Chapter 55

Never Let Me Go [Indonesian]
Please Subscribe to read the full chapter

Detik demi detik berlalu kemudian satu menit tapi Jongin tidak bergerak, berkedip atau mengucapkan sepatah kata pun. Dia hanya berdiri di sana terperangah melihatku dengan tatapan beku, tampaknya terkejut dengan pernyataan terakhirku. "Jongin?" Kataku, meremas tangannya dengan lembut. "Aku mencintaimu."

"Ini pertama kali aku mendengarnya." Akhirnya ia berhasil berkata. Dia menelan ludah, lalu mengerutkan bibirnya sambil menghela napas dengan gemetar.

"Aku sudah berusaha untuk menyangkal pada diri sendiri." Aku menjelaskan kepadanya, tenggorokanku mulai menciut dan air mata mulai membakar bagian belakang mataku. "Tapi aku jatuh cinta padamu bahkan sebelum aku tahu itu."

Jongin menatapku dan kemudian ia menyelipkan seikat rambut ke belakang telinga. "Hana, aku tahu kau takut—"

"Aku tidak takut, Jongin." Aku menggeleng ringan sementara air mata lolos dari mataku. "Aku takut. Denganmu—setiap saat—begitu intens meskipun kau hanya menatapku. Kau memberiku perasaan tertentu yang tak bisa kujelaskan. Tapi itu—begitu tiba-tiba dan kuat dan berani. Begitu luas dan dalam pada saat yang sama. Aku tidak pernah merasakan hal seperti itu sebelumnya dan aku tidak terbiasa. Tapi mungkin, jauh di dalam diriku, aku sudah tahu aku jatuh terlalu dalam padamu, aku tidak akan mampu mengimbangi dan menghilangkannya. Kemudian aku akan berakhir seperti ibu." Aku butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa aku bernapas dengan cepat. Jongin dengan lembut mengusap lenganku, matanya penuh kebijaksanaan.

"Setelah semua yang aku lalui," aku melanjutkan, pipiku sudah teredam dengan air mata. "Aku menyadari itu bukan hanya tentang sinar matahari dan kupu-kupu atau pelangi. Aku melihat dengan mataku sendiri melalui pernikahan orangtuaku. Ini akan terasa sakit dan akan sulit dan aku hanya merasa seperti aku sudah cukup." Aku memegang tangannya lebih kencang dan mengintip ke matanya dalam-dalam. "Tapi ketika aku membiarkanmu pergi, sakitnya lebih banyak. Sangat lebih, aku merasa seperti sekarat setiap hari saat aku tak bersamamu dan itu sangat, sangat mengerikan." Aku akhirnya menghela napas panjang, dadaku naik-turun.

Jongin menarikku ke dalam pelukannya, menenangkan punggungku dengan tangannya. Aku melingkarkan tanganku di pinggangnya dan membenamkan wajahku ke dadanya. Kemejanya teredam tapi aku tidak peduli. Jantungnya berdebar panik di dadanya, seperti diriku.

"Hana," katanya lembut setelah kami menarik diri. Aku menatapnya dan ia meraih bahuku. "Aku tidak akan berpura-pura aku tahu bagaimana mengatasi hal ini. Aku ragu siapa pun tahu bagaimana untuk mengatasinya." Ia mengintip ke dalam mataku dengan tatapan paling tulus dan lembut yang pernah kulihat. "Aku tidak akan berjanji kalau aku tidak akan pernah membuatmu menangis atau menyakitimu. Aku tidak akan berjanji bahwa kita tidak akan pernah bertengkar atau salahpaham. Memang menyebalkan, tapi semuanya adalah bagian dari itu. Tapi aku bisa berjanji aku akan bertahan denganmu bahkan di masa-masa sulit selama kau melakukan hal yang sama dan tidak mendorongku pergi. Bisa kau melakukan itu?" Ia bertanya dengan sungguh-sungguh.

Air mata bergulir di pipiku, aku tersenyum padanya perlahan dan mengangguk. "Ya." Jawabku sepenuh hati.

Jongin tersenyum dengan tulus, seluruh wajahnya lega, kemudian ia menyeka air mataku. "Rasanya begitu enak mengeluarkannya dari dadaku." Aku mendesah dalam-dalam.

"Ya?" Ujar Jongin, menyeringai nakal. "Bagaimana kalau mengeluarkannya lagi?"

Aku tertawa dan mendorongnya ringan.

"Oh, ayolah." Jongin memohon, menghentakan kakinya di lantai seperti anak berusia sepuluh tahun. "Katakan lagi."

"Baiklah." Kataku, tertawa. Kemudian, aku melihat jauh ke dalam matanya dan berkata sungguh-sungguh, "Aku mencintaimu."

Pipinya langsung merah merona. Aku berpaling darinya karena aku tahu pipiku juga terbakar.

Jongin menutup jarak di antara kami, ia meletakkan jarinya di bawah daguku dan mengangkat kepalaku, hidung kami hampir bersentuhan. "Aku juga mencintaimu." Bisiknya, dengan ringan mengusapkan ujung hidungnya padaku. Aku tersenyum.

"Oh, Tuhan!"

Mengikuti insting, aku menjauh dari Jongin dan menoleh ke sumber suara. Aku tersipu malu ketika melihat Baekhyun berdiri di pintu.

"Apa lagi sekarang?" Ujar Jongin, agak terganggu. Aku mendelik padanya dan berbalik kembali pada Baekhyun, yang sedang menggaruk bagian belakang lehernya.

"Hei, Baekhyun." Aku menyambutnya dengan senyum lebar, mengabaikan fakta bahwa aku merona.

"Hai, Hana." Kata Baekhyun, sedikit memerah. "Maaf mengganggu kalian. Tapi sepertinya aku meninggalkan ponselku di sini."

Jongin berbalik kembali ke meja panjang kemudian ia buru-buru melemparkan ponsel Baekhyun ke arahnya. Kalau Baekhyun tidak bergerak cukup cepat, ia pasti telah kehilangan ponselnya. Ia menatap Jongin garang dan aku melakukan hal yang sama. Tapi Jongin sekarang berjalan menuju ranselnya, benar-benar mengabaikan kami.

"Dan Hana," kata Baekhyun. "Min Jee mencarimu. Dia di lobi. "

"Benar." Kataku, membersihkan tenggorokanku. "Kami akan belanja gaun untuk semacam latihan makan malam." Aku bilang pada Baekhyun, berusaha mengalihkan pembicaraan selagi kami bertiga melangkah keluar dari studio dan menuruni tangga.

Baekhyun hanya tersenyum padaku dan dia mengalihkan pandangannya ke Jongin. Dia menyipitkan mata padanya tapi Jongin bertindak acuh tak acuh.

"Dengar," Baekhyun berbisik kepada Jongin setelah beberapa menit. Mereka berdua berjalan di belakangku. "Aku sangat senang bahwa kalian bersama-sama lagi, tapi bisakah kalian mencari ruangan?"

"Kita sudah di ruangan." Jongin menjawab dengan jelas dan aku mendesah merasa terhina.

"Itu adalah studio tari." Baekhyun berpendapat.

"Masih ruangan." Jongin berucap. Aku bisa membayangkan dia mengangkat bahu dingin.

-------

Keesokan harinya, Jongin dengan ramah menawari kami untuk mengantar ibu ke panti rehabilitasi. Itu juga pertama kalinya dia bertemu ibuku. Aku harus menahan tawa, ketika ia tergagap saat memperkenalkan diri. Dia bilang padaku sebelumnya kalau dia cukup khawatir karena ia baru menyadari ini adalah pertama kalinya ia bertemu ibu pacarnya.

Ibu tampak menyukainya dan tahu kalau dia anak baik. "Dan dia tampan." Bibi Sora menambahkan dengan lirih setelah kami turun dari mobil dan menuju ke dalam panti.

Kami butuh empat puluh menit untuk mengantarkan ibu samp

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
suthchie #1
Chapter 55: Akhirnya selesai juga...

Wahhh ngak nyangka lho kalo ceritanya bakal publish selama itu...
Bersyukur aku dapat rekomendasi ff ini udah selesai... Bahakan aku cuma butuh waktu beberapa hari buat bacanya...
Soalnya aku tuh tipe orang yang ngak berhenti untuk penasaran sama cerita kalo belum selesai...
Pokoknya terima kasih banyak buat temenku yang udah merekomendasikan ff ini...

Secara keseluruhan aku suka cara menyampaikan ceritanya, ngak terburu buru tapi juga ngak ngebosenin...
Apalagi cast nya si jongin...

Pokoknya terimakasih buat authornya
yang udah bikin cerita yang hebat
suthchie #2
Chapter 54: Akhirnya balikan juga...
Jongin orang baik. Hana sangat beruntung memilikinya
suthchie #3
Chapter 53: Kuanggap itu sebagai tanda balikan...
Semoga
suthchie #4
Chapter 52: Cobaan hana terlalu berat...
suthchie #5
Chapter 51: Semoga ibu hana benar2 menjadi baik
suthchie #6
Chapter 49: Minjee trtaplah berada di sisi hana...
suthchie #7
Chapter 50: Untunglah hana punya sahabat baik seperti minjee...
suthchie #8
Chapter 48: Kenapa kau mengambil keputusan iyu hana...
Aku yakin, jongin sangat hancur...
suthchie #9
Chapter 47: Yang aku kawatirkan akhirnya trrjadi...
Pasti daehyun memberi tau hal buruk pada jongin
suthchie #10
Chapter 46: Itu hal baik hana... Semoga