Red Dress

Puzzle of My Heart
Please Subscribe to read the full chapter

Seperti hari minggu biasanya, Nayoung berniat menghabiskan waktu lebih banyak di atas ranjang empuknya kalau saja, si sahabat tercinta; Li Na tidak menerobos masuk ke dalam kamarnya dan mengganggu mimpi indahnya yang tak terlanjutkan. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi saat Nayoung mengintip jam beker di atas meja di samping ranjang.

“Ayo bangun…” Li Na menarik lengan Nayoung dengan susah payah, membuat Nayoung mengerang keras tak berkeinginan untuk merebahkan badannya selain di ranjang. “Nayoung… bangun.”

Li Na mendesah hebat saat ia berhasil menggulingkan Nayoung dari tempat tidur, ia menyeret kakinya lebih jauh menuju ruang tengah di mana meja yang biasa mereka gunakan untuk makan berada. Nayoung dengan sangat enggan dan terpaksa membuka matanya yang masih berat, “Apa sih kau ini, Li Na…” ia bergumam kesal karena minggu paginya tidak berjalan sesuai rencana. Walau sedikit banyak, ia tahu ini akan terjadi.

“Matahari sudah terbit sejak kau masih mendengkur, idiot! Ini hari minggu! Masa kau akan menghabiskan waktu dengan tidur sepanjang hari? Lagi!” Li Na mengomel karena kebiasaan Nayoung yang lebih sering menghabiskan hari minggunya terbenam di tumpukan busa kasur.

“Ugh… aku kan capek. Aku butuh banyak istirahat sebelum kompetisi akan menjajah tubuhku, tahu!” Ia membalas Li Na tak kalah ketusnya.

Belum sempat Li Na menimpali lagi ucapan Nayoung, bel kamarnya berbunyi dan ia melek seketika karena tidak menyangka akan kedatangan tamu sepagi itu, dan parahnya ia belum membersihkan diri.

Ia dan Li Na menoleh ke arah pintu dengan terkejut, saat seseorang di luar itu berseru, “Delivery order!” mereka berdua saling bertukar pandang.

“Kau yang pesan?” Nayoung menanyai Li Na.

“Iya. Aku kelaparan dan malas keluar. Lagipula ada yang berhutang cerita padaku.” Jawabnya seraya berjalan ke arah pintu dan menerima pesanan yang baru datang. Li Na memberi pengirim makanan beberapa lembar uang dan menutup pintu setelah transaksi selesai.

Li Na menenteng kardus berisi pizza ukuran sedang, lalu ia meletakannya di atas meja sebelum menyantapnya potong demi potong. “Pengertian sekali, aku juga kelaparan.” Nayoung mengambil dua potong pizza yang ia tumpuk seperti sandwich. Li Na menggeleng-geleng tak percaya melihat cara makan Nayoung yang tak biasa.

“Pizza ini tak gratis, kau tahu kan?” Li Na memulai, mengelap sudut bibirnya yang belepotan.

Nayoung memanyunkan bibir sebal, “Iya tahu.” Ia bersandar ke sofa di belakangnya selagi melahap pizza di tangannya. “Mau tahu tentang apa?” Tanya Nayoung dengan gayanya yang sok.

“Tentang kemarin tentu saja!” Li Na mencondongkan tubuhnya ke meja, “Ke mana saja dengan Yixing?”

Nayoung menimbang-nimbang sebelum menjawab, sedikit menggoda Li Na yang kini mengerutkan kening sebal. “Hanya jalan-jalan. Kau pikir kami akan ke mana? Aku kan belum terlalu akrab dengannya. Aku bingung sendiri kalau keadaannya seperti kemarin.” Nayoung mengingat-ingat kejadian yang terjadi antara dirinya dan Yixing.

“Hanya itu? Sayang sekali.” Li Na mengungkapkan kekecewaannya, padahal ia berharap lebih dari itu.

“Aku tidak mengerti, Li Na. Kenapa kami berdua begitu, ya? Kenapa aku masih belum bisa seperti kau dan dia yang dengan gampangnya bisa membicarakan banyak hal. Kami juga begitu, sih, tapi tetap saja berbeda.” Dengan nada bicara Nayoung yang mulai antusias, Li Na tahu ia telah berhasil memancingnya keluar dari setengah kantuk yang sebelumnya masih menjajah Nayoung.

“Karena aku tidak menyukai Yixing seperti kau menyukainya. Dia bagaikan saudara untukku, sedangkan kau menganggapnya sebagai laki-laki.” Ujar Li Na lugas.

Nayoung memanyunkan bibir lagi, membatin apa benar ia sudah menganggap Yixing sebagai seorang laki-laki dan ia menyukainya sedemikian rupa. “Aku masih belum memastikan.”

“Apanya yang perlu dipastikan? Sudah tergambar jelas di wajahmu, tahu.”

Seketika saja Nayoung menyentuh wajahnya, mengulas kembali rasa panas yang ia dapat di sana hari sebelumnya. Bagaimana perutnya terasa bergejolak setiap kali bertatap mata dengan Yixing dan pikirannya langsung melayang entah kemana setiap kali Yixing menaruh perhatian padanya.

“Benar, kan?” Li Na mencari persetujuan.

Nayoung hanya mengangkat bahu, tidak ingin menjawabnya.

“Kemarin aku juga ke teater rahasia.” Ucapnya, membuat Li Na terkejut.

“After School Paper? Bersama Yixing?” Kalau mereka sedang di tempat umum, Nayoung pasti sudah membekap mulut Li Na karena suaranya yang terlalu keras dan membuat malu, tapi untung saja mereka sedang di dalam ruangan dan tak perlu mengkhawatirkannya.

Nayoung mengangguk singkat. “Kami bertemu Soljin, dan katanya ia akan mulai pentas pekan depan.”

Li Na mengambil potongan pizza lagi di dalam kardus, “Pantas saja aku tak pernah bertemu lagi di tempat kerja paruh waktunya. Ternyata ia lolos audisi, ya.”

“Dan kemarin Yixing membelikanku tiket, katanya untuk aku dan dia nonton pekan depan.”

Nayoung bersyukur sekali ia tidak tersembur pizza yang sedang Li Na kunyah karena ia justru tersedak makanannya sendiri saat berusaha berkata, “APA?” dengan nada suara yang memekakan telinga. Nayoung berlari ke arah kulkas dan mengambilkan minum untuk Li Na yang terbatuk-batuk. Dan ia tahu itu akan terjadi.

Li Na mendelik pada Nayoung, “Serius?”

“Seratus persen serius.” Jawab Nayoung mantap.

Li Na juga dengan mantap mengacungkan jempolnya pada Nayoung, “Perkembangan pesat!”

Kemudian mereka berdua tertawa.

Nayoung masih memakan pizzanya saat ia terpikir kalau Yixing kemarin tidak mengajaknya menonton bersama. Ia hanya menjawab kalau tiket yang dibelinya adalah untuk dirinya dan Nayoung. Secara otomatis sebenarnya Yixing mengajak Nayoung menonton bersama, kan? Entahlah. Nayoung beranggapan kalau Yixing melakukannya, meskipun secara tidak langsung.

“Li Na,” Nayoung memanggilnya dengan lembut, terdengar serius. Li Na mendongak ke arahnya, “Menurutmu aku menyukai Yixing sebagai seorang laki-laki?”

“Kulihat, sih, seperti itu.” Jawab Li Na yakin tidak yakin. “Memangnya tidak?”

“Kurasa juga seperti itu.” Nayoung berhenti sejenak, “Tapi aku takut menyukainya. Kalau ia tak suka padaku seperti aku menyukainya, bagaimana?”

Li Na tertawa kecil, “Belum juga dimulai, tapi kau sudah berpikiran yang tidak-tidak. Kalau Yixing tak menyukaimu, untuk apa ia menghabiskan waktu yang seharusnya ia gunakan untuk istirahat tapi justru mengajakmu menonton bersama?”

Benar juga apa yang dikatakan Li Na, tak ada alasan lain bagi Yixing yang akhir-akhir ini mulai memendekan jarak dengan Nayoung. Ia berpikiran sama dengan Li Na, mengangguk-angguk kecil mengerti.

Ada kemungkinan kalau Yixing merasakan hal yang sama seperti Nayoung, meskipun belum bisa Nayoung pastikan kebenarannya, tapi ia akan menunggu saat itu akan datang. Di mana perasaannya dan perasaan Yixing bisa bersatu. Kalau Tuhan menghendaki.

Matahari mulai menyinari bumi dengan teriknya, mengingat musim panas akan segera datang. Saat itu juga Nayoung beranjak dari meja setelah mengobrol beberapa hal lebih banyak dengan Li Na, meninggalkannya yang kini sedang bermain gitar di sudut ruangan. Ia pergi ke kamar mandi dan membersihkan diri. Sore ini ia ada latihan, jadi Nayoung harus bersiap-siap.

-

Selama beberapa hari ke depan, Nayoung tahu ia tak bisa melewatkan latihan setiap usai kuliah. Padahal ia belum menyiapkan dress code untuk menonton pentas. Ia baru menyadarinya saat ia sedang memperhatikan tiket yang dibelikan Yixing, di bagian bawah tertera keterangan untuk datang menggunakan dress code warna asmara. Tadinya Nayoung tersenyum konyol saat pertama kali membacanya. Pentas sebelumnya yang pernah Nayoung tonton, ia menggunakan warna gelap sebagai dress code, dan kali ini adalah warna asmara. Yang tak bisa Nayoung uraikan seperti apa warna asmara itu.

Ia mengambil gambar tiket itu dengan ponselnya, kemudian mengirimnya pada Yixing untuk memberitahukan padanya dress code yang harus digunakan saat menonton pentas besok. Menurut Yixing warna asmara yang di maksud adalah warna-warna seperti merah, merah muda, dan putih.

Kau mau pakai baju warna apa?

Nayoung bertanya pada Yixing lewat pesan singkat sesaat kemudian.

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet