2- WHEN GOD MAKE US SEEING EACH OTHER

LET RAIN REMOVES MY TEARS

Author's POV

Yuto dan Keito melatih gerakan mereka untuk yang terakhir kalinya bersama member Hey! Say! 7. Sementara Bianca hanya berdiri dipinggiran panggung menatap mereka berdua. Bianca mengakui saat berlatih dengan keras seperti itu baik Yuto maupun Keito sangatlah keren. "Oh.. Nona Zhang?" sapa seseorang. Bianca menoleh. "Inoo Sensei. Selamat siang." sapa Bianca sambil membungkuk sopan. Inoo kei tersenyum, "Kutebak dua saudara angkatmu menyeretmu kemari huh?" ujarnya. Bianca tertawa mendengar kalimat Inoo. "Ya. Seperti yang terjadi. Saya disini dan menemani mereka. Jam berapa konsernya?" tana Bianca. Inoo Kei melirik jam ditangan kirinya, "2 jam lagi kok. Tepat jam 4. Sebentar lagi 7 akan selesai latihan. Kau mau kemana nona Zhang? Ada janji."

"Kei kun... Namanya Okamoto sekarang." ujar Keito menginterupsi mereka berdua. Bianca menoleh dan melotot kesal. "Namaku tak akan berubah Keito." ujarnya sengit. Lalu Yuto mengalungkan lengannya dibahu Bianca, " Atau mau ganti Nakajima saja?" ujar Yuto. Dengan sekali gerakan Bianca memelintir tangan Yuto, "Ingat kak Yuto, aku jago Aikido." Ujar Bianca sambil menekankan pada kata ‘kak’. Inoo Kei terbahak melihat Yuto yang meringis kesakitan. Bianca kemudian melepaskan kuncian tangannya pada Yuto.  "Kalian sudah selesai kan? Aku pergi dulu. Jyaaa nee." ujar Bianca sambil berlari sebelum semakin dikerjai oleh kedua kakak tirinya.

Sementara itu dikejauhan hiruk pikuk panggung mata Jesse mengawasi sosok Bianca. "Apa dia gadis yang sama? Bianca Zhang? Kenapa dia disini? Kenapa nampak akrab dengan Inoo Kei, Okamoto Keito dan Nakajima Yuto senpai?" Jesse bertanya pada dirinya sendiri. "Hei Jesse.. Kau melihat apa?" Jesse menoleh dan menemukan Taiga dibelakangnya sambil menepuk bahunya. Jesse menggeleng, "Aku rasa salah melihat orang. Sudahlah dia tidak penting. Bukan siapa-siapa."

……

 

Bianca memutuskan untuk meninggalkan arena konser JUMP sesegera yang dia bisa. Dia mengecek buku catatannya dan memutuskan akan mengunjungi tempat-tempat yang dia inginkan sesegera mungkin hari ini hingga esok hari sebelum pulang. Bianca menikmati semuanya sendirian. Karena dia merasa lelah atas semua interupsi yang hadir disekelilingnya.

……

 

Hari ini adalah hari kedua Bianca berada di Osaka. Baik Keito dan Yuto sudah menerornya sepagian ini namun Bianca berhasil mengabaikan mereka semua. Memilih mematikan ponselnya dan menikmati perjalanannya kali ini. Hari sudah menjelang siang hari dan Bianca hanya ingin mengunjungi kuil itu untuk berdoa di kunjungan terakhirnya.

“Hai apa kabar? Apakah kau ingat mimpiku? Ya, aku selangkah lebih dekat dengannya sekarang, galaxy man? Apakah kau melihatku dari galaxymu? Sekarang sudah menginjak musim semi loh disini. Dan aku bisa puas melihat bunga sakura. Kau tahu, terkadang hujan turun. Dan karena kau sudah tidak disini maka kubiarkan hujanlah yang menyembunyikan tangisku. I miss you, Wu Yifan.” Bianca menyelesaikan doanya didepan Tuhannya. Dan tersenyum. Kakinya melangkah ringan setelah mengunjungi salah satu kuil yang selama ini hanya dilihatnya dari kartu pos. Sebuah kuil yang berada di Osaka.

“Kau Bianca bukan?” seseorang menyapanya. Bianca menoleh dan menemukan seseorang yang memperhatikannya. Dia mengenali sosok itu, “Jesse?” seseorang yang dipanggil Jesse itu tersenyum, “Kau disini? Sedang apa?” tanya Jesse. Bianca berjalan menghampiri Jesse, “Berdoa. Kau?” Jesse tersenyum, “Aku sedang lewat disini. Baru menyelesaikan pekerjaanku. Mau berjalan bersama?” Bianca mengangguk, “Emm. Boleh. Aku akan ke stasiun. Mencoba Shinkansen ke Tokyo.” Ujar Bianca sambil menunjukkan tiketnya.

Jesse menoleh dan menatap tiket ditangan Bianca, “Hontou? Aku juga. Wah, kita bisa bersama-sama.” Ujar Jesse sambil mengeluarkan sebuah tiket dari jaketnya. Bianca tersenyum dan mengangguk. Perjalanan mereka menuju stasiun lebih banyak dihabiskan mereka dalam diam. Bianca bingung harus berbicara apa sedangkan Jesse takut memulai bicara. “Ja… aku ada digerbong satu. Kau?” tanya Bianca begitu mereka memasuki stasiun. Jesse kembali mengeluarkan tiketnya, “Gerbong 5. Baiklah kita berpisah dulu.” Bianca mengangguk, “Arigatou na, Jesse-kun.” Jesse tersenyum kemudian berbalik badan. Bianca menatap punggung bidang itu sekilas. Punggung yang mengingatkannya pada seseorang, dulu aku selalu bisa memeluk Yifan, memeluk punggungnya, batin Bianca. Wajah Bianca seketika suram. Meskipun dia selalu menunjukkan pada Yixing dan EXO serta keluarganya dan Keluarga Yifan dia sudah baik-baik saja sebenarnya tidak demikian dnegan hatinya.

Bianca berbalik dan menuju gerbong pertama kereta itu. “Bianca…” seseorang memanggilnya. Bianca menoleh dan berbalik, menemukan Jesse yang terengah didepannya, “Kalau kau butuh teman telepon aku ya. Ini nomor ponselku.” Ujar Jesse sambil mengeluarkan kertas dan bolpoin, menuliskan nama dan nomor ponsel serta alamat emailnya. Lalu menyerahkan pada Bianca. Bianca menatap sepasang mata Jesse yang teduh. Satu hal yang membedakannya dengan Yifan adalah sepasang mata itu. Bianca mengambil kertas itu dan mengangguk, “Emm. Arigatou na.”

Mereka berpisah jalan. Menyisakan gurat-gurat mentari dilangit biru yang mulai membenamkan diri. Jesse puas dengan yang dilakukannya hari ini. Setidaknya dia berani menyapa gadis itu dan menawarkan pertemanan baru.

……

 

Bianca’s POV

Aku menatap selembar kertas yang selalu kusimpan rapih didompetku. Seseorang memberikannya padaku beberapa minggu yang lalu. Aku tak tahu apakah dia menungguku meneleponnya atau itu semua bagian dari ajang cari perhatiannya pada perempuan. Ayolah, siapa yang tidak mengenal dirinya di kampus. Semua orang tahu kalau dia itu Lewis Jesse, actor pendatang baru dan juga salah satu junior diagensi yang sama dengan Yuto dan Keito, dua saudara tiriku. Tentunya Jesse punya banyak penggemar, dan mungkin saja penawarannya untuk menghubunginya itu sebenarnya tak lebih dari ajang untuk menambah penggemarnya. Aku melipat kembali kertas itu dan memasukkanya dalam dompet.

Ping.. Ponselku berkedip sekali menandakan sebuah email masuk. Aku membukanya dan seketika mataku membulat.

 

To : Bianca Zhang

From : [email protected]

Subject : Test

Hi, Bianca. This is me, Jesse. Aku hanya mengecek apakah aku mendapatkan emailmu yang benar. Aku mengecek bagian administrasi.

Anyway, tugas penelitian museum bisakah kita bekerja bersama? Sensei kan menginginkan masing-masing dari kita punya partner. Apakah kau sudah punya partner? Kabari aku ya.

~Jesse

 

Aku menahan nafasku kuat-kuat, tak mempercayai apa yang kuterima baru saja. Tapi dia nyata mengirimiku email dan bahkan mengajakku dalam tim untuk tugas berikutnya. Aku berpikir sejenak, aku memang belum punya pasangan untuk tugas itu, tapi aku juga tak keberatan mengerjakannya sendirian. Tapi ini kesempatan yang bagus bukan untuk mengenalnya?

……

 

Author’s POV

To : [email protected]

From : [email protected]

Subject : Re : Test

Hi, maaf membuatmu menunggu. Aku terlupa dengan kertas yang kau berikan.

Boleh kalau ingin berkelompok denganku. Kebetulan aku masih sendiri. Aku berniat membahas Kyōto Kokusai Manga Museum, bagaimana menurutmu? Jika kau setuju besok kita bisa kesana.

~Bianca

 

Jesse tersenyum membaca email dari Bianca, dia punya kesempatan itu akhirnya. Dibalasnya email itu sekaligus mencantumkan nomor ponselnya. Tak berapa lama Bianca membalas emailnya dan juga mencantumkan nomor ponselnya. Senyum Jesse tak berhenti mengembang setelah itu, “Hei, Jesse! Kau harus serius berlatih.” Suara Yuto menginterupsi Jesse. Dia menoleh kearah senpainya dan memasukkan ponselnya kedalam tas hitamnya. Hari ini adalah jadwalnya dia berlatih tap dance untuk konser JUMP yang selanjutnya. “Gomennasai senpai.” Yuto mengangguk.

Kemudian bersama Sembilan orang lainnya Jesse serius memperhatikan gerakan kaki Yuto dan mengikutinya beberapa kali dan terus mengulanginya sampai mereka hafal dan memiliki gerakan yang sempurna. Karena sudah rahasia umum kalau Yuto adalah orang yang perfeksionis dalam tarian, terutama tap dance ini.

……

 

“Bianca!!” Bianca menoleh dengan panggilan itu. Suara itu mulai akrab ditelinganya. Beberapa kali namanya dipanggil dan kini dia berdiri menjulang tak jauh darinya, Bianca melepas senyumnya, “Selamat siang. Kau terlambat, Jesse-kun.” Sapa Bianca. Jesse berjalan menghampiri Bianca sambil menggaruk-garuk kepalanya, senyum rasa bersalahnya keluar seketika, “Gomen na… aku tadi harus berlatih dulu. Senpaiku sangat perfeksionis. Aku tak diijinkan pergi kalau tak menguasai gerakan itu.” Jelas Jesse. Bianca nampak mengangguk-angguk.

“Souka… baiklah, mari kita berangkat.” Ajak Bianca. Jesse mengangguk kemudian berjalan menjajari Bianca disampingnya. “Untunglah museumnya tidak jauh. Kau sudah makan siang, Bianca?” tanya Jesse. Bianca menoleh dan mengangguk, “Emm. Tentu. Kau belum makan?” tanya Bianca. Jesse mengangguk sambil tersenyum, “Wakatta. Kita makan dulu sebelum masuk museum. Aku temani. Bagaimana?” Jesse tersenyum, “Hontou?? Arigatou na.”

Mereka berjalan berdua beriringan dengan langkah ringan menuju salah satu restoran cepat saji terdekat dan memesan satu mangkuk nasi daging dan dua buah ocha dingin serta pudding apel. “Ittadakimassu.” Ujar Jesse, “Ittadakimassu,.” Balas Bianca. Mereka berdua menikmati hidangan yang tersaji dan suasana kembali membeku seperti pertemuan pertama. Jesse sebenarnya ingin berbicara, banyak hal yang ingin diketahuinya tentang Bianca, “Berapa umurmu? Kau lahir di bulan apa? Kenapa pindah ke Jepang? Kenapa memilih Arsitektur Meiji? Dan apakah kau punya pacar?” hati Jesse bergemuruh memunculkan deretan pertanyaan yang tak mungkin diucapkannya.

Jesse memperhatikan wajah muram Bianca yang menatap menembus kaca bening disebelah mereka duduk. Jesse mengikuti arah mata Bianca yang mengarah pada sepasang remaja berpakaian SMA yang sedang bergandengan tangan, “Apakah kau memikirkan seseorang?” lagi-lagi, Jesse hanya mampu bertanya dalam hatinya. Kalimat itu tak pernah keluar dari bibirnya. “Bianca, aku sudah selesai.” Ujar Jesse akhirnya. Bianca mengalihkan pandangannya kepada Jesse dan bergantian menatap mangkuk Jesse, lalu senyum Bianca terulas, “Emm.. mari kita berangkat. Sudah siang.” Jesse mengikuti Bianca yang berjalan keluar restoran dan menuju persimpangan jalan untuk menyeberang, mereka harus menuju sebuah halte untuk mendapatkan bis yang sesuai untuk mengantarkan mereka.

Mereka berdua menunggu lampu menyala hijau kembali. Lalu lalang mobil dan kendaraan lainnya tak menginterupsi kebekuan diantara mereka berdua. Bianca masih menatap ‘sesuatu’ dengan kosong dan lagi-lagi Jesse tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ting! Lampu hijau menyala kembali. Namun Bianca tidak beranjak, Jesse menatapnya bingung kemudian dengan spontan Jesse menarik tangan Bianca dan menuntunnya menyeberang. Sentuhan yang tiba-tiba itu menyadarkan lamunan Bianca, membuat Bianca menatap laki-laki dengan punggung bidang disampingnya, yang berdiri membelakanginya, menuntunnya menyeberang.

……

 

Bianca’s POV

Aku mengibaskan tangan milik Jesse begitu kami sampai diseberang. Dia menoleh padaku, wajahnya sempurna kaget namun juga berangsur-angsur merasa bersalah. “Gomen na, Bianca. Aku hanya menarikmu tadi, kulihat kau tadi seperti melamun dan tak menyadari lampu sudah berubah menjadi hijau.” Aku menarik nafasku kuat-kuat, mengisi ruang paru-paruku yang seketika kosong saat dia menarikku. Genggaman tangannya masih terasa, hawa hangat itu masih menjalar ditubuhku dan aku rasa juga kepipiku. Aku menunduk, ingin menangis karena aku merindukan seseorang itu.

“Bianca?” dia memanggilku lagi. Aku mendongakkan kepalaku, aku mengulas senyum agar dia tidak khawatir, “Aku hanya teringat sesuatu. Maaf Jesse. Tapi terima kasih.” Ujarku. Dia mengangguk memaklumiku. Kemudian kami berjalan bersama menuju halte bis. Apa yang kau lakukan padaku?

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet