilah yang pantas dilakukan oleh sosok kakak terhadap adiknya, yang tiba-tiba di matanya tampak seperti seorang adik yang memang harus dilindungi.

****

“Terima kasih…atas yang tadi,” gumam Daehyun. Untuk pertama kalinya salah satu dari Daehyun maupun Soojung bersuara setelah kejadian di lapangan basket tadi. Sekarang mereka sedang duduk bersebelahan di dalam bus menuju rumah Paman Oh.

Soojung mengangkat bahunya, “Tidak masalah,” jawabnya.

Daehyun menghela napasnya. Susah sekali untuk memulai pembicaraan dengan kakaknya ini.

Dasar rasa canggung sialan. batin Daehyun.

“Tidak perlu takut kalau kau benar.” Kata Soojung yang membuat Daehyun segera menoleh padanya. Soojung balas menatap Daehyun, “Kalau ada apa-apa katakan saja padaku, oke?”

Daehyun mengangguk kaku. Ia merasa kalau Soojung adalah pahlawannya dalam masalah ini sedangkan ia hanyalah lelaki cupu yang lemah. Menyedihkan.

“Setahuku kau tertarik dengan fotografi. Mengapa malah mendaftar klub basket?”

Daehyun mengerjapkan matanya. Ternyata selama ini Soojung memperhatikannya juga. Lalu ia merasa bodoh karena tak kunjung menjawab pertanyaan Soojung. Ia pun menghela napasnya dan menerawang ke luar jendela bus, “Jujur, aku sendiri masih bingung ingin masuk ekstrakulikuler apa. Dan akhirnya aku memilih basket,”

“Kenapa?”

Kenapa? Haruskah ia mengatakannya? Tapi alasan ini terlalu bodoh untuk dikatakan.

“Kurasa… klub basket itu keren dan populer. Di dalamnya banyak laki-laki yang pintar olahraga, dibanggakan guru dan dikagumi murid-murid di sekolah. Aku tak pandai bermain basket, tetapi aku ingin mencobanya ketika mengetahui fakta tersebut.”

Soojung tak kunjung meresponnya. Daehyun pun menoleh dan mendapati kakaknya sedang menatapnya tak percaya.

“Jung Daehyun, kau ini benar-benar…” Soojung menggelengkan kepalanya kecewa, “Kau sadar, kan, bakat dan minatmu itu dimana? Lalu, mengapa kau memilih klub dengan ketua sialan itu hanya karena klub itu keren?!”

Daehyun menelan ludahnya. Baru kali ini Soojung membentaknya selama beberapa tahun terkahir. Sebenarnya ia juga sedikit merasa kaget. Soojung yang biasa jarang sekali berbicara padanya kini malah memarahinya.

“Maaf,” Soojung menghela napasnya, “Tapi, apakah kau tidak bisa melihat sisi lainnya? Sisi lain yang seperti… kau menyesuaikan bakat dan minatmu dengan kegiatan yang lebih cocok,” kata Soojung dengan nada yang lebih melunak.

Daehyun memiringkan kepalanya, “Misalnya?”

Soojung menerawang, tampak sedang berpikir. “Umm, jurnalistik?”

“Jurnalistik? Bukankah mereka hanya membuat berita? Membosankan,”

“Bukan! Setahuku mereka juga menerima orang yang memegang kamera,”

“Benarkah?”

“Ya, kau tahu Kim Namsoon dari kelas 2-1, kan? Ia dan teman-teman sesama jurnalistiknya pernah meliput klub voliku. Dan kalau tidak salah ia banyak memotret kegiatan kami dengan kamera seperti milikmu itu,”

“Astaga!” Daehyun bertepuk tangan satu kali, wajahnya berubah menjadi cerah seketika setelah sebelumnya seperti awan mendung, “Mengapa aku tidak kepikirkan? Lalu apa gunanya fotografer di setiap redaksi majalah maupun koran?! Ya ampun, terima kasih, Soojung-ah!” teriaknya histeris. Akibatnya seluruh mata penumpang bus mengarah padanya. Daehyun pun segera meminta maaf dengan penuh rasa malu.

Soojung menatap Daehyun sambil berdecak, “Selain rakus dan pelupa, ternyata kau ini tak punya malu juga, ya?”

Daehyun segera memelototi Soojung, “Tak punya malu? Apa katamu?!”

Soojung memutar bola matanya. “Apa?”

Daehyun tertawa mengejek, “Lalu yang tadi itu apa? Bertetiak kepada senior di depan teman-temannya? Apakah itu tidak lebih memalukan?”

Mata Soojung langsung menatap Daehyun tajam, “Jadi kau menyalahkanku?! Masih untung ada yang membantumu. Tahu begitu tadi aku membiarkanmu saja!”

“Tapi kau sudah terlanjur membantuku, kan?”

Ya, Jung Daehyun! Awas kau nanti. Kalau si Chanyeol sialan itu tiba-tiba datang menerkammu, aku tak akan sudi membantumu lagi!” ancam Soojung geram.

“Ya sudah. Call!” balas Daehyun santai sambil menatap ke luar jendela.

Ya!” Soojung segera menarik Daehyun dan menggelitiki perutnya. Ternyata Daehyun sangat sensitif sehingga ia menggeliat di bangkunya sambil tertawa geli. Semangat Soojung untuk menggelitiki Daehyun pun semakin membara bagaikan tentara yang akan turun ke medan perang.

Tunggu. Sejak kapan mereka bisa menjadi akrab seperti ini? Menyadari hal itu mereka pun segera mematung. Soojung langsung menarik tangannya dan pura-pura sibuk menatap ke arah lain. Tawa Daehyun juga terhenti. Dan tak ada yang bisa dilakukan Daehyun selain terpaku di tempatnya. Lagi-lagi hawa canggung itu datang setelah menghilang sebentar. Dengan gerakan kaku Daehyun pun kembali ke posisi duduknya yang semula.

Entah mengapa, tetapi Daehyun merasa banyak sekali kejadian aneh hari ini. Mulai dari kejadian Soojung yang memarahi Chanyeol karena telah membentak Daehyun, Soojung yang banyak memberinya nasihat dan arahan mengenai klub mana yang akan dimasukinya, hingga pertengkaran mereka tadi yang sebenarnya hanya bercanda saja. Tahu-tahu saja mereka banyak sekali mengobrol sore ini. Di dalam bus ini.

Setelah menyadari semuanya, tiba-tiba rasa canggung itu menghilang, digantikan oleh sensasi hangat yang muncul di hatinya. Ia begitu bahagia. Ia sendiri tidak tahu bagaimana mendeskripsikan rasa bahagia itu. Yang jelas, ketika ia melihat ke arah Soojung yang sedang melamun seperti sekarang ini, ia merasa kalau sosoknya tampak… berbeda.

Ia seperti seorang kakak yang tak rela adiknya dibentak oleh orang jahat. Seorang kakak yang membimbing adiknya agar tidak salah memilih sesuatu yang akan dilakukannya. Seorang kakak yang biasa selalu bersikap canggung saat bersamanya tiba-tiba saja menjadi hangat.

Sebelumnya, Daehyun tak pernah benar-benar melihat figur Soojung yang seperti itu. Tapi, saat ini… tiba-tiba ‘sosok’ itu  muncul dari dalam diri Soojung.

Sosok yang tak lain dikatakannya sebagai… sosok ‘kakak’.

****

Soojung sedang menghapal kata sambutan sebagai perwakilan siswa yang akan ditampilkannya pada acara pentas seni sekolah nanti malam. Ia benar-benar sial. Padahal ia tak ingin melakukan ini, tapi Shin Dongho sang ketua kelas memaksanya tanpa alasan yang jelas. Soojung pun tidak bisa menolaknya.

“Demikianlah kata sambutan ini. Lebih kurang saya mohon maaf. Terima kasih. Aaaah! Akhirnya aku menghapal semuanya! Sekarang—omo, siapa kau?!” Soojung yang tadinya bersorak riang langsung terkaget ketika melihat seseorang yang sudah muncul di dekat meja komputernya. Ia pun menghela napas lega setelah menyadari siapa orang itu, “Daehyun, kau rupanya.”

Daehyun meringis, “Maaf, aku masuk diam-diam. Aku hanya mau mengambil bukuku yang tertinggal,” ucapnya sambil mengambil sebuah buku di atas meja komputer.

Dua hari yang lalu mereka memutuskan untuk mengerjakan PR Matematika yang super sulit itu bersama di kamar Soojung. Pasti ia tak sengaja meninggalkan barangnya lagi disini. Lalu… entah mengapa belakangan ini Soojung merasa lebih dekat dengan Daehyun. Jarang sekali muncul suasana canggung seperti sebelum-sebelumnya. Terakhir kali rasa canggung itu muncul ketika Soojung dan Daehyun melakukan pertengkaran kecil setengah bercanda di dalam bus sewaktu itu. Sungguh, ia sendiri tak tahu mengapa mereka melakukannya saat itu.

Entahlah.

“Oh, ya, yang kemarin itu… selamat!” seru Soojung ketika teringat kejadian kemarin yang membahagiakan rangkap menakjubkan itu.

“Kemarin?” Daehyun mengernyitkan dahinya, “Oh! Iya, terima kasih. Sebenarnya… sampai sekarang aku masih tak percaya ia akan melakukannya.”

Kemarin, saat jam istirahat, tiba-tiba Chanyeol cs mendatangi kelasnya. Awalnya Soojung sedikit panik karena mengira Chanyeol benar-benar akan menerkam Daehyun, atau mungkin dirinya. Tetapi dugaanya salah, ternyata lelaki itu datang untuk meminta maaf pada Daehyun atas kejadian di lapangan basket itu. Ia sangat menyesal dan berbicara sangat sopan dengan Daehyun. Soojung tahu dibalik semua itu Chanyeol tidak ingin namanya dicoret sebagai ketua klub basket. Tapi ia sedikit salut dengannya. Pada akhirnya, ia masih punya niat untuk minta maaf, walaupun tak terlalu tulus.

Daehyun yang sangat baik hati itu pun memaafkannya. Lalu Chanyeol mengatakan kalau ia bersedia menerima Daehyun di klub basket tanpa memanfaatkannya atau menjadikannya pesuruh. Tetapi Daehyun menolaknya dengan halus dengan alasan ia sudah memasuki klub lain, yaitu Jurnalistik.

“Dan satu lagi, selamat karena sudah berhasil menjadi anggota klub jurnalistik!” ujar Soojung lagi.

“Ah, itu juga. Aku…” Daehyun menggigit bibir bawahnya, “Aku sangat berterima kasih padamu atas semua ini.”

Soojung mengangkat bahunya, “Thanks are nice but money is better.”

“Dasar mata duitan!” gerutu Daehyun. Tapi ia tahu Soojung hanya bercanda, jadi ia pun hanya tertawa. “Oh, ya. Kau sedang menghapal kata sambutan, kan? Maaf telah mengganggumu. Kalau begitu…” Daehyun menggepalkan tangannya ke udara “Fighting!”

Setelah menyemangati Soojung, Daehyun segera pergi meninggalkan kamarnya.

Sekarang, Soojung merasa sedikit mengantuk. Jam menunjukkan pukul 4 sore. Sedangkan acara pentas seni di sekolah baru akan mulai dua jam lagi. Mungkin ia bisa istirahat selama setengah jam sebelum mempersiapkan diri menuju acara itu.

Soojung berbaring di kasurnya sambil menutup matanya. Tak sampai satu menit ia sudah terlelap.

****

“Ya ampun! Kenapa aku tidur lama sekali?!”

Soojung meyisir rambutnya dengan kalang kabut. Tadi, saat ia bangun, jam sudah menunjukkan pukul 6 kurang lima belas menit. Mau tak mau ia melompat dari tempat tidurnya dan segera mengenakan dress putih yang memang telah disiapkannya. Rambut yang seharusnya dikepang itu pun hanya dibiarkan tergerai saja. Tak ada waktu untuk berdandan, asal tampilannya enak dilihat saja itu sudah cukup. Sekarang ia sedang berlari keluar kamar untuk mengambil flat shoes-nya.

“Ibu dan Daehyun sudah membangunkanmu berkali-kali. Tapi kau baru bangun satu jam kemudian. Itu salahmu sendiri. Untung saja Daehyun masih ingin menunggu untuk berangkat denganmu.”

Soojung tak peduli lagi dengan repetan Ibunya. Ia hanya terfokus pada rak sepatu yang masih belum menunjukkan tanda-tanda kalau di dalamnya terdapat sepatu yang diinginkannya. Padahal Daehyun juga ikut membantu.

Aish!” gerutu Soojung ketika tak kunjung menemukan flat shoes berwarna cokelat. Akhirnya ia mengambil converse biru tuanya dan memakainya dengan asal. Setelah menarik tangan Daehyun, ia pun segera bergegas menuju pintu.

“Ibu, kami pergi dulu!”

****

Soojung menghela napasnya. Ia sampai di aula sekolah pukul 6.15 menit, tepat ketika kata sambutan dari ketua OSIS selesai. Itu tandanya setelah ini adalah gilirannya.

Soojung berdiri di samping tangga menuju panggung. Ia yakin pasti Jinri sudah menghubunginya berkali-kali karena tak kunjung menampakkan batang hidungnga di tempat ini. Tapi Soojung sendiri baru ingat kalau ia tak membawa ponsel maupun dompet. Tadi ia sangat terburu-buru. Bahkan ia baru tahu kalau dress putih dan converse birunya ini sangat tidak matching ketika berada di dalam bus menuju sekolahnya. Itupun karena Daehyun yang mengatakannya.

Soojung menunduk dan mendapati tali sepatunya sudah tak terikat, mungkin karena tersandung ini itu saat ia berlari dari halte bus menuju sekolah? Bodoh. Peduli apa dia? Tak ada lagi waktu untuk membenarkannya.

“Sekarang mari kita dengarkan kata sambutan oleh perwakilan murid SMA Kyunghee yaitu Jung Soojung dari kelas 2-3. Kepada Jung Soojung, silahkan naik ke atas panggung.” Sahut Pak Sunyoung, sang MC. Sunyoung pun segera turun dari panggung.

Jalani saja. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. batin Soojung. Ia pun menarik napas secara perlahan dan membuangnya. Setelah cukup tenang, ia menaiki anak tangga dan berjalan dengan yakin.

Dari ujung panggung Soojung bisa melihat tatapan lega Jinri yang duduk di barisan nomor dua. Pasti sebelumnya ia memasang tampang super panik yang tak mau dibayangkan oleh Soojung itu saking menggelikannya. Lalu, di barisan nomor empat terdapat Daehyun yang sedang tersenyum menyemangati. Melihat itu Soojung jadi benar-benar semangat.

Soojung tambah percaya diri. Ia pun berjalan lebih cepat dari biasanya. Tepat ketika ia sudah berada dua meter dari podium, tiba-tiba ada sesuatu yang dipijak oleh kaki kanannya. Yang mengherankan hal itu membuat kaki kirinya tertahan dan detik berikutnya… buk! Ia terjatuh terlungkup di atas panggung.

Semua terjadi begitu cepat. Secepat suasana riuh di aula mendadak menjadi diam tanpa suara.

Ternyata tadi ia tak sengaja menginjak tali sepatunya. Dan, astaga! Lutut Soojung terasa begitu nyeri. Sial, pasti karena terbentur oleh lantai kayu podium yang bertekstur kasar ini. Dan… ia juga bisa merasakan sikunya yang perih. Ketika ia melihat ke sisi kanan tangannya, ia langsung mendapati cairan merah kental yang melumuri sikunya. Darah. Sikunya berdarah karena tergesek lantai podium. Sial sekali!

Tapi, ia sadar kalah ini semua bukan apa-apa ketika menyadari suasana aula yang tadinya sepi itu kini berubah menjadi ramai kembali dikarenakan sorakan serta tawa dari murid-murid di bangku penonton. Sial! Mereka menertawainya keras sekali. Bahkan ada seseorang yang bersiul di bawah sana. Apa-apaan itu!

Lalu tiba-tiba Soojung tersadar bahwa ada hawa dingin yang menyelimuti daerah sekitar bagian belakang paha atasnya. Rasanya seperti… ia tak memakai apapun dia atasnya. Masa iya? Bukannya jelas-jelas tadi ia sudah memakai dress? Lalu… ini apa?

“Warna cokelat! Aku bisa melihat celana dalamnya warna cokelat! Hahahaha!”

Entah suara siapa itu, ia tak tak tahu karena posisinya yang masih menghadap lantai ini. Dan ia tak peduli. Tapi orang itu telah menyadarkannya bahwa… dress putih yang dikenakannya itu terangkat hingga menampilkan sebagian dari tubuhnya. Astaga! Sungguh memalukan!

Soojung tak kuasa menahan malu di antara kesakitan yang dirasakan di badannya. Ia pun mencoba untuk berdiri, tetapi dadanya terasa sangat sakit dan sesak. Untuk itu ia kembali jatuh terlungkup. Bahkan ia tak sudi untuk menoleh sedikitpun ke arah penonton. Ia tak sanggup melihat dirinya malu di depan umum.

Soojung tak menyerah. Berkali-kali ia melakukannya tapi nyeri di dadanya masih tak kunjung reda. Lalu ia mencoba hal lain, yaitu berusaha membenarkan lagi posisi dressnya agar pahanya tertutup. Tetapi tangan kanannya terlalu sakit dan tangan kirinya yang bergetar sendiri tak berhasil menutupinya. Akhirnya ia pun menyerah.

Tawa dan sorakan yang semakin riuh membuat air mata Soojung perlahan jatuh. Memang hanya beberapa orang saja yang melakukannya sementara sebagian dari mereka hanya menatap Soojung khawatir. Dari tadi pun Soojung sudah menekan dirinya sendiri untuk kuat dan tidak menangis karena ia akan bisa melewati semuanya. Ternyata ia tidak bisa. Ternyata ia lemah.

Dan yang bisa dilakukannya sekarang adalah berharap ada seseorang yang akan membantunya.

Tolong aku… tolong aku… tolong a

Saat itu juga ia merasakan ada sebuah tangan yang membenarkan posisi dressnya hingga menutupi pahanya. Mau tak mau tangan itu pun menyentuh sedikit bagian paha atasnya. Terdengar sedikit vulgar memang jika ara orang asing yang melakukannya. Tunggu. Siapa yang seenaknya menyentuh Soojung seperti itu?

Suasana tawa di aula langsung menjadi sepi kembali ketika tiba-tiba ada seseorang yang naik ke atas panggung untuk membantu Soojung dan menyentuh salah satu daerah rawan itu. Tapi kejadian itu tak berlangsung lama ketika seseorang berseru, “Hei, siapa dia? Mesum sekali!”

Dan suasana di aula itu pun kembali diramaikan oleh sekumpulan seruan ‘mesum’ untuk orang yang telah membenarkan dress Soojung.

Soojung tak sempat berpikir siapakah orang itu karena tahu-tahu badannya sekarang sudah terangkat sehingga ia berada dalam posisi duduk. Soojung segera menoleh pada orang yang sudah melakukan semua itu.

“Daehyun?”

Mata Soojung yang berlinang air mata itu membulat, tak sempat terpikir olehnya kalau kemungkinan orang itu akan datang membantunya adalah cukup besar.

Sedetik kemudian Jinri muncul di ujung tangga menuju panggung sambil menatap Soojung khawatir. Ia segera berlari menghampiri Soojung. “Astaga, Soojung-ah!”

Tahu-tahu Daehyun berlutut di depan Soojung sambil membelakanginya, “Soojung, naik kesini! Dan Jinri, kau bantu dia!” perintahnya.

Jinri yang awalnya heran langsung mengangguk, “Baik!”

Soojung yang rasanya ingin menguburkan dirinya ke dalam tanah saking malunya mau tak mau pun menuruti perintah Daehyun. Dengan susah payah serta menahan sakit ia berdiri dan naik ke punggung Daehyun, tentu saja Jinri membantunya. Setelah itu Daehyun berdiri tanpa merasa keberatan sedikitpun. Ternyata ia kuat juga mengangkat Soojung.

“Wah, lihat itu! Lagi-lagi ia mencari kesempatan dalam kesempitan. Apalagi yang diinginkannya setelah menyentuh gadis itu? Dasar lelaki mesum! Dan aku tak habis pikir kenapa gadis itu diam saja sejak tadi!”

Soojung bisa mendengar seruan yang satu itu di antara beberapa seruan-seruan yang lainnya. Ia tak bisa melihat bagaimana ekspresi wajah Daehyun. Tapi ia tahu adiknya itu sedang menahan amarahnya ketika Soojung melihat rahangnya yang mengeras. Soojung yang tiba-tiba ikut disalahkan hanya bisa mendesah pasrah.

Sementara Jinri yang berdiri di sampingnya pun tampak bingung. Ia seperti tak tahu harus berkomentar apa. Walau ia tak setuju dengan skinship yang dilakukan Daehyun dengan Soojung pun ia tak bisa menghentikan Daehyun saat itu. Mungkin karena Soojung memang sangat butuh bantuannya. Kalaupun Daehyun punya maksud yang tidak baik, mungkin Jinri bisa memarahinya nanti.

Soojung masih terisak itu hanya menggigit bibir bawahnya. Mereka hanya tidak tahu yang sebenarnya. Coba saja mereka tahu kalau Soojung dan Daehyun itu memiliki hubungan darah. Pasti Daehyun tak akan dibanjiri makian-makian tersebut.

Daehyun yang masih tetap diam pun berjalan diikuti oleh Jinri. Ia seperti tak peduli makian-makian yang mengatakannya mesum itu. Tapi…

Ya! Kau tak tahu malu, ya? Sudah banyak yang memakimu tapi kau masih diam saja? Kau tahu dengan begitu kau akan benar-benar disimpulkan sebagai orang mesum?!” seru seorang perempuan yang suaranya sangat melengking itu. Perkataannya itu mengundang seruan setuju dari beberapa orang.

Daehyun berhenti melangkah. Otomatis Jinri juga ikut berhenti. Soojung mengangkat alisnya ketika Daehyun berbalik dan berjalan ke podium. Ia berhenti tepat di depam mic. Ia menatap seluruh penonton dengan mata yang dipicingkan. Sontak seluruh orang-orang yang memakinya itu langsung berhenti bersuara.

Apa yang akan dilakukannya? batin Soojung.

“Tahu apa kalian mengatakanku mesum?”

Soojung terbelak mendengar ucapan Daehyun yang terdengar tajam sekali itu. Ia terdengar… sangat marah.

“Apa? Masih bertanya lagi? Kau sudah menyentuh salah satu bagian sensitifnya. Dan gadis itu juga tak bereaksi. Kalian ini saling memanfaatkan, ya?!” papar seorang gadis berambut panjang yang duduk di barisan pertama sambil melipat tangannya di depan dada.

Daehyun mendengus, “Meneriakkan ‘warna cokelat’ tapi malah tak membantunya? Lalu berteriak ‘mesum’ padahal tak tahu apa-apa? Sebenarnya yang lebih buruk itu aku atau kalian?”

Beberapa orang yang mengatainya mesum tadi pun segera terdiam.

“Dan kau…” Daehyun menatap tajam gadis berambut tajam tadi, “Kau tak bertanya mengapa aku tampak santai sekali saat melakukan hal yang kau bilang mesum tadi pada gadis ini?”

Gadis itu tampak heran dengan pertanyaan Daehyun, “Ke-kenapa?” tanyanya acuh tak acuh.

“Kenapa?” Daehyun menatap tajam seluruh penjuru aula. Ia pun tersenyum puas, lalu dengan yakin berkata, “Karena… ia adalah kakakku. Dan orang yang kalian katakan mesum ini… adalah adiknya.”

****

“Astaga!”

Daehyun menghela napasnya ketika Sungjong meneriakkan kata itu. Jongin yang berada di sampingnya hanya menatap Daehyun tak percaya. Mungkin butuh waktu yang cukup lama bagi mereka untuk mencerna ceritanya tadi.

Setelah kejadian di atas panggung tadi, Daehyun dan Jinri segera membawa Soojung ke ruang UKS yang tak jauh dari sana. Perawat UKS langsung memberikan perawatan pada Soojung. Sekarang, Soojung dan Jinri masih berada di dalam ruang UKS. Sementara Daehyun berada di depan pintu UKS dan seperti yang sudah diduganya, Jongin dan Sungjong langsung menghampirinya beberapa menit kemudian untuk meminta penjelasan tentang kejadian tadi. Mau tak mau Daehyun pun segera mengatakan semuanya. Bahwa mereka adalah saudara yang sempat terpisah lama. Bahwa mereka masih merasa canggung satu sama lain. Bahwa mereka masih belum siap jika orang-orang di sekolah tahu kalau mereka bersaudara. Ia menceritakan semuanya tanpa tersisa.

Jongin menggelengkan kepalanya tak habis pikir, “Jadi, inikah alasan kenapa kau tak pernah membiarkan kami bermain ke rumahmu dan mengetahui identitas keluargamu yang misterius itu? Pantas saja aku sering melihat kalian mengobrol diam-diam. Bukan hanya itu, kalian juga sering pergi dan pulang sekolah dengan bus yang sama. Wajah kalian pun mirip! Aneh sekali, tahu. Dan ternyata—“

“Pantas marga kalian sama-sama Jung!” potong Sungjong yang langsung terkena pukulan di kepala oleh Jongin.

“Bodoh!” pekik Jongin.

Sungjong mengelus kepalanya, “Sakit, tahu!”

Daehyun tak mempedulikan kedua temannya yang memang suka beradu mulut itu. Yang dipikirkannya sekarang adalah bagaimana keadaan Soojung di dalam sana. Apakah ia juga menjelaskan semuanya pada Jinri?

Tiba-tiba pintu UKS terbuka. Soojung muncul di balik pintu dan di sampingnya ada Jinri yang menuntunnya berjalan. Kedua lutut Soojung tampak membiru dan siku kanan yang tadinya berdarah kini sudah diperban. Mata Soojung pun terlihat bengkak, mungkin karena ia menangis tadi. Tali sepatunya yang tadinya lepas kini sudah terikat dengan baik.

“Daehyun-ah, sebaiknya kita pulang saja.” Pinta Soojung yang segera dibalas anggukan oleh Daehyun.

****

“Jongin bilang ketika kita keluar dari aula Guru Han langsung naik ke panggung untuk menenangkan kekagetan penonton atas ucapanku. Guru Han juga berkata kalau kita ini memang bersaudara, jadi tak ada lagi yang bisa diributkan. Setelah itu keadaan menjadi sedikit lebih tenang. Sepertinya mereka sudah memakluminya. Jadi, tak ada yang perlu dikhawatrikan.” Jelas Daehyun panjang lebar.

Sekarang mereka dalam perjalanan pulang. Soojung meminta agar mereka tidak usah naik bus dan hanya berjalan kaki saja. Tak masalah kalau itu akan membuatnya lelah. Ia hanya ingin mencari udara segar. Ia merasa kalau hari ini ia sial sekali. Untuk itu ia perlu menenangkan diri, mungkin dengan cara membiarkan udara malam menerpa wajahnya.

“Rasa sakit di badanku ini tak seberapa jika dibandingkan dengan… rasa malu yang kualami. Sungguh, lebih baik seluruh badanku terluka daripada harus menanggung rasa malu ini. Aku tak tahu bagaimana jadinya aku tadi kalau kau dan Jinri tak segera datang.” Soojung menggigit bibirnya karena ia tak mau menangis lagi kala mengingat kejadian memalukan tadi.

Tak ada balasan dari Daehyun. Tahu-tahu saja tangannya tergerak menyentuh punggung Soojung sambil mengelusnya lembut. Walau ia melakukannya sedikit kaku dan hanya berlangsung selama dua detik, tetapi yang seperti itu saja sudah membuat Soojung sedikit merasa lebih baik.

“Kau… mengatakannya pada Jinri?” tanya Daehyun hati-hati setelah keheningan yang cukup panjang.

Soojung mengangguk, “Aku mengatakan semuanya. Dari ketika kita lahir, kita terpisah, kita bertemu kembali, hingga… alasan kita menyembunyikan semua ini. Dan, kau tahu kan ekspresi bodohnya itu bagaimana? Ia langsung seperti itu setelah aku mengatakannya. Akhirnya pertanyaannya saat di perpustakaan waktu itu sudah terjawab.”

Tawa Daehyun tersembur. Ia tahu karena ia pernah melihat Jinri dengan ekspresi seperti itu. “Benarkah? Aku juga menceritakan semuanya pada Jongin dan Sungjong,”

Tiba-tiba ekspresi muka Daehyun langsung berubah serius. Terdengar helaan napasnya yang berat, “Maaf…”

Soojung menghentikan langkahnya dan menatap Daehyun dengan penuh tanda tanya, “Maaf kenapa?”

Daehyun pun ikut menghentikan langkahnya. Ia menatap Soojung menyesal. “Maaf karena telah membuka identitas asli kita di depan semua orang.”

Suasana hening pun kembali menyelimuti kedua saudara yang sedang berdiri di bawah lampu jalanan yang remang itu. Mereka saling bertatapan dalam diam. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.

Berita itu memang sudah tersebar. Dan tak ada cara lain untuk menarik berita itu kembali. Jadi, sepertinya mereka memang sudah harus menerima kenyataan ini. Apa sulitnya menerima ini semua? Mungkin begitu menurut Soojung.

“Kalau kupikir-pikir… memang sudah saatnya kita membuka rahasia ini.” Kata Soojung memecah keheningan itu.

Kalimat itu membuat Daehyun melihatnya tak percaya. “M-maksudmu?”

“Dari awal aku memang sudah berpikir kalau suatu saat rahasia ini akan terbongkar, bagaimanapun itu caranya,” jelas Soojung. “Kau tak pernah berpikir seperti itu?”

Daehyun mendesah panjang, “Pernah. Itulah yang terus kukhawatirkan selama dua tahun terakhir kita di SMA Kyunghee,”

Soojung tenggelam dalam lautan pikirannya. Haruskah ia mengatakan ini? Sepertinya…

“Lagi pula, apa untungnya kita terus-menerus menutupi semua ini?” Soojung berdecak tak percaya, “Jujur, aku baru menyadari hal ini sekarang, bahwa tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan kalau saja mereka tahu bahwa kita ini bersaudara,” ucapnya yakin sambil menatap Daehyun dalam.

Daehyun tersentak. Ia terdiam cukup lama hingga ia mengatakan, “Aku… aku juga baru menyadarinya,”

“Aku tahu Jinri, Jongin, Sungjong, teman-teman kita di kelas 2-3, serta seluruh murid SMA Kyunghee pasti akan memaklumi hal tadi dengan cepat. Kalau mereka bersikap berlebihan jika tahu kalau kita ini kakak beradik pun kurasa kehebohan itu tak akan berlangsung lama, kecuali mungkin untuk beberapa anak-anak yang hiperbola. Tapi, itu tidak masalah, kan?” jelas Soojung berharap Daehyun membenarkan pernyataannya.

Daehyun menatap Soojung sangsi, “Sepertinya begitu. Tapi… apa kau yakin?”

Soojung mengangguk mantap, “Yakin. Mereka sudah dewasa, kan? Lagi pula, untuk apa mereka sibuk mengurusi urusan keluarga kita? Mereka tidak berhak, kan? Jika saja mereka melakukannya, kenapa kita tidak mengingatkannya? Daehyun, kita ini kakak-beradik, kita ini keluarga. Aku kakakmu. Dan kau adikku. Mau kau terjun bebas dari Namsan Tower pun kau tidak akan bisa merubah kenyataan itu!” ucap Soojung dengan penuh penekanan.

Getaran di mata Daehyun menunjukkan kalau ia ingin berbicara namun mulutnya tak bisa. Perkataan Soojung benar. Untuk apa mereka menutupi kenyataan ini lagi? Mengapa mereka bodoh sekali selama ini?

Dengan hati yang sudah merelakan segalanya, Daehyun pun menghela napasnya, “Soojung, kurasa… kau benar.”

Soojung membulatkan matanya setelah Daehyun mengatakan hal itu, “Jadi… tak ada lagi yang perlu ditutupi, kan?” tanya Soojung dengan mata berbinar.

Daehyun mengangguk yakin sambil tersenyum lembut pada Soojung, “Ya. Tak ada lagi yang perlu ditutupi. Dan aku sudah siap dengan reaksi teman-teman saat masuk hari senin nanti.”

Mata Soojung berkaca-kaca. Sudut bibirnya terangkat, ia tak kuasa menahan rasa haru yang begitu menyenangkan di hatinya ini. Tapi, dibalik persetujuan Daehyun ada satu hal yang ingin diketahuinya, “Daehyun-ah, kenapa kau tiba-tiba seperti ini?”

Daehyun tersenyum simpul sampai matanya menyipit. Ia menunduk sebentar sebelum menatap Soojung kembali, “Karena…”

Soojung memiringkan kepalanya, menunggu kelanjutan kalimat Daehyun.

“Karena kau adalah kakakku.”

Hening.

“Aku akan berterus terang. Jujur, aku iri sekali ketika melihat saudara-saudara lainnya di luar sana. Contohnya mungkin sepasang kakak adik yang kita lihat di perpustakaan beberapa waktu yang lalu, Jinri dengan Oppa-nya, Jongin dengan Noona-nya dan Sungjong dengan adik laki-lakinya. Aku terus bertanya-tanya pada diriku sendiri, kapan aku dan kakakku bisa seperti mereka?” Daehyun berhenti berbicara sejenak untuk mengambil napas.

“Memang, kita telah terpisah jauh sebelum kita mengingat masa-masa dimana kita masih bersama. Saat itu kita masih kecil. Namun tetap saja, kita ini kakak-adik. Kita masih memiliki hubungan batin. Setidaknya walaupun sudah terpisah lama aku ingin sekali kita bisa menjalin hubungan dengan baik layaknya sepasang saudara. Tapi… aku selalu mempunyai pikiran kalau kau tak mau menerimaku. Apalagi mengingat kita selalu canggung satu sama lain

“Kita mengenakan topeng selama di sekolah, kita bukan kakak-adik di sekolah. Walaupun seperti itu kukira kita masih bisa lebih dekat lagi karena kita melepas topeng kita ketika di rumah. Tetapi nyatanya itu tidak terlalu membuahkan hasil.” Daehyun menggeleng lemah.

“Lalu, belakangan ini aku tersadar akan suatu hal. Saat kau membawakanku bekal ketika aku tak sarapan, saat kau membelaku di hadapan senior-senior, saat kau rela menghabiskan waktu luangmu di hari minggu hanya untuk membantuku mengerjakan PR Matematika, dan masih banyak hal-hal lain yang membuatku terharu. Aku benar-benar merasa kalau aku ini memiliki seorang kakak yang sangat perhatian denganku. Maka dari itu aku tak ingin melihatnya susah atau bersedih, seperti yang kau alami tadi. Rasanya benar-benar tak tega hingga aku ingin memukul siapapun itu yang menertawakanmu!” gerutu Daehyun sambil menghentakkan kakinya.

“Hingga… aku merasa kalau hubungan kita sebagai kakak adik ini sudah tidak sejauh yang terdahulu, tanpa kusadari sebelumnya. Lalu… aku simpulkan bahwa semua itu butuh proses. Termasuk juga dalam hal yang satu ini. Kurasa kita tak bisa langsung akrab tanpa melewati beberapa hal. Kita hanya butuh waktu dan keadaan yang mendukung.” Jelas Daehyun panjang lebar. Sedari tadi ia berbicara tanpa mengalihkan pandangannya dari Soojung, dari kakaknya.

“Dan untuk pertama kalinya…” ternyata deretan kalimat Daehyun tadi belum selesai. Daehyun menarik napasnya dan mengangguk yakin, “Untuk pertama kalinya aku bangga mengakui bahwa kau adalah kakakku.”

Soojung yang sedari tadi hanya diam dan menatap Daehyun dengan rasa haru pun langsung menariknya ke dalam pelukannya. Mata yang tadinya berkaca-kaca langsung menumpahkan linangan air mata di pipinya. Tak peduli dengan tubuh Daehyun yang hanya terpaku, Soojung semakin memeluk adiknya erat bersamaan dengan air mata bahagianya.

“Dan kau adalah… adikku.” Gumam Soojung. Tapi ia yakin Daehyun bisa mendengarnya. Sungguh, ia mengucapkannya sangat tulus.

Detik berikutnya Soojung merasakan tubuh Daehyun yang lebih rileks ketika bahunya yang tegang itu menurun. Daehyun pun membalas pelukan Soojung dengan sedikit kaku. Soojung tersenyum lebih lebar ketika akhirnya adiknya melakukan itu juga. Ia tahu Daehyun sedang tersenyum dibalik sana sambil mengelus punggungnya.

Mereka pun hanyut dalam hangatnya kasih sayang antara adik dan kakak. Suasana dan keadaan yang baru pertama kali mereka rasakan. Tak ada lagi kata canggung. Tak ada lagi percakapan kaku. Tak ada lagi perasaan yang membuat mereka tak nyaman satu sama lain. Hanya satu kata yang bisa mendeskripsikan perasaan mereka saat ini, yaitu… bahagia.

“Terima kasih… Noona.”

Dan untuk pertama kalinya Daehyun memanggil Soojung dengan sebutan itu, di hari yang bahagia ini.

Soojung meralat, ternyata hari ini bukanlah hari yang sepenuhnya sial.

 

 

 

The End

 

 

Akhirnyaaa selesai juga FF yang idenya datang tiba-tiba ini. Seperti biasa, yang tiba-tiba itu lebih jelas dan cepat siapnya. Hehehe. Oh iya, kalimat “Thanks are nice but money is better” itu aku dapetin dari novelnya kak Windhy Puspitadewi yang Let Go. I do love that novel. <3

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Moonjung
#1
Chapter 1: karya ini bagus! Saya pembaca dari Malaysia. Dan saya suka sekali dengan karya kamu! Kisahnya bagus dan saya dapat memahami perasaan yang mereka rasai.

:)
zeakyu #2
Chapter 1: awalnya aku kira bakal . ternyataaaa.. lebih keren dan mengharukan. aku sukaa. kakak adiknya nyat banget
jesicajang #3
Chapter 1: Oh my.. This is beautiful! Terharuu:')