Seribu Tahun Lamanya

Seribu Tahun Lamanya

Kamera DSLR itu terjatuh ke lantai dengan benturan keras, mengagetkan semua orang di sekitarnya. Yixing membeku; kedua tangan yang tadinya memegang kamera tersebut, masih mengambang di udara ketika para karyawan yang berada di studio foto menoleh memandanginya. 

 

 

"Kau baik-baik saja?" tanya asistennya yang buru-buru berjongkok memunguti kepingan-kepingan kamera yang dulu pernah diklaim Yixing sebagai favoritnya . 

 

 

Entah kenapa, pandangan sang fotografer memburam, dan barulah kemudian Yixing menyadari bahwa air mata menggenang di matanya. Dia berkedip dengan cepat, sangat bingung dengan perubahan emosi yang tiba-tiba, lalu mengangguk.

 

 

"Pasti kecapekan gara-gara semalam," gumamnya, lalu cepat-cepat meminta maaf pada orang-orang di sana. "Beri aku waktu sebentar--aku akan mengambil kamera yang lain." 

 

 

Dia bergegas menuju kamar belakang tempat sejumlah kamera DSLR pengganti berjejer dengan bangga dalam almari kaca, baru saja akan mengambil sebuah saat didengarnya nada yang tak asing di telinga dari ponsel yang ada dalam tasnya. Terkenal sebagai orang yang tidak suka diganggu saat bekerja, bibirnya pun mengerucut dan dengan enggan ia mencari ponselnya demi mematikan nada panggilnya. 

 

 

18 panggilan tak terjawab. 

 

 

Yixing tidak kenal nomor itu. Kalau ini hanya telepon iseng belaka, dia akan merasa diejek. Dengan tak sabaran, ia memencet tombol Call Back, lengannya terlipat selagi menunggu orang di seberang sana menjawab. 

 

 

"Halo?" katanya pendek. "Aku membalas sebuah panggilan tak terjawab--beberapa sebenarnya. Siapa ini?" 

 

 

"Anda Tuan Zhang Yixing? Saya memanggil dari rumah sakit. Temanmu, Kris Wu, dia mengalami kecelakaan motor...." 

 

 

 

 

Ia terbangun dengan leher kaku. Awalnya Yixing tidak bergerak, hanya terduduk di kursi samping tempat tidur dan menunggu. Menunggu pertanda apapun yang akan memberitahunya bahwa pacarnya yang tengah tak sadarkan diri itu telah bangun. Matanya tertuju pada jemari yang bertengger hanya beberapa senti dari wajahnya. Yixing menahan napas, berharap, memohon agar hari ini jadi hari dimana jari-jari itu bergerak. 

 

 

Namun sayang. 

 

 

Yixing menelan gumpalan yang terkumpul di tenggorokan dan menegakkan punggung perlahan, mengabaikan rasa sakit di belakang lehernya yang sedikit mengalihkan perhatiannya dari rasa sakit dalam dada. Pandangan Yixing berpindah ke seluruh penjuru kamar rumah sakit, berhenti sejenak di tiap-tiap benda kecuali figur yang ada di atas ranjang. Itu memberikannya banyak waktu, namun beberapa detik saja tak cukup baginya untuk menghadapi kenyataan. 

 

 

Kris Wu masih koma. 

 

 

Yixing merasakan bibir bawahnya bergetar kembali dan menggigitnya keras, memaksa ujung bibirnya untuk terangkat saat dirinya tidak memiliki satu pun alasan untuk tersenyum. Kakinya yang gemetaran goyah ketika ia berusaha bangkit namun entah bagaimana Yixing mampu melakukannya tanpa terjatuh. 

 

 

"Selamat hari jadi kita yang ketiga, Sayang," gumamnya serak seraya memajukan tubuhnya untuk membubuhi kecupan di dahi Kris. "Maaf aku tidak menyiapkan kejutan apapun... Sumpah aku tidak akan lupa kali ini." Yixing menusuk pipinya dengan ringan, daging yang dingin itu tenggelam di bawah ujung jari telunjuknya, namun tetap tidak ada reaksi. "Inilah bagian saat kau terbangun dan meminta perayaan." Ia memberikan tatapan penuh harap pada Kris. Tapi tidak terjadi apa-apa. Tak ada respon. 

 

 

Yixing menghela napas menyerah dan memanggul tas punggungnya dengan kaku. "Apa kau lupa kalau kita seharusnya mengambil kunci apartemen baru kita hari ini? Kau ingin aku mengambilnya sendirian?" tanyanya. "Berani sekali. Tunggu saja. Akan kuhukum dirimu karena it--" 

 

 

"Tuan Zhang?" 

 

 

Dia terhenti di tengah kalimatnya dan mendongak, kekhawatiran tersirat di wajahnya saat melihat rombongan empat orang dokter. 

 

 

"Ada apa?" 

 

 

Yixing merasa enggan melihat papan klip yang disodorkan kepala dokter padanya, takut bahwa dirinya sangat mengetahui apa yang mereka inginkan. Tetapi ia hanya dapat mengulur waktu selama itu saja, dan tatapan tajam yang serupa dari keempat pasang mata itu sedikit mengintimidasi. Dijilatnya bibir yang mengering, ia menunduk, hatinya terasa begitu perih hingga ke pangkal perut saat matanya menangkap beberapa kata kunci di sana-sini. 

 

 

"Kau ingin aku menyetujui untuk merenggut penopang hidup Kris supaya kau bisa memanen organ-organnya?" luncur Yixing dalam kekagetannya. 

 

 

Dokter Lee menekan bibirnya membentuk sebuah garis tegas. "Bukan memanen, Tuan Zhang, tapi mendonorkannya pada orang yang membutuhkan." 

 

 

"Tapi bagaimana kalau dia terbangun?" teriaknya marah, melempar papan klip ke lantai dengan keras. Lancangnya para dokter ini--meminta izinnya untuk membunuh pacarnya? Apa mereka sudah gila? "Ada orang yang bangun 19 tahun setelah koma dan kalian ingin mengakhiri hidupnya begitu saja? Kalian ini dokter atau pembunuh?" 

 

 

"Dia tidak sedang dalam koma biasa, Tuan Zhang. Dia mati otak!" tentang salah seorang dokter. "Itu sama saja dengan mati!" 

 

 

Kalimat itu menyakitkan hati dengan mautnya dan ia pun terhuyung. Sama saja dengan mati. Sesuatu yang hangat dan lembab mengalir di pipinya namun sebelum ia menyadari itu air mata, Yixing telah mengambil tindakan dan mengusir keempat orang itu dari bangsal dengan kasar. 

 

 

"Dia tidak mati!" geram Yixing dengan penuh amarah, tidak ambil peduli lagi bila sekarang ia mengundang perhatian perawat-perawat dan pasien-pasien di sekitar. "Beraninya kau mengatakan itu di depannya! Apa orang tuamu tidak pernah mengajarkan sopan santun?" Ia mengusap pipinya yang basah dengan punggung tangannya, matanya menatap nyalang para dokter itu dengan tatapan menghakimi. "Aku tidak menandatangani surat apapun, pembunuh. Kalau kalian berani menyentuhnya, akan aku tuntut kalian." 

 

 

 

 

"Apa-apaan, Xing? Apa kau tahu berapa lama aku menunggumu?" 

 

 

Yixing menggaruk belakang lehernya pelan dan memasang tampang yang ia harap tampak menyesal, namun ia lelah, lelah berdebat lagi. Ia hanya ingin tidur. "Maaf Kris, aku tidak tahu pekerjaanku akan selesai selarut ini," katanya, tatapannya melintasi sajian dingin yang telah ada di atas meja selama berjam-jam. 

 

 

Pria tinggi berambut blonde itu memberinya tatapan dingin. "Kau berjanji akan pulang lebih awal hari ini, sampai aku mau menjadi babu di dapur untukmu. Semua demi apa? Berapa jam lembur tepatnya yang kau butuhkan untuk mereka? Aku tak pernah melihatmu lebih dari satu jam sehari dan kita tinggal bersama!" 

 

 

Dia pun mengerang. Komplain lama. Omelan lama. Bukan maunya juga terus berada di luar. Kebetulan saja pekerjaannya membutuhkan banyak waktu darinya. Kenapa Kris tidak bisa mengerti? 

 

 

"Dengar, ini hanya tentang makanan kan? Aku akan makan, oke?" jawabnya, lalu duduk di meja dapur dan mengambil sumpit di atasnya. Tetapi saat Yixing akan mengambil sepotong daging, Kris menyambar piringnya dan membuang seluruh masakan--sekaligus piringnya. Ia terus membuangi piring demi piring ke tempat sampah sebelum menatap tajam Yixing sekali lagi. 

 

 

"Kenapa harus repot-repot makan kalau sudah makan di luar?" geram Kris sembari mengambil kunci dari gantungan di tembok dan bergegas pergi, menutup pintu dengan keras di belakangnya. 

 

 

Ada jeda sejenak sebelum Yixing melempar sumpit itu ke seberang dapur. Ia memutar bola matanya ke langit-langit dengan jengkel. "Drama queen." 

 

 

Dia tidak tahu ini akan jadi hari terakhirnya bicara dengannya. 

 

 

 

 

Yixing tidak dapat tidur sama sekali semalam. Bayangan tentang surat perjanjian untuk mengambil nyawa Kris mengawang di benaknya tiap kali ia menutup mata, dan kata-kata tanpa hati dokter itu terngiang di kepalanya tanpa henti. MatiSama saja mati

 

 

Desahan panjang meninggalkan bibirnya saat Yixing melewati koridor rumah sakit yang ia kenal menuju kamar Kris. Matanya terasa bengkak setelah menangis semalaman di lantai apartemen baru dan kosong mereka, begitu bengkaknya hingga sulit untuk membuka mata. Namun begitu mendekati kamar tersebut, mendadak ia berharap ia tidak dapat melihat karena tepat di depannya, adalah para dokter dari semalam. 

 

 

Ia pun tegang seketika dan menghentikan langkahnya, bahunya kaku selagi menatap balik Dokter Lee dengan wajah menantang. Hanya butuh sekali lirik pada kertas yang dipegang sang dokter, untuknya mereda, tapi tetap saja Yixing berusaha keras menahan kuda-kudanya.

 

"Aku tidak menandatangangi apapun," bentaknya singkat, menerobos dokter-dokter itu untuk masuk ke kamar dan secepatnya bersandar ke pintu agar mereka tak dapat membukanya. Menatap langit-langit, Yixing menyenandungkan lagu tanpa nada di bawah napasnya dan pura-pura tak mendengar mereka yang memanggil-manggilnya dari balik pintu. 

 

 

Kenapa? Kenapa mereka tidak mau meninggalkannya? Kenapa mereka tidak mau meninggalkan Kris? Kris tidak akan mati. Tidak! Dia masih terlalu muda untuk mati otak. Para dokter itu hanya membual karena mereka ingin menyayatnya. Ia terisak. Ya, Kris hanya sedang koma dan dia akan terbangun suatu hari. Dan sampai saat itu tiba, Yixing dapat memastikan mereka akan menjaga Kris tetap hidup. 

 

 

Hanya di saat suara langkah kaki para dokter itu menjauh, bahunya pun mengendur lega. Yixing menarik diri dari pintu dengan lesu dan menabrak ranjang, tempat Kris berbaring sama persis dengan hari kemarin, minggu sebelumnya, juga sejak tiga bulan yang lalu. 

 

 

"Kris," suaranya serak, dengan tangan yang hangat dan berkeringat di lengan dingin pacarnya. Yixing mengguncang-guncangnya dengan keras. "Hei. Bangun. Kalau tidak bangun, kita putus. Aku tak bisa seorang diri saja dalam hubungan ini." Ia mengguncangnya lebih keras, sampai selimut terjatuh dari tubuh Kris. Matanya seperti tertusuk oleh air mata yang belum jatuh. "Kris Wu! Bangun! Bangunlah sebelum terlambat." Ia memajukan tubuh, lengan mendekap erat tubuh Kris, menangis di pundaknya. "Brengsek, kenapa kau tidak bangun juga?! Mereka akan membunuhmu, kalau kau tak bangun lalu apa yang mesti kulakukan? Berani sekali kau meninggalkanku sendiri? Apa kau tak ingat apa yang kaujanjikan padaku?" 

 

 

Ia menangis begitu keras, tak menyadari pintu kamar yang membuka hingga orang lain itu berkata. 

 

 

"Tuang Zhang?" 

 

 

Masih dengan air mata bercucuran, Yixing mendongak, bersiap untuk menyumpah-serapahi pegawai rumah sakit karena sudah menekannya lagi untuk menandatangani kertas yang akan mengakhiri hidup Kris. Ia membuka mulutnya untuk berbicara, namun orang asing itu mendahuluinya. 

 

 

"Saya Dr. Jung, kepala rumah sakit," katanya. "Saya benar-benar menyesal atas kehilanganmu, tapi saya benar-benar berharap anda akan mempertimbangkan pengajuan rekan-rekan saya." 

 

 

Ada banyak kesalahan dalam pernyataan itu namun Yixing tidak tahu harus menyebut yang mana dulu. Ia menatap kepala rumah sakit itu dingin walau jejak air mata di wajahnya membuat wajahnya berkurang kegalakannya. 

 

 

"Aku tidak kehilangan apapun," kata Yixing keras kepala. "Kris masih hidup. Dia hanya perlu sadarkan diri." Dengan keengganan yang sangat, ia melepaskan Kris dan membungkuk untuk mengambil selimut yang terjatuh, berhati-hati menyelimutkannya pada tiap inci tubuh Kris karena dia terasa begitu dingin. Mengapa rumah sakit tidak memberinya selimut yang lebih tebal? 

 

 

"Dan saya hampir tidak dapat menganggapnya sebuah pengajuan, Dokter Jung," lanjutnya dengan dingin. "Rasanya dokter-doktermu lebih seperti menggangguku untuk berkata iya sehingga bila terjadi sesuatu pada Kris, mereka dapat menyalahkanku." Ia pun berdiri tegak dan berjalan menuju sang kepala rumah sakit. "Kau bisa menghemat napasmu. Aku tidak akan bilang iya, tidak sekarang, tidak akan pernah. Aku tidak akan membiarkan Kris mati" 

 

 

Dokter Jung mengerutkan bibirnya. "Tidakkah kau egois," komentarnya datar. "Kau biarkan pacarmu membusuk di sini sementara dia dapat menyelamatkan 10 nyawa yang lain. Setidaknya ada 500 orang yang membutuhkan organ tubuh dan di sini kau dengan egoisnya mempertahankan sebuah mayat sementara sistem tubuhnya mulai mati. 

 

 

Kami telah melakukan apa yang kami bisa, Tuan Zhang. Tiga bulan adalah waktu yang lama untuk menopang hidup semenjak dia telah dinyatakan mati otak. Tidak ada kesempatan baginya untuk bangun lagi. Dan itu demi kebaikan. Jika kita menunggu lebih lama lagi, kau bahkan tidak akan bisa menyelamatkan satupun nyawa. Saya yakin Kris tidak ingin anda begini egois." 

 

 

...Egois? Benarkah? Benarkah ia begitu egois, menginginkan Kris untuk tetap di sisinya? Konyol sekali. Dia hanya bergantung pada satu harapan bahwa Kris akan bangun. Bagaimana bisa itu disebut egois? 

 

 

Kepala rumah sakit itu menepuk pelan pundaknya, matanya bersimpati. "Saya akan beri anda 24 jam untuk menimbang-nimbang. Kami tidak mampu menunggu lebih lama lagi. Pikirkanlah baik-baik. Dengan mempertahankannya, anda hanya memperpanjang penderitaannya, berikut orang-orang lain. Biarkanlah dia pergi." 

 

 

 

 

"Berapa anak yang kau inginkan saat kita besar nanti?" tanyanya malas, kepala bersandar nyaman di lengan Kris di tempat tidur mereka. Yixing menelusuri lengan Kris dari atas ke bawah dengan jarinya, senang bisa merasakan pemuda satunya menggigil di bawah sentuhannya. Sampai Kris menertawakannya. 

 

 

"Kita sudah besar," Kris mengingatkan sambil terkekeh. "Atau 25 tahun belum cukup dewasa bagimu?" 

 

 

Sebuah rengutan muncul di bibir Yixing. "Kau tahu maksudku," rengeknya. "Jawab saja pertanyaanku sebelum aku mati karena malu." 

 

 

Kris tersenyum lebar. "2 anak? Laki-laki dan perempuan? Bagaimana menurutmu?" 

 

 

"Aku suka perempuan," Yixing memutuskan, mengabaikan Kris yang terhibur karenanya. Kemudian ia terpikir oleh sesuatu dan menyipitkan mata. "Bagaimanapun juga kita tidak bisa memiliki anak karena seseorang belum melamar." 

 

 

Senyum pacarnya melebar. "Pulanglah ke rumah lebih awal besok dan mungkin akan ada kejutan untukmu," sarannya, sembari mengecup pucuk hidung Yixing. 

 

 

 

 

Memori itu terasa seperti lelucon bagi Yixing sekarang. Ia membanting diri, keras, pada barisan kursi di luar bangsal dan menenggelamkan wajahnya di tangan. Semuanya berakar dari sana. Semua ini salahnya. Jika saja ia tidak meminta lamaran, Kris tidak akan berusaha memberinya kejutan, lalu Yixing tidak akan membuatnya marah karena melewatkannya. Kris tidak akan menerobos keluar dan mabuk-mabukan semalaman. Dia tidak akan mengalami kecelakaan. 

 

 

"Aku pembunuhmu," katanya pada telapak tangan. "Akulah yang membunuhmu." Hatinya yang telah sakit terasa hancur menjadi kepingan-kepingan kecil. Dialah yang menyebabkan Kris dalam kondisi koma. 

 

 

"Apa aku benar-benar egois mempertahankanmu?" ia bertanya pada dirinya sendiri dengan penuh air mata. "Apakah kau akan ada di tempat yang lebih baik bila aku tidak memaksamu untuk tetap disini?" 

 

 

Yixing menarik napas perlahan, menarik tangan dari wajahnya saat tiba-tiba sebuah tangan yang lebih kecil menyentuh lututnya. Ia melihat ke atas, lurus pada wajah pucat seorang anak perempuan di kursi roda, dengan topi beanie di kepalanya di musim panas seperti ini. 

 

 

"Oppa... kenapa kau menangis?" tanya anak itu penasaran. "Apa kau juga kesakitan?" 

 

 

Sakit. Sebuah kata sederhana yang mewakili apa yang ia rasakan. Yixing ingin meneriakkan bahwa dirinya sedang dalam penderitaan seperti itu hingga nyeri seluruh tubuh. Ia merasa seperti berkendara melewati medan emosional, seolah palu sedang memukul paku ke hatinya yang hancur dan ia berdarah di dalam. 

 

 

Ia menutup mata, sedih, dan ketika membuka mata, ia menatap anak itu. Tenggorokannya terlalu sempit untuk berbicara, lalu ia mengangguk saja. 

 

 

Anak perempuan itu tampak sedih melihatnya. "Apa kau punya leu... leuki... mia juga?" katanya terpatah, khawatir, ekspresi itu cukup untuk membuatnya kembali gelisah. Ia menatapnya sekali lagi dengan cepat, dan penyadaran bahwa ia tampak lebih muda dari anak tujuh tahun membuat paku menancap di hatinya lebih dalam. 

 

 

"Kau... punya leukimia?" tanya Yixing, suaranya serak dan kasar meski setelah berdehem. 

 

 

Anak itu mengangguk suram. "Dokter Jung bilang aku diprioritaskan untuk mendapat donor sumsum tulang belakang," katanya dengan bangga, seakan-akan itu adalah sesuatu yang patut dipamerkan. "Mungkin aku bisa keluar dari rumah sakit bulan depan!" Tangan kecilnya meraih dirinya. "Jangan sedih. Aku yakin giliranmu akan tiba sebentar lagi." 

 

 

Ketika perawat datang dan mendorong kursi roda gadis itu menjauh, Yixing membalikkan tangan untuk melihat sebungkus permen kenyal yang anak itu beri di tangannya. Ia pun bimbang dengan keputusan yang tiba-tiba ia yakini, dengan hati berat, ia pergi mencari Dokter Jung. 

 

 

 

 

Segalanya berjalan cepat semenjak itu. Momen dimana Yixing menandatangani kertas nyawa Kris, dokter mengadakan diskusi dan memutuskan untuk mengadakan operasi bagi Kris. Berjalan terlalu cepat bagi Yixing, mengetahui bahwa mereka akan mencabut mesin yang menopang nyawa Kris malam itu. Tiap kali menutup mata, ia mendapat gambaran mereka yang memotong hidup-hidup kekasihnya di meja operasi. Rasa bersalah dan muak melintas di dirinya, sebegitu buruknya hingga ia ingin muntah. 

 

 

"Kau punya waktu sampai jam tujuh," kata Dokter Jung dengan ramah sebelum meninggalkan Yixing sendiri di kamar dengan Kris. 

 

 

Air mata yang asin terbentuk dan jatuh, meninggalkan jejak basah di pipinya. Ia tidak bisa berhenti menangis. Yixing menatap pria yang tidak sadarkan diri di tempat tidur hingga pandangannya mengabur, pudar, dan rasa sakit yang tumpul menggerogoti jiwanya. Selama berhari-hari dan berminggu-minggu, ia telah berdoa agar Kris kembali padanya namun dalam dua jam, tidak ada kesempatan untuk Kris kembali. 

 

 

"Maafkan aku," bisiknya tidak mantap dan tanpa pikir dua kali, Yixing merangkak ke samping Kris di tempat tidur, membenamkan wajahnya di leher Kris dan membasahi baju rumah sakitnya dengan air mata. 

 

 

Yixing mengecup lembut bibir Kris, dengan bergetar hebat hingga nyaris luput. "Aku mencintaimu," katanya, suara serak dengan emosi, ditutupnya matanya yang merah dengan sedih. "Aku mencintaimu dan tak bisa hidup tanpamu." 

 

 

Ia melingkarkan lengannya ke pinggang Kris dengan erat untuk yang terakhir kali dan jatuh ke dalam tidur yang nyenyak. 

 

 

Hal berikutnya yang ia tahu, perawat membangunkannya. "Waktunya pergi," kata salah seorang dari mereka. 

 

 

Tidak. Ini terlalu cepat. Yixing menggenggam pakaian Kris dengan erat dan mendekap erat pemuda blonde itu. Ia tidak ingin melepaskannya meski tahu tidak ada lagi harapan. Napasnya tersengal membayangkan Kris tak lagi ada di dunia yang sama. 

 

 

Yixing merendahkan kepalanya, bibirnya menyentuh telinga Kris. 

 

 

"Tunggu aku. Aku janji tidak akan terlambat kali ini," bisiknya pelan, lalu membiarkan perawat-perawat itu membawa Kris ke ruang operasi. 

 

 

Ketika pintu tertutup, Yixing berbalik dan bergegas keluar dari rumah sakit. Mulanya, ia pikir pandangannya kabur karena ia belum terbangun sepenuhnya, namun kemudian ia menyadari jejak lembab di pipi dan lehernya, menyadari bahwa itu adalah air mata. Setidaknya dia tidak akan menangis lagi. 

 

 

Sembari mengamati truk yang akan berbelok di ujung, ia melintas keluar dari tepi jalan dan berdiri dengan sabar di tengah jalan. Bila Kris tak di sini lagi, maka ia pun tidak. Selama tiga tahun, Yixing telah melewatkan kencan dan melanggar janji, berubah tuli saat kekasihnya mengeluh bahwa dirinya tak pernah ada di sana untuknya. Tidak lagi. Kali ini ia berniat menunaikan janjinya 

 

 

Lengkingan dering ponselnya mematahkan keheningan malam selagi Yixing mengatur detak jantungnya dan menyiapkan mental untuk benturannya. Bibirnya membentuk sebuah rengutan marah, tapi entah mengapa ia mengangkat telepon tepat di saat truk berbelok dan lampunya yang benderang bersinar terang ke dalam matanya. 

 

 

"Halo? Ini Tuan Zhang? Kris Wu telah sadar." 

 

 

 


 

Translator's note: enjoy the story~ I hope my translation is better than before.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
hyera832 #1
Chapter 1: Jadi ini Icing mateq terus Kris sadar gitu?
Pengenya sih Icing langsung lari biar nggak jadi ketabrak
famiexol #2
Chapter 1: Nih ff good bgt dehh...

Krayyy sad ending
Tikakyu #3
Chapter 1: Hah? Kris sadar?? Terus Lay gimana?? Dia mati??
xhxrat_ #4
Sedih:' kenapa yixing harus bunuh diri:'
yeoljja #5
Chapter 1: kaget bacanya. OMG, endingnya ga nyangka kris bakalan bangun beneran.
eonni emang paling jjang kalo bikin alur ceritaaaa...
aaaaa, nangesh bacanyaaa
yixinghyeong #6
Chapter 1: :''D kampret bangettt nangis banjir air mata ini teh T_T yixingnya yang mati krisnya sadar huweee otp gue T.T tega banget dah ini chapter apa oneshoot thor ? Sad ending, tapi bagus, thumbs buat authornya sama translatornya :D
gungyii #7
Chapter 1: kaget endingnya kyk gitu..
nyesek bgt..
MissKey693
#8
Chapter 1: heck.
AAAAAAAAAAAAA~.....
FRUSTASI !!
trus Yixing mati ?! Kris-nya idup Yixing mati ?!
oh ya ampun
*pingsan
NickTiia
#9
Chapter 1: Jadi Kris sadar ganti lay yg ketabrak ... huweeee endingnya jgn dbkin kyk gtu ... T_____________________T
Mokuji #10
Chapter 1: Yixing yang malang ........