My Perfect's Yeobo

My Perfect's Yeobo

     Hah, lelah sekali. Kualitas tidurku akhir-akhir ini menjadi lebih buruk dari biasanya. Terasa aneh ketika mendapati diri sendiri masih tertidur dalam posisi yang sama, biasanya aku akan terbangun saat posisi tidur berlawanan arah. Aku milirik jam beker berbentuk kepala Mickey yang ada disamping tempat tidur, sudah pukul sembilan pagi. Tumben sekali lelaki bodoh itu tidak memaksaku bangun dan menjerit minta makan seperti biasanya. Ah, aku baru ingat. Bukankah tadi malam kami bertengkar. Cih, mengingatnya benar-benar membuat emosiku semakin labil.

     Aku mengucek mata, masih mencoba mengembalikan kesadaran. Berjalan kedapur, mencari sesuatu untuk dimakan. Ah, perutku sakit sekali rasanya. Didalam kulkas hanya ada sayuran dan ikan mentah. Benar-benar tidak berselera. Aku memutuskan untuk mengambil botol air mineral. Dan mengedarkan pandang keseluruh ruangan untuk menemukan ‘si pembuka tutup botol’. Kemana perginya lelaki sial itu. Sudah ku bilang untuk membukakan tutup air mineral sebelum bepergian. Jangan bilang dia lupa kalau aku tidak bisa minum air berwarna selain susu.

     Drrrrt…Drrrrt…

     Aku meraih ponsel yang tergeletak manis diatas meja ruang tamu.

     “ANNA-ya…! HAN ANNA…! Aku merindukanmu. Kau dimana?

     Aku menjauhkan speaker ponsel beberapa senti. Ya ampun, gadis gila ini ternyata masih senang menjerit histeris setiap menyebut namaku. “Hei… Kau berniat membuat telingaku tuli,hah? Hentikan kebiasaan menjeritmu itu. Atau akan kujahit paksa mulut bawel mu itu!”

     Go Hyunae, teman kuliahku itu terpingkal mendengarnya, “Kau jahat sekali. Aku begini kan karena merindukanmu!

     “Merindukanku kau bilang? Kau yakin tidak membenciku?” umpatku kesal, “Ada apa kau menelpon? Kalau tidak penting lebih baik kau cari kegiatan lain yang lebih berguna.”

     “Wah, kau benar-benar tidak berubah. Oh, hari ini kau sibuk tidak? Bagaimana kalau kita bertemu dikampus? Aku tunggu diruang musik ya. Bye…

     Telpon diputus sepihak.

     Kegilaannya untuk memerintah orang lain benar-benar tidak bisa ditolong lagi. Sejak pertama kuliah hingga sekarang, tidak sedikit ia menyuruhku untuk melakukan hal-hal konyol bahkan tanpa berunding terlebih dahulu.

     Aku masuk kekamar mandi, membersihkan diri sebelum pergi kekampus yang sudah enam bulan belakangan tidak ku sambangi. Pergi keluar negeri dan mengambil cuti kuliah tanpa sepengetahuan Hyunae, aku yakin ia akan memakiku habis-habisan hari ini. Dan tentu saja, mengintrogasiku dengan suka cita. Ah, membosankan sekali.

     Lagi, untuk yang kesekian kalinya aku mengumpat kesal dikamar mandi karena kebiasaan buruk yang sulit dirubah, “Aiiish, Han Anna, kau bodoh sekali. Kenapa kau selalu melupakan handukmu?!”

 

     “Anna-ya…!”

     Aku baru saja melangkah masuk keruang musik, tapi gadis gila itu sudah kembali menjerit memanggil namaku. Memangnya jarak kami puluhan kilometer. Aku melihatnya duduk manis didepan piano yang biasa kami gunakan untuk berlatih. Melambai sembari menarik senyum padaku. Aku menghampirinya dengan berlari kecil.

     “Kenapa kau menyuruhku datang kemari?”

     Dia menggeleng, menatapku lekat, “Kenapa kau pergi tanpa mengatakan apapun padaku,hah?!” Hyunae memekik sambil mengacak rambutku dengan sebal. Aku tidak menepis atau membalasnya. Kebrutalannya, aku takut akan semakin parah.

     “Ada sesuatu yang harus ku urus!”

     “Lebih baik kau mengabariku sebelum menghilang. Kalau tidak, bisa ku pastikan kau akan kehilangan sahabat terbaik!”

     Sahabat terbaik dari mana. Kau tidak ingat selalu menindasku, bodoh.

     “Tolong, cepatlah urus kembali berkas cuti kuliahmu. Lalu kau ikut aku bergabung ke klub baru. O?”

     Sejak kapan anak ini belajar menggunakan kata ‘tolong’, yang bahkan lebih terasa seperti paksaan ditelingaku. Lagi, selalu saja menyuruhku melakukan apa yang diinginkannya. Gadis ini, bisakah aku membunuhnya saja, “Klub?”

     “Klub fotografi. Kau pasti menyukainya”

     “Ah, shireo![1]

     “Wae?[2]

     “Aku tidak tertarik dengan klub semacam itu”

     “Kau yakin? Kau pasti akan menyesal kalau tahu siapa ketuanya”

     Aku mengeryitkan kening, membiarkannya melanjutkan kata-kata yang bahkan tidak membuatku penasaran sama sekali.

     “Hyukjae, Kim Hyukjae sunbae[3]!” ia memekik nyaring dengan nada bahagia. Aaaauuh… kurasa gadis gila ini benar-benar membenciku.

     Oke, lelaki yang disebutnya itu memang tampan. Tapi lebih tampan mana dengan Junjin?

     Oh, tunggu dulu. Apa yang sedang kupikirkan? Kenapa aku jadi lebih peduli tentang ketampanan Junjin. Dari dulu hingga sekarang, tidak pernah sekalipun aku memperhatikan penampilan lelaki bermata sipit itu. Sungguh, lelaki itu bukan tipeku. Tapi mengingat aku sudah menikahinya… Ah, kurasa saat itu aku sudah gila.

     Mungkin saja ini adalah salah satu efek samping yang terjadi akibat kejadian di bandara waktu itu. Seingatku, Junjin memiliki mata sipit seperti orang tidur, tapi hari itu, ketika aku melihatnya berada tepat dibelakangku, mataku bisa menangkap sisi lain dari lelaki itu. Sisi yang mungkin saja akan membuatku terpesona suatu saat nanti. Ah, apa yang sedang ku pikirkan!

     Saat itu, saat kami dikafe. Mendengarnya memintaku menikahinya, bukan hal pertama kalinya untukku. Tapi setiap ia mengatakan hal yang sama, jantungku seakan menggedor paksa untuk keluar. Aku merasa seperti berhenti bernafas ketika mendengarnya berbicara dengan nada serius. Pertama kalinya dalam hidupku, aku benar-benar memikirkan setiap kata yang diucapkannya hari itu. Bertanggung jawab pada kedua orangtuaku, menjagaku, membiarkanku tetap dalam jarak pandangnya, apakah ia benar-benar menyukaiku? Aku ragu. Kami bahkan lebih sering berdebat dan bertengkar dari pada bersikap manis satu sama lain. Mana mungkin ia menyukaiku. Dan karena keraguan itu pula aku menolaknya berkali-kali. Seandainya hari itu ia tidak berbicara seserius itu, mungkin aku tidak akan berlari kerumahnya tengah malam seperti anak hilang. Membuatku harus mendengar makiannya karena terus membuat lelaki itu khawatir. Dan dengan bodohnya, memintanya untuk menikahiku. Tapi jangan pernah tanyakan kenapa akhirnya aku mau menikahinya, karena itu adalah sebuah rahasia yang sedikit sulit untuk dijelaskan.

     “Ya, ya, ya… Aku memang menyukai pria tampan. Tapi tidak untuk sekarang. Aku masih bingung apakah harus meneruskan kuliah atau tidak.”

     Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan pada Junjin. Antara malu dengan teman-teman sekelas yang sudah ngebut satu semester diatasku dan masalah biaya tentunya. Aku mengaku bekerja pada ibu karena paksaan Junjin padahal nyatanya aku tidak bekerja karena lelaki sok tangguh itu melarangku. Dan sekarang, bagaimana caranya aku menjelaskan situasi ini padanya. Memintanya membiayai kuliahku lagi? Memikirkannya saja membuatku malu. Bagaimanapun pernikahan kami bukan lah pernikahan dua insan pada umumnya. Aku tidak menyukainya dan ia tidak menyukaiku. Kami menikah tanpa dasar cinta. Alasanku menikahi Junjin? Ah, entahlah. Aku masih ragu untuk mengatakannya sekarang, dan alasan Junjin menikahiku? Kurasa karena ia ingin mengendalikan hidupku. Lelaki bodoh itu, kenapa mengingat namanya saja membuatku merasa bosan hidup.

     “Apakah masalah biaya?”

     “Tidak juga”

     “Lalu?”

     “Entahlah”

     Sulit sekali mendapat kepercayaan lelaki itu. Keluar rumah saja harus mendapat ijinnya terlebih dahulu. Pergi kekampus untuk belajar, apa mungkin ia mau melunakan hatinya sedikit. Setidaknya dengan begitu aku tidak bosan dirumah. Kecuali kalau ia memang memiliki sikap otoriter yang keterlaluan.

     “Oh, apa kau tahu, hari ini Suju akan tampil di music core. Bagaimana kalau kita pergi menonton?”

     Ah, benar juga. Lama sekali aku tidak melihat pangeran bermarga Choi itu menyanyi diatas panggung. Kapan terakhir kali aku melihatnya? Uhm… kurasa tiga bulan sebelum pernikahan.

     Apa yang harus ku katakan pada Junjin kalau tahu aku belum pulang saat ia sudah tiba dirumah. Lelaki itu pasti akan meneriakiku habis-habisan karena membuatnya khawatir. Ah, sejak kapan hidupku jadi berorientasi padanya. Menyesal sekali menikah denganya.

     “Sebentar.”

     Aku mengambil ponsel yang ada di sebelah kanan jaket, lalu mendial nomor 2 dengan cepat. Aku melirik Hyunae yang masih setia menungguku.

     Dengan bahasa Indonesia yang sangat fasih, aku menyapa Junjin yang ada diseberang sana, “Hei Jin, kau dimana?”

     “Tumben sekali memakai bahasa indonesia. Apa ada seseorang disampingmu?”

     “Iya. Kau sibuk? Kapan pulang?”

     Aku mencoba berbasa-basi. Masih memikirkan bagaimana caranya untuk mendapat ijin.

     “Lumayan. Mungkin jam Sembilan. Kenapa?”

     “Aku tidak ada kegiatan hari ini. Temanku mengajak pergi ke acara music core.”

     Aku bisa mendengar lelaki itu menghela nafas panjang, “Sudah kuduga, tidak mungkin kau akan menelponku dengan sukarela kalau tidak ada kepentingan khusus. Kenapa? Kau rindu ingin melihat pangeran Choi?”

     Tidak enak. Itulah kata pertama yang kupikirkan setelah mendengarnya mengatakan itu.

     “Hihi… sudah lama sekali.”

     “Dulu kau bilang menyukainya karna dia tampan. Sekarang aku bahkan lebih tampan darinya. Kenapa kau tidak menyukaiku?”

     Cih, sejak kapan penyakit narsisnya ini mulai kumat. Choi siwon jauh lebih memikat dari pada lelaki bermata sipit dan egois seperti dirimu, tuan Park!

     “Cih, tinggi sekali percaya dirimu. Kau bahkan lebih senang berdebat denganku dari pada berpikir untuk membuatku tidak lari meninggalkanmu, lalu apa yang harus ku sukai darimu? Aku bersumpah akan memberikan kepalaku untuk kau aniaya jika aku sampai menyukaimu!”

     “Pastikan kau tidak menyesal setelah mengatakannya, nona. Kau dimana?”

     “Dikampus.”

     “Biar aku jemput.”

     “Bukankah kau sedang sibuk?”

     “Tidak terlalu.”

     “Jadi kau ingin ikut kami?” Aku memandang Hyunae dengan bola mata membesar.

     “Tentu saja! Istriku melihat lelaki lain, bagaimana mungkin aku akan membiarkannya.”

     Lihatlah tingkahnya yang berlebihan itu, menyebalkan sekali. Kau pikir aku akan selingkuh seperti yang kau lakukan. Bertelpon-telponan sampai lupa waktu.

     Aku melirik Hyunae yang duduk disebelah, “Aku pergi dengan seorang teman.”

     “Tidak masalah. Kita bisa pergi bertiga.

     Bertiga? Yang benar saja. Aku jauh akan lebih menghargai kalau ia mengijinkanku pergi tanpa syarat. Junjin-ah, kau membosankan sekali!

     “Lebih baik kami pergi berdua saja. Kau sibuk saja.”

     “Tadi malam kau sudah membantahku. Tidak bisakah hari ini kau menurut apa kata suamimu, sayang-ku?”

     SAYANG? Manis sekali ia menyebutkannya. Sampai membuat bulu kudukku berdiri. Kata-kata itu, kenapa lebih terasa horor saat sampai ditelingaku.

 

     “Siapa yang kita tunggu?”

     “Ho?” tanyaku bodoh.

     Aiiish… kenapa aku tidak memikirkannya. Apa yang harus ku katakan pada Hyunae ketika melihat Junjin nanti. Memperkenalkannya sebagai suamiku? Heh, itu tidak masuk akal. Aku hanya seorang gadis berumur 25tahunan yang bahkan belum bisa menamatkan kuliah. Tapi sekarang justru sudah menjadi ibu rumah tangga. Memalukan sekali.

     “YAA! Han Anna!

     Lagi, teriakan bom bastisnya benar-benar mengusik. Belum sempat aku menjawab, mobil CRV putih sudah berhenti tepat didepan kami. Kaca mobil dibuka sedikit. Didalamnya, aku bisa melihat si sial Park Junjin sedang duduk dibelakang kemudi sembari menebar senyum terindahnya. Uweeek… mual sekali.

     “UWAAA… ANNA, bukankah itu Park Junjin?” jerit Hyunae histeris.

     Aku memandangnya heran, “Kalian sudah saling mengenal?”

     Aku curiga. Jangan-jangan gadis yang ditelpon itu adalah Hyunae. Tapi mana mungkin? Ah, entahlah.

     “Tentu saja. Bukan hanya aku, tapi seluruh orang di korea!”

     “Cih, memangnya dia artis!”

     Hyunae menghujamku dengan tatapan yang menyeramkan, “Dia memang artis, bodoh!”

     Artis? Siapa yang artis? Lelaki jelek itu? Dia hanya pegawai biasa. Wajahnya pun tidak terlalu tampan. Apa standar ketampanan dikorea sudah menurun?

     “Ayo naik!”

     “Kami?” Tanya Hyunae memastikan. Terlihat sekali ekspresi wajah gembira dari kedua matanya ketika Junjin bicara.

     Junjin mengangguk, “Bukankah kalian ingin menonton music core

     Junjin membukakan pintu tanpa turun dari mobilnya. Sedang Hyunae, dengan secepat kilat langsung masuk dan duduk dibangku depan tanpa menunggu komando kedua.

     Hei, gadis gila, itu kan kursiku. Berani sekali kau duduk disitu tanpa ijin. Sial sekali. Baru kali ini aku duduk dikursi belakang. Melihat Junjin menyetir ditemani gadis lain disampingnya. Benar-benar membuat perutku sakit.

     “Kau bahkan lebih tampan didunia nyata.”

     Ya, Junjin memang makhluk halus. Karena itu aku senang sekali memanggilnya dengan panggilan ‘Jin’. Dan… Gadis itu, bisakah berhenti membualkan hal yang tidak bermutu seperti itu. Dia tidak lebih tampan dari Choi Siwon, jadi lebih baik tutup mulutmu, ho?

     Aku melengos, “Choi siwon jauh lebih tampan!”

     “Kata siapa? Mereka sama tampannya”

     Hyunae menebar senyum terindahnya pada Junjin.

     “Cih! Tampan dari mana, dilihat dari namsan tower?” gerutuku sekenanya.

     “Kau sepertinya membenciku Han Anna-ssi”

     Tumben sakali memanggilku seperti itu. Gadis yang duduk disebelahnya tidak lebih cantik dariku, jadi tidak perlu jaga image untuk menyembunyikan status kita sebagai musuh, Park Junjin-ssi!

     “Oh, aku hampir lupa. Apakah yang kau telpon tadi Park Junjin? Kalian sudah lama saling mengenal?” pertanyaannya lebih terdengar ditujukan padaku.

     “Tidak terlalu, aku baru mengenalnya bulan lalu!” mulutku mulai mengeluarkan kata-kata ketus yang sulit untuk dikendalikan.

     Tidak tahu kenapa, emosiku jadi lebih labil sekarang.

     “Oh, syukurlah.”

     Junjin tertawa, “Apanya yang syukur?”

     Dengan wajah bodoh, Hyunae menyela, “Tidak apa-apa”

     Cih, mudah sekali jalan pikirannya. Kau menginginkan lelaki bodoh ini? Silahkan. Ambil saja. Kalau bisa, kita bertukar posisi saja sekalian. Dan rasakan penderitaanku karena memiliki suami dengan sikap otoriter yang tidak tertolong lagi.

     “Park Junjin-ssi, apakah kau memiliki kekasih?”

     “Yaa! Pertanyaan macam apa itu?” semprotku. Ah, kenapa mulut ini menyerocos tanpa berpikir. Memalukan sekali. Apa yang dipikirkan lelaki bodoh itu ketika melihat reaksiku tadi. Bisa turun gengsiku kalau ia berpikir aku sedang cemburu.

     Tunggu dulu, cemburu? Haha, ada apa denganmu. Apa yang kau pikirkan Han Anna, sadarlah. Kau tidak pernah menyukainya, dan dia pun pasti merasakan hal yang sama. Jadi tidak perlu memikirkan hal-hal yang tidak mungkin,oke?

     Aku bisa melihat Junjin melempar senyum sebelum menjawabnya, “Tidak ada”

     Benarkan. Tentu saja tidak ada. Mana mungkin ia menganggapku. Aku bahkan tidak berani berharap lelaki itu memandangku sebagai seorang wanita, bukan sebagai boneka yang harus selalu disimpan di rumah.

     Gadis itu, bahagia sekali dia mendengar jawaban membosankan seperti itu. Junjin sudah memiliki kekasih. Ia bahkan sering menelponnya hingga larut malam. Lelaki manapun pasti tidak akan mengatakan memiliki kekasih saat bersama wanita lain. Seperti itu saja tidak mengerti. Hyunae, kau bodoh sekali!

     “Tapi aku sudah menemukan belahan jiwa”

     Senyum Hyunae memudar. Rasakan!

     Belahan jiwa. Kata-katanya seperti sinetron saja. Hooooek…!

     Hyunae menatapku.

     “Untuk hal itu, aku tidak mengetahuinya. Sungguh!”

     Lagi, mulut sialku ini selalu mengucapkan hal-hal yang tidak masuk akal. Kenapa aku harus mengatakan itu. Seperti maling yang sedang tertangkap basah saja.

     “Apakah Anna orang yang kau maksud?”

     Aku terlonjak. Hei, apa yang dikatakannya. Itu memalukan sekali.

     Junjin tersenyum. “Mungkin saja”

     Konyol. Jawaban macam apa itu. Aku tidak mengharapkanmu mengatakan iya, tapi cobalah untuk tidak membuat orang lain penasaran.

     “Kalian memiliki hubungan?”

     “Yaa! Lebih baik kau tutup mulut atau aku akan menjahit mulutmu dengan sukarela!” tegurku dengan sedikit emosi. Gerah juga mendengarnya mengintrogasi kami.

     “Han Anna-ssi, apakah kita memiliki hubungan?”

     Gila. Kalian benar-benar gila.

     “Kau juga. Tutup mulutmu. Atau aku akan meloncat dari sini!” aku mengancam dengan nada serius.

     “Bagaimana ini, Anna tidak menganggapku.”ujar Junjin dengan nada manja. Menggelikan!

 

     Aku baru kembali dari supermarket ketika melihat sebuah mobil van berjalan mengiringi langkahku memasuki kawasan apartment. Dari jauh, aku bisa melihat Junjin turun dari mobil van dengan seorang pria berwajah tampan. Ah, aku bisa mengenalinya. Orang itu? Bukankah orang itu Lee Jaehee, bintang iklan air mineral yang biasa ku minum. Wah, tampan sekali dia.

     Aku merapikan rambut dan menepuk-nepuk ringan wajah, memastikan tidak ada hal-hal yang memalukan sedang bertengger disana. Membuat seulas senyum termanis yang kubisa lalu berlari-lari kecil menghampiri Junjin. Berharap Junjin mau mengenalkanku dengan pria tampan itu,hihi. “Junjin-ah…”

     “O… kau habis dari mana?”

     Aku menjawab Junjin dengan tersenyum lebar kearah Jaehee, “Dari Supermarket. Annyonghaseyo…”

     Jaehee membalas senyumku. “Annyonghaseyo”

     Ya Tuhan, kenapa ada makhluk setampan dia dimuka bumi ini. Apakah surga tidak sedang kehilangan malaikatnya sekarang? Aku takut pria tampan yang memiliki senyum menawan ini adalah seorang malaikat yang sedang tersesat bumi.

     “Siapa dia?”

     Aku melirik Junjin seklias, menunggu jawabannya sembari tersenyum.

     “Ah, dia tetanggaku.”

     Aku menghujam Junjin dengan tatapan membunuh. Tetangga kau bilang? Cih, mana ada tetangga semanis aku. Kenapa tidak bilang saja kalau aku istrinya. Apakah aku terlalu buruk untuk dikenalkan sebagai seorang istri? Jika memang begitu, kenapa tidak langsung mengatakan namaku. Han Anna. Namaku tidak terlalu buruk untuk disebutkan.

     Aku mengumpat kesal setibanya di apartment. Menghempaskan tubuh kesofa dengan kening berkerut. Tetanggaku? Lucu sekali!

     “Kau kenapa?”

     Aku menghujamnya dengan tatapan benci

    “Tidak usah pedulikan tetanggamu!” jawabku ketus.

     Junjin tertawa, “Kau kesal karena tadi?”

     “Tutup mulutmu!”

     “Yeobo~”

     Junjin menyerempet tubuhku, “Yaa! Kau mau mati,hah?”

     “Kau kasar sekali!”

     “Ini bahkan jauh lebih baik ketimbang aku menjambak rambut gondrongmu itu!”

     “Mianhae~”

     “Untuk apa? Aku hanya tetanggamu, jadi tidak perlu bermanja-manja seperti kucing gila!” makiku. Masih kesal memikirkan sikapnya tadi. Apa ia memang berniat menyembunyikanku dari semua orang.

     Aku berjalan masuk kekamar dan membanting pintu dengan tenaga ekstra.

 

***

     “Oppa?

     Sedang apa Taehoon oppa kemari? Bukankah ia seharusnya di Busan.

     “Masuklah.”

     Aku membuka pintu lebih lebar. Membiarkan wajah jawa yang mirip sekali denganku itu masuk. Mempersilahkannya duduk dan mengambilkan air minum.

     “Mana suamimu?”

     Aku memutar kapala. Mencari sosok Junjin yang baru beberapa menit yang lalu memakiku. Tentu saja karena alasan yang sepele. Lagi, aku melukai jempol kaki karena menginjak pecahan gelas yang tidak sengaja ku senggol.

     “Entahlah.”

     Taehoon oppa hanya manggut-manggut. Tanpa bertanya lebih lanjut.

     “Kau… ada apa dengan kakimu? Jalanmu seperi itik saja”

     “Aiiiish… Oppa!”

     Jalanku bahkan lebih memikat daripada itik.

     “Hyung? Tumben sekali datang berkunjung”

     Junjin keluar dari kamar. Berganti pakaian sepertinya.

     “Ah, itu. Aku ada urusan di Seoul. Kalian ingat orang yang ku kenalkan saat pernikahan kalian? Orang Amerika yang waktu itu…”

     Aku tidak merasa pernah melihat orang asing datang kepernikahan waktu itu.

     “Oh, yang waktu itu. Mr.Leonard?”

     “O… dia mengajakku untuk bekerja sama membuat perusahaan penerbitan di Indonesia. Bagaimana menurut kalian?”

     Aku menggaruk kepala, tidak tahu harus berkata apa.

     “Bagaimana dengan Hyunah dan istrimu, hyung?”

     “Kalau kalian tidak keberatan, aku akan menitipkan Hyunah dengan kalian beberapa hari selama kami keIndonesia.”

     “Ho? Berapa lama?” tanyaku ragu.

     “Hanya tiga hari. Kalian akan belajar banyak ketika merawat balita bersama. Siapa tahu Hyunah bisa memancing kehamilanmu.”

     Aku melengos. Hamil? Hah, mustahil. Aku bahkan tidak pernah membiarkan Junjin menyentuhku.

     Junjin tertawa, “Aku setuju!”

     “YAAAA!!!”

 

      Aku menyusun bantal dan meletakkan dua buah guling ditengah-tengah tempat tidur. Memastikan kalau lelaki bodoh itu tidak akan menyerang ketika aku terlelap. Ini semua karena Oppa, kenapa harus menginap disini ketika urusan di Seoul selesai. Kami bahkan tidak memiliki kamar lagi untuk menyambut tamu.

     Aku berbalik memunggungi Junjin yang masih terjaga. Ia masih sibuk membaca komik. Sudah berapa ratus ribu won yang ia habiskan untuk membeli 400komik ketika aku tidak ada. Ia bahkan sudah membeli rak khusus untuk menyimpan puluhan atau bahkan ratusan judul komik kesayangannya itu.

     “Ada apa?” tanyaku ketika merasakan sebuah sentuhan dipundak.

     “Kau sudah tidur?”

     “Bagaimana mungkin aku bisa cepat tidur dengan lampu menyala.”

     “Mau ku matikan?”

     “Lebih baik kau pikirkan dirimu sendiri! Cepat tidur dan jangan ganggu aku!”

     Junjin, ia tidak bisa tidur dalam gelap. Takut katanya. Takut kalau tiba-tiba ada seseorang yang mencekik lehernya sampai mati. Konyol sekali. Memang umurnya sudah berapa hingga takut pada hal yang kekanak-kanakan seperti itu. Diruangan seperti ini, hanya aku seorang lah yang berpotensi melakukan hal sekeji itu. Dan aku tidak akan melakukan hal itu hanya jika ia tidak menyentuh tubuhku. Bisa ku pastikan ia akan selamat hingga besok pagi.

     “Tapi bagaimana denganmu?”

     Aku berbalik. Menoleh kearahnya yang masih saja tidak berhenti bicara, “Jangan pikirkan aku. Aku bisa tidur lebih baik darimu!”

    “Baiklah. Kalau begitu… Selamat tidur.”

     “O…” balasku malas.

 

Note:


[1] Tidak mau!

[2] Kenapa?

[3] senior

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
layleb #1
Chapter 2: Lanjut thor, keren ceritanya