Senseless Cry

Description

“menangis bukanlah hal yang sia-sia untuk alasan yang tepat, orang yang tepat.”

Foreword

Senseless cry

 

Cast: Park Chanyeol (EXO) , Jung Soojung (Fx)

 

Genre: Angst, Hurt, Romance.

 

Length: One Shoot

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

“tidak ada air mata,” ucapnya. “hanya tangisan yang sia-sia dan tidak masuk akal.”

 

 

 

 

 

 

 

Ketika aku masih kecil, aku diajarkan untuk tidak menangis. Menangis berarti menyerah dan tidak memiliki kekuatan—rapuh. Menangis hanyalah sebuah penggambaran dari kelemahan dan kerentanan. Dengan semua pemikiran itu, aku tumbuh menjadi seorang gadis yang bertekad tinggi untuk mendapatkan segalanya dengan caraku. Aku selalu fokus dan mengandalkan diri sendiri untuk menyelesaikan sesuatu. Aku adalah murid yang unggul disekolah—menerima banyak penghargaan dan pengakuan. Aku tidak terhentikan dan aku memiliki dunia dalam genggaman jemari tanganku.

 

Tapi itu dulu sebelum seseorang dengan seenaknya datang kekehidupanku dan pergi begitu saja.  April 2014. Adalah hari dimana aku mulai menangis lagi.

 

******

 

 

 

 

 

 

 

Menjadi murid yang pintar di sekolah memberikanmu dua reputasi; pertama kau adalah seorang kutu buku yang mudah tertipu untuk dijadikan sasaran empuk kejahilan murid nakal disekolah, atau yang kedua terlalu pintar dan kaya hanya untuk sekedar berteman dengan seluruh siswa biasa.

 

Aku lebih memilih untuk menyibukan diriku sendiri sebagian besar waktu daripada mengobrol dan berteman. Bukan karena aku pemalu. Aku harap begitu. Aku hanya masih tidak bisa menemukan manfaat dari berteman  ketika dunia dipenuhi dengan orang orang yang tidak bisa dipercaya, maksudku, palsu.

 

Tapi jangan salah paham, aku tetap berkomunikasi dengan orang lain, tapi mereka hanyalah sekedar seeorang kenalan bagiku. Sebagian besar yang aku ajak bicara adalah orang dewasa (ketika aku memesan makanan di restorant cepat saji.) , sesama murid unggul (ketika dipaksa untuk melakukan perkerjaan kelompok.) dan kadang-kadang seorang introvoret (ketika membutuhkan waktu menyendiri dengan seseorang.).

 

Aku tinggal bersama pamanku—adik dari ayahku selama 17 tahun terakhir. Dia adalah satu satunya orang lain yang benar benar berinteraksi denganku. Paman Jung sangat mengerti aku, ia terus saja berkata jika aku sama persis dengan ibuku. Dan aku akan selalu mendengus dan berkata. “aku sama sekali tidak mirip dengannya.”

 

“tidak, kau memang mirip Soojung-ah.” Dia menekankan. “kau terlihat seperti dia dan kau mengatakan hal-hal yang terdengar persis seperti dia!, itu menyeramkan.”

 

Aku hanya akan tersenyum padanya. Tapi jauh di lubuk hatiku, aku sangat marah. Aku sama sekali tidak mirip dengan ibuku; tidak sama seperti seorang wanita yang menelantarkan anaknya untuk pergi bersama pria lain. Itu sesuatu yang bagus, jika kau bertanya. Dia tidak pernah merasa seperti ibu sejak awal. Dia terlalu kaku, terlalu serius dan terlalu asyik dengan karirnya bahkan untuk hanya sekedar peduli tentang ayahku. Aku tidak yakin apa yang ayahku lihat dari dirinya. Dan aku tidak pernah memiliki kesempatan untuk bertanya kepadanya.

 

“aku tidak akan bertanya kepadanya.” Bisikku pada diri sendiri. semua memori itu tersapu bersih dari otakku seperti gelombang menampar pantai menyisakan hamparan  pasir polos.

 

 

 

 

Saat ini adalah pertengahan semester, ketika seorang murid baru datang ke kelas bahasaku. Park Chanyeol adalah segalanya yang aku benci dalam diri seorang pria. Dia tersenyum terlalu sering dan ramah kepada semua orang. Dia memiliki kecenderungan untuk hiperaktif, membuatku bertanya-tanya apakah dia didiagnosa memiliki ADHD. Dia juga sering bercanda, membuat seluruh kelas tertawa akibat tindakan humoris konyolnya.

 

Secara fisik, dia tidak terlalu buruk, aku akui itu. Dia tinggi, dengan kulit pucat mulus, rambut hitam, dan wajah ramah dengan manik coklat hangat. Semua orang menyukainya dan semua orang ingin menjadi temannya. Aku berusaha untuk tidak muntah ketika setiap kali para gadis mencoba mendapatkan perhatiannya dikelas dengan cara bersandar terlalu rendah untuk mengekspos dada mereka. Berbicara tentang menjadi ‘berlainan’.

 

Aku tidak tertarik tentang ‘chanyeol si anak baru populer yang disukai semua orang’.Dan melanjutkan hidupku seperti yang biasa aku lakukan. Menyendiri, belajar and menulis blog.

 

Aku masih baik-baik saja sampai si anak baru populer itu — chanyeol ditugaskan untuk menjadi pasanganku dalam menyusun sebuah projek.

 

 

“hey!” Dia menyapaku sekali di perpustakaan saat aku sedang membaca pride and prejudice untuk yang kesekian kalinya. “Jung Soojung?.”

 

Aku meringis, aku benci diganggu ketika sedang baca. “oh maaf, tidak nama panjang huh?.” Dia bertanya, bibirnya mengerucut saat ia berpikir. “hmm bagaimana dengan Soojung?,” ucapnya, kemudian menepukan kedua tangannya. “ah! Jungjungie,mungkin?.”

 

“apa yang kau inginkan.” Bentakku. Aku menatap kearahnya dan langsung merasa bersalah ketika melihat raut mukanya berubah sedih—menyakitkan. Aku tidak tahu mengapa, aku membentak banyak orang sebelumnya tetapi aku tidak pernah sebermesara bersalah seperti ini. “maaf,” kataku. “soojung saja tak apa-apa.”

 

“baiklah.” Dia mengangkat bahunya. “Hanya ingin bertanya tentang proyek kita.”

 

“jadi begini cara kerjanya.” Kataku, menutup bukuku  dan meletakannya di meja. “aku akan mengerjakan proyeknya dan kau jangan menggangguku. Aku akan meringkasnya untukmu ketika ini sudah selesai dan ketika kita akan menyampaikannya, yang harus kau lakukan hanyalah berdiri di depan dan bersikap manis.”

 

Chanyeol menatapku dengan ekspresi datar. “okay?” aku tersenyum sebelum menghindari tatapanku darinya dan kembali pada bacaanku. Aku mendengar suara seretan kaki dan ketika aku mengangkat kepalaku, chanyeol sudah terduduk manis dikursi seberang mejaku. “tidak.” Ucapnya. “aku tidak akan membiarkanmu mengerjakan semuanya.”

 

Aku memiringkan kepalaku penasaran. Ini jelas sesuatu yang baru. “lucu sekali.” Balasku. “kebanyakan orang membunuh agar tidak harus berkerja.”

“aku tidak seperti kebanyakan orang.” Katanya.

 

Memahami perkataanya sebagai tantangan, aku berkata, “baiklah, kita bertemu disini sepulang sekolah setiap rabu dan jum’at untuk 3 minggu kedepan, tak masalah?.” Aku tahu dia akan membantahnya, terutama karena aku menjadwalkan itu pada hari jum’at.

 

“setuju.” Ucapnya, mengejutkanku. “terimakasih, jung jungie.” Aku sangat terkejut atas jawabannya, bahkan aku tidah marah ketika dia memanggilku jungjungie seenaknya. “sampai bertemu hari jum’at.” Serunya, melambaikan tangan kearahku dengan sebuah senyum ketika dia terpental melewati pintu keluar seperti seorang idiot.

 

Ada apa sebenarnya dengan orang itu?

 

 

 

Hebatnya, mengerjakan proyek bersama chanyeol ternyata tidak seburuk yang aku pikirkan. Faktanya, aku mulai terhibur dengan kejenakaan gila pada lelucoan noraknya dan gombalan yang menggelikan. Hari berlalu dan aku akui jika aku mulai menyukainya lebih dan lebih setiap harinya. Ini adalah perasaan yang menggilakan—Menyukai seseorang. Kau akan selalu ingin melihatnya. bertanya dimana dia berada ketika kau tidak bersamanya. Dan kau akan selalu merasa  gugup jika dia ada didekatmu. Aku takut setiap kali sesi berakhir. Mengetahui bahwa waktu kami dalam berkerja sama akan segera berakhir.

 

Suatu malam pada hari jum’at dia menanyakanku pertanyaan acak:

 

“kenapa kau tidak memiliki teman?”

 

“kenapa kau memiliki teman?”

 

“karena aku, normal?” ia tertawa kecil. “tidak, serius. Aku tidak pernah melihatmu dengan orang lain.”

 

“mungkin aku lebih suka sendiri.”

 

“tidak ada orang yang menyukai kesendirian.” Ucapnya.

 

“aku hanya—“ kenapa aku selalu sendirian?

 

“mungkin, itu karena aku bukan tipe orang yang ingin kau jadikan teman.”

 

Chanyeol membuat wajah “tipe orang seperti apa itu?”

 

“apakah kau lupa kalau aku membentakmu ketika kita pertama kali bertemu? Aku kasar dan orang-orang tidak ingin berada disekitar itu.”

 

“kau tidak kasar.” Dia berkata sambil menyandarkan sikunya dimeja. “kau hanya—.” Dia berpikir sebentar. “dipesan.”

 

Aku tertawa. “dipesan?”

 

“iya, seperti memesan sebuah tempat istimewa pada seseorang yang pantas untuk menjadi temanmu.” Dia tersenyum.

 

“kau tidak tahu arti dari kata yang kau ucapkan itu,kan?”

 

ia membuka mulutnya terkesiap mengejek. “tentu saja aku tahu!.”

 

Aku tertawa dan malam itu aku tahu. Aku tahu aku terjatuh pada pria ini.

 

Dalam.

 

 

Pada febuari, aku berencana untuk mengaku padanya. Menjadi tokoh yang dominan pada diriku. Aku menelan harga diri ku hanya untuk ini. Aku memberitahu dia apa yang aku rasakan dan dia menatapku, mendengarkan dengan seksama pada setiap kata yang aku ucapkan. Setelahnya dia membalas,”maafkan aku, tapi aku tidak bisa.”

 

Hatiku serasa remuk. Aku berlari, aku berlari seperti seorang gadis kecil. Ini memalukan tapi aku tidak memiliki cukup kekuatan untuk merutuki diriku sendiri saat ini.

 

Setelah kejadian itu, aku jarang melihatnya lagi. Bukan karena aku menjauhinya, tetapi karna dia sering absen dihari sekolah. Park Chanyeol ada seorang panutan dan ia tidak pernah melewatkan kelas, itu yang membuatku bertanya, dimana ia sekarang. Ini perasaan yang menggilakan: mencintai seseorang, bahkan jika mereka sudah jelas jelas tidak membalas perasaanmu, kau masih takut. Kau masih akan mengkhwatirkan mereka.

 

Suatu malam dibulan febuari, ponsel ku berdering, aku mendapat panggilan darinya.

 

“hallo?”

 

“Soojung? Ini aku Chanyeol.”

 

Aku tidak menjawab.

 

“hallo? Apa kau disana?”

 

“hmm”

 

“bisa kita berbicara?”

 

“bukankah kita sedang berbicara sekarang?”

 

“kumohon, ini penting”

 

dengan enggan aku menyetujinya dan dia memberiku sebuah alamat, yang ternyata adalah rumahnya. Ketika aku ingin mengetuk, pintunya terbuka sebelum sesaat buku-buku jariku menyetuhnya. Chanyeol muncul. Rambutnya kusut dan matanya berbinar.

 

“hey.”

 

“kau datang.”

 

“aku datang.”

 

Kami berjalan masuk melewati ruang tamunya. Suasananya sangat gelap dan tenang; baik secara harfiah dan hipotesis semata. Ini sudah sangat larut dan malam menjadi dingin. Aku menyilangkan kedua tanganku agar tubuhku tetap hangat. dan beberapa saat kemudian, chanyeol akhirnya memecahkan keheningan.

“apa kau ingat ketika kau menyatakan bahwa kau menyukaiku?”

 

aku memutar bola mataku, “kumohon ingatkan aku, karena itu adalah pengalamaan yang menyenangkan.”

 

“aku juga menyukaimu”

 

kali ini aku mengangkat kepalaku, tidak percaya apa yang baru saja ia katakan. “apa?”

 

“aku bilang,aku menyukaimu.” Ulangnya sambil menatap mataku tulus.

“sejak pertama aku bertemu denganmu. Itu kenapa aku sering mengganggumu walaupun kau kasar padaku.”

 

“lalu mengapa kau membuatku kecewa?”

 

“karena—“ ia mengambil nafas dalam, mengusap wajahnya frustasi. “aku tidak memiliki banyak waktu.”

 

“apa maksudmu? Kita disini! Kita memiliki waktu kapan saja.”

 

“tidak,bukan.” Ia mengerutkan keningnya. Melangkah kedepan dan menggenggam tanganku, seketika dingin menjalar keseluruh tubuhku. “aku kehabisan waktu.” Gumamnya.

 

“maksudmu apa, chanyeol?.”

 

Chanyeol menatap mataku. “aku sakit soojung, aku sekarat.”

 

Rasanya seperti tanah bergetar dibawahku sesaat ketika kata-kata itu lolos dari bibir pucatnya.

 

Dia sakit.

 

Chanyeol sekarat.

 

******

 

chanyeol dan aku menghabisakan setiap hari bersama, melakukan segala hal yang kita inginkan dari waktu yang tersisa. Walaupun dia lambat laun mulai kehilangan rambutnya, dan wajahnya semakin memucat dari waktu ke waktu, kanker rupanya memakan kehidupan darinya. Ia tidak pernah terlihat lebih tampan untukku. Dia adalah satu satunya orang yang melihat bagaimana rupa masa laluku. Seseorang yang menerimaku dan membuatku berfikir, bahwa aku hebat, bahwa aku layak.

 

Ketika april datang, segalanya menjadi lebih buruk. Obatnya tidak berkerja dan dia merasakan sakit diseluruh tubuhnya, kanker menyiksanya semakin menjadi-jadi.

 

Dia akan menangis kesakitan, air mata membludak dari obsidiannya dan aku akan menggenggam tanganya erat, mengatakan padanya untuk tetap kuat.

 

Aku adalah jangkarnya. Tapi kebenarannya adalah, sebaliknya.

 

Pertengahan april, kami tahu bahwa kami kehabisan waktu. Bersama dengannya selama beberapa bulan terakhir. aku sudah menerima kenyataan jika dia akan segera pergi—itu pasti. Dia sekarat dan tidak ada yang bisa menghentikannya. Tetapi sesuatu menjadi lebih sulit dan rumit setelah kau benar benar menghadapi itu. Hal berubah begitu tiba-tiba. Aku tidak ingin percaya ini,  aku selalu menyakalnya. dia tidak akan pergi, dia akan baik-baik saja.

 

 

Tidak peduli seberapa keraspun aku mencoba. Hal itu akan tetap mengingatkanku. Kanker itu akan tetap menang. Mengambil chanyeol perlahan lahan, kepingan demi kepingan.

 

Itu semua dimulai dengan mati rasa pada telapak kakinya, diikuti bagian kaki atasnya, sampai ia tidak dapat merasakan bagian bawah tubuhnya , sama sekali.

 

Kanker itu melumpuhkan chanyeol.

 

“soojung!” chanyeol tersentak dan aku terbangun dari tidurku. Aku saat ini duduk di samping tempat tidurnya. Tanganku menggenggam tangannya. Aku menatapnya panik. Meremas telapak tangannya. “yeol? Ada yang sakit? Akan ku panggilkan sust—“

 

“aku tidak bisa merasakan tanganmu.” Bisiknya, matanya melebar berkaca-kaca ketika ia menautkan tangannya denganku. Aku menelan ludah, dadaku mendadak sesak. Nafas chanyeol semakin rendah, ia menggelengkan kepalanya, menyadarkanku bahwa tanganya tidak dapat bergerak. “aku—tidak bisa” ucapnya tergagap. Aku melepaskan gengganmannya, berganti menangkup wajah tirusnya.

 

“chanyeol lihat aku.” Ia menurut, matanya mulai menatapku. Hatiku hancur ketika melihat air mata tumpah mengalir dipipi saljunya. “kau bisa rasakan ini, kan?.”

 

Ia menganngguk. “soojung, aku takut, aku tidak ingin mati.” Ia menggelengkan kepalanya ketakutan. Kristal bening mulai meluncur lagi dari manik indahnya.

“kumohon jangan tinggalkan aku. Aku tidak ingin kau pergi.” Isaknya

 

air mataku tumpah, aku mencium keningnya dan menautkan lenganku di lehernya. Merasakan deru nafas panas dan air mata yang membasahi pundakku. “aku tidak akan kemana-mana chanyeol,” kataku. “begitupun kau, semuanya akan baik baik saja.”

 

Mengucapkan kata kata itu terasa seperti kebohongonan, kami berdua tahu itu.

 

 

“Soojung-ah.” Panggilnya.

 

“hmm?.”

 

“aku mencintaimu.”

 

Aku mengambil nafas dalam-dalam, mengigit bibirku berusaha agar isakan tidak keluar dari mulutku. “jangan berkata seperti itu.”

 

“Jungie” gumamnya, menatap kearahku. “kumohon jangan ada air mata.”

 

“tidak ada air mata.” Balasku sambil membelai pipinya lembut. “dan aku mecintaimu lebih.”

 

Dia memberiku senyuman samar. Matanya perlaha-lahan mulai menutup. Nafasnya mulai melambat sampai akhirnya dia tidak bernafas sama sekali. Monitor mengeluarkan suara monoton panjang diikuti dengan garis lurus hijau. Menandakan bahwa dia sudah pergi.

 

Saat itulah dimana benda bening itu datang. Ini bagaikan hujan walaupun aku sudah berjanji padanya, aku tidak akan menangis.

 

“tidak ada air mata, hanya ada tangisan yang sia-sia dan tak masuk akal.” Ia berkata padaku. Kata-kata yang seharusnya aku ucapkan pada diriku sendiri.

 

Tapi kali ini aku berkata. “menangis bukanlah hal yang sia-sia untuk alasan yang tepat, orang yang tepat.”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet