untitled

Description

“Jeonggukkie punyaku.”

“Aku yakin manager tidak menyuruhmu untuk bilang hal seperti itu,”

Foreword

“Jeonggukkie punyaku.”

 

Mau tidak mau anak laki-laki ini menahan kepalanya untuk tidak mendongak mencari wajah pemilik bariton khas tersebut. Kedua tangannya dikepal di atas paha, menghela napas panjang untuk sekedar menenangkan dirinya sendiri. Ini siaran nasional—atau internasional?—dan Kim Taehyung melakukannya lagi. Strikes right on the spot, keringatnya turun dari ceruk lehernya langsung menuju leher pakaiannya, Jeon Jungkook masih dengan usaha terbaiknya menahan diri untuk tidak menurunkan senyum maupun melayangkan tonjokan pada anak Kim dengan wajah sumringah itu. Bukan tempatnya, di sini ia harus menjaga segala sesuatunya agar tetap berjalan sebagaimana mestinya.

 

Tapi dia tidak bilang kalau akan tetap berlaku di hotel kan?

 

Ya, hyung.”

 

Pintu hotelnya terbuka setelah sekian lama ia berdiam diri di dalamnya. Kim Taehyung namanya, duduk dengan pandangan segera di arahkan lurus menghadap jendela. Seluruh penghuni kamar sedang menikmati malam di Shibuya, suatu tempat terbaik yang menyajikan banyak hal kepada turis seperti mereka. Tadinya Jungkook dan Jimin bilang mereka mau beli sesuatu di mini market dan Taehyung memilih untuk diam di dalam kamar. Langit malam bukanlah suatu yang dicari sampai ia harus menatap ke luar jendela seperti itu. Hanya karena sosok pemuda dengan rambut merah padam yang kini sedang terfokus pada televisi, melempar kantung belanjaannya ke atas tempat tidur, dan kalau boleh dibilang ia merasa canggung setelah kejadian siang tadi. Itu bukan suruhan managernya, dan jangan tanya kenapa ia bilang seperti itu dengan sangat jelas.

 

“Oi?” akhirnya memberanikan diri membuka mulut setelah berusaha keras berpikir apakah ia harus menyusul para hyungnya. Dan sialan mengapa Jimin tidak kembali bersama Jungkook. Hanya mereka berdua, anak laki-laki dengan rambut kecoklatan itu perlahan menolehkan kepalanya, mencari sosok paling muda dalam grupnya itu—lantas mendapati tatapan tajam darinya. Jungkook selalu seperti itu, meski tangannya masih terangkat mengangkat remote, namun tatapannya jelas di arahkan pada Taehyung. “Kenapa, Kookie-yah?”

 

“Maksudmu apa—bilang aku milikmu, di televisi?”

 

Mati kau, Kim Taehyung.

 

Kedua tangannya naik untuk mengibaskannya di depan tubuh, gestur defensif sekaligus pertidaksetujuan atas apa yang melintas dalam kepalanya. “Aha, itu bukan seperti yang—,”

 

“Mengapa hyung bilang hal seperti itu tanpa persetujuanku?” disela cepat hingga Taehyung bahkan tak sempat menjawab pertanyaan sebelumnya dengan benar.

 

“Ah, begini, ma—,”

 

“Aku yakin manager tidak menyuruhmu untuk bilang hal seperti itu,”

 

—mati kau, Kim Taehyung.

 

Kening anak laki-laki berumur delapan belas itu mengerut. Seolah benar-benar tidak setuju. Helaan napas terdengar ketika Taehyung sama sekali tidak berkutik setelahnya. Bukan kali pertama protesnya diajukan atas seluruh tindakan Taehyung saat kamera menyorot pada mereka. Kali itu di acara fansigning di daerah Gwangju, lalu Busan, benar-benar bukan kali pertamanya. Taehyung masih diam dengan mengulum bibir bawahnya, menatap jauh-jauh pada sudut tempat tidur alih-alih menatapi wajah Jeon Jungkook. “Maaf—em, lain kali—,”

 

“Lain kali bilang dulu,”

 

Eh?

 

Matanya berkedip, perlahan mendongak mencari wajah Jungkook tanpa sadar. Namun yang didapati hanya Jungkook menatap jauh pada remot televisi di tangannya, berpura-pura sibuk dengan tombol di atasnya. Erg, sialan.

 

“Ja, jadi aku tidak harus terlalu terkejut,” dan decihan samar di akhir ucapan. “Mengerti?”

 

“Eh, apa—,”

 

“Bilang saja kau mengerti, tsch.”

 

Dan sebuah remote tv melayang ke arah anak Kim.

 

 

 

 

 

CIH, SIALAN JEON JUNGKOOK,” dihentakan kakinya keras-keras. Anak laki-laki dengan kaus lengan terbuka itu menendangi kaleng minuman hingga menghantam tembok di depannya. Beberapa orang yang lewat sudah memperhatikan dengan wajah prihatin, dan Park Jimin hanya sanggup berjongkok di sisi jalan untuk menutupi wajahnya sendiri. Bodoh sekali bisa ditinggalkan dalam keadaan seperti ini, apalagi dia tidak hapal dengan daerah sekitaran hotelnya. Napasnya tersenggal setelah sekian lama mencari Jungkook, satu orang yang pergi bersamanya malam ini. Sial, kenapa menghilang tiba-tiba. Ponselnya pun dimatikan.

 

Padahal tadi ijinnya hanya pergi untuk membeli takoyaki di kedai sisi jalan. SEKARANG APA?!

 

“Oi, Jiminnie.”

 

Oh?

 

Sesegera mungkin berdiri dan menolehkan kepala. “Jung—ah, hyung,” nada kecewa di akhir itu tak sanggup disembunyikan kala bahunya ditepuk dengan kasual oleh Yoongi. Tsk, “Kau sudah pulang hyung? Yang lain mana?”

 

“Aku sakit perut,” helaan napas panjang diberikan sebelum Yoongi menarik bahu dalam rangkulannya. “Yang lainnya masih jalan-jalan. Kau ngapain di sini?”

 

“Jungkook menghilang,” kedua tangannya masuk ke dalam saku celananya. Jimin menghela napas panjang setelahnya, “Kucari tapi tidak ada. Menghilang begitu, padahal tadi bilangnya mau beli takoyaki.”

 

“Ya sudahlah,” kening pemuda Min itu berkerut, berusaha mengingat-ingat kalau ia sempat melihat anak Jeon itu masuk ke pelataran hotel—beberapa meter dari tempatnya sekarang. Tadinya ia mau cari makanan ringan untuk Taehyung, katanya anak itu sendirian di dalam hotel. Jadi sekarang, apa masih perlu membelikan makanan ya?

 

“Kita makan saja deh, aku lapar.”

 

Lho, tadi katanya hyung sakit perut—,”

 

Sssh, jangan banyak protes. Yuk.”

 

- end -

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet