White Frape

Please Subscribe to read further chapters

Description

©Lovein

Foreword

Desiran angin lembut, serta aroma kopi yang menyeruak menyambutku, ketika aku memasuki kafe itu.Aku duduk di sebelah jendela, ketika ku buka engsel pada kusen kayunya, terdengar suara menderit pelan. Angin berhembus, tepat saat pelayan menyambangiku.

“Mau pesan apa Tuan?” ujarnya, sambil mengeluarkan catatan kecil dari saku seragamnya.

White Frape,” Jawabku.

“Ada yang lain?”

“Tidak terimakasih.”

**

Angin berkelebat cepat, menghembus melewati setiap daun di pepohonan, menggesek setiap dahan, menghasilkan bunyi walau tetap terasa hampa. Aku melihat jam tangan yang melingkar di tangan kananku, entah tempat macam apa ini. Aku telah berada disini lebih dari tiga hari—kurasa.

Ada kilat menyambar di langit ketika aku mendongak, rasa cemas tiba-tiba menyelimuti hatiku. Aku segera bergegas. Aku mencoba berlari sekuat tenaga. Dimana  Jackson?. Aku mempercepat langkahku. Berlari. Walau oksigen pemasok di paru-paruku semakin menderu, mengirimkan rasa nyeri yang tak terhingga, aku tetap tak bisa berhenti.

“Jackson!” teriakku, ketika aku memasuki rumah kayu yang ada di tengah padang savanna yang kosong.

Jackson, tak ada di mana-mana. Aku semakin cemas, aku berusaha mencarinya di seluruh penjuru rumah, sambil meneriaki namanya, tapi dia tak ada. Aku memutuskan untuk menunggunya di depan rumah kayu, kilat menyambar-nyambar, menghantarkan suara yang menggelegar dan memekakkan telinga, hujan mulai mengguyur dengan derasnya.

Ada seseorang berjalan di tengah savanna. Jackson?. Samar-samar aku dapat melihat seseorang berjalan terhuyung-huyung. Aku ingin memastikan apakah itu Jackson. Aku berjalan menghampiri lelaki itu, ia seperti limbung.

“Jackson!” teriakku. Lelaki itu memang Jackson, tubuhnya lemas, dan menggigil karena terguyur air hujan. Aku memapahnya. Bibirnya menjadi biru karena terlalu lama menahan dingin.

“Jakcson! Ada apa? Apa yang terjadi?” aku bertanya. Ia tak menanggapi pertanyaanku. Dengan sekuat tenaga aku berusaha menggendongnya, membawanya kembali ke rumah kayu kami dan menyalakan api yang hangat.

**

Lelaki itu tersadar dari tidur panjangnya. Gemericik air hujan masih samar-samar terdengar. Ia tidur di ranjangnya, pakaiannya sudah kering. Kepalanya masih terasa berdenyut, ia berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi.

“Kau sudah bangun?” tanya lelaki berambut gelap di hadapannya.

“Berapa lama aku tidur?” Tanya lelaki yang lebih muda.

“Aku rasa kau sudah tidur lebih dari dua hari Jackson, kau tak apa?” tanya Mark.

“Yah lumayan, tunggu dulu,” katanya, sambil bangun dari tempat tidurnya. “Berarti hujan ini tidak berhenti selama dua hari penuh?”

“Ya, semenjak kau datang hingga sekarang hujan ini belum berhenti.” Jawab Mark.

“Apa? Ini pertanda buruk. Mark periksa jam tanganmu!” dengan refleks, lelaki di hadapannya itu memeriksa jam tangan di pergelangan tangannya.

“15-30-10”

“9-30-50”

“Lihat mereka berhubungan!” sentak Jackson.

Mark memandangi kilatan cahaya di besi pipih yang melingkar di pergelangan tangannya itu sekarang. Mark memahami digit demi digit angka itu berjalan maju, lalu ia beralih ke jam tangan Jackson, digit demi digitnya berjalan mundur. Aku tak tahu. Aku hanya tak tahu apa yang terjadi ketika kedua waktu itu bersilangan.

**

“Jackson kau pikir, apa yang akan terjadi ketika kedua waktu ini habis?”

“Bahkan aku tak tahu di digit berapa ini akan habi.”

“Ya, kau benar.”

Mark, keluar dari rumah kayunya ketika hujan sudah mereda, sinar matahari samar-samar menerpa kulit putihnya, menghasilkan cahaya yang begitu terang sehingga membuat belakang matanya sakit. Angin bertiup diantara dedaunan, menghasilkan suara gemerisik lembut. Mark sudah selesai dengan urusan mengunci pintu rumah kayu itu. Ia tak tahu kemana ia akan melangkah, tetapi hatinya berkata sesuatu yang lain.

“Mau kemana kita?” tanya Jackson.

“Aku tak tahu, tapi kurasa itu kearah barat.”

“Aku tak tahu menahu tentang daerah ini,” jawab Jackson.

“Begitupun aku, ngomong-ngomong kemana kau waktu itu? Kenapa kau pulang dengan terhuyung-huyung?”

Pertanyaan itu menyadarkan Jackson, sekelibat bayangan muncul dalam benaknya. Kemana aku?. Kenapa?. Ia menggelengkan kepalanya cepat. Pertanyaan itu retoris, aku lupa semua. Hatinya berdesir hebat ketika ia mencoba melupakan kejadian itu, namun saja sel-sel kelabunya tidak dapat menguak, kenapa ia merasakan sesuatu yang janggal. Kejadian yang menimpanya, yang membuat ia berjalan limbung melewati savanna dan tak sadarkan diri hingga dua hari. Jackson berusaha menggabung-gabungkan fragmen-fragmen cerita di dalam sel-sel hidupnya, tapi ia tetap tak bisa. Kepalanya pening.

“Mark,” Jackson berkata.

“Ya? Kau sudah ingat sesuatu?”

“Tidak, aku belum bisa mengingatnya. Ada sesuatu yang terjadi, tapi aku tak bisa mengingat apa.”

“Benarkah? Tak apa, mungkin itu membutuhkan sedikit waktu.”

Jackson menganggukkan kepalanya, mereka meneruskan perjalanan, melewati padang savanna yang luar biasa luasnya. Selanjutnya mereka memasuki hutan. Hutan hujan yang lebat.

“Kenapa kita ke sini?” tanya Jackson.

“Aku tak tahu, tapi aku merasa ada sesuatu di sini.”

“Baiklah. Aku percaya padamu Mark,” jawab Jackson.

Hutan itu sangatlah lebat. Butuh tenaga ekstra untuk menyibakkan pepohonan yang menutupinya. Mark berjalan di depan, sedangkan sang adik Jackson membututinya di belakang. Setelah seperempat perjalanan mereka menyusuri hutan itu, suasana berubah. Seluruh pepohonan di hutan itu berwarna putih pucat. Daun, batang, bahkan tanah pun berwarna putih pucat.

“Apa ini Mark?” Jackson membuka pertanyaan setelah sekian lama tak ada pembicaraan.

“Aku tidak tahu, sebentar. Coba lihat itu Jackson!” Mark berteriak, sambil menunjuk kilatan cahaya di tengah-tengah hamparan bunga Aster putih. Sebuah hexagonal terbentuk dari cahaya tersebut. Mark mendekati cahaya tersebut, memandanginya dari dekat. Ditengah-tengah hexagonal itu terdapat satu lambang mawar, lambang mawar yang terbentuk dari lima buah bangun segilima. Ia memandangi cahaya-cahaya itu lekat-lekat. Kemudian sesuatu berpendar, jam tangan mereka berpendar ketika keduanya memasuki, hexagonal.

Ketika itu, bayangan berkelibat di dalam benak Jackson. Ia teringat sesuatu. Bagai rol film, kenangan-kenangan berputar di dalam kepalanya. Ia sudah ingat sekarang hal yang membuatnya terhuyung-huyung berjalan di tengah savanna. Jackson mengingatnya, dan kenyataan itu memelintir hatinya dan membuatnya menciut.

“Hanya kau atau aku,” ujar Jackson.

“Apa maksudmu?”

Hexagonal ini, hanya kau atau aku yang akan selamat.”

Mark masih belum paham maksud adiknya itu, ia terlihat bingung dengan semua ini, dengan semua yang dialami begitu cepatnya bagai kelebatan mata.

“Aku masih belumㅡ”

“Hanya kau atau aku yang selamat kak, kau lihat digit-digit angka yang ada di jam tanganmu? Ketika milikmu sampai ke angka 24 dan milikku saat sampai ke angka 0. Semuanya akan berakhir, kita akan hilang dari dimensi ini selamanya, kecuali kita saling mengalah dan menyerahkan seorang agar selamat.”

“Apa? Itu tidak masuk akal” ujar Mark.

“Itu kenyatannya, kita tidak sedang berada di dimensi kita kak, kita ada di dimensi lain. Dimensi penghubung antara kematian dan kehidupan. Dua hari yang lalu aku kembali ke dunia kita. Tapi entah kenapa aku kembali ke tempat ini. Itu aneh. Ayah dan ibu sedang menghawathirkanmu kak. Kau yang harus kembali, ” jelas Jackson.

Hening menyelimuti keduanya. Mereka menikmati waktu yang berjalan dalam geming. Keduanya saling tenggelam dalam pikiran masing-masing.

“Kau yang harus, selamat.” Kata Mark.

“Tidak kak, kau yang seharusnya selamat. Aku punya alasan kenapa harus kau yang selamat”

“Jangan bodoh kaㅡ”

“Bisakah kita membahas itu nanti?” potong Mark.

“Aku punya alasan kak, aku punya alasan yang kuat kenapa haru kau yang selamat.”

“Kau bodoh! Coba beritahu aku apa alasan itu?”

“Nanti kak, kau akan tahu apa alasan itu,” jawab Jakcson.

“Kau bodohㅡ”

Mereka saling bertatapan, manik mata mereka bertemu. Ada berbagai rasa yang membuncah diantara mereka. Mereka ingin sama-sama tetap ada. Tapi sesuatu membatasi mereka. Takdir membatasinya.

“Itu harus kau kak. Kau atau tidak keduanya”

**

“Dua jam lagi,” kata Mark.Sambil berbaring di atas rerumputan yang lebat. Malam sudah tiba. Bulan muncul di hamparan hitam malam, bagai pendulum raksasa yang tergantung dalam sunyi.

“Yah dua jam lagi, dan aku punya rencana,”  jawab Jackson.

“Apa?” Mark membelalakkan matanya, sontak ia bangun dari posisi tidurnya. Ia memandang adiknya tidak percaya. Alih-alih menjawab Jackson hanya memandang langit malam. Kemudian ia menutup matanya, dan merasakan semilir angin membelai lembut porinya.

“Sudah jangan menatapku seperti itu, aku punya rencana,” ujar Jackson masih dalam posisinya menutup mata.

“Bㅡbaiklah”

“Satu hal yang lucu kak, saat ini aku benar-benar merindukan White Frape di kafe dekat perempatan gedung kerja ayah, aku ingin minum itu ketika kita kembali.”

“Ya, aku juga, Jackson.”

“Aku punya rencana kak, kau yang harus selamat bukan aku,”

**

Mereka berjalan, menuju hexagonal, Jackson yang memimpin sekarang bukan Mark. Dua jam disini terasa lebih dari dua puluh jam, hari sudah berganti, dari malam menjadi pagi kemudian menjadi malam lagi.

“Berapa digit di jam mu?” tanya Jackson.

“23-59-00, kau?”

“00-00-60”

“Satu menit lagi kan?”

“Begitulah,”  jawab Jackson.

“Dan apa rencanamu?”

“Kau akan tahu nanti kak,” ujar Jackson “Mari kita duduk di sana terlebih dahulu.”

Jackson membuntuti Mark, mereka duduk di akar pohon putih yang menyembul ke atas tanah. Mereka menatap ke arah pendaran cahaya yang semakin lama semakin terang. Mark semakin penasaran atas apa yang akan dilakukan adiknya Jackson, sedangkan Jackson, ia semakin memantapkan hatinya.

“Kita akan memasuki hexagonal itu berdua, entah apa yang akan terjadi. Kita akan melaluinya berdua,” ujar Jackson.

“Baiklah” jawab Mark. Lalu mereka berdua tersenyum.

“Sudah siap? Kurang 5 detik lagi,”

“Ayo”

Jacskon menggenggam tangan Mark, mereka memasuki hexagonal itu. Mereka merasakan sensasi yang aneh, jantung mereka berdetak cepat, napas keduanya terasa tercekat. Mark memandang Jackson, lalu ia tersenyum. Mark menatap kembali lurus kedepan. 3 detik. Tiba-tiba Genggaman Jackson terasa semakin melonggar, Mark memandang adiknya, perlahan ia merasakan Jackson mencoba melepaskan genggamannya, sesaat ketika dua detik lagi waktu mereka habis. Jackson menghempaskan tubuhnya keluar dari hexagonal, Mark ingin menariknya kembali, tetapi semuanya terlambat, waktu mereka telah habis. Ia melihat cairan bening menetes dari pelupuk mata Jackson, ia juga sama ia dapat merasakan kristal bening itu mengalir dari pelupuk matanya sendiri, kesedihan membendung perasaannya. Ia berontak, lalu berteriak kekuat tenaga. Hening.

“Takdir membatasi kita. Itu harus kau kak. Kau atau tidak keduanya”

**

“Mau tambah Frape nya Tuan?” tanya pelayan ketika ia mengantar pesanan ke mejaku.

Aku memandanginya, White Frape itu. White Frape kesukannya.

“Tidak terimakasih, bisakah aku memesan satu lagi? Untuk dibawa pulang,” ujarku.

“Baiklah, tunggu sebentar Tuan,” jawab pelayan itu sambil melangkah pergi.

“Terimakasih”

**

Aku melangkah keluar saat, desiran angin musim semi sedang berhembus kencang.Aku berjalan perlahan, menikmati sinar mentari yang menerpa kulitku lembut dan hangat.

Aku meletakkan White Frape itu di bawahnya, memandanginya lembut.

“Aku datang dengan White Frape ini, kau senang?”

Tak ada balasan yang terucap, hanya tetesan air mata yang membasahi pipiku sendiri. Disana terbaring dengan lembut. Jackson. Tak ada yang terlupakan, semua memori yang terkumpul di pikiranku mengalir bak air, dan aku membuat bendungan kecil bernama memori.

 

Kuharap kita bertemu di kehidupan selanjutnya, Jackson.

 

** ** **

 

“Ada tanda-tanda dok! Mark dia hidup!” suster berteriak ketika melihat mesin pembaca detak jantung itu memberikan reaksi.

“Bagaimana dengan adiknya?”

“Tidak ada dok!”

Sebatas garis lurus membentang di mesin itu, Jackson tak dapat di selamatkan.

“Kita coba dengan 30 volt”

“Taka da reaksi dok!”

“Naikkan 50!”

“Belum ada dok!”

“Maksimalkan!”

“Nihil!”

Dokter melepas alat-alat di tubuh pasiennya itu dengan kecewa. Setelah satu hari lalu, Jackson sadar selama dua hari, semua orang senang, Jackson semalat, tetapi kemudian ia melewati masa koma lagi, akhirnya takdir menemui Jackson. Jackson tak bisa diselamatkan.

Kakaknya Mark selamat, setelah melewati masa koma tanpa sadar samasekali. Kecelakaan yang hampir merenggut nyawa kedua kakak adik itu. Membuat ibu dan ayah mereka menangis hampir lebih dari dua hari. Dan itu berakhir dengan melepas salah satu dari mereka.

“Kuharap kita bertemu di kehidupan selanjutnya, Jackson.”

**

 

 

 

“Itu harus kau kak.Takdir membatasi kita. Itu harus kau kak. Kau atau tidak keduanya, kau yang harus selamat bukan aku. Aku bukan siapa-siapa di keluarga ini, ayah dan ibu akan lebih menghawatirkanmu daripada aku,aku hanya anak adopsi mereka. Mendapat kehidupan yang layak selama ini sudah cukup bagiku. Kau yang harus meneruskan hidupmu kak.Terimakasih telah menjagaku selama ini, menanggapku sebagai bagian dari keluarga ini. Terimakasih, terimakasih telah mengadopsiku dalam keluarga ini. Memberikanku kenangan-kenangan yang indah. Semoga kita bisa bertemu kembali di kehidupan selanjutnya” ***

Comments

You must be logged in to comment
citriaokta #1
Author-nim...
Kenapa harus ada yang meninggal??!!
Duh banjir air mata ini
Tapi good job dah
Buat ff lagi bisa lhoo
Jarang2 ada ff bahasa disini dan juga seneng banget ada ff markson tapi nggak maho juga gak dipasangin sama orang lain
Thanks for this good fic <3