Blossom

Blossom

Rasa panas yang menusuk lehernya membuatnya sedikit pusing. Entahlah, rasanya aneh sekali akhir-akhir ini dia sering sekali merasakan sensasi yang sama, tetapi dalam intensitas yang berbeda tiap kali ini terjadi. Ia berusaha mendeham kecil, barangkali usahanya itu berhasil meringankan entah apapun yang tenggorokannya sedang alami. Ia cukup yakin yang ia alami ini bukanlah sekedar panas dalam biasa, karena itu ia sudah beberapa kali mencoba mencari tahu, membuka beberapa situs demi situs untuk mencoba mendapatkan jawaban yang ia inginkan. Banyak dari situs malah menampilkan jawaban yang konyol, tapi kali inipun, Yoohyeon masih mencoba mencari tahu lewat handphone miliknya.

"Kanker tenggorokan, konon." Yoohyeon mendecak kecil begitu melihat hasil yang ia lihat untuk kesekian kalinya. Dia memang merasa ini lebih parah dari panas dalam biasa, tapi tentu saja tidak sampai separah yang situs ini katakan. Kepalanya semakin merasa pusing, ini sangat tidak membantu apapun. Hari ini sedang tidak ada siapapun di rumah, ia tidak bisa meminta tolong pada siapapun. Dengan lunglai dia berusaha berjalan menuju kabinet obat yang ada di kamar mandi. Sesekali ia harus berpegangan pada sesuatu untuk menjaga keseimbangannya.

Sebenarnya, ada satu lagi penyakit yang ia dapat dari satu situs, pft, percayalah, itu lebih tidak masuk akal daripada punya kanker tenggorokan. Yah, setidaknya itulah yang Yoohyeon pikirkan sampai rasa panas yang ia rasakan semakin menjadi. Ia menyipitkan matanya begitu ia merasakan sesak di tenggorokannya. Sesuatu di tenggorokannya memaksa Yoohyeon untuk mendorongnya keluar. Ia segera menghampiri wastafel, mengurungkan niatnya untuk mengambil obat. Batuknya cukup keras, cukup keras untuk memuntahkan keluar sesuatu dari mulutnya. Napasnya tersenggal begitu berhasil mengeluarkan entah apapun yang dari tadi menyiksanya. Butuh waktu beberapa detik bagi Yoohyeon untuk memproses hal yang baru saja terjadi.

Yoohyeon menyeka mulutnya dengan punggung tangannya. Alisnya mengerut, matanya buru-buru melirik cermin yang ada di depannya. Bekas darah yang keluar dari mulutnya masih terlihat cukup jelas mengotori pakaiannya. Tidak, bukan darah merah yang membuatnya terkejut. Masih tanpa melepaskan pandangannya dari cermin, tangannya meraih kelopak bunga daffodil dengan noda merah yang menempel di bajunya.

Ternyata ini memang terjadi padanya.

...

Kini Yoohyeon sedang duduk mendengarkan penjelasan dari dokter yang berada di depannya. Entahlah, ia juga tidak yakin dengan keseluruhan penjelasan yang dokternya ucapkan sedari tadi. Setidaknya, ia fokusnya telah kembali saat dokter itu melayangkan pertanyaannya. "Apa anda tau siapa orangnya?"

Yoohyeon mengedipkan matanya. Tatapan Yoohyeon beralih menoleh pulpen yang ada di sampingnya. "Iya, dok." Mungkin. Kini otaknya malah memikirkan wajah dari orang yang dimaksud. Wajah yang hampir setiap hari ia temui, dan pada tiap harinya selalu menjadi alasannya untuk tersenyum. Bukannya ia tidak yakin dengan siapa orangnya, hanya saja, ia tidak yakin kalau ini akan jadi kabar baik bagi dirinya, bagi dia, dan bagi masa depan grupnya.

Dokter tersebut mendekat, mencondongkan tubuhnya dan menatap Yoohyeon lebih serius. "Ini Hanahaki disease. Saya menyarankan Anda untuk operasi jika memang mbaknya tidak yakin."

"Saya penyanyi, apa operasinya bakal mempengaruhi vokal saya, Dok?"

Tentu saja Yoohyeon sudah mengetahui efek samping lain dari operasi pengangkatan bunga di paru-parunya ini. Setidaknya, melalui fanfiksi yang ia baca, perasaannya, emosinya, dan rasa 'berbunga' ketika berinteraksi dengannya akan lenyap begitu saja.

"Mungkin beberapa waktu pasca operasi akan ada efek samping mudah merasa lelah, selain itu, kami akan usahakan tidak ada yang terjadi."

Operasi. Yoohyeon hanya terdiam. Kepalanya kini sedang memikirkan segala scenario yang mungkin terjadi. Tentu saja ia sudah mencoba mencari tahu tentang Hanahaki ini. Penyakit konyol yang ia ketahui melalui salah satu fanfiction koleksinya. Jujur saja, ia cukup tidak menyangka jika suatu saat dirinya akan mengalami hal ini secara langsung. Yah, walaupun dia sendiri sudah cukup sadar dengan petunjuk-petunjuk kecil dari reaksinya setiap kali Yoohyeon berinteraksi dengannya. Ia pikir, yang ia rasakan hanyalah sekedar rasa suka yang cepat atau lambat akan segera berlalu. Kelopak bunga daffodil yang kini tumbuh di paru-parunya berkata bahwa ia jatuh cinta padanya.

Tidak ada lagi perasaan berdebar begitu melihat senyumannya.

Tidak ada lagi hal yang ia rasakan saat mata antusiasnya memancar ketika ia bercerita tentang hal kecil yang terjadi.

Tidak ada lagi kehangatan yang ia rasakan ketika ia mendengarnya dengan lembut menenangkan Yoohyeon dari keresahannya.

Senyumannya yang hangat akan berubah menjadi senyuman biasa pada umumnya bagi Yoohyeon.

Semua tidak akan kembali sama, baik ketika Yoohyeon menyatakan perasaannya atau memilih untuk menjalani operasi tersebut. Tapi setidaknya, opsi kedua hanya akan sedikit menyakitinya saja, kan?

"Kalau suatu saat saya datang ke sini bersama para member, saya akan menjalani operasi tersebut, dok."

...


Sudah tiga minggu sejak Yoohyeon mendatangi dokter untuk konsultasi mengenai penyakitnya ini. Hanahaki terasa sangat asing baginya, terlebih, hanahaki bisa terbilang cukup langka. Hanahaki ini membuatnya tersadar, perasaannya ternyata memang sudah cukup akut. Ujung bibirnya yang terangkat hampir setiap saat, matanya yang menyipit ketika ia tertawa puas, pertanyaan kecil ketika latihan untuk memastikan Yoohyeon baik-baik saja. Terlalu banyak. Dan Yoohyeon tahu ini tidak baik untuknya. Semakin Yoohyeon menghabiskan waktunya terus berada di sekitarnya, matanya semakin mudah menangkap detail-detail kecil yang membuatnya berbunga. Ia benar-benar berbunga secara harfiah. Tak lama lagi, paru-parunya akan berbunga, secara harfiah, menumbuhkan bunga daffodil yang akan memenuhi tenggorokannya dan mencekik organ pernapasannya. Prosesnya panjang dan cukup menyakitkan. Kelopak bunga di dalam paru-parunya seiring waktu berlalu akan semakin banyak, memekarkan lebih banyak bunga yang pada akhirnya akan memenuhi pernapasannya dan harus dikeluarkan dengan paksa. Hingga suatu saat tiba masanya bunga-bunga indah itu akan benar-benar memenuhi paru-parunya, ia tidak akan sempat mengeluarkan bunganya. Daffodil itu akan segera mencekiknya dan membuatnya menarik napas tercekat sebelum akhirnya membunuhnya.

Bunga-bunga daffodil itu ada di paru-parunya karena suatu alasan. Unrequited love. Cinta bertepuk sebelah tangan ada karena memang presentase kemungkinan berbalas cukup kecil, dan Yoohyeon sadar betul akan hal itu. Terlalu banyak hal yang beresiko jika ia dengan egois berterus terang kepadanya mengenai hal ini; mengenai rasa suka yang ia pendam bersama dengan bunga yang terus tumbuh di dalamnya. Skenario terburuk dan yang kemungkinan terjadi adalah ia menolak dan membuat semuanya menjadi canggung. Hubungan antar member bagai pondasi kekuatan sebuah grup dan Yoohyeon tidak ingin menjadi batu yang meruntuhkan pondasi tersebut. Persahabatan dan karirnya menjadi resiko terberat yang tidak ingin ia ambil.

Selama 3 minggu belakangan, yang ia bisa lakukan adalah mencoba memperlambat prosesnya dengan berusaha sebisa mungkin menghindari interaksi apapun yang dapat membuatnya tersenyum. Pertemuan memang tidak dapat dihindari, karena itu ia seringkali menghabiskan waktu sendiri tanpa membernya. Sekeras apapun Yoohyeon mencobanya, tetap saja hal ini sedikit membuat membernya khawatir.

"Guys, ayo makan!" Teriak Sua sambil buru-buru membawa panci panas berisi Jjapaguri dengan porsi 7 orang yang baru saja ia siapkan. Dengan tergesa, ia asal menarik buku apapun yang ada di atas meja dan menaruh panci di atasnya. Tanpa perlu repot-repot menggunakan piring masing-masing, makan bersama dalam satu panci sudah menjadi kebiasaan mereka. Karena itu, makan malam adalah satu-satunya saat dimana Yoohyeon tidak bisa menghindari mereka.

Siyeon yang sedang asyik menonton TV di ruang tengah langsung buru-buru menghampiri meja makan tanpa mematikan TV. Satu persatu member yang lain pun keluar dari kamar masing-masing dan tersenyum begitu mencium aroma jjapaguri dengan daging sapi di atasnya.

"Assa!" Seru Siyeon sambil meraih sumpit yang tidak jauh darinya.

Jiu yang baru saja keluar dari kamar tertawa kecil melihat Siyeon, "Si, kalo mau makan cuci tangan dulu inget."

Siyeon hanya mengangguk kecil tanpa mengalihkan perhatiannya dari Jjapaguri di depannya. "Bohong tuh," Sua terkekeh sembari menempati kursi di samping Siyeon.

"Lagian cuma makan mie doang, toh pake sumpit ini kan?" Komentar Handong yang baru saja menempati tempat duduk di depan Sua.

Yoohyeon yang terakhir datang menempati satu-satunya kursi kosong yang ada di samping Sua. Ujung bibirnya refleks terangkat begitu ia melihat jjapaguri buatan Sua yang terlihat begitu menggoda. Makanan memang pereda mood terbaik baginya. "Oh, hai Yooh. Semangat banget nih keliatannya?" Goda Jiu yang duduk berhadapan dengannya. Member tertua itu mendapati Yoohyeon yang tersenyum antusias... setelah entah kapan terakhir kali ia melihatnya tersenyum. Atau mungkin berinteraksi dengannya.

"Yaiyalah, semangat. Makanan yang aku buat ya pasti enaklah." Potong Sua. "Nih, spesial aku sengaja tambahin daging buat Yooh. Lagi bukan masa promosi padahal, kok kurus kering begitu." Sua menggunakan sumpitnya untuk menunjuk daging sapi yang menjadi topping jjapaguri buatannya. Pipinya menghangat begitu ia merasakan interaksi yang jujur sangat ia rindukan. Setelah sikap buruknya pada mereka, perhatian para member tidak berkurang sedikitpun. Yoohyeon tidak bisa menahan senyumannya yang semakin cerah.

Lagi. Yoohyeon merasakan sensasi mengganjal yang tidak asing. Sesuatu yang berkali-kali ia rasakan dalam 3 minggu belakangan ini. Dia hanya bisa mengumpat pelan, berusaha untuk tidak mengindahkannya dengan menarik napas dalam-dalam. Dia benar-benar tidak bisa menikmati senyumannya dengan tenang, huh?

"Yooh, kenapa?" Jiu mendekatkan kepalanya, berusaha melihat Yoohyeon lebih dekat dengan tatapan khawatir. Yoohyeon mungkin bisa menahan rasa sakit di tenggorokannya setidaknya sampai ia selesai makan, tetapi ekspresi wajahnya tetap sama. Kalimat sang leader tadi membuat perhatian member lain jadi ikut tertuju pada Yoohyeon.

Sua memiringkan kepalanya, "seret? mau aku ambilin minum tah?"

Yoohyeon menggelengkan kepalanya pelan, ia berusaha tersenyum kecil, "enggak kok, gapapa." Mungkin jika ada cermin di situ, Yoohyeon akan sadar jika ekspresinya sekarang lebih terlihat meringis daripada tersenyum kecil. Tanpa menatap membernya pun, ia bisa menyadari perasaan khawatir yang tertulis jelas di ekspresi wajahnya.

Tidak, jangan menatapku seperti ini.

Dalam dua detik, rasa sesak itu semakin tidak tertahan. Persetan jika mereka semakin curiga, tapi yang Yoohyeon butuhkan sekarang adalah menjauh dari sini sekarang juga. Memuntahkan kelopak bunga di hadapan semua membernya sebuah mimpi buruk yang ia tidak inginkan untuk terjadi.

"A-aku agak nggak nafsu makan. Aku mau ke toilet dulu ya." Yoohyeon masih menyempatkan untuk tersenyum sebelum berbalik menuju toilet. Ia berusaha mengatur kecepatannya agar tidak terlihat terlalu mencurigakan, meskipun rasa sakitnya ini sebenarnya memaksa Yoohyeon untuk pergi secepat mungkin.

Member lain hanya bisa saling menatap. "Bukannya tadi kelihatannya kak Yoohyeon seneng banget pas liat jjapaguri, ya?" Tanya Gahyeon.

Dami yang menempati kursi tengah meja makan bangkit, "biar aku cek keadaannya."

Dami mengetuk pintu toilet pelan sebelum akhirnya mencoba membuka pintu tersebut. Tidak terkunci. Pintu itu perlahan menunjukkan sosok Yoohyeon yang dengan lemas berusaha menopang dirinya di wastafel. Napas Dami tercekat melihat sahabatnya yang kembali terbatuk, dan ia bisa merasakan bau amis darah berasal dari Yoohyeon.

Dami berusaha untuk tidak menunjukkan rasa paniknya, malah, ia dengan lembut mengusap punggung Yoohyeon yang masih tersenggal-senggal. Pupil Dami melebar. Ia baru menyadari sebuah kelopak bunga berlumuran darah yang ada di genggaman Yoohyeon.

Yoohyeon menoleh ke belakang, mendapati temannya ada di belakangnya. Dami memang tidak mengatakan apapun, tapi tatapannya yang dalam menunjukkan rasa khawatirnya. Dami membantu Yoohyeon membersihkan noda darah yang ada di wastafel dan juga sedikit percikan yang masih menempel.

"Sakit?" Dami akhirnya bersuara. Yoohyeon hanya mengangguk pelan, rasa mengganjal yang ada di tenggorokannya membuatnya harus mengeluarkan tenaga lebih untuk bersuara.

"Kamu harus ngomongin ini, nanti. Untuk sekarang, mau istirahat atau kembali makan, Yooh?"

Yoohyeon kembali menggeleng, mengisyaratkan penolakan pada pilihan kedua dan memilih untuk istirahat. Dia tidak ingin kembali dan membuat suasananya menjadi canggung, lebih tepatnya semakin canggung. Dia tidak bisa menemui member lain dengan kondisinya yang seperti ini.

Begitu keduanya keluar, Yoohyeon dan Dami mendapati yang lain masih menunggu keduanya. Dengan tatapan khawatir, para member seakan menuntut penjelasan dari salah satu dari mereka. Yoohyeon tidak berani menatap mereka dan berjalan pelan menuju kamarnya, sedangkan Dami menghampiri yang lainnya dengan senyuman kecil. "Dia cuma butuh istirahat, kok." Itu kalimat terakhir yang Yoohyeon dengar sebelum ia menutup pintu kamarnya rapat-rapat.

Yoohyeon bisa merasakan kalau makan malam ini berjalan hening dari dalam kamar. Ini salahnya karena telah membuat situasi menjadi secanggung ini. Baginya 30 menit berjalan sangat lambat hingga pintu kamarnya terketuk dan menunjukkan sosok Dami yang muncul dari balik pintu.

"Ayo ngobrol di kamarku."

Yoohyeon bangkit dari kasurnya dan mengikuti Dami dari belakang. Keduanya masuk ke kamar baru Dami yang ia tempati seorang diri. Yoohyeon tahu temannya ini cukup peka, ia tentu saja ingin bercerita di tempat yang lebih privat, hanya ada keduanya tanpa tiba-tiba terganggu dengan kedatangan teman sekamarnya, Sua.

Dami mengisyaratkan Yoohyeon untuk duduk di sampingnya dengan menepuk pelan kasurnya. "Kalo udah siap, ayo cerita."

Ada keheningan yang cukup lama di antara mereka berdua, tapi tidak terasa canggung atau apapun. Dami dengan sabar menunggu Yoohyeon untuk bersiap dan ia tahu Yoohyeon tengah memikirkan kata-kata yang pas untuk memulai semuanya. Rasanya terlalu banyak informasi yang harus diproses, awal dan akhir terasa terdistorsi di otak Yoohyeon sekarang. Yoohyeon memejamkan mata dan menghela napas panjang sebelum akhirnya mulai bercerita. "Itu namanya Hanahaki Disease."

Tentu saja, sebagai orang yang tidak terlalu suka membaca cerita fiksi, ini pertama kalinya bagi Dami mendengar nama itu. Dami masih terdiam membiarkan Yoohyeon untuk melanjutkan ceritanya.

"Intinya, aku suka sama seseorang, eh enggak deng, jatuh cinta sama seseorang dan jadilah bunga itu tumbuh di paru-paruku. Udah 3 minggu sejak pertama kali aku konsul ke dokter, dan aku dikasih pilihan untuk operasi aja."

"Pilihan lain selain operasi?"

"Uhm, orang itu harus suka balik sama aku. Aku sebenernya udah mempertimbangkan untuk operasi sih, sebenernya, cuma lagi nunggu waktu yang tepat aja karena waktu itu kita lagi masa promosi, kan."

"Dan kamu menyembunyikan Hana-batuk darah bunga itu dari kita semua selama 3 minggu? Bahkan selama promosi?" Nada pada kalimat terakhirnya terdengar sedikit meninggi, Dami tidak bisa menyembunyikan raut wajahnya semakin terlihat khawatir.

Yoohyeon yang sedari tadi hanya menatap kosong dinding di hadapannya memalingkan wajah, "aku nggak punya pilihan lain, lihat sendiri kan gimana canggungnya tadi pas makan malam? Gimana kalo member tau, apalagi kalo aku suka sama salah satu dari mereka?" Yoohyeon menghela napas panjang sebelum akhirnya memberanikan diri untuk menatap Dami,

"Aku nggak mau dia tau. Aku nggak mau ngeresikoin semuanya; persahabatan dan karir kita. Dreamcatcher masih punya jalan yang panjang. Dan lagi, aku cukup yakin kalau dia nggak punya perasaan yang sama terhadapku."

...


Dua minggu berlalu, itu artinya sudah lebih dari sebulan sejak ia pertama kali mengetahui tentang penyakitnya. Semakin lama minggu berlalu, semakin parah pula hanahaki ini menyiksanya. Yoohyeon juga menyempatkan diri untuk pergi menemui dokter satu kali setiap minggunya, tentu dengan bantuan Dami agar ia bisa membantu mencarikan alasan menghilangnya Yoohyeon dari asrama. Intensitas kunjungannya ke toilet di tengah-tengah waktu bersama dengan para member menjadi semakin sering. Yoohyeon menyadari mungkin tidak butuh waktu lama lagi sebelum daffodil yang ia keluarkan mekar secara sempurna. Setiap kelopak yang ia keluarkan terasa semakin menyakitkan.

Sudah hampir seminggu terakhir ini mereka tengah mempersiapkan untuk mengunggah special clip dengan cover baru mereka sebagai grup. Semua latihan dan persiapannya membuat keadaannya semakin memburuk. Lebih banyak waktu bersamanya berarti semakin banyak daffodil yang mekar.

Lagu 'Regret of Times' kembali terputar secara otomatis. Sua masih fokus memperhatikan detail dari gerakan membernya melalui cermin sedangkan yang lain dengan fokus mengikuti instruksi dari sang Main Dancer. Gerakan untuk cover ini cukup cepat dan seringkali berpindah formasi dengan memanfaatkan standing mic sebagai properti. Bunga-bunga yang ada pada paru-parunya benar-benar menguras napasnya lebih cepat. Napasnya sudah tersenggal-senggal sedari tadi dan fokusnya mulai menurun karena kurangnya asupan oksigen yang ia hirup. Di tengah lagu pada gerakan di mana Yoohyeon harus melewati dua standing mic yang disilangkan, kakinya yang mulai lemas tidak sengaja menendang salah satu standing micnya sehingga ia jatuh tersandung.

"Yooh, nggak papa?" Jiu yang berada di sebelahnya buru-buru berlutut di sampingnya dan menggenggam erat bahunya.

Yoohyeon menelan ludahnya gugup, "i-iya, aku cuma kurang fokus. Maaf." Yoohyeon berusaha bangkit dengan bantuan Jiu yang masih dengan erat memeluknya dari samping.

"Yoohyeon dan Jiu keliatannya udah capek. Kita istirahat dulu aja." Ucap Sua sebelum semua member akhirnya terduduk lemas dan berusaha mengambil napas dalam-dalam. Yoohyeon menoleh ke arah Jiu yang keadaannya pun tidak jauh berbeda dengannya. Ia terlalu lelah sampai tidak menyadari kalau Jiu memang terlihat lebih lemas daripada biasanya.

Yoohyeon kembali menghembuskan napas panjang setelah tanpa sadar telah menahannya selama beberapa detik. Matanya berkedip dua kali, berusaha menyadarkan kembali dirinya dan mulai memproses apa yang sedang terjadi. Jiu masih dengan erat menopang tubuhnya di samping. Yoohyeon lupa untuk menghela napas untuk sesaat meski dia sedari tadi merasa sesak.

Dan daffodil sialan itu kembali mencekiknya.

Untuk kali ini, prosesnya terasa jauh lebih cepat. Lebih banyak bunga yang mendesak tenggorokannya untuk keluar, dan Yoohyeon tidak yakin ia akan sempat menghilang dari jangkauan membernya sebelum bunga berbalut darah itu keluar dari mulutnya. Ia buru-buru membebaskan diri dari dekapan Jiu dan berbalik tanpa meninggalkan sepatah kata pun. Ia berusaha secepat mungkin meninggalkan ruangan, tapi dengan tenaga yang Yoohyeon punya sekarang, member lain dapat melihatnya tertatih-tatih keluar ruangan.

Benar saja, kakinya sudah menyerah hingga akhirnya ia terperosok jatuh berlutut. Kedua tangannya menopang tubuhnya agar tidak ikut terbentur lantai dingin studio. Kepalanya tertunduk sebelum ia batuk hebat. Tangannya refleks menutup mulutnya sebagai usaha terakhirnya untuk menyembunyikan apapun yang keluar dari mulutnya. Rasa panas menjalar di sekitar lehernya. Yoohyeon merasakan tenggorokannya ditusuk. Lidahnya dapat merasakan rasa logam yang kuat begitu ia batuk untuk yang kedua, ketiga, hingga keempat kalinya tanpa henti. Matanya mulai berair, napasnya tersenggal berusaha keras untuk mencoba menghirup udara sekali lagi. Tangannya tak cukup besar untuk menampung darah dan kelopak bunga yang ia keluarkan. Dan dengan cepat, lantai studio di sekitarnya memerah, sebuah pemandangan yang mengerikan bagi member lain yang kini masih membatu. Bagi Dami, di sisi lain, ini bukanlah pemandangan baru baginya sehingga ia merespons selangkah lebih cepat untuk membantu Yoohyeon. Yoohyeon berusaha melirik membernya, sebagian merasa ketakutan dan sebagian terlihat sangat kaget. Yoohyeon bisa melihatnya gemetaran ketakutan, raut wajahnya jelas menunjukkan kekhawatiran hebat yang membuatnya masih membeku di tempat tanpa tahu harus melakukan apa. Yoohyeon tersenyum kecil, menatapnya dengan lembut sebelum semuanya perlahan menjadi gelap dan tubuhnya terkulai jatuh dengan lemah.

...


Napasnya tersenggal-senggal sebelum akhirnya ia menenangkan diri dengan menarik napas panjang. Matanya berkedip lalu beralih mengamati sekitarnya. Setelah indera penciumannya mulai bekerja dengan baik, ia bisa mengenali bau khas obat yang menempel lekat pada ruangan Rumah Sakit. Ia ingat akan permintaan di konsultasi pertama yang ia utarakan. Yoohyeon masih bisa mengingat raut wajah para membernya melihat dirinya terkapar di Rumah Sakit. Apa semua sudah selesai?

Matanya menyipit, masih berusaha beradaptasi dengan terangnya lampu ruangannya saat ia berusaha mengenali seseorang yang tengah duduk di sampingnya.

"Sudah sadar?"

Matanya masih membutuhkan waktu lebih untuk bisa melihat orang di sampingnya, tapi ia bisa mengenali suara tersebut. Di mana yang lain? Mengapa hanya ada Sua di sini?

Yoohyeon hanya mengangguk pelan. Rasa sakit di tenggorokannya memang sudah menghilang, tapi bayangan sensasi di lehernya di momen terakhir sebelum ia kehilangan kesadaran masih dapat ia rasakan. Kantung infus yang terhubung dengan lengannya terangkat begitu Yoohyeon mengangkat tangannya untuk mengelus pelan lehernya. Rasa sakitnya sudah hilang.

Ia menoleh ke arah Sua yang masih menatapnya dengan khawatir, "hari ini hari apa, Kak?"

"Rabu."

"Oh," Yoohyeon terkekeh. "Aku kira aku nggak sadarkan diri berminggu-minggu. Ternyata cuma sehari, toh."

"Kenapa nggak ngasih tau?" Pertanyaan itu terucap oleh Sua dengan lirih. Yoohyeon bisa merasakan rasa kecewa pada kalimat yang dilontarkan oleh Sua tadi. Tapi entah dirinya kurang yakin perasaan kecewa itu ditujukan pada dirinya atau justru Sua malah merasa kecewa pada dirinya sendiri.

"Maaf." Jawab Yoohyeon setengah berbisik. "Aku... nggak mau Kak Jiu dan aku berakhir canggung." Yoohyeon memalingkan wajahnya.

Sua mendecak pelan. Pandangannya beralih sembari tangannya meremas bed cover pelan. "Bodohnya aku nggak sadar sama apa yang kalian berdua sembunyikan." Sua bergumam pelan, mengutuk dirinya sendiri karena merasa gagal menjadi teman yang baik.

Gumaman tadi cukup keras untuk didengar oleh Yoohyeon. Ia langsung menoleh begitu mendengar apa yang baru saja Sua ucapkan. "Maksudnya?"

"Kalian nggak tahu betapa kagetnya aku dan yang lain ngelihat dua member di saat yang bersamaan muntah darah bunga." Sua bergidik ngeri begitu ia membayangkan kejadian yang terjadi sehari sebelumnya. Tak lama setelah satu ruangan panik akan Yoohyeon yang ambruk setelah memuntahkan darah, mereka merasa lebih terkejut lagi begitu menyadari seseorang yang ambruk karena hal yang sama. Sebagai salah satu member tertua dalam grup, Sua merasa bertanggung jawab akan hal ini.

Napas Yoohyeon tercekat, namun kali ini bukan karena ulah bunga daffodil yang mekar di dalam paru-parunya. Dalam pikirannya, sebuah spekulasi yang ia harap tidak terjadi muncul. Ia sempat ragu sebelum akhirnya menyuarakan pertanyaannya, "Kak Jiu... di mana dia sekarang?"

"Dia baru saja mendapatkan pertolongan pertama karena Hanahaki-nya. Kalian berdua bodoh banget."

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet