Ignorance
Marquee ReflectionWarning: Sehun-Eunjoo shippers please prepare your heart :)
Yoomi melangkah ke dalam kamar mandi untuk membasuh wajahnya setelah beberapa menit terlarut dalam pembicaraan masa lalu, ia mencapai pintu dalam beberapa langkah, membukanya pelan-pelan, kemudian lenyap di baliknya. Aku mencoba mendengar suara gemercik air yang mengalir melalui keran, tapi tidak terdengar apa-apa.
Aku berbaring lagi di atas sofa, benakku bergejolak. Aku terlalu bingung, terlalu lelah. Kupejamkan mata, berusaha mencerna semuanya, tapi detik berikutnya ketidaksadaran menelanku begitu cepat hingga terasa membingungkan.
Bukan tidur damai seperti yang kuperkirakan−dan tentu saja bukan. Lagi-lagi aku melihat diriku berdiri di tengah-tengah kota, mulai berkeliaran seperti yang kulakukan. Dengan cepat aku menyadari mimpi ini kembali menyelimutiku untuk beberapa saat seperti biasa. Pertama, dimulai dengan kebingungan yang menyergapku begitu mengetahui aku sedang berdiri di tengah keramaian bisu yang sangat menyesatkan. Aku berteriak pada orang-orang yang berlalu lalang, tapi tak satupun dari mereka yang mendengarku. Kemudian setting berganti begitu cepat membawaku ke tengah hutan, menyuguhkan kehadiran Sehun dan Junhee yang saling berpelukan di jajaran pohon paling ujung dari jarak pandangan yang bisa kutempuh. Kepalaku seperti berputar-putar ngeri, melihat mereka berdua tanpa kuasa, membungkam mulutku sendiri dengan telapak tangan. Sementara tanganku terangkat, ada rasa berat yang menggantung di lenganku. Menolehkan kepalaku ke samping dan menemukan Sehun lagi sedang mencengkeramnya kuat, detik berikutnya yang kutahu, tiba-tiba Sehun mendorongku ke samping, di mana jurang curam berada.
Harusnya aku mati, karena tak mungkin ada manusia yang sanggup hidup setelah terjatuh dari jurang curam berbatu tajam yang kelewat tinggi itu. Tapi aku tidak mati, karena sesampainya tubuhku di atas tanah dan melihat ke sekeliling, aku mendapati diriku sendiri sedang tersungkur di tengah-tengah lapangan hijau yang tersiram cahaya matahari menyilaukan.
“Lari, Eunjoo, kau harus lari!” teriak seseorang, penuh kemarahan.
Gelombang ketakutan merambat ke seluruh tubuh saat aku menoleh ke samping dan melihat Jongin sedang terjebak di pohon paling dekat dari posisiku, dengan tali terbelit di sekitar tubuhnya. Aku terkesiap menahan air mata.
“Lari, sekarang!” Jongin kembali memerintah.
“Tapi Jongin… kau… aku tidak bisa pergi meninggalkanmu…” aku beranjak mendekat ke tempat ia diikat.
“Pergi! Sekarang!” teriaknya begitu kerasa sampai memekakan telinga.
Tangan dingin menyergapku, aku berpaling dan melihat tangan Sehun menyeretku menjauh dari Jongin, aku berontak melepaskan diri tapi genggamannya jauh lebih kuat dari yang kubayangkan. Ia menyeretku menjauh dari Jongin, tapi baru beberapa langkah kami meninggalkan Jongin, tanah yang kami pijaki tiba-tiba menjadi lembek dan membuatku terperosok ke dalam tanah bersama Sehun.
Aku terbangun sambil menjerit sekeras-kerasnya. Nyaris berharap napasku tak habis karena terlalu banyak dikeluarkan. Ini bukan jeritanku yang biasa. Kubenamkan kepalaku di bantal dan berusaha meredam jeritan histeris yang akan menyeruak dari tenggorokanku.
“Eunjoo… Eunjoo… tenang, tenang.” Kukenali suara Yoomi yang memegangi tubuhku kencang-kencang membuatku tenang kembali. Aku berguling untuk melihat wajahnya saat kusadari seharusnya aku terjatuh ke lantai karena ukuran sofa yang terlalu sempit untuk bisa membuatku berguling. Tapi tubuhku tidak bertemu dengan lantai lalu tahu aku sedang tidur di ranjang.
Aku terlonjak dan langsung bangun dari tempat tidur. Itulah kenapa aku tidak ingin tidur di ranjang seperti sebelumnya, karena setiap kali tubuhku terlelap di atas busa empuk yang nyaman itu, mimpi yang ditimbulkan justru tidak nyaman sama sekali. Walau mimpi buruk itu masih menghantuiku hampir setiap malam, dengan tidur di sofa mimpi itu menjadi tidak terlalu buruk.
Yoomi melingkarkan tangannya dan memeluk tubuhku, aku menyandarkan kepalaku ke bahunya dan langsung menuju ke sofa begitu Yoomi melepaskan pelukannya.
“Mimpi buruk?” tanyanya meneliti wajahku.
“Hampir setiap malam.”
“Itu hanya mimpi, Eunjoo. Mereka tidak nyata.” Katanya membuatku lebih tenang.
Tapi mimpi itu terlalu nyata untuk dikatakan sebagai mimpi. Mereka seperti berlanjut setiap malam, secara bergantian membunuh Sehun atau Jongin atau membunuh diriku sendiri. Aku bukan pecinta horor yang bisa saja menganggap mimpiku justru menyenangkan. Tak ada yang menyenangkan sama sekali. Aku harus terbangun dengan baju basah kuyup setiap pagi karena bermandikan keringat akibat mimpi buruk.
Sejak kepergian Sehun, tidak hanya saat tertidur ketika mimpi buruk itu muncul, bahkan ketika aku sadar dan melakukan segala sesuatu tanpa kehadirannya, tak jauh beda untuk dikatakan sebagai mimpi buruk yang menjadi kenyataan.
Aku pergi ke kamar mandi dan membasuh wajahku berulang kali di westafel, mencoba menghilangkan pikiran-pikiran buruk yang bertengger di kepalaku setiap saat.
Mataku tertumbuk pada bungkusan tipis yang kuletakkan di lemari kecil di samping cermin. Aku menggapainya dan membukanya dengan hati-hati.
-
“Kau harus makan, Eunjoo!” mungkin sudah lebih dari dua puluh kali Yoomi mengatakan itu sepanjang pagi hingga menjelang siang tapi aku tak menyentuh makanan yang tersedia di atas meja sama sekali. Aku hanya duduk di sofa, tidak menggeleng, tidak mengangguk, tidak mengatakan apapun untuk menjawab Yoomi. Nyatanya mataku hanya terpaku pada jendela kaca seperti biasa, terlarut dengan pikiranku sendiri.
Tak ada alasan lagi bagiku untuk makan.
Kalau sebelumnya aku mampu menjejalkan makanan itu ke dalam mulutku karena tuntutan kewajiban−sebagai seorang ibu, kali ini pemikiran itu lenyap. Tak ada seseorang di dalam perutku, tak ada jiwa lain di dalam diriku, tak ada tubuh lain yang menyatu dengan tubuhku. Itu hanya omong kosong.
Hasilnya negatif.
Seperti yang sebelumnya kupikirkan, aku tahu aku sendiripun ragu dengan hasilnya, tapi dengan memaksakan kehendak untuk percaya bahwa semuanya akan berjalan dengan lancar, hanya membuatku berharap terlalu tinggi. Dan ketika hasilnya tidak seperti yang kuinginkan, itu membuatku sangat terpukul bagaikan terhempas dari langit ke tujuh dan terjatuh di tanah penuh kesakitan.
Tak ada alasan lagi untuk membuat Sehun bertahan.
Yoomi mengerang kesal saat aku tidak menggubrisnya sama sekali, menyerah untuk membujukku makan dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Terjebak lagi. Di dalam keadaan seperti ini. Walaupun kesakitan ini sangat tidak bisa ditolerir karena kepergian Sehun, aku tak bisa berhenti mencintainya. Tapi aku muak dengan semua yang terjadi. Aku muak dengan diriku sendiri, dengan jalan cerita cintaku yang selalu gagal. Kenapa pada akhirnya harus selalu aku yang terluka?
Sampai kapan aku akan menunggu keajaiban datang dan membuat Sehun kembali, sementara kemungkinannya hampir nol persen untuk merubah pikiran Sehun. Untuk apa aku selalu berharap dengan cintanya yang hanya datang di akhir cerita... aku bahkan tak tahu apakah saat ini ia masih mencintaiku atau tidak, karena setelah pengakuan yang ia ucapkan di akhir pertemuan kami, ia sama sekali tak pernah mencoba untuk menghubungiku. Seolah kata cintanya saat itu hanyalah sebagai pintu penutup dari hubungan kami. Tidak ada kelanjutan, tidak ada kepastian.
Atau karena aku tak ingin mengakui kepastian yang sebenarnya telah Sehun sampaikan. Kepastian akan cinta Sehun yang tak pernah ia letakkan di hatiku dengan sungguh-sungguh. Haruskah aku mencari kepastian itu lagi? Karena aku tak mungkin menjalani sisa hidupku dengan selalu bertanya-tanya apakah Sehun sungguh-sungguh dengan perasaannya padaku atau tidak.
Dengan gerak otomatis, aku menoleh ke pintu kamar mandi, mendengar air yang mengalir melalui shower, lalu beranjak dari sofa dan berpakaian rapi dalam waktu kilat, mengenakan kemeja, celana jeans dan sepatu simpel, menyambar tas dan ponsel di meja rias. Keluar dari kamar secepat mungkin sebelum Yoomi selesai membersihkan diri.
Tanganku melambai pada taksi yang baru saja lewat di jalan dekat gedung apartemen. Aku mengecek jam di tangan kiriku yang menunjukkan pukul sebelas siang, kuharap Sehun di rumah dan belum pergi ke kantor atau semacamnya, mengingat hari ini adalah hari minggu, semoga saja ia bebas kerja.
Bermodal kenekatan, aku berbicara pada sopir taksi di mana ia harus menurunkanku. Butuh waktu duapuluh lima menit untuk sampai di tempat Sehun tepat waktu, tanpa kemacetan yang menghadang tentu saja.
Jantungku berdegup tidak teratur, pelan, cepat, pelan, cepat. Setiap kali memikirkan bagaimana aku akan bertemu dengan Sehun nanti, denyut yang kurasa semakin berpacu dan membuatku berkeringat dingin karena terlalu gugup. Kugenggam gelang pemberian Sehun dengan tangan bergetar, mencari cara untuk membuatku kuat, membiarkan kekuatan yang ada di dalam gelang itu tersalur ke tubuhku untuk membuatku berani.
Aku mengabaikan hampir semua panggilan Yoomi dan tidak membalas pesan yang ia kirimkan. Maafkan aku Yoomi, ada yang harus kupastikan lagi. Aku tak bisa membuat Yoomi terjatuh dengan permasalahanku−yang aku yakin ia pasti akan membantuku setulus hati. Tapi untuk kali ini saja, kuharap ia tak keberatan.
Di tengah-tengah lautan panggilan Yoomi yang tak ku angkat, panggilan lain menyelip di antaranya, aku memandangi layar ponselku begitu lama, bimbang antara akan mengangkatnya atau tidak.
“Halo...” akhirnya aku mengangkat panggilannya.
“Halo... Ehm, Eunjoo. Aku harus mengatakan sesuatu. Aku tak tahu apa kau akan mendengarnya atau tidak, tapi aku akan tetap mengatakannya padamu sekalipun kau tak ingin mendengarnya.” Jongin berhenti, memberiku kesempatan untuk menanggapinya, tapi aku hanya terdiam, kalau Jongin sudah berkata begitu, aku tahu ia akan sangat ngotot, jadi kubiarkan saja.
Kuangkat kepalaku saat kendaraan yang kunaiki memasuki wilayah yang pernah kudatangi sebelumnya dan mengenalinya dengan cepat rumah Sehun yang sedang ku tuju. Aku menegakkan punggungku, menyisir rambut dengan jari-jariku.
“Aku hanya−”
“Jongin, maaf aku sedang buru-buru. Kau bisa menghubungiku lagi nanti.” Kataku cepat-cepat.
“Kau sedang keluar−”
Bip.
Kuputus panggilannya dan membuka pintu samping saat taksi berhenti, menyodorkan beberapa lembar won dan berlalu ke halaman rumah Sehun.
Tanganku bergetar saat menekan bel rumahnya, masih tidak tau harus memasang ekspresi seperti apa di depan wajahnya. Mungkin aku harus ramah seperti biasa, karena aku harus bicara baik-baik dengannya.
Setelah mendentingkan bel sebanyak dua kali, akhirnya pintu rumah terbuka, aku mendongak untuk mendapati Sehun berdiri di sana. Tapi yang kulihat bukan orang yang kuharapkan.
“Hei, Joo.” Ucap Kyungsoo, membuka pintu lebih lebar dan mempersilakanku masuk ke dalam ruangan.
“Sehun...?” tanyaku tanpa basa-basi, meremas-remas telapak tanganku yang berkeringat.
Kyungsoo menatapku ragu, “Eh... ada di kamarnya.”
Begitu Kyungsoo tidak mengatakan apapun lagi, aku langsung berlari ke lantai dua di mana kamar Sehun berada dan berhenti di ambang pintu penuh kecemasan. Cemas dengan apa yang akan terjadi selanjutnya karena aku sama sekali tak bisa membayangkannya.
Aku mengetuk pintu kamarnya sekali, lalu menggapai kenop pintu dan melongok ke dalamnya dengan hati-hati. Mataku mencari Sehun di dalam ruangan saat ia baru saja keluar dari kamar mandi dengan hanya sehelai handuk menutupi bagian bawah tubuhnya. Napasku tercekat melihatnya hanya mengenakan itu. Seolah aku tak pernah melihat yang lebih dari itu. Tapi sekarang bukan waktu yang tepat untuk memikirkannya. Aku hampir berbalik untuk menyembunyikan wajahku yang memanas saat Sehun menyadari keberadaanku.
“Eunjoo..” ujarnya pelan.
Kemudian aku berbalik, menghadapinya dengan jantung yang terus berdegup kencang tak mau berkompromi. “Hai...” kataku melambaikan tangan singkat dengan canggung. Aku tak tau kenapa aku melakukannya dan itu terasa memalukan, tapi aku tidak menghentikan langkahku untuk mendekat padanya sampai menyisakan jarak sekitar dua meter di antara kami. Mata kami terkunci dan matanya memantulkan tatapan bertanya-tanya yang kujawab dengan tatapanku yang tegas dan keras.
Kulepas sepatuku satu per satu dan meninggalkannya di ambang pintu. Tanganku yang bergetar terangkat dan menggapai kancing baju, membukanya satu per satu tanpa melepas kontak mataku pada Sehun. Ia mengangkat alis terkejut dan kekhawatiran timbul di dalam matanya.
“Eunjoo, apa yang kau la−”
“Aku menginginkanmu!” seruku tanpa membiarkan ia menyelesaikan kata-katanya. Aku menghirup napas dalam diam saat tanganku berhasil membuka kancing terakhir di bajuku. Menurunkan bahannya melewati bahu dan melepaskannya perlahan sambil berjalan lebih dekat padanya. Kulepaskan genggamanku pada kemeja itu dan berdiri beberapa inci dari tubuh Sehun, hanya meninggalkan bra yang kukenakan untuk menutupi bagian atas tubuhku. Ia menatapku penuh kebingungan.
“Tapi kau bilang−”
“Aku tak peduli lagi dengan apa yang orang lain katakan. Aku hanya menginginkanmu.” Tatapan Sehun turun ke bagian tubuhku yang terkekspos, aku menggapai tangannya dan menggenggamnya lembut, aku menyeringai saat merasakan jemarinya merespon apa yang kulakukan. Telapak tanganku menyusuri bahunya yang telanjang dan menggapai tengkuknya untuk membuatnya menunduk, berjinjit dan menggapai bibirnya dalam gerakan yang pelan.
“O-oke.” Ujarnya bingung.
Kupejamkan mata saat merasakan bibirnya yang kurindukan menyapu bibirku lembut, Sehun tidak menolak dengan apa yang kulakukan. Ia meletakkan tangannya di ping
Comments