Disturbance
Marquee ReflectionAku kembali masuk ke dalam gedung dan menyeka wajahku yang basah karena air mata setibanya di dalam lift. Aku menyentuh dadaku, merasakan sakit yang seolah-olah menggerogoti jantungku, merasakan sakit yang selama ini terus aku hindari dengan susah payah.
Kenapa Jongin? Kenapa kau melakukan semua ini? Kenapa kau mendatangiku kembali untuk menyakitiku? Itukah tujuanmu?
Aku tidak habis pikir dengan apa yang Jongin lakukan, ia mendatangiku setelah pertemuan terakhir kami sekitar dua bulan yang lalu, bahkan itu bukan kesengajaan. Kami bertemu saat sedang berkunjung ke kafe Minseok, kebetulan kami datang seorang sendiri, jadi kami bergabung minum bersama. Saat itulah terakhir kalinya kami bertemu, kami baik-baik saja, terus menjaga sikap untuk memperbaiki hubungan kami yang tidak baik sejak kami putus. Pertemuan terakhir kami sangat baik, hingga beberapa saat lalu ketika ia tiba-tiba berdiri di depan pintu kamarku, mengacaukan semuanya dan menyakiti hatiku lagi. Kenapa Jongin?
Aku mencoba sebisaku untuk memperbaiki hubungan kami berdua, tapi apa yang Jongin lakukan? Ia justru merusaknya.
Kakiku melangkah dengan lesu saat denting lift berbunyi menandakan aku telah sampai di lantai yang aku tuju. Aku mengusap seluruh air mata yang tersisa di wajahku, menarik napas dalam-dalam dan menghelanya, menyeimbangkan suaraku yang parau karena tangis. Aku tidak ingin Sehun melihatku seperti ini.
Tanganku membeku di ganggang pintu sejanak saat melihat Sehun berdiri menggenggam segelas air putih di depan jendela, ia melihat yang terjadi. Taman sangat terlihat jelas dari balik jendela dan Sehun telah berdiri di sana, sejak kapan? Aku tidak tau sejak kapan Sehun berdiri di sana, mungkin memang benar ia melihat semua yang terjadi antara aku dengan Jongin.
Kututup pintu dan berjalan pelan ke arah Sehun.
“Kalian sering bertemu?” tanya Sehun mengejutkanku. Wajahnya masih menatap ke luar jendela, kedua tangannya memutar-mutar bibir gelas.
Aku menelan ludah. Merasa gugup karena Sehun melihat kami berdua.
“Tidak. Hanya beberapa kali. Itupun karena tidak disengaja.” Jelasku dan membela diri.
Wajahnya yang keras dan kaku kembali terpasang, mimik yang sangat tidak ku suka dari Sehun. Ia terlihat sangat dingin sekarang dan itu membuatku tidak nyaman.
Karena kedatangan Jongin pagi ini, membuat mood kami jadi berantakan. Sehun pun merasakan hal yang sama. Kenapa?
Mungkinkah Sehun cemburu? Benarkah Sehun cemburu?
Aku penasaran memikirkan kira-kira akan seperti apa saat Sehun sedang cemburu. Dan aku tergoda untuk memastikannya.
“Apa tidak apa-apa jika aku bertemu dengannya?” aku bertanya hati-hati. Memancingnya sedikit untuk menunjukan sikap cemburunya.
Sehun berbalik perlahan, satu tangannya masuk ke dalam saku celana dan satu tangannya masih menggenggam gelas. Lalu ia tersenyum dan menatapku hangat, membuatku bingung karena perubahan sikapnya yang begitu drastis dalam waktu singkat. Aku menaikkan kedua alisku. Apa Sehun bersikap seperti ini jika sedang cemburu?
“Tentu saja. Apapun yang ingin kau lakukan, lakukanlah. Jangan merasa terbatasi karena ada aku sekarang.”
Kurasa bukan seperti itu jawaban seseorang yang sedang cemburu. Lalu apa maksud kata-kata Sehun barusan? Itu tidak ada indikasi ia cemburu atau semacamnya.
“Bukan. Bukan itu maksud−“ aku memotong perkataanku sendiri saat menatap wajah Sehun yang tidak menggambarkan seseorang yang sedang cemburu, lalu aku tau jawaban dari pertanyaanku sendiri. Sehun tidak cemburu. “Baiklah. Aku mengerti.”
Sehun meletakkan gelas air putihnya di atas meja di dekat jendela.
“Aku harus pergi sekarang.” Katanya.
Aku sedikit terkejut mendengarnya, walau sebenarnya aku juga tidak ingin bersama Sehun saat sedang dalam keadaan seperti ini. Jongin sangat merusak suasana hatiku saat ini, parahnya aku tak bisa mengatasi itu dengan kehadiran Sehun. Tidak saat Sehun mengetahui apa yang terjadi antara aku dan Jongin di taman. Lalu apa jadinya jika Sehun tau apa yang kami berdua bicarakan? Mendengar Jongin telah mengetahui hubunganku dengannya. Aku tidak bisa membayangkan seperti apa raut wajahnya sekarang jika ia tau.
Sehun berjalan menghampiriku yang sekarang duduk di tepi ranjang, ia berdiri di depanku dan meraih sisi wajahku. Mengusap bekas air mata yang beberapa waktu lalu mengalir di pipiku, seolah-olah air mataku masih ada di sana dan ia menyingkirkannya pelan. Mata kami saling pandang, matanya yang begitu hangat membuatku merasa lega sesaat. Membuat perasaanku yang buruk menghilang entah kemana.
Dan rasanya salah jika aku harus membiarkannya pergi saat ini. Aku membutuhkannya.
Membutuhkannya untuk menenangkan perasaanku dan menghangatkan hatiku. Aku tidak ingin Sehun pergi. Aku menggenggam tangannya yang terkulai di samping badannya, Sehun membungkukkan tubuhnya dan mencium bibirku lembut. Ia merebahkan tubuhku ke atas ranjang perlahan dan tubuhnya menindihku, aku memeluknya dan memainkan tanganku di punggungnya, Sehun tersenyum kecil disela-sela ciuman kami.
Aku menarik kepalanya lebih dekat, mengalungkan kedua tanganku ke belakang lehernya, menciumnya lebih dalam dan menahan Sehun selama mungkin untuk tetap bertahan. Aku tidak ingin Sehun pergi. Sehun terus menciumku dan aku pun sebaliknya, sampai Sehun melepaskan kedua lenganku yang masih menggantung di lehernya, yang enggan untuk beralih.
“Aku. Harus. Pergi.” Ucapnya terengah-engah di depan wajahku. Aku memandangi wajahnya. Memberinya pengertian aku tidak ingin ia pergi melalui tatapan mataku. Sehun melihatnya dan menggeleng pelan.
“Ada hal yang harus ku urus, Eunjoo. Aku tidak bisa.” Katanya masih menatapku.
Aku menarik punggungnya erat-erat. Sehun menipiskan jarak tubuh kami lagi dan kembali menciumku singkat, lalu ia beranjak dari ranjang.
Aku tidak bisa menahannya pergi. Sehun mengemasi barang-barangnya dan aku mengerucutkan bibir sebal. Sehun tertawa dan menuntunku untuk mengantarkannya ke depan pintu.
“Jangan bersedih. Kau bisa memanfaatkan hari ini untuk pergi ke toko atau pergi bersama Yoomi dan teman-temanmu.” Katanya sambil merangkul pinggangku dan aku menyandarkan kepalaku di bahunya. “Percayalah, aku juga masih ingin berlama-lama denganmu.” Goda Sehun, aku mendengus pelan.
Ia membuka pintu dan berbalik menghadapku. “Kembalilah secepat mungkin.” Kataku menghampirinya lebih dekat dan menciumnya singkat di bibir. Sehun tergelak dan mengusap pipiku pelan.
“Tentu.”
Lalu Sehun pergi dan meninggalkan rumah. Aku berbalik menghadap ruangan dan memandangi seluruh isi ruangan yang sangat sepi, kosong. Aku menghela napas panjang, memunguti barang-barang yang berjatuhan di lantai dan menatanya kembali ke tempat semula.
Aku tidak tau akan melakukan apa hari ini. Kebiasaan bersama Sehun selama beberapa minggu ini membuatku ketergantungan. Aku jadi terbiasa melakukan segala sesuatunya bersama Sehun, lalu ketika saat-saat seperti ini terjadi, aku tidak tau lagi ingin melakukan apa. Mungkin Sehun benar aku bisa memanfaatkan hari ini untuk pergi ke toko ataupun pergi bersama Yoomi. Dan yang jelas tidak dengan teman-temanku seperti yang dikatakan oleh Sehun, aku tidak lagi punya teman, teman baru setidaknya. Teman-temanku hanya berasal dari masa lalu. Walaupun aku punya teman baru saat kuliah, mereka tidak benar-benar temanku, hanya sekedar teman sekelas ataupun teman satu kelompok saat tugas. Lagipula mereka juga tidak ingin berteman denganku tentu saja. Tidak pernah ada yang sampai ke hati lagi seperti Yoomi.
Setelah membersihkan ruangan, membersihkan diri dan sarapan hingga siang hari, akhirnya aku memutuskan untuk berkunjung ke toko. Aku harus mengecek laporan Jimin tentang aktifitas di toko akhi
Comments